buruh
Tahu Masalah, tetapi Melumpuhkan Diri
Amatlah keliru mengasumsikan pekerja semata-mata sebagai alat produksi. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan dalam pertarungan bisnis di perusahaan tempatnya bekerja. Mereka juga tumbuh menjadi kelompok kritis meskipun kemudian seluruh strategi perjuangannya juga terendus oleh pihak pengusaha.
Bisa saja buruh menang di pengadilan, tetapi ketika sampai ke eksekusi dibiarkan terkatung-katung. Kalau sudah begitu, buruh juga tidak bisa melakukan apa-apa, selain menunggu, ujar Kasminah dari Komite Buruh Cisadane (KBC).
Ia menyebut kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh PT TDM yang sudah tiga tahun terkatung-katung. "Buruhnya menang, tetapi tuntutan tidak teralisasi," tuturnya. Hal yang sama terjadi atas buruh di PT BR, pabrik garmen, yang juga sudah tiga tahun.
"Saya heran, kok pemerintah enggak berbuat apa-apa ya dengan situasi ini," tanya Kasmiah. Hal senada juga dikemukakan Emi Roswati dari Serikat Pekerja Nusantara (SPN) di PT Koryo International Indonesia.
"Perusahaan Korea biasa seperti ini," kata Emi, "Masa operasional pabrik ini sudah 17 tahun, mesin-mesinnya sudah tua, tetapi jumlah pekerjanya telanjur membengkak dan gajinya menurut mereka mungkin sudah terlalu tinggi. Namun, kok enggak ada tindakan apa-apa, baik dari pemerintah maupun para wakil rakyat."
Suatu hari mereka mengadukan nasib ke Dewan Perwakilan Rakyat. Di situ mereka ditemui seorang anggota dari Komisi IX, yang dari pernyataan-pernyataannya terkesan membela nasib buruh. "Dia janji mau melihat kondisi kami. Namun, sampai sekarang tidak pernah datang," sambung Emi.
Mereka juga pernah meminta wali kota membebaskan uang sekolah anak-anak buruh korban PHK. "Pernah didaftar 300 anak, tetapi sampai sekarang tidak ada apa- apa. Waktu kami konfirmasi ke kepala dinas tenaga kerja, katanya yang bisa dapat hanya mereka yang berada di wilayah kotamadya. Sementara kami berada di luar wilayah itu," kata Emi.
Melumpuhkan diri
Menurut Direktur Pelaksana Econit Dr Hendri Saptarini, pemerintah sebenarnya tahu kenapa situasi ini terus terjadi, tetapi tidak melakukan apa-apa. "Jadi bukan sekadar lumpuh, tetapi melumpuhkan diri, tidak melakukan apa-apa," ujarnya.
Menurut Hendri, struktur industri di Indonesia tidak seperti di Thailand dan Malaysia. Negara-negara itu memiliki kebijakan industrial yang mendorong investor untuk membangun industri pendukung sehingga di negara-negara itu struktur industrinya dalam. "Kalau mau pindah, jadi berpikir pajang karena sudah membangun infrastruktur di negeri itu," kata Hendri.
Struktur industri di Indonesia, menurut Hendri, sangat dangkal, khususnya untuk industri manufaktur semacam garmen dan sepatu. "Lebih dari 50 persen bahan baku ataupun bahan pendukungnya didapatkan dari impor. Jadi, tidak masalah kalau hari ini investasinya mau dipindahkan ke tempat lain," ia melanjutkan, "Jadi, soalnya bukan masalah keamanan, tetapi benar-benar pertimbangan bisnis."
Lebih jauh Hendri menjelaskan, negara-negara seperti Malaysia dan Thailand memiliki kebijakan industrial sebelum menyusun Undang-Undang Penanaman Modal sehingga mereka tahu sektor mana yang perlu modal asing, sektor mana yang dicadangkan untuk usaha kecil dan mikro karena sektor ini sangat strategis dan sensitif.
Di Indonesia yang terjadi sebaliknya. UU Penanaman Modal sudah digolkan meski belum ada kebijakan industri. "Sekarang ada RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, tetapi belum dibahas. Jadi, kan kebalik-balik, karena di UU Penanaman Modal semua sudah dibuka," kata dia.
UU Penanaman Modal itu sangat terbuka, sampai-sampai investor asing bebas melakukan apa saja. Mereka tak harus mempunyai mitra lokal lagi dan tak perlu minta izin untuk mengalihkan izin ke investor lain. Kalau mau relokasi, juga tidak perlu lapor.
Seperti diungkapkan Hendri, "Sekarang ini sudah 65 persen investasi Jepang di bidang manufaktur direlokasi. Namun, pemerintah mengatakan ini bukan masalah, ini cuma pertimbangan bisnis. Kalau 65 persen pindah, pasti kan ada masalah. Bukannya di sini pasarnya besar?"
Hendri menyebut contoh China, yang begitu terbuka investasinya, tetapi negeri itu menerapkan aturannya dengan sangat ketat. Investor baru dapat mengalihkan investasi kalau sudah mendapat persetujuan dari Pemerintah.
Ia menambahkan, Pemerintah China juga membangun "benteng" yang kuat untuk melindungi diri dari gonjang-ganjing situasi di luar. Ketika hendak meliberalisasi sektor keuangan, misalnya, Pemerintah China menunggu sampai sektor industri dan perdagangannya menjadi yang terbaik di dunia.
Pemerintah China menandatangani kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk membuka sektor keuangan bagi investor asing pada tahun 2001, tetapi baru tahun 2007 bank asing boleh menjual produknya kepada warga China. "Kita sudah membuka sektor ini sejak tahun 1988," ujarnya.
Bukan satu-satunya jawaban
Hendri mengingatkan, kalau 56 persen dari angka pengangguran di Indonesia berpendidikan sekolah dasar, kondisi ini tak bisa diselesaikan dengan masuknya investasi asing. Data tahun 2006 yang diolah oleh Litbang Kompas memperlihatkan, pada tahun 2006, pengangguran terbuka mencapai 11,10 juta orang, setengah pengangguran terpaksa 14,21 orang, dan setengah pengangguran sukarela 15,71 jiwa
Ia kembali memberi contoh di negara seperti Korea dan Jepang yang menyisihkan anggaran untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja, antara lain dengan membangun berbagai institusi besar. Dananya diambil dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara serta insentif pajak.
"Perusahaan yang menyisihkan dana untuk membangun institusi riset dan pengembangan sumber daya, misalnya, pajaknya bisa dikurangi," lanjut Hendri.
Yang terjadi di Indonesia sangat berbeda. Pajak masih menjadi sumber keuangan negara sehingga pemerintah tidak berani melakukan terobosan, misalnya untuk memperkuat suprastruktur industri. "Pajak dan utang seharusnya tidak dijadikan sumber penghasilan karena implikasinya luas sekali," ujar Hendri.
Ia melihat sumber lain sebagai penghasilan negara, seperti sumber daya alam. Akan tetapi, penerimaan negara dari sektor itu sangat tidak sebanding dengan nilai dari sumber daya alam itu karena melupakan rente ekonomi.
"Ini tidak pernah diperhitungkan karena harus mengoreksi kontrak karya," tegas Hendri, "Jadi kalau dibilang melumpuhkan diri ya memang begitu situasinya karena pemerintah tahu harus melakukan apa dari sisi fiskal dan industri, tetapi diam saja."
Hal lain yang bisa dilakukan menurut Hendri adalah membuat produk unggulan di setiap kabupaten, sebagai produk ekspor atau substitusi impor. "Kita punya 500 kabupaten. Kalau tiap tahu satu saja, maka akan nada 500 produk unggulan di setiap kabupaten," tambahnya.
Memang kemudian dibutuhkan usaha keras untuk menciptakan infrastruktur dari semua ini. Yang paling penting adalah kehendak kuat dan kemauan politik untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Kontrak politik
Persoalan tenaga kerja di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang semakin muram. Beban buruh semakin berat karena kesempatan kerja juga semakin berkurang.
Litbang Kompas mencatat, kalau pada tahun 1980-an setiap pertumbuhan ekonomi satu persen mampu menyerap 200.000-an tenaga kerja, sekarang paling tinggi hanya seperempatnya. Perbedaan upah buruh di berbagai pabrik semakin lebar dibandingkan dengan di sektor pengolahan. Kesenjangan ini terjadi karena kecenderungan membangun pabrik yang padat modal dibandingkan dengan padat karya.
Mengacu pada berbagai data yang ada, Hendri juga melihat industri di Indonesia mengalami kemerosotan. Sektor manufaktur dan pertanian yang menyerap tenaga kerja seharusnya lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, atau paling tidak sama.
"Yang sekarang terjadi justru pertumbuhan sektor-sektor itu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya, terjadi pertumbuhan ekonomi, tetapi di sektor yang bukan padat karya," ujar Hendri.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, tahun 2004 pertumbuhan ekonomi adalah 5,13 persen, pertumbuhan manufaktur 6,19 persen. Akan tetapi, pada tahun 2005-2007, situasinya terbalik. Pertumbuhan manufaktur dan pertanian lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi jumlah usaha juga menurun. Pada usaha menengah besar, yang 39 persennya adalah sub-sektor manufaktur, dari 23 sektor, sembilan (9) di antaranya mengalami penurunan jumlah unit usaha. "Ini data tahun 2005. Kalau angka tahun 2007 dikeluarkan, pasti lebih banyak lagi turunnya," ujar Hendri.
Ia mengusulkan kontrak politik dengan para politisi dan penyelenggara negara. "Harus ada ukuran keberhasilan yang jelas bagi para penyelenggara negara," ujarnya.
"Bukan hanya dalam angka anggaran, tetapi bagaimana menurunkan pengangguran, bagaimana mengatasi masalah busung lapar, kemiskinan, penyakit dan lain-lain. Jadi, ada indikator kesejahteraan yang jelas dan ada indikator kegagalan maupun keberhasilan yang jelas juga," kata Hendri. (MH)