Jumat, 4 April 2008 | 01:29 WIB
Oleh ERIC SASONO
”Ayat-ayat Cinta” sedikit banyak memperlihatkan tanda perubahan wacana Islam di Indonesia belakangan ini. Masuknya diskusi mengenai cinta dalam Islam ke arus utama budaya populer menandai meluasnya rambahan wacana Islam.
Film ”Ayat-ayat Cinta” (AAC) karya terbaru sutradara Hanung Bramantyo bisa jadi merupakan sebuah fenomena baru dalam film Indonesia. Biasanya film bersuasana Islam tidak mengambil cinta sebagai tema utama. Tema cinta tunduk pada soal lain yang dianggap lebih substansial dalam pandangan Islam. Lihat misalnya film ”Titian Serambut Dibelah Tujuh”, ”Nada dan Dakwah”, atau ”Fatahillah”. Film-film pra-1998 ini menempatkan kisah cinta tokoh-tokohnya sebagai persoalan sampingan.
Pertemuan cinta dengan Islam memang tidak sama sekali baru mengingat film-film Rhoma Irama sudah melakukannya. Namun, harus diakui bahwa film Rhoma Irama masih lebih banyak memakan porsi petualangan dan cinta serta menempatkan wacana Islam sebagai sampiran semata.
AAC sedikit banyak punya sisi lain, yaitu sebagai tanda perubahan wacana Islam di Indonesia belakangan ini. Masuknya diskusi mengenai cinta dalam Islam ke arus utama budaya populer menandai meluasnya rambahan wacana Islam. Sebenarnya sejak awal 1990-an ketika ICMI didirikan, umat Islam sudah memasuki perdebatan wacana teknokratis dan menginisiasi pembentukan institusi ekonomi dan sosial serta tak lagi berpusat pada ideologi dan politik. Pada masa itu budaya populer Islam juga mulai masuk ke arus utama dengan salah satu contohnya rambahan kelompok nasyid ke TV swasta pertengahan dekade 1990-an serta kemunculan sinetron yang menggunakan suasana keagamaan di dalamnya yang menyusul kemudian, hingga sukses pemusik seperti Opick dan Hadad Alwi.
Kepolitikan Islam setelah 1998
Kepolitikan Islam setelah 1998 ditandai dengan berdirinya partai politik dengan asas Islam. Namun, hal itu tak berarti aspirasi politik umat Islam sepenuhnya terwakili. Yang terjadi adalah fragmentasi aspirasi politik yang berjalan seiring dengan garis partai. Bahkan, situasi ini tak lebih baik ketimbang masa Orde Lama ketika partai-partai politik berjalan menurut garis aliran. Garis-garis aliran yang dikenal dan direpresentasikan oleh partai politik, seperti yang ditelaah oleh Herbert Feith, pada kepolitikan setelah 1998 terpecah-pecah ke garis kepentingan yang lebih pragmatis dan tak bersambungan satu sama lain. Asas Islam yang dibawa oleh partai-partai itu tertinggal di atas kertas.
Di sisi lain pertumbuhan kelas menengah Islam semakin menguat. Lapisan ini tumbuh dari dua arah: pertumbuhan kelas menengah Islam lama dan dakwah Islam yang makin merambah ke bentuk-bentuk nonkonvensional. Pemanfaatan sumber daya ekonomi, saluran komunikasi mainstream, dan produk budaya populer telah membuat penetrasi ajaran Islam menjadi semakin jauh ke wilayah-wilayah baru.
Rambahan ini membuat muatan dakwah menjadi lebih cair di sana-sini. Kebutuhan untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan ”kebutuhan pasar” tak terhindarkan, paling tidak pada bentuk-bentuk kemasan. Jika pada awal pertumbuhannya nasyid Islami menolak nyaris segala bentuk alat musik, maka pada tahun 2000-an kelompok nasyid membawa alat musik dan bukan hanya tetabuhan. Ini adalah salah satu contoh bagaimana penyesuaian itu terjadi.
Dalam situasi seperti inilah film ”Ayat-ayat Cinta” menjadi sebuah karya yang memiliki nilai jual yang besar. Film ini menjadi titik temu dari berbagai gejala yang memperlihatkan fenomena mainstreaming dalam diskusi mengenai budaya populer Islam. Bentuk sinema menjadi sesuatu yang bukan kebetulan. Film ini sudah lebih dulu muncul dalam bentuk novel dan juga laris. Namun, hanya dalam bentuk filmlah diskusi wacana budaya populer Islam ini menjadi demikian luas dan masif. Kekuatan media film sebagai pembentuk mitos sebuah bangsa (Susan Hayworth, 1996) ternyata benar adanya; dan usaha mainstreaming budaya populer Islam telah memasuki sebuah fase baru dengan film ini.
Fase ini akan segera tampak dengan membanjirnya film-film bersuasana Islam ke bioskop pada tahun-tahun mendatang. Pembanjiran itu datang dari dua arah. Pertama tentu adalah para pelaku industri film yang memang kebanyakan merupakan Pak Turut. Sukses satu film secara massal seperti ini akan melahirkan deretan epigon. Kedua, terbukanya pasar penonton Islam akan merangsang para pelaku baru dalam dunia film. Mereka akan percaya bahwa ada pasar yang bernama penonton Muslim yang siap untuk diberi sajian film-film ”Islami”. Maka, bersiaplah untuk menyambut film-film dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, atau organisasi Islam lainnya.
Apa yang sedang dirayakan?
Para pekerja kreatif yang mengubah novel AAC menjadi film sebelumnya relatif tak dikenal sebagai para pekerja kreatif yang bekerja mengarusutamakan budaya populer Islam. Produser Manoj Punjabi dari MD Production dikenal memproduksi berbagai jenis sinetron, atau film macam ”Kala” dan ”Suster Ngesot” yang tak berhubungan sama sekali dengan nilai Islami.
Sutradara Hanung Bramantyo dikenal sebagai seorang sutradara sibuk yang membuat berbagai genre film seperti percintaan remaja, horor, komedi, dan menyampaikan bermacam muatan di dalamnya. Jika ada obsesi Hanung selama ini yang ia nyatakan terbuka, itu adalah obsesinya untuk menguak misteri peristiwa Gerakan 30 September 1965. Memang Hanung sempat menyatakan di blog pribadinya dan banyak wawancara bahwa pembuatan AAC adalah dakwah, jihad baginya. Namun, di sisi lain Hanung mengakui bahwa banyaknya keharusan kompromi membuat tak semuanya berjalan seperti yang ia bayangkan. Sedangkan bagi pasangan suami istri penulis skenario yang mengadaptasi novel ini, Salman Aristo (”Catatan Akhir Sekolah”, ”Jomblo”, ”Cinta Silver”) dan Ginatri S Noer (”Foto, Kotak dan Jendela”, ”Lentera Merah”) persoalannya serupa belaka.
Maka, AAC tak berhubungan secara langsung dengan usaha pengarusutamaan diskusi budaya populer Islam. Muatan dan penuturan AAC bisa jadi merupakan tanda bahwa produk yang diniatkan tidak semata-mata untuk berdakwah ini ternyata disambut pasar dengan luar biasa. Sentimen (ghirah) keislaman terbangkitkan di satu sisi dan massa yang lebih luas juga masih bisa menangkap melodrama di dalamnya. Ketika saya menonton film ini, tak kebetulan saya satu bioskop dengan serombongan ibu berkerudung yang berasal dari pengajian yang sama dan serombongan lain anak perempuan usia SMA yang menonton film itu dengan bercelana short pants. Beberapa orang dari kedua kelompok itu sama-sama keluar dengan mata sembab akibat menangis.
Maka, jika ada sesuatu yang ”dirayakan” oleh film ini, bisa jadi ia seperti membebaskan sebuah sekat yang selama ini memisahkan antara ”percintaan” dan ”Islam”. Ternyata keduanya bisa berdampingan dengan aman dengan pemecahan-pemecahan yang diusulkan oleh AAC seperti taaruf dan poligami. Sentimen keislaman muncul dalam AAC karena beririsan langsung dengan melodrama film ini. Film ini jelas sekali mengusung tema cinta, ketika kehidupan tokoh utamanya, Fahri, semata-mata berurusan dengan cinta. Beberapa peristiwa penting dalam film ini memperlihatkan hal tersebut. Kita lihat di beberapa hal berikut.
Fahri berkuliah di Universitas Al Azhar, tetapi sebagaimana film Hanung Bramantyo lainnya, ”Jomblo”, sepanjang film nyaris tak tampak kegiatan Fahri menjalankan kegiatan perkuliahan. Memang ada tokoh syaikh (guru) ditampilkan di film ini, tapi ia berperan menjadi semacam konsultan bagi persoalan percintaan Fahri yang tak henti-hentinya dikirimi surat cinta oleh para perempuan.
Kemudian dalam sebuah adegan, Fahri digambarkan membela seorang perempuan bule di kereta dari kekasaran seorang Arab Mesir, yang kemudian berlanjut ke perdebatan soal agama di kereta itu. Namun, peristiwa yang penuh kata-kata mirip khotbah itu juga merupakan sebuah pintu masuk bagi peristiwa pertemuan Fahri dengan Aisha, perempuan yang kemudian menjadi istrinya. Pertemuan ini menimbulkan simpati Aisha yang ujungnya berkembang menjadi rasa cinta.
Pertemanan Fahri dengan Maria Girgis, seorang perempuan Kristen Koptik (Kristen yang berkembang di Mesir pra-Islam), juga berurusan dengan soal cinta antara mereka. Bagai mengikuti ”When Harry Met Sally”, AAC juga tak percaya bahwa laki-laki dan perempuan bisa berteman tanpa seks (baca: cinta) di antara mereka. Ketertarikan Maria terhadap Islam tak bisa dilepaskan dari ketertarikannya terhadap Fahri. Maria tak akan pernah memilih untuk menjadi seorang Muslimah apabila ia tak diimami oleh Fahri, orang yang dicintainya.
Irisan terbesar antara melodrama dan nilai Islam justru adalah pada pilihan terhadap poligami. Cerita asli dalam novel AAC tak menggambarkan Fahri-Aisha-Maria hidup satu rumah. Dalam film ini justru bagian itulah yang terpenting untuk menguras air mata penonton (tearjerker). Apabila pernikahan antara Fahri dan Maria hanya terjadi dalam gagasan, maka penonton tak akan diberikan kesempatan untuk merasakan ”pengorbanan” yang dibuat oleh Aisha. Maka, dengan penggambaran bahwa mereka hidup bertiga, penderitaan Aisha menjadi nyata dan menarik empati penonton, atau malahan justru kemarahan penonton, tergantung dari sudut mana mereka memandang poligami dan ”pengorbanan perempuan”.
Fahri itu Si Boy baru?
”Pengorbanan” Aisha menjadi sesuatu yang sangat menarik dibandingkan dengan karakter Fahri yang sangat pasif. Kepasifan Fahri bahkan sebenarnya agak fatalistis ketika lingkungannya mendefinisikan hidup Fahri sepenuhnya. Definisi fatalistis yang ditawarkan oleh lingkungan itu adalah Fahri harus berpoligami, tak ada pilihan lain. Segala peristiwa berhubungan satu sama lain secara tertutup dan tak menyediakan ruang bagi alternatif. Maka, ketika Fahri akhirnya harus menjalani poligami, pilihan itu sudah niscaya sejak semula.
Manipulasi lingkungan ini ternyata menghasilkan sosok Fahri yang tidak ideal. Alih-alih mendefinisikan lingkungan (atau bahkan mengubahnya), Fahri menjalani kebingungan ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya. Pada titik inilah Fahri sama sekaligus berbeda dengan tokoh Si Boy, karakter arketipal remaja Indonesia sejak pertengahan dekade 1980-an sampai awal dekade 1990-an. Persamaan Fahri dan Si Boy dalam konteks penceritaan adalah hidup keduanya dikendalikan semata-mata oleh persoalan percintaan mereka. Persamaan lain adalah mereka bersekolah di luar negeri; Fahri di Mesir dan Si Boy di Amerika.
Lokasi tempat sekolah mereka ini bisa jadi mewakili perbedaan orientasi luar negeri bagi dua generasi berbeda ini. Orientasi bagi pemuda kelas menengah + tampan + pintar + Muslim yang soleh di dekade 1980-an adalah Amerika, sedangkan untuk kategori nyaris serupa (Fahri bersekolah karena beasiswa, bukan uang orangtuanya seperti Si Boy) pada paruh kedua dekade 2000-an adalah Mesir, tepatnya di sebuah universitas Islam dan belajar ilmu-ilmu keislaman. Persamaan lain antara Fahri dan Si Boy adalah mereka dicintai oleh lebih dari satu perempuan (yang cantik dan kaya).
Perbedaan antara mereka adalah keaktifan Boy yang tak ada pada Fahri. Si Boy relatif aktif dalam urusan percintaan, sedangkan Fahri sama sekali tidak aktif. Perempuan-perempuan di sekitar Fahri mengirimkan surat menyatakan cinta mereka (yang implikasi satu-satunya dari tindakan ini adalah pernikahan) dan Fahri tak pernah membalas mereka. Dalam urusan pernikahan, Aishalah yang aktif melakukan perkenalan pertama kali (taaruf) dan bahkan Aisha pula yang memaksa Fahri untuk berpoligami.
Keaktifan Fahri dalam film ini ada pada dua peristiwa, yaitu ketika ia menolong Noura dan menolong perempuan bule di kereta dari serangan seorang Arab Mesir. Kedua peristiwa ini merupakan semacam pajangan bagi karakter Fahri yang menegaskan kualitas keislamannya; yang dalam konteks dekade 1980-an (pada ”Catatan Si Boy”) mungkin bentuknya adalah memajang tasbih dan sajadah di mobil atau memaksa keluar seorang perempuan yang sudah mulai membuka kancing bajunya.
Persamaan paling penting dari kedua karakter ini adalah sikap pasif mereka terhadap persoalan sosial dan politik dalam konteks mereka. Si Boy lahir dari sandiwara radio bersambung di Radio Prambors, radio yang menjadi barometer bagi gaya hidup remaja dekade 1980-an, sedangkan Fahri lahir dari cerita bersambung di harian Republika, harian yang relatif membawa suara umat Islam. Keduanya lahir dari sebuah kultur tepian yang kemudian masuk ke arus utama wacana tentang karakter arketipal anak muda Indonesia ketika mereka bertransformasi di layar lebar.
Si Boy pada tahun 1980-an adalah representasi dari represi politik Orde Baru yang sedang giat melakukan upaya penyeragaman ideologi dan korporatisasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial kemasyarakatan. Ia juga lahir beriring dengan penjinakan kehidupan politik mahasiswa yang terwujud dalam NKK/ BKK. Maka, keterasingan Si Boy dari kehidupan politik adalah semacam sebuah katarsis bagi situasi yang tak memungkinkan ekspresi aspirasi politik yang bersifat kritis. Pengamat film dari Australia, Krisna Sen, menyatakan bahwa karakter Si Boy adalah sebuah bentuk akomodasi luar biasa dari dunia kreatif Indonesia terhadap usaha pembangunan harmoni dan domestikasi yang dilakukan oleh Orde Baru.
Fahri sebenarnya tak mengalami masalah seperti yang dihadapi oleh Si Boy. Ia lahir dalam lingkungan yang bebas dalam mengartikulasikan kepentingan politik dan ideologi. Namun, ia tetap tak terlibat dalam masalah apa pun di negerinya. Mesir merupakan sebuah sanctuary guna menghindar dari kenyataan terlalu banyaknya problem sosial politik yang harus dihadapi jika Fahri, tokoh arketipal Muslim ini, harus berada di Indonesia.
Akhirnya bisa jadi persamaan terbesar Fahri dengan Si Boy adalah kesamaan mereka dalam menghela ilusi tentang kehidupan cinta lewat tokoh serba ideal. Namun, idealisasi itu berbeda. Pada Si Boy, yang dibutuhkan adalah kesempurnaan karakter. Sedangkan pada Fahri, kesempurnaan itu dicabut dan Fahri dibuat menjadi lebih rapuh dan bimbang. Dengan kerapuhan dan kebimbangan ini, pilihan Fahri terhadap nilai Islam (baca: taaruf dan poligami) menjadi kurang ideologis dan lebih bisa diterima oleh penonton, oleh pasar yang lebih luas.
Konformitas
AAC memperlihatkan bahwa film Indonesia masih harus mengalami konformitas yang besar. Jika pada masa Orde Baru, kompromi terjadi karena kekuatan politik yang berusaha mengendalikan muatan film, maka kini kekuatan pasar demikian mendominasi. Hal ini beriringan dengan mencairnya agenda keberislaman ketika harus memasuki arus utama budaya populer. Maka, penerimaan terhadap AAC bisa sedemikian luas.
AAC merupakan sesuatu yang memang sudah waktunya, timely, sebagaimana ”Jelangkung”, ”Petualangan Sherina”, ”Ada Apa dengan Cinta?”, dan box office lainnya. Ia akan menggairahkan pasar sejenak dan menggeret gerbong produksi film-film sejenis. Momentum sudah tercipta, tetapi perfilman Indonesia masih berada di tahap yang sama. Nilai AAC sebagai politik kebudayaan bisa jadi besar, tetapi secara sinematik, ia adalah pengulangan kekalahan serupa terhadap lawan yang berbeda.
ERIC SASONO Kritikus Film