Adrianus Meliala
Upaya keras berbagai panitia seleksi guna mencari anggota komisi-komisi atau lembaga negara yang memiliki integritas pribadi yang antikorupsi, bersih, dan jujur di masa mendatang tampaknya akan semakin sulit membuahkan hasil gemilang. Setelah beberapa kali upaya pencarian calon semacam itu dilakukan, telah muncul pola atau kecenderungan sebagai berikut.
Pertama, terdapat beberapa nama yang aktif melamar guna menjadi calon di berbagai kesempatan mengindikasikan tipisnya lapisan menengah di Indonesia yang berani "jual diri" menyangkut integritas kepribadian dan track record bersih serta jujur.
Kedua, yang banyak melamar adalah karyawan atau pejabat yang hampir atau telah pensiun. Bisa diduga, motivasi mereka adalah untuk memperpanjang aktivitas setelah purna dari pekerjaan yang lama. Bisa diduga pula, yang mereka tawarkan adalah profesionalisme dalam rangka bekerja; hal mana tidak selalu sejalan dengan kepribadian yang antikorupsi, bersih, serta jujur.
Ketiga, katakanlah mendaftar, maka cukup banyak yang bermodalkan self-acclamation (pernyataan diri sepihak) terkait dengan siapa dirinya serta bagaimana kepribadiannya. Pelamar dari tipe ini akan bertumbangan saat panitia melakukan verifikasi tentang siapa mereka sebenarnya.
Keempat, mereka yang ditengarai memiliki integritas tinggi, bersih, serta jujur malah tidak ada atau sedikit yang mencoba melamar. Selain khawatir dipecundangi melalui sistem seleksi yang kotor, orang seperti ini memang tidak pernah kurang kerjaan. Di mana-mana membutuhkan orang langka tersebut, tidak hanya komisi atau lembaga negara saja.
Sistem integritas
Itulah yang terjadi ketika kita sebagai masyarakat tidak mempersiapkan lahir dan besarnya orang-orang dengan kepribadian yang berintegritas tinggi guna menyatakan "tidak" pada korupsi, bersih serta jujur secara sistematis dan massal. Sebaliknya, terkesan bahwa kita semua meyakini orang-orang dengan ciri demikian memang ditakdirkan langka, yang banyak adalah orang dengan ciri sebaliknya.
Itulah yang diperkirakan terjadi dalam masyarakat yang memang telanjur kuat budaya korupnya. Kuat sekali dorongan untuk menjadi me-too-corrupt alias "saya tak beda dengan yang lain" dalam hal perilaku korupsi mengingat korupsi dilakukan oleh semua. Sebaliknya, kecil sekali tarikan atau kekangan untuk menjadi berbeda atau tidak melakukan korupsi melalui sistem yang dikenal dengan sebutan sistem integritas (integrity system). Alhasil, yang berani berkata "tidak" pada korupsi menjadi orang langka.
Singkatnya, orang yang bersih dan jujur bukan ditemukan seperti kuda liar, tetapi dibiakkan dan dirawat dalam suatu sistem yang mendorong hal-hal itu untuk tumbuh. Tidak hanya tumbuh dengan sendirinya, tetapi juga karena dipupuk sehingga tumbuh dengan lebat. Jika kita percaya bahwa masyarakat pada dasarnya adalah sama, yang berbeda adalah sistemnya, maka sistem integritas itulah yang paling menentukan siapa dan bagaimana dia di kemudian hari.
Apabila dikatakan sistem integritas antikorupsi, pada dasarnya kita tidak menunjuk sistem yang khusus melainkan berbagai sistem yang telah ada, seperti sistem politik, sistem hukum, sistem pendidikan, dan seterusnya. Hanya satu bedanya, yakni bahwa sistem-sistem tadi semuanya sama-sama menuntut integritas dalam rangka menjalankannya, yakni integritas untuk menjauhi korupsi.
Sistem pendidikan
Dari berbagai sistem yang semuanya perlu digerakkan dengan sifat "integritas" itu, sistem pendidikan memiliki peran terpenting dibandingkan dengan yang lain. Jika sistem-sistem lain menyentuh atau disentuh orang per orang pada saat dewasa, sistem pendidikan memengaruhi seseorang sejak berusia belia. Apabila kandungan integritas antikorupsi telah terdapat secara intens dalam sistem pendidikan, niscaya akan menular pada subyek didik dan bertahan selama hidupnya.
Masalahnya, hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai integritas antikorupsi tadi masih kerap terlihat dalam sistem pendidikan kita. Ada siswa yang tidak naik kelas dan bisa naik kelas dengan pindah sekolah. Ada pula siswa yang mendapat bocoran nilai ujian akhir nasional secara sengaja dari guru mereka sendiri. Ada siswa yang membuat keonaran malah dipuji. Ada guru yang minta uang dari muridnya, dan sebagainya.
Jadi, bibit berbuat korupsi, tidak bersih dan tidak jujur itu telah diketahui dan mungkin tertanam pada diri seorang anak saat baru pertama kali disentuh oleh sistem modern bernama sistem pendidikan. Kita bisa bayangkan apa yang terjadi saat yang bersangkutan selanjutnya bersentuhan dengan sistem-sistem lain yang lebih kerap, lebih vulgar, serta lebih intens perbuatan koruptifnya.
Terkait strategisnya sistem pendidikan ini, mungkin kita semua bisa fokus dan habis-habisan mencegah terkontaminasinya sistem pendidikan dari berbagai hal yang dapat mengurangi nilai-nilai integritas antikorupsi di dalamnya. Dan, mengingat terdapat ketidakseimbangan antara berbagai pihak yang berperan dalam sistem tersebut (peserta didik yang berjumlah terbanyak selalu berada pada posisi lebih lemah, pasif, dan tergantung dibanding, misalnya, pihak sekolah), maka kemauan dan peran guru, sekolah, jajaran kantor wilayah serta departemen akan amat menentukan mutu keluaran dari sistem pendidikan tersebut.
Di sinilah pentingnya memerhatikan kesejahteraan para guru, meningkatkan pengetahuan guru, melengkapi fasilitas belajar-mengajar di sekolah, membersihkan perekrutan guru atau siswa dari praktik KKN, memosisikan peran UAN secara tepat, meniadakan budaya patrimonial bagi guru yang akan menjadi kepala sekolah, dan lain-lain. Itulah bibit-bibit penggerus nilai-nilai integritas antikorupsi yang sedianya akan ditransformasikan kepada anak didik melalui perilaku langsung ataupun ajaran.
Pendidikan tinggi
Ada hal menarik saat melihat bagaimana kita semua memandang seseorang yang dikatakan memiliki integritas kepribadian tinggi, bersih dan jujur. Hampir semua kalangan melihatnya dari sudut apa yang dilakukan seseorang pascamenempuh pendidikan formal, entah itu pendidikan menengah ataupun pendidikan tinggi.
Kita cenderung terkonsentrasi melihat track seseorang dari sudut riwayat pekerjaannya, apa saja posisi dan jabatannya, apa prestasi yang dihasilkannya, bagaimana ia memperoleh kekayaan selama periode itu serta bagaimana catatan tentang kelakuannya. Sebaliknya, data tentang seseorang pada saat duduk di bangku sekolah dasar hingga menempuh pendidikan tinggi umumnya tidak diketahui. Minimal, seolah dianggap tidak penting. Padahal, pada saat itulah tengah dibuat baseline yang akan menentukan apakah seseorang akan benar-benar menjadi orang yang berintegritas tinggi, bersih dan jujur.
Dalam konteks itulah, fase seseorang yang sudah berada di tingkat pendidikan tinggi menjadi penting dan strategis. Itulah fase terakhir sebelum seseorang di-"pelototi" (atau di-scrutinize) riwayat hidupnya jika yang bersangkutan mau menjadi pejabat publik di komisi atau lembaga negara tertentu. Tidak pernah kita dengar, misalnya, skandal atau perbuatan curang yang dilakukan seorang pejabat saat masih mahasiswa. Masa mahasiswa pada umumnya tidak dipersepsikan sebagai memberi kesempatan besar bagi mahasiswa untuk terlibat dalam suatu hal yang "kotor".
Berbeda situasinya ketika telah lulus. Seorang sarjana harus terus-menerus, mau tak mau, menata gerak langkah, jangan sampai terjeblos pada penyakit masyarakat tertentu, khususnya apabila berkeinginan menjadi pejabat publik di suatu waktu kelak.
Seiring dengan persepsi tentang fase perguruan tinggi yang "steril" dari kemungkinan korupsi, para mahasiswa juga kerap kurang menyadari betapa strategisnya kehidupan di perguruan tinggi dalam konteks keseluruhan hidup mereka sendiri. Sebagai fase terakhir dari fase panjang kehidupan seseorang terkait sistem pendidikan, itulah kesempatan terakhir untuk berlatih hidup bersih, hidup jujur, dan membiasakan hidup secara berintegritas. Pada saat telah memasuki dunia kerja, dunia profesi atau karier, kesempatan latihan tadi akan mengecil, kalau tidak mau dibilang tidak ada.
Setiap mahasiswa seyogianya melihat kesempatan belajar bebas ala orang dewasa (adult education) yang diterapkan di pendidikan tinggi sebagai sarana melatih kejujuran (tidak plagiat), melatih hidup bersih (tidak mencuri data orang lain), dan mengasah nilai integritas antikorupsi dalam diri sendiri (dengan tidak memanfaatkan hubungan dengan dosen atau dengan cara-cara lain).
Hal-hal itu akan menjadi modal besar guna tidak terbawa arus dan menjadi sama dengan orang lain, terkait budaya korupsi di masyarakat.
Adrianus Meliala Guru Besar Universitas Indonesia