Saturday, October 25, 2008

Narasi dan "Dogmatisasi"

Narasi dan "Dogmatisasi"
Sabtu, 25 Oktober 2008 | 00:36 WIB

Robert Bala

Visualisasi novel Andrea Hirata dalam film Laskar Pelangi yang menyedot perhatian masyarakat menarik disimak. Apa yang menjadi kekuatan internal? Bagaimana menafsirnya dalam konstelasi politik saat ini?

Narasi, demikian Ernesto Robles Valle dalam EducaciĆ³n y NarraciĆ³n, 2006, memiliki kekuatan yang dahsyat. Ia menarik (narrare-Latin) tidak hanya perhatian, tetapi juga keikutsertaan subyek dalam pemaknaan sebuah kisah. Karena itu, pendidikan harus menjadikannya narasi sebagai bagian integral. Di sana yang diajarkan bukan sekadar pengetahuan (conocimiento), tetapi juga pemahaman (reconocimiento).

Narasi juga memiliki sisi implikatif. Subyek tidak saja didorong untuk mengetahui akhir sebuah cerita, tetapi sekaligus menganyam kisah pribadi. Selanjutnya akan terjalin sebuah adegan interior (escenario interior) karena subyek dilibatkan secara proaktif demikian Jose manuel Prellezo dalam Narrazione, Dizzionario di Scienze Dell’Educazione, 1999. Pendengar sekaligus menjadi pemain karena kisah pribadinya turut disusun.

Adegan ini lalu memacu pencarian nilai yang lebih tinggi, bukan sekadar meniru kisah serupa. Dalam Laskar Pelangi, misalnya, para siswa yang begitu terpesona oleh model narasi Bahtera Nuh, tidak sekadar terajak untuk melakukan adegan serupa, tetapi secara produktif menghasilkan imajinasi baru, demikian Paul Ricoeur dalam Historia y Narratividad, 1999. Inilah yang membedakan narasi dari sejarah yang sebatas mereproduksi kisah.

”Dogmatisasi”

Narasi pedagogis dalam film seharusnya tidak sekadar ide. Ia juga perlu menjadi acuan dalam pendidikan politik bangsa. Ruang publik, misalnya, dibuka agar setiap kisah hadir secara spontan menawarkan perspektifnya tanpa ada pemaksaan. Dialog yang terbuka dan saling pengertian memungkinkan tampilnya sesuatu yang bermakna, yang sekaligus menjadi takaran akhir keabsahan sebuah ide. Sementara itu, daya tarik luar yang artifisial akan cepat buram dan suram.

Pemahaman ini amat kontradiktif dengan realitas saat ini. Persoalan akut bangsa, seperti kemiskinan, KKN, dan lebarnya jurang kaya-miskin, dilihat secara simplistik. Jalan keluarnya adalah secara gnostik menempatkan hal-hal spiritual lebih utama dan lebih tinggi. Yang lain dianggap nonsense. Aneka legitimasi kekerasan pun dihalalkan demi mempercepat ”realisasi” ide spiritual. Aksi main hakim sendiri pun dianggap heroik.

Sayang, spiritualitas dipahami secara timpang. Ia tidak inkarnatif dalam arti terjelma dalam aksi dan membumi dalam perwujudan nyata. Yang ada hanya pertautan ajaran (dogma) dan debat merumuskan peraturan atau undang-undang sebagai kekuatan makroyuridis. Tak pelak, negeri ini kebanjiran peraturan dan undang-undang yang bermuara pada kesimpangsiuran. Keberadaan perangkat hukum sebelumnya dilihat terlalu umum dan hendak diganti dengan ”tips” baru yang lebih spesifik demi mengatur ruang privat.

Keberanian

Tendensi dogmatisasi seharusnya diakhiri dengan terbukanya narasi politik.

Pertama, perlu keberanian untuk bertanggung jawab. Reproduksi undang-undang tanpa kekuatan produktif-kreatif yang menjelmakan ide dalam aksi adalah ciri pribadi yang penakut. Ia hanya berbicara dan tahu merumuskan teks, tetapi miskin dalam kontekstualisasi dan aplikasi, demikian William Ian Miller, dalam El Misterio del Coraje, 2005. Baginya, sebuah bangsa yang besar ditandai keberanian untuk bertanggung jawab (coraje de responsabilidad).

Korupsi yang kian tersibak, yang melibatkan tidak sedikit anggota legislatif, adalah cermin sikap ini. Undang-undang dirumuskan entah untuk siapa, tetapi yang pasti prosesnya telah menguras tak sedikit ”u(nd)ang”. Memang, di balik batu undang- undang, ada u(n)dang, yakni u(nd)ang.

Kedua, perlu keberpihakan pada aksi. Produktivitas dan kreativitas menjadi takaran akhir yang perlu dipertaruhkan. Ide dan aturan hanya terasa manfaatnya saat dijabarkan dalam praksis. Pembaruan sosial melalui program pemberdayaan masyarakat, entah melalui micro-financial atau pelatihan, sambil tidak melupakan penghidupan demokrasi partisipatif yang dijalankan dalam lingkup terbatas akan menjadi ragi yang cepat atau lambat akan meluas. Perubahan seperti ini memiliki jaminan karena tiap individu dilibatkan sebagai pemain aktif dalam adegan interior yang tercipta.

Ketiga, perlu membangun moralitas sosial yang integratif. Jiwa yang membadan dan badan yang menjiwa adalah dua sisi yang saling mengandaikan, bukannya meniadakan. Di sana pembaruan sosial dilihat sebagai ibadah karena merupakan wujud nyata iman yang menjelma. Pada saat yang sama, jiwa yang suci mustahil egoistik karena hati yang murni akan bersifat humanis. Ia tidak egois, tetapi solidaris, altruistis, dan rela berkorban.

Robert Bala Lulusan Universidad Pontificia de Salamcanca dan Universidad Complutense de Madrid

No comments:

Post a Comment