Sikap Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah Supari tentang hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) terhadap susu formula dan pemikirannya yang tertuang dalam bukunya, 'Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung', sebenarnya harus dibaca sebagai manifestasi aktual dari nasionalisme seorang elite bangsa di tengah pergaulan antarbangsa yang kurang seimbang, hegemonik, dan tidak adil.
Memang, banyak elite bangsa yang nasionalis. Nasionalisme Abdurrahman Wahid (Gus Dur) misalnya diwujudkan dalam gagasan membentuk poros Indonesia-China-India. Nasionalisme Amien Rais tertuang dalam pemikirannya yang sangat kritis terhadap Barat. Namun, bisa dikatakan bahwa gagasan-gagasan nasionalisme para ideolog bangsa itu masih sangat abstrak bagi masyarakat sehingga cenderung menjadi jargon belaka.
Krisis Nasionalisme
Nasionalisme merupakan ideologi dan metode yang sangat efektif di kalangan bangsa-bangsa terjajah untuk menuntut kemerdekaan. Karena itu, nasionalisme menjadi wacana dan gerakan yang sangat populer, paling tidak sampai pada pertengahan abad ke-20. Kini nasionalisme cenderung dianggap sebagai wacana konsep yang usang, termasuk di Indonesia, baik di kalangan kaum liberal maupun aktivis keagamaan (Islam). Karena itu, nasionalisme Indonesia sedang mengalami krisis. Kompleksitas persoalan bangsa dewasa ini merupakan akibat dari krisis nasionalisme.
Bagi kaum liberal, nasionalisme sering diidentikkan sebagai paham menutup diri di tengah dunia yang terintegrasi dan tanpa batas (the borderless world). Nasionalisme dianggap sebagai gerakan melawan globalisasi. Absurditas nasionalisme oleh Kenichi Ohmae (1995) dirumuskan sebagai the end of nation state. Kaum liberal meyakini bahwa liberalisasi dalam semua sektor kehidupan, terutama di bidang ekonomi dengan berlakunya ekonomi pasar, berarti peluang yang terbuka untuk berkompetisi dalam pasar bebas dan mengembangkan diri secara tidak terbatas.
Dengan menjadi kekuatan ekonomi yang tangguh terbuka, itu berarti peluang untuk bangkit dan mewujudkan kemakmuran rakyat. Sementara aktivis Islam berpandangan bahwa nasionalisme bukan hanya suatu konsep yang sekuler, tetapi juga tidak perlu. Yang diperlukan adalah khilafah Islamiah yang menyatukan umat Islam dari berbagai negara dalam satu sistem pemerintahan internasional yang berdasarkan Alquran dan Hadits. Bersatunya umat Islam sedunia dengan sendirinya akan mendorong kebangkitan bangsa-bangsa.
Namun, melihat faktanya, baik kaum liberal maupun aktivis Islam gagal mencapai tujuannya.Di satu sisi dalam sistem liberal, meminjam teori John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (1973), karena tidak semua orang dan kelompok berangkat dari posisi awal yang sama (modal, informasi, dan teknologi), liberalisasi pada akhirnya hanya menguntungkan sekelompok kecil orang, negara-negara adidaya, dan industri maju.
Kepentingan nasional pun menjadi retorika belaka. Sementara gagasan khilafah Islamiah bukan hanya mustahil diwujudkan, tetapi juga menghancurkan nilai-nilai budaya dan tradisi yang ada dalam setiap bangsa karena dianggap bertentangan dengan syariat. Karena itu, gagasan khilafah bisa mendorong munculnya generasi yang ahistoris, tercerabut dan terasing dari kultur masyarakatnya sendiri. Cita-cita formalisasi syariat yang menjadi orientasi utama gerakan ini juga melahirkan pemikiran dan sikap keberagamaan yang kaku, terjebak pada simbol, dan pada akhirnya menjauhkan agama dan tujuannya yang paling fundamental (maqashid asy-syari'ah).
Kelembutan Revolusioner
Fadilah Supari bukanlah seorang ideolog. Ia seorang profesional dalam bidang kesehatan. Karena itu, manifestasi nasionalismenya juga lebih terukur dan lebih mudah dirasakan dampaknya oleh masyarakat.
Di dalam bukunya ia membeberkan konspirasi Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam mengembangkan senjata biologi virus flu burung, avian influenza (H5N1). Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Padahal, vaksin itu dibuat dari sampel korban flu burung yang meninggal dunia di negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam dengan dalih untuk diagnosis.
Dia tergugah nasionalismenya ketika para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hong Kong. Data itu justru disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS, yang berada di bawah Kementerian Energi AS. Di laboratorium inilah dahulu dirancang bom atom Hiroshima. Menkes kemudian meminta WHO membuka data itu. Upaya itu pun berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu.Banyak pemimpin dan ilmuwan dunia yang sudah meminta data itu, tapi gagal.
Siti Fadilah juga terus mendesak WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Perjuangan Menkes tidak sia-sia. Dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007 dan International Government Meeting (IGM) WHO di Jenewa November lalu, hampir semua tuntutan Menkes dikabulkan WHO. Tidak aneh jika upaya Menkes itu dipuji oleh majalah The Economist terbitan London, Inggris.
Dalam sebuah laporan berjudul "Pandemics and Transparency" yang dipublikasikan pada 10 Agustus 2006, majalah itu menulis, "For the sake of basic human interests, the Indonesian government declares that genomic data on bird-flu viruses can be accessed by anyone. With those words, spoken on August 3rd, Siti Fadilah Supari started a revolution that could yet save the world from the ravages of a pandemic disease. That is because Indonesia's Health Minister has chosen a weapon that may prove more useful than today's best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu: transparency." Di balik kelembutannya sebagai seorang perempuan, Siti Fadilah Supari tampaknya memiliki pemikiran yang revolusioner. (*)
Eman Hermawan
Staf Khusus Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (sindo//sjn)
Berita Terkait 'opini'
No comments:
Post a Comment