Wednesday, October 31, 2007

Pemberdayaan Perempuan (2)


Upaya Sederhana Perkuat Keterlibatan Kaum Hawa

M PUTERI ROSALINA

"Saya mau membuat Indonesia kecil di desa ini." Pernyataan tersebut bukan keluar dari seorang pemimpin negara atau tokoh masyarakat. Pernyataan tersebut keluar dari mulut seorang ibu rumah tangga dari Desa Gladag Sari, Ampel, Boyolali. Perempuan itu adalah Sri Suryatingsih. Ia bercita-cita membuat kaum di desanya menjadi perempuan yang berani, mandiri, tidak bergantung pada suami, dan mempunyai penghasilan sendiri.

Awalnya Bu Ning, panggilan akrabnya, hanya berkeinginan membuat perempuan-perempuan miskin di desanya bisa mandiri.

Perempuan lulusan diploma akuntansi ini mendorong supaya ibu-ibu yang mempunyai usaha kecil seperti berjualan bubur dan tempe dapat mengembangkan usahanya untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Caranya dengan menyelenggarakan kegiatan arisan, simpan pinjam, dan menabung.

Pertemuan rutin dilakukan setiap bulan. Sambil menggelar arisan, kadang-kadang ajang kumpul-kumpul itu juga diisi dengan penyuluhan kesehatan, keterampilan rumah tangga, dan baca tulis dari pihak luar.

Kegiatan ini sangat efektif membantu perempuan-perempuan miskin yang termarjinalkan dari sentuhan program pengembangan diri yang masih bersifat eksklusif. Hanya ibu-ibu pamong desa yang diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dalam PKK.

Hal yang sama dilakukan oleh Suminah, buruh batik dari Dusun Kebon Konang, Klaten. Hanya saja ibu rumah tangga ini lebih fokus pada perempuan buruh batik di sekitarnya.

Tujuannya sederhana, ia berharap supaya para buruh perempuan itu dapat meningkatkan usahanya dengan mendapat pinjaman uang tanpa agunan.

Kegiatan kredit mikro yang didirikan tahun 1992 dengan modal awal Rp 1 juta itu akhirnya berkembang pesat. Kini modalnya sudah mencapai ratusan juta rupiah. Para anggota yang dulunya masih berprofesi sebagai buruh kini sudah menjadi pengepul atau juragan batik. Uang simpan pinjamnya tidak lagi hanya melulu digunakan untuk membeli kain mori dan keperluan membatik lainnya, tetapi juga dipakai untuk usaha jualan ayam, tahu, tempe, kerupuk, dan rambak.

Kegiatan kedua perempuan tersebut cukup sederhana. Akan tetapi, dari kegiatan pemberdayaan perempuan tersebut jika hasilnya meluas, dilakukan oleh banyak perempuan di pelosok Tanah Air, akan memberikan dampak yang nyata pada pembangunan ekonomi.

Dampak pemberdayaan

Peran perempuan dalam pembangunan sering disepelekan, terutama di negara-negara berkembang. Posisinya dalam pembangunan selalu di bawah laki-laki. Padahal, dengan memberdayakan perempuan akan meningkatkan kemandiriannya. Kemandirian yang dimiliki oleh seorang perempuan, misalnya dalam sektor ekonomi, bisa meningkatkan pendapatan rumah tangga. Jika hal ini dilakukan oleh perempuan secara tidak langsung, hal itu akan meningkatkan pendapatan per kapita suatu daerah.

Ada satu ukuran untuk melihat kesenjangan pencapaian pembangunan antara laki-laki dan perempuan, yaitu indeks pembangunan jender (IPJ). Sedangkan indeks pemberdayaan jender (IDJ) digunakan untuk menunjukkan tingkat peran serta wanita dalam kehidupan ekonomi dan politik.

Dalam hal kedua ukuran pemberdayaan perempuan tersebut, nilai Indonesia masih tergolong rendah di antara negara-negara lain di dunia meskipun ada kecenderungan untuk meningkat dari tahun ke tahun (lihat tabel).

Seberapa besar pemberdayaan perempuan bisa berpengaruh dalam pembangunan ekonomi? Ini dapat dicari hubungan keduanya dengan analisis statistik. Berdasarkan hasil analisis statistik terhadap data tahun 2002 disimpulkan bahwa ada korelasi positif terhadap kedua hal itu. Beberapa variabel pemberdayaan perempuan, seperti jumlah penduduk perempuan, harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, kontribusi dalam pendapatan, wanita dalam parlemen, wanita dalam angkatan kerja, dan rata-rata upah di sektor nonpertanian, berpengaruh positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi

Hasil ini semakin mempertegas peran penting pemberdayaan perempuan dalam pembangunan. Semakin tinggi aspek-aspek pemberdayaan perempuan akan memberikan kontribusi yang besar dalam pembangunan, khususnya peningkatan laju pertumbuhan ekonomi.

Lalu, dari beberapa aspek pemberdayaan perempuan tersebut mana yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi?

Dari delapan variabel yang mempunyai nilai korelasi paling besar dengan laju pertumbuhan ekonomi adalah rata-rata lama sekolah. Disusul oleh variabel kontribusi dalam pendapatan, rata-rata upah di sektor nonpertanian, perempuan dalam angkatan kerja, angka melek huruf, harapan hidup, jumlah populasi, dan wanita dalam parlemen.

Hal ini menunjukkan bahwa untuk memberdayakan perempuan harus dimulai dari sektor pendidikan, dalam hal ini meningkatkan angka partisipasi sekolah dan angka melek huruf. Setelah itu, ditunjang oleh sektor ekonomi, kesehatan, dan politik.

Hasil tersebut sesuai dengan yang diuraikan Priyono (1996) dalam artikel "Pemberdayaan Wanita sebagai Mitra Pria" pada buku Pemberdayaan Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Pemberdayaan dimulai dari individu masing-masing. Pendidikan merupakan faktor kunci yang ditunjang oleh pemberdayaan psikologi, sosial budaya, ekonomi, dan politik.

Juga dengan kedua motivator perempuan tersebut. Meskipun yang dilakukan Sri Suryatingsih dan Suminah kelihatan "kecil", hal itu mempunyai dampak yang besar. Berupaya membuat kaum hawa lebih "kelihatan".

M Puteri Rosalina Litbang Kompas

Tuesday, October 30, 2007

Disetir Pemodal, Industri Penyiaran Indonesia 'Ompong'



Anwar Khumaini - detikcom
Jakarta - Industri penyiaran di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang yang bermodal besar. Tak sedikit kepentingan pribadi sang pemilik yang diselipkan dalam tayangan-tayangan yang disajikan, sehingga tayangannya pun tidak kritis lagi alias ompong. Jika ini dibiarkan, demokratisasi penyiaran akan tergerus oleh kepentingan sang juragan.

Menyikapi hal ini, Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) meminta pihak-pihak yang berwenang untuk memberi teguran kepada stasiun-stasiun TV yang melanggar UU Penyiaran. MPPI juga menyampaikan somasi secara terbuka kepada stasiun-stasiun TV tersebut.

"Somasi terbuka ini kami sampaikan sebagai peran serta kami mengawasi penyelenggaraan penyiaran di Indonesia menuju demokratisasi penyiaran yang memberikan manfaat besar bagi kemaslahatan Indonesia, tanpa monopoli informasi, monopoli kepemilikan, dan monopoli kekuasaan," ujar koordinator MPPI, Kukuh Sanyoto dalam rilis yang diterima detikcom, Selasa (30/10/2007).

Kukuh meminta, pihak-pihak yang berwenang seperti Menkominfo, DPR, KPI, KPPU, Bapepam, bahkan Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla untuk memperhatikan kondisi penyiaran di Indonesia yang sudah kronis ini.

"Dilapangan, kami mendapati dan mencatat bahwa MNC memiliki dan menguasai 3 lembaga penyiaran swasta sekaligus, yaitu RCTI, TPI Dan Global TV. Apa yang dilakukan MNC melanggar pasal 16 ayat 1 UU Penyiaran, karena MNC adalah badan hukum yang menyelenggarakan bidang usaha, bukan di bidang jasa penyiaran," kata Kukuh.

Menurut Kukuh, MNC juga melanggar Pasal 20 UU Penyiaran jo pasal 32 ayat 1 PP LPS yang menyatakan bahwa, satu badan hukum paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan jasa penyiaran televisi yang berlaku di dua provinsi yang berbeda.

"SCTV yang juga memiliki O Channel juga akan segera menguasai Indosiar. Hal ini juga harus di cegah. Sebab, tindakan ini serupa atau setidaknya mempunyai modus yang sama dengan tindakan yang dilakukan MNC," tambah Kukuh.

Kukuh juga meminta kepada pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan penelusuran terhadap kepemilikan atas Trans TV dan Trans 7, serta kepemilikan antara Lativi dan ANTV.

"Industri penyiaran bukan industri tali sepatu, frekuensi adalah public domain," tandasnya. (anw/nvt)

Butuh Pendekatan Transdisiplin Ilmu


Permasalahan Bangsa Juga Dipicu Pragmatisme


Jakarta, Kompas - Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini sangat kompleks. Dalam melihat permasalahan tersebut dan mencari solusinya dibutuhkan pendekatan transdisiplin ilmu. Untuk itu, ilmu tidak perlu terkotak-kotak dan tidak boleh berjalan dengan "kacamata kuda".

Demikian benang merah seminar nasional bertajuk "Transdisciplinarity dalam Dunia Pendidikan; Meretas Cermin Keindonesiaan melalui ’Transdisciplinarity’ Ilmu Pengetahuan" di Universitas Negeri Jakarta, Senin (29/10). Pakar pendidikan Conny R Semiawan tampil sebagai pembicara kunci dalam forum yang dihadiri sejumlah pakar kedokteran, filsafat, seni, budayawan, sosiolog, dan pakar politik.

Seperti dikemukakan Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno, ahli filsafat dari Universitas Indonesia, transdisipliner sangat dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan tentang keindonesiaan dan memecahkan masalah bangsa. Dia sendiri berpendapat, permasalahan genting yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini antara lain demokratisasi yang kacau, kemandirian yang belum terwujud, karakter bangsa, sumber daya alam yang tidak dikelola dengan bijak sehingga menimbulkan kerusakan alam, serta ketidakpedulian yang sifatnya struktural dan mendalam.

"Permasalahan-permasalahan ini bukan permasalahan satu ilmu saja," kata Toeti Heraty.

Dia mencontohkan, kemiskinan yang menjadi masalah selama ini sebetulnya sangat kompleks. Kemiskinan mendorong masyarakat irasional. Demi keberlanjutan hidup, mereka melakukan apa saja. Masyarakat miskin jadi apatis, mudah bergejolak, dan ujungnya ialah kekerasan.

Hal senada diungkapkan sosiolog Imam B Prasodjo. Menurut dia, dalam melihat permasalahan di masyarakat sekarang ini ada kecenderungan terjadi pengotak- ngotakan ilmu dan masing-masing disiplin berjalan sendiri. "Kita harus mau melongok ke luar agar tahu betapa dunia sangat luas dan beragam. Kita jarang berdialog untuk membangun manusia yang utuh," ujarnya.

Terkait dengan itu semua, Conny Semiawan mengatakan, pengembangan metode pendekatan transdisipliner ilmu pengetahuan dalam kegiatan belajar- mengajar dan pendidikan memicu terciptanya pemikiran yang kreatif dan kritis. Dengan begitu, pendekatan ini memberikan solusi terhadap permasalahan kegiatan belajar-mengajar dan sistem pendidikan Indonesia yang tidak memberikan kesempatan berkembangnya kreativitas murid.

"Pola berpikir pragmatis merupakan penyebab tidak berkembangnya pendidikan di Indonesia. Proses belajar-mengajar kita monoton hanya bersandar pada kurikulum. Pendidik tak memberikan kesempatan siswa mengembangkan pikirannya dengan kreatif," kata Conny. (A15/INE)

Saturday, October 27, 2007

Pendidikan


Kekerasan Fisik dan Reorientasi Guru

Yohanes Sanaha Purba

"…pendidikan harus menanamkan tanggung jawab, kehormatan, tetapi tanpa menjadi beo atau bebek; anak harus dipimpin supaya berdiri sendiri." ("Karya Lengkap" Driyarkara, 2006 : 422)

Seorang teman menceritakan pengalaman traumatisnya semasa kecil sampai remaja, yang menjadi bagian tak terlupakan dalam sejarah hidupnya. Dia anak seorang guru teladan yang menerapkan sistem hukuman fisik dalam mendidik anak-anaknya di rumah. Karena sebagian besar anak di keluarganya laki-laki, perilaku orangtuanya semakin terwajarkan secara jender.

Dipukuli dan dibentak adalah makanan kami sehari-hari sejak umur lima tahun, bahkan sampai remaja lima belas tahun." Begitu ceritanya. Matanya yang marah seketika berubah menjadi berair mata saat dia mencoba menceritakan satu per satu kisah hidupnya.

Sekali lagi, yang terungkap dari ceritanya ialah mengenai kekerasan terhadap anak dan remaja yang masih terekam sempurna dalam memori seseorang yang telah dewasa.

Di tengah budaya masyarakat tradisional Indonesia, hukuman fisik dianggap mujarab dalam mengarahkan tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan etika kebiasaan masyarakatnya. Dalam pengamatan penulis, sejarah pendidikan kolonial ikut pula terlibat dalam membangun pola pendidikan tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu tindakan yang menyakiti secara fisik, dengan tujuan untuk menekan perilaku negatif seorang anak. Melalui itu dipercaya bahwa perilaku positif anak saja yang akan terbentuk.

Di Indonesia bagian timur, tipologi pendidikan warisan Belanda semacam ini bahkan masih aktif digunakan secara terbuka di tengah masyarakat. Ketika masih menjadi sukarelawan pendidikan di Papua bagian timur, penulis pernah menyaksikan sebuah aksi massal guru menghukum siswanya—berjumlah lebih kurang 20—dengan kayu rotan, yang dipukulkan secara bergilir di bagian punggung siswa. Sebuah pemandangan biasa di sekolah "orang timur".

Akar kekerasan

Menurut terminologi pemahaman Jawa, ’guru’ (baca: pendidik) diartikan sebagai sosok yang wajib digugu (dipatuhi). Melalui pemahaman inilah masyarakat menempatkan para guru atau pendidik sebagai sosok yang secara transedental memiliki kewibawaan yang berbeda dengan golongan masyarakat lainnya. Mirip dengan guru, posisi orangtua atau yang dituakan, seperti golongan ningrat dan pejabat pemerintahan, juga memiliki bentuk legitimasi kekuasaan yang sama. Sebuah legitimasi untuk menerapkan penghakiman dan distribusi sanksi sepihak tanpa proses yang demokratis.

Sangat tampaklah sebuah proses pemberian hak khusus kepada segolongan masyarakat tertentu (guru, orangtua, atau yang dituakan) dalam proses pendidikan seorang anak. Driyarkara menyebutnya sebagai kecenderungan pendidikan yang stato-sentris, di mana guru dijadikan sebagai pengontrol (controleur). Apa yang dilakukan anak hanya akan menjadi benar bilamana sesuai dengan yang diharapkan orang yang lebih dewasa. Anak belum memiliki cukup hak untuk berekspresi karena ekspresi akan dimaknai sebagai sebuah penyangkalan atau pemberontakan yang sifatnya merusak kelestarian nilai-nilai adiluhung.

Berpangkal dari pemikiran Erich Fromm yang menuding "ketakutan" sebagai akar dari "kekerasan", bolehlah dikatakan bahwa akar kekerasan dalam pendidikan ialah ketakutan yang muncul dari dalam diri seorang pendidik ketika secara eksistensial berhadapan dengan anak didiknya. Ada sebuah ketakutan akan perubahan sistem nilai yang telah terlestarikan. Ada pula ketakutan akan tergoyahnya apa yang dinamakan sebagai sebuah hegemoni ’kewibawaan’ dalam golongan masyarakat tertentu (guru, orangtua, dan yang dituakan) sebagai manifestasi masyarakat ’dewasa’.

Disorientasi psikologis anak

Tipologi psikologis seseorang sangatlah dipengaruhi oleh pembentukan diri orang tersebut di masa lalunya. Pengalaman masa lalu akan terus bertransformasi dengan pengalaman baru, dan secara imparsial akan membangun sifat-sifat khusus manusia.

Dalam bukunya A Child Called It, Dave Pelzer mengungkapkan tentang bagaimana kondisi psikologis dirinya merupakan bentukan berdasarkan pengalaman pahit psikologisnya di masa kanak-kanak. Dave menceritakan bagaimana kisah-kisah kekerasan yang dialaminya semasa kecil telah membentuknya sebagai pribadi yang "pincang".

Kekerasan selalu "melahirkan kekerasan". Disadari atau tidak, apa yang telah dilakukan oleh sistem pendidikan tradisional telah membentuk psikologi sosial masyarakat Indonesia yang saat ini sarat dengan kekerasan. Masyarakat Indonesia saat ini tentu sangat terbiasa dengan pola kekerasan bersampul pendidikan yang terimplementasikan melalui hukuman atau sanksi fisik: baik dalam komunitas sekolah, keluarga, maupun masyarakat tertentu.

Selain itu, kekerasan dan dominasi akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Tindakan dan inisiatif yang tidak sesuai paradigma lama akan dituding sebagai faktor perusak harmonisme masyarakat; yang merusak akan dihukum. Selanjutnya, terjadilah sebuah proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara di muka kelas.

Reposisi orangtua dan guru

Kurikulum apa pun yang mencoba membangun generasi yang proaktif dan optimis tidak akan pernah efektif mencapai tujuannya apabila sistem hukuman fisik masih juga diimplementasikan dalam dunia pendidikan sekolah. Dalam wacana ini, penulis menawarkan solusi berupa reposisi orangtua dan guru dalam dunia pendidikan anak. Reposisi ini berupa perubahan signifikan pada paradigma masyarakat untuk mulai menempatkan guru ataupun orangtua dalam posisi yang setara dengan pribadi seorang anak.

Guru dan orangtua hendaknya menempatkan anak sebagai manusia yang memiliki keunikan-keunikan khusus. Keunikan anak tidak seharusnya dipahami sebagai sebuah kesalahan, melainkan aset bagi perkembangan anak itu sendiri. Kesadaran anak dibangun melalui komunikasi dialogis yang hangat, bukan melalui perintah-perintah dan larangan.

Bukan sikap dan perilaku anak yang harus diubah, tetapi bagaimana sikap dan perilaku tersebut akan lahir berdasarkan kesadaran anak itu sendiri. Dalam hal ini, anak diberi kesempatan untuk terus bertanya dan mengevaluasi secara kritis segala macam kebenaran etika atau keyakinan masa kini. Hanya melalui generasi yang kritislah etika-etika kontekstual dan yang peka pada zamannya yang akan lahir.

Sadarilah bahwa masa depan negeri ini ada di tangan anak- anak kita. Bagaimanakah bentuk masa depan nantinya akan sangat bergantung pada bagaimana kita memperlakukan anak- anak kita saat ini. Sudah saatnya kekerasan harus dinihilkan dalam dunia anak-anak kita bilamana kita mengharapkan sebuah imagined society seperti yang pernah dikatakan Benedict G Anderson.

Yohanes Sanaha Purba Peneliti Pendidikan Multikultural Komunitas English Clinic, Yogya

Pemberantasan Buta Aksara


Mengenyam Pendidikan merupakan Hak Asasi

Jakarta, kompas - Membiarkan orang yang buta aksara termasuk pelanggaran hak asasi manusia. Sebab, setiap orang di dunia harus memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan seperti yang tertuang dalam salah satu deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Hal itu dikatakan Ace Suryadi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional, saat pencanangan Program Penuntasan Buta Aksara dengan Pola 32 Hari di Karawang, Jawa Barat, Kamis (25/10).

Ace mengatakan, buta aksara merupakan salah satu masalah sosial yang membebani negara dan masyarakat. Buta aksara dapat menurunkan produktivitas masyarakat itu sendiri.

Pemerintah menargetkan pada akhir tahun 2009 setidaknya 50 persen dari 12,8 juta warga buta aksara sudah melek aksara. Berbagai terobosan dilakukan, di antaranya dengan menggandeng perguruan tinggi untuk melakukan kuliah kerja nyata dengan tujuan khusus mengurangi jumlah penyandang buta aksara.

Dadang S Muchtar, Bupati Karawang, mengatakan, model penuntasan buta aksara dengan pola 32 hari merupakan program pertama yang diterapkan di Indonesia untuk memberantas buta aksara.

"Program ini bisa dilakukan karena sebagian besar warga belajarnya adalah orang dewasa yang sudah tahu benda, tetapi tidak kenal huruf," ujar Dadang.

Dalam waktu paling cepat dua minggu, warga belajar sudah dapat membaca dan menulis. Program ini lebih cepat daripada program Depdiknas yang menargetkan memelekaksarakan orang butuh waktu 114 jam dalam 42 hari.

Uji coba pemberantasan buta aksara di Karawang dilakukan dalam waktu 114 jam dalam 32 hari. Uji coba itu dinilai berhasil karena warga bebas buta aksara sudah bisa membaca empat suku kata.

Penduduk buta aksara di Kabupaten Karawang berjumlah 117.000 orang. Dengan model ini diharapkan ada 60.062 orang yang dibebaskan dari buta aksara tahun 2007. (ELN)

Friday, October 26, 2007

Masyarakat Dambakan Pendidikan Holistik



Jakarta, Kompas - Pendidikan holistik yang memberikan keseimbangan pada pengembangan intelektual, fisik, mental, dan spiritual setiap individu dinilai belum jadi semangat pengembangan pendidikan nasional. Padahal, pendidikan diharapkan tak sekadar mencetak anak- anak pintar, tetapi juga terciptanya anak-anak yang berkarakter kuat yang tidak lepas dari sejarah dan kebudayaan Indonesia.

Persoalan ini mengemuka dalam simposium pendidikan yang dilaksanakan Forum Pengajar, Dokter, dan Psikolog bagi Ibu Pertiwi di Jakarta, Kamis (25/10). Tampil sebagai pembicara antara lain Ki Tyasno Sudarto selaku Ketua Majelis Luhur Taman Siswa, Dik Doank yang merupakan presenter sekaligus pelaku pendidikan alternatif, dan psikolog Sartono Mukadis.

Ki Tyasno Sudarto menilai dunia pendidikan Indonesia saat ini lebih menekankan dan menghargai materi serta kepintaran semata. Kondisi ini sangat memprihatinkan masa depan bangsa, yang saat ini masih dilanda krisis multidimensi.

"Perkembangan arah bangsa ini, termasuk juga yang diajarkan dalam pendidikan, sedang menuju tercerabutnya generasi kita dari sejarah dan kebudayaan bangsa. Politik pendidikan nasional harusnya diarahkan untuk kembali menekankan pembangunan karakter yang berakar pada keadaban bangsa," kata Ki Tyasno.

Sartono Mukadis mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar pengajaran. Khususnya di pendidikan dasar, pendidikan harus mampu mendorong rasa ingin tahu, berpikir eksploratif, berpikir kreatif alternatif, dan bukan sekadar menyangkut memori benar atau salah.

"Kelalaian di pendidikan dasar berpengaruh di pendidikan tinggi dan dunia kerja. Penanaman nilai-nilai yang harus diajarkan mulai pendidikan dasar bukanlah materi pengajaran yang kaku, tetapi sebagai falsafah pendidikan nasional itu sendiri," katanya.

Sementara bagi Dik Doank, pendidikan harus mampu mengajak para siswa menerima perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehidupan ini. (ELN)

Masyarakat Dambakan Pendidikan Holistik



Jakarta, Kompas - Pendidikan holistik yang memberikan keseimbangan pada pengembangan intelektual, fisik, mental, dan spiritual setiap individu dinilai belum jadi semangat pengembangan pendidikan nasional. Padahal, pendidikan diharapkan tak sekadar mencetak anak- anak pintar, tetapi juga terciptanya anak-anak yang berkarakter kuat yang tidak lepas dari sejarah dan kebudayaan Indonesia.

Persoalan ini mengemuka dalam simposium pendidikan yang dilaksanakan Forum Pengajar, Dokter, dan Psikolog bagi Ibu Pertiwi di Jakarta, Kamis (25/10). Tampil sebagai pembicara antara lain Ki Tyasno Sudarto selaku Ketua Majelis Luhur Taman Siswa, Dik Doank yang merupakan presenter sekaligus pelaku pendidikan alternatif, dan psikolog Sartono Mukadis.

Ki Tyasno Sudarto menilai dunia pendidikan Indonesia saat ini lebih menekankan dan menghargai materi serta kepintaran semata. Kondisi ini sangat memprihatinkan masa depan bangsa, yang saat ini masih dilanda krisis multidimensi.

"Perkembangan arah bangsa ini, termasuk juga yang diajarkan dalam pendidikan, sedang menuju tercerabutnya generasi kita dari sejarah dan kebudayaan bangsa. Politik pendidikan nasional harusnya diarahkan untuk kembali menekankan pembangunan karakter yang berakar pada keadaban bangsa," kata Ki Tyasno.

Sartono Mukadis mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar pengajaran. Khususnya di pendidikan dasar, pendidikan harus mampu mendorong rasa ingin tahu, berpikir eksploratif, berpikir kreatif alternatif, dan bukan sekadar menyangkut memori benar atau salah.

"Kelalaian di pendidikan dasar berpengaruh di pendidikan tinggi dan dunia kerja. Penanaman nilai-nilai yang harus diajarkan mulai pendidikan dasar bukanlah materi pengajaran yang kaku, tetapi sebagai falsafah pendidikan nasional itu sendiri," katanya.

Sementara bagi Dik Doank, pendidikan harus mampu mengajak para siswa menerima perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehidupan ini. (ELN)

Wednesday, October 24, 2007

Internet Merambah Antariksa


NINOK LEKSONO


"Pada saatnya nanti seluruh dunia akan memiliki akses ke layanan yang ada di internet." (Vint Cerf, salah satu pencipta internet, Seoul, 2007)

Dalam edisi 2.12 Desember 1994, jurnal Wired menurunkan laporan tentang para pendiri internet. Laporan itu diturunkan untuk mengenang 25 tahun kehadiran internet. Sebenarnya yang diperingati pada waktu itu ialah instalasi simpul pertama arpanet, pendahulu internet (Katie Hafner, Wired, "The Creators").

Di antara nama besar para pendiri ada Bob Taylor, ahli psikoakustik yang menjadi Direktur Program Riset Komputer di Departemen DARPA (Defense’s Advanced Research Project Agency) tahun 1966. Saat itulah ia mendapat ide untuk menghubungkan komputer-komputer dalam jaringan.

Awalnya, dengan mendapatkan berbagai situs riset untuk berbagi sumber daya komputasi, Taylor berharap bisa menghemat sejumlah uang. Padahal, sebenarnya dengan itu Taylor akan meletupkan satu revolusi. Beruntunglah ada Charlie Herzfeld, atasan Taylor saat itu, yang menjabat sebagai Kepala ARPA dan mengendalikan dana. Ia menyukai ide Taylor dan memberinya 1 juta dollar AS untuk membangun jaringan eksperimental.

Sesudahnya ada Larry Robert, pionir dalam jaringan komputer di Laboratorium Lincoln MIT, yang dianggap sebagai satu-satunya ilmuwan di AS yang bisa mewujudkan jaringan dimaksud. Lalu ada Wes Clark, ilmuwan komputer berbakat, yang mengusulkan interface message processor (IMP).

Di antara nama lain terdapat sekelompok mahasiswa UCLA, yakni Vint Cerf, Jon Postel, Steve Crocker, dan Bill Naylor yang bekerja untuk menghubungkan IMP pertama dengan komputer pusat universitas. Crocker mengepalai Network Working Group, upaya terorganisasi pertama untuk mengembangkan standar dan protokol bagi arpanet dan—kemudian—internet. Cerf dan Kahn melanjutkan pengembangan apa yang kini menjadi ciri khas internet, yakni transmission control protocol/internet protocol (TCP/IP). Mereka bekerja untuk menjadikan TCP/IP sebagai standar satu-satunya di antara bahasa komunikasi pada pertengahan 1980-an.

Dalam riwayat pendek itu, Cerf dipandang sebagai Si Tua, karakter utama yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai bapak sejati internet. Sejak 1991 ia menjadi Presiden Internet Society, organisasi internasional yang mencurahkan diri bagi evolusi dan penyebaran berkelanjutan internet.

Kini internet dipandang sebagai satu kisah sukses pascamodern, yang jadi tumpuan jutaan orang di dunia untuk mengerjakan berbagai urusan pribadi, bisnis, dan pekerjaan lainnya.

Meluas ke antariksa

Setelah kini merambah ke berbagai penjuru dunia, internet diproyeksikan akan meluas ke angkasa luar, wilayah yang sebelumnya tidak terdapat jaringan. Inilah yang diprediksikan Vint Cerf.

Seperti dilaporkan Jun Kwanwoo (AFP/Jakarta Post, 18/10), Cerf mengatakan, internet "antarplanet" ini akan mengakses informasi dan mengontrol eksperimen yang berlangsung di tempat jauh dari Bumi.

Kalau sampai internet meluas ke tata surya, akan diperlukan aturan dan regulasi baru. Saat berbicara di Seoul pekan lalu, Cerf menambahkan bahwa dirinya dan sejumlah pakar lain kini sedang mengerjakan sejumlah standar yang dirancang untuk memandu komunikasi internet era angkasa luar.

"Akhirnya internet bisa membawa kita ke wilayah yang sebelumnya tidak ada jaringan," ujar Cerf, yang kini menjadi Wakil Presiden Google.

Untuk mewujudkan proyek baru ini, Cerf bekerja dengan kelompok insinyur di Jet Propulsion Laboratory di California dan bertekad merampungkan bagian kunci komunikasi antariksa seperti yang ia lakukan untuk internet dulu dalam tempo tiga tahun.

Seperti dituturkan Cerf, standar baru dibutuhkan karena jarak yang harus ditempuh amat besar, yang dalam proses komunikasi melintasi antariksa ini juga ada kelambatan (delay) waktu. Kalau perkiraan Cerf benar, pada tahun 2010 akan ada satu pilar (backbone) antarplanet guna membantu misi robotik atau berawak dengan komunikasi yang kokoh.

Perkembangan pesat

Cerf amat takjub dengan perkembangan eksplosif temuannya itu dalam satu dekade terakhir, dan ia menduga hal itu akan terus berlanjut. Dilaporkan bahwa pertumbuhan pengguna internet dalam dekade terakhir mencapai 20 kali sehingga kini ada sekitar 1,2 miliar pengguna pada tahun 2007.

Sementara itu, jumlah server meningkat dari 22,5 juta menjadi 489 juta. Atas dasar itu, kata Cerf, pada satu saat nanti seluruh dunia akan memiliki akses terhadap layanan yang ada di internet.

Menyangkut pertumbuhan internet, salah satu yang mencengangkan adalah angka di Asia, yang kini mencapai 436 juta pengguna. Ini mengalahkan Eropa yang baru mencapai 321 juta, dan Amerika Utara dengan 233 juta, padahal wilayah terakhir ini merupakan tempat kelahiran internet.

Dengan begitu banyaknya pengguna internet di Asia, pada saatnya nanti content internet akan lebih banyak berisi informasi menggunakan bahasa selain Inggris.

Dengan perkembangan yang ada, satu tantangan yang kini dihadapi internet adalah kelangkaan alamat. Dewasa ini internet hanya bisa menyediakan 4,3 miliar alamat. Jumlah tersebut kelewat banyak untuk dekade 1970-an, tetapi kini tidak mencukupi. Cerf yang juga mengepalai ICANN (Internet Corporation for Assigned Names and Numbers), badan pengelola nama dan alamat domain internet, kini sedang mempersiapkan sebuah format baru yang bisa mengakomodasi 340 triliun-triliun-triliun alamat.

Akhir Oktober ini pimpinan ICANN akan bertemu membahas perluasan jumlah karakter yang digunakan pada nama domain internasional (IDN) seperti .com dan .net yang sekarang ini hanya bisa menampung karakter Latin dan Romawi. Cerf berharap kira-kira pada pertengahan pertama 2008 orang bisa mendaftar IDN dengan bahasa lain selain Latin.

Sebagai penganjur internet, Cerf juga memvisikan bahwa ke depan akan muncul miliaran alat yang mampu berinternet (internet-enabled), termasuk alat rumah tangga seperti pesawat televisi, radio, peralatan dapur, mesin faksimile, printer, kulkas, dan juga timbangan kamar mandi.

Melihat arah tersebut, sungguh luas perkembangan internet di masa depan. Karena itu pula, peluang pemanfaatannya pun akan lebih luas lagi. Dewasa ini internet dilihat sebagai infrastruktur—bisa diperbandingkan sebagai jaringan telepon di masa lalu—yang di atasnya bisa ditumpangi berbagai ragam layanan nilai tambah yang meningkatkan kemanfaatan dan peluang bisnisnya.

Monday, October 22, 2007

Pendidikan Penting untuk Melahirkan Pemimpin


Singapura, Kompas - Mantan Perdana Menteri Singapura, yang kini menjadi Penasihat Perdana Menteri Lee Kuan Yew, menggarisbawahi pentingnya pendidikan untuk melahirkan pemimpin yang cerdas. Tanpa pemimpin yang cerdas, suatu bangsa tidak akan berhasil dan maju perekonomiannya.

Hal itu diungkapkan Lee dalam dialog interaktif sebagai penutup acara Leadership Summit in Asia, Asia 2020: The Limits of Growth, yang diadakan sekolah bisnis internasional INSEAD pada Jumat (19/10) di Singapura.

Lee mengungkapkan, saat memulai karier politik di usia 35 tahun, Singapura terlilit berbagai persoalan dan yang utama adalah perumahan dan pendidikan. "Saya hanya fokus dalam dua persoalan itu. Saya ingin membuat sesuatu agar kualitas sumber daya manusia meningkat," katanya.

Saat itu Singapura bersaing dengan negara tetangga, misalnya Malaysia dan Indonesia. Dengan membangun dunia pendidikan, PM Singapura pertama yang terpilih secara resmi itu berhasil membawa universitas-universitas di Singapura menjadi salah satu yang terbaik di dunia.

"Tanpa adanya orang pandai yang dihasilkan lembaga pendidikan, tidak mungkin ada negara yang maju seperti Singapura," kata Lee. Dia memerintah pada 1959-1990 dan berhasil membawa Singapura sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan. Dia berhasil menempatkan Singapura sebagai salah satu pusat perdagangan dunia, juga dalam hal industri keuangan.

Ia menambahkan, dibutuhkan juga pemimpin yang bisa membawa pada perubahan dan inovasi, mampu menangani krisis, yang berarti bisa melakukan hal berbeda untuk kultur berbeda. (tav)

Hari Guru Sedunia


Kita Masih Harus Bermimpi

Suparman

Tidak banyak orang tahu, bahkan untuk kebanyakan guru di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 2,7 juta orang, bahwa setiap tanggal 5 Oktober di seluruh dunia diperingati sebagai Hari Guru Sedunia (World Teachers’ Day). Mengapa tanggal 5 Oktober?

Tanggal 5 Oktober adalah tanggal dikeluarkannya Recommendation concerning the Status of Teachers oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (Unesco), dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam sebuah konferensi khusus antarpemerintah, tepatnya pada tahun 1966.

Rekomendasi itu berisi 13 bab dan 146 pasal. Inilah ketentuan pertama kali di dunia yang mengatur soal guru. Menarik, karena ternyata sudah sejak lama, yaitu 41 tahun yang lalu, UNESCO dan ILO sebagai dua badan internasional yang menangani guru dari sisi kependidikan dan ketenagakerjaan telah menempatkan guru dalam posisi yang strategis dan bermartabat. Posisi strategis tersebut tertuang di dalam beberapa pasal penting.

Bebas dari diskriminasi

Pasal 7, misalnya, merekomendasikan bahwa semua aspek persiapan dan pekerjaan guru semestinya bebas dari setiap bentuk diskriminasi, yaitu ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pendapat politik, asal nasional/sosial, atau diskriminasi kondisi ekonomi.

Untuk mempersiapkan calon-calon guru yang andal dan berkonsentrasi penuh pada pengajaran, Pasal 16 merekomendasikan agar setiap pemerintahan berusaha untuk mendirikan suatu sistem lembaga- lembaga persiapan guru secara gratis, bahkan disarankan agar siswa calon guru memperoleh bantuan keuangan secukupnya ketika masih mengikuti pendidikan guru.

Rekomendasi dari Pasal 45 dan 46 juga menjelaskan perlunya jaminan stabilitas pekerjaan dan masa jabatan bagi guru dalam menjalankan tugasnya serta pemberian perlindungan yang memadai kepada guru dari tindakan sewenang-wenang yang memengaruhi kedudukan profesi dan karier guru.

Sedangkan pada Pasal 50 rekomendasinya menghendaki pula diberikannya hak kepada guru untuk memperoleh informasi yang lengkap tentang tuduhan- tuduhan yang menyebabkan ia diberi sanksi, bahkan berhak untuk membela diri dan dibela oleh wakil yang ditunjuknya serta disediakan waktu yang cukup untuk melakukan pembelaannya. Sebelum menjatuhkan sanksi disiplin kepada guru, pihak yang berwenang harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan organisasi-organisasi guru yang menaungi mereka sebagai anggota.

Guru tetap/penuh waktu dengan guru tidak tetap/paruh waktu/honorer mempunyai hak memperoleh pengupahan yang sama secara proporsional, hak yang sama untuk menikmati kondisi-kondisi dasar kerja, hak liburan, libur sakit, libur melahirkan, termasuk jaminan sosial dan pensiun (Pasal 60).

Kebebasan akademik

Juga terdapat rekomendasi yang menyebutkan bahwa guru hendaknya menikmati kebebasan akademik dalam melaksanakan tugasnya. Bahkan, supervisi yang dilakukan terhadap guru tidak boleh mengurangi kebebasan akademik, prakarsa, dan tanggung jawab guru tersebut. Penilaian supervisi yang dirasakan tidak adil dapat ditolak oleh guru dengan cara naik banding (Pasal 61,63, dan 64).

Organisasi-organisasi guru pun direkomendasikan sebagai suatu kekuatan yang dapat memberikan sumbangan besar pada kemajuan pendidikan, karena itu harus diikutsertakan dalam penentuan kebijakan pendidikan (Pasal 9).

Organisasi tersebut direkomendasikan untuk berperan dalam perundingan dalam hal penetapan upah dan kondisi kerja guru. Pasal 82 menyebutkan, baik upah maupun kondisi kerja guru-guru hendaklah ditetapkan melalui proses perundingan antara organisasi-organisasi guru dan para pemegang otoritas sekolah. Hal itu termasuk penetapan jumlah jam wajib kerja bagi guru yang boleh dilakukan berkonsultasi dengan organisasi-organisasi guru (Pasal 89).

Guru-guru juga memiliki hak untuk menjadi anggota pengurus organisasinya dan diberi izin untuk absen sewaktu-waktu dengan bayaran penuh yang membuatnya mampu berperan serta dalam kegiatan-kegiatan organisasinya (Pasal 99).

Kesehatan guru juga mendapat perhatian. Pasal 53 rekomendasinya menyebutkan, guru-guru hendaklah disyaratkan untuk menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala yang harus disediakan secara cuma- cuma. Bahkan, ketika sakit guru berhak mendapatkan izin dengan tetap memperoleh bayaran penuh (Pasal 101 ayat 1). Tidak hanya izin sakit, guru pun berhak izin untuk alasan-alasan pribadi yang memadai dengan tetap memperoleh bayaran penuh (Pasal 100).

Hal penggajian

Pasal 115 memberikan panduan kepada setiap pemerintahan bahwa untuk penetapan gaji guru hendaklah gaji tersebut mengungkapkan pentingnya fungsi pengajaran, membandingkan dengan gaji yang dibayarkan kepada pekerjaan lain yang menuntut kualifikasi yang sama, menyediakan alat bagi guru untuk menjamin suatu standar kehidupan yang layak bagi guru dan keluarganya.

Terkait dengan hal tersebut juga termasuk kepentingan menabung bagi guru untuk kepentingan kelanjutan pendidikan, kegiatan budaya, dan kepentingan untuk meningkatkan profesionalismenya, serta melihat kedudukan guru yang tinggi dan besarnya tanggung jawab.

Kenaikan gaji juga harus diperhitungkan setiap tahun (Pasal 121). Satu hal yang tidak diperkenankan dalam penentuan gaji guru adalah mengaitkannya dengan penilaian akan mutu guru sebab hal itu sangat bertentangan dengan sifat dasar penggajian yang pada dasarnya merupakan hak yang harus diterima guru sebagai pekerja (Pasal 124).

Semua guru, termasuk guru yang masih dalam percobaan dan pelatihan, tanpa memerhatikan jenis sekolah yang dilayani berhak atas jaminan sosial untuk diri dan keluarganya.

Pasal 126 Ayat 1 menyebutkan, Para guru hendaklah dilindungi oleh aturan-aturan jaminan sosial mengenai semua kemungkinan yang termasuk di dalam Konvensi Jaminan Sosial (standar-standar minimum) ILO tahun 1952, yaitu perawatan medis, tunjangan kesehatan, tunjangan manula (manusia usia lanjut), jaminan kecelakaan pekerjaan, tunjangan keluarga, tunjangan kehamilan, tunjangan kecelakaan, tunjangan kecacatan, dan tunjangan bagi mereka yang tidak terkena bencana.

Rekomendasi UNESCO dan ILO tentang Status Guru telah menempatkan guru pada posisi yang begitu penting. Wajarlah jika momen tersebut ditetapkan oleh UNESCO sebagai Hari Guru Sedunia.

Tampaknya kita masih harus bermimpi mengharapkan pemerintah melahirkan kebijakan seperti yang diidealkan dalam rekomendasi tersebut untuk para guru di seluruh Indonesia, di sekolah negeri maupun swasta.

Meski demikian, bermimpi tidak berarti mengurangi kerja para guru. Selamat Hari Guru Sedunia.

Suparman, Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia/FGII

Saturday, October 20, 2007

Sekolah Hidup Susah


Handrawan Nadesul

Untuk menjadi kaya, semua orang bisa instan melakoni. Namun, tidak siapa saja siap menjadi orang susah.

Orang miskin baru kian banyak. Penganggur baru menambah bengkak angka kemiskinan. Bisa jadi, itu sebabnya, selain angka bunuh diri tinggi, tiga dari sepuluh orang Indonesia tercatat terganggu jiwanya.

Tidak siap hidup susah berisiko sakit jiwa. Ada cara sederhana menekan risiko sakit jiwa. Sejak kecil anak dibuat tahan banting. Ketahanan jiwa anak harus dibangun. Untuk itu, jiwa butuh "imunisasi".

Menerima kenyataan

Sejak kecil anak diajar lebih membumi. Yang gagal kaya rela menerima kenyataan. Yang belum pernah hidup susah diajar prihatin sedari kecil. Kendati kecukupan, tidak semua yang anak minta perlu diberi. Anak dilatih merasakan kegagalan.

Tugas orangtua dan guru mengajak anak berempati pada kesusahan orang lain. Hidup tak luput dari berbagai stresor. Tak semua stresor jelek. Supaya jiwa tahan banting, stresor dibutuhkan. Anak perlu mengalami seperti apa tekanan hidup, konflik, kegagalan, rasa kecewa, dan krisis dalam hidup. Seperti vaksin, biasakan anak memikul aneka stresor yang bikin jiwanya kebal seandainya kelak hidupnya susah.

Tanpa dilatih hidup susah, anak yang terbiasa hidup berkecukupan tak tahan banting. Lebih banyak orang sukses lahir bukan dari keluarga kecukupan. Hidup prihatin membuat jiwa tegar bertahan melawan kesusahan. Hidup susah membangun mimpi ingin lepas dari rasa kapok menjadi orang susah. Demi mengubah mimpi jadi kenyataan, spirit kerja keras pun dipecut.

Einstein percaya, untuk sukses diperlukan lima persen otak, selebihnya keringat (perspirasi). Spirit kerja keras menjadi milik orang yang tak pernah puas pada prestasi yang diraih. Seperti bangsa Troya dulu, pembangunan Jepang dan Korea lebih pesat ketimbang bangsa sepantar karena memiliki "virus" n-Ach (need-for-Achievement) yang tinggi.

"Virus" n-Ach bisa ditularkan kepada anak lewat asuhan dan pendidikan. Bacaan memuat nilai kehidupan, termasuk mendongeng, pendidikan berdisiplin, dan keteladanan orang lebih tua. Itu modul-modul kehidupan agar anak tahu juga hidup susah.

Jiwa getas

Kebiasaan meloloh anak dengan kelimpahruahan tidak melatih anak merasakan gagal, kecewa, rasa ditekan, rasa konflik, atau rasa krisis. Tanpa tempaan stresor, jiwa getas. Jika jiwa getas, orang rentan stres. Bila tak terlatih hidup berdamai dengan stres, hidup berisiko gagal andai harus jatuh miskin.

Tak ada sekolah yang mengajarkan menjadi orang miskin. Tak pula ada kursus memampukan anak terbiasa hidup berdamai dengan stres. Yang bisa kita lakukan adalah mengasuh dan mendidik anak tahan banting. Mandat itu harus ada di pundak setiap orangtua.

Tidak semua anak kecukupan pernah mengalami stresor. Dalam pendidikan modern, anak sengaja dihadapkan pada stresor buatan. Ada pelatihan diam-diam, dalam suasana berkemah atau outbound diciptakan situasi krisis. Mobil sengaja dibuat mogok di tengah hutan pada malam hari, atau kehabisan makanan selagi camping.

Dihadang stresor buatan, anak dilatih bagaimana bereaksi, beradaptasi, agar mampu lolos dari rasa panik, rasa takut, rasa tidak enak berada dalam situasi darurat. Ini bagian dari upaya membuat kebal jiwa anak. Bila jiwa tak tahan banting, sontekan stres kecil mungkin diatasi dengan bunuh diri. Kini semakin banyak kasus bunuh diri hanya karena alasan enteng. Gara-gara ditinggal pacar, tidak naik kelas, sebab jiwa tak terlatih memikulnya. Maka jiwa perlu digembleng.

Kerja keras

Menggembleng berarti menunjukkan rasa arah hidup prihatin, selain berdisiplin. Hidup berdisiplin berarti menjunjung tinggi kebenaran, memikul tanggung jawab, kerja keras, serta mampu menunda kepuasan.

Menunda kepuasan bentuk keunggulan sebuah bangsa. Bangsa unggul memiliki "virus" n-Ach tinggi. Anak yang diasuh dan dididik dengan nilai-nilai "virus" n-Ach, menyimpan bekal sukses. Itu kelihatan, misalnya, dari cara makan. Anak dengan n-Ach tinggi menyisihkan yang enak dimakan belakangan, yang tidak enak dimakan dulu. Tugas berat dikerjakan dulu, yang enteng belakangan. Bersakit-sakit dulu bersenang-senang kemudian menjadi kredo bangsa yang sukses.

Agar tahu hidup susah, anak diajak memahami bahasa hidup bukan uang semata. Tak semua semerbak kehidupan bisa dipetik dengan uang. Kebahagiaan tertinggi hanya terpetik setelah orang mampu merasa bersyukur meski cuma menjadi orang biasa (mengutip Gede Prama).

Sukses hidup sejati tak mungkin terpetik instan. Jiwa potong kompas, ingin lekas kaya, tumbuh dari budaya instan. Bukan rasa arah yang benar saja yang perlu ditanamkan saat membesarkan anak, tetapi harus benar pula menempuhnya di mata Tuhan.

Anak disiapkan menjadi insan linuwih (terinternalisasi penuh superegonya) dengan cara mengempiskan egonya sekecil mungkin. Rekayasa sosial (social engineering) diperlukan dengan menyuntikkan "vaksin" hidup prihatin. Perlu pula penyubur superego agar kendati hidup susah masih merasa bahagia.

Hanya bila bibit linuwih dipupuk sejak kecil, sekiranya hidup susah tak tergoda memilih serong. Kendati tak banyak harta, uang, atau kuasa, ke arah mana pun hidup memandang, merasa tetap "kaya". Mampu legawa, bersyukur, dan merasa berbahagia sudah pula meraih Oscar kehidupan, kendati mungkin hanya menjadi orang biasa.

HANDRAWAN NADESUL Dokter, Penulis Buku, Pengasuh Rubrik Kesehatan

Multikulturalisme


Basquiat yang Mendobrak Warhol

Faisal Kamandobat

Kita buka perbincangan multikulturalisme dengan menyebut nama yang tak asing lagi: Jean Michel Basquiat. Mungkin tak ada yang menyangka dia akan menjadi legenda seni rupa. Basquiat lahir dari keluarga negro-Amerika yang berantakan dan tumbuh di lingkungan yang sama. Kasarnya, ia tak memenuhi syarat sukses menurut ukuran borjuis kulit putih: lahir dari keturunan baik-baik, menempuh pendidikan dengan nilai bagus, dan lulus dari universitas yang diperhitungkan.

Akan tetapi, Basquiat lahir ketika perbudakan dan rasisme diolok-olok, nilai konservatif kelas menengah mulai ditinggal perubahan sosial yang gegap, dan sikap akademisme kaku jadi bulan-bulanan kompleksitas sosial.

Di tengah semua itu, seorang perupa genius yang negro ini ternyata tak mungkin dikeluarkan dari sejarah—alih-alih sebagai representasi antiperbudakan dan manifestasi zaman yang semakin terbuka.

Kemunculan Basquiat dibentuk konteks itu, dengan lukisan- lukisan khas ekspresi kaum negro: coretan grafiti, ikon-ikon acak serupa ragam hias primitif, figur-figur anatomi mahapincang, dan warna yang bikin pusing pelukis realis jempolan. Tema-temanya pun tepat dengan bentuk visualnya: candu, blues, jazz, puisi-puisi liar dengan huruf sama liarnya, serta berbagai ikon tradisi kulit hitam.

Ukuran estetika seni rupa modern khas Eropa yang menempatkan individu genius penemu konsep universal lewat permainan garis, bidang dan warna, tentu risi dengan ekspresi seniman seperti Basquiat yang tak mengikuti tahap pembelajaran seni modern. Siapa dan di mana pun—tanpa melewati tahap-tahap itu—jangan harap masuk sejarah seni modern.

Namun, setiap kultur punya tradisi pengetahuan dan seninya sendiri (Negro, Hispanik, Kreol, Anglo-Saxon, dan seterusnya).

Memaksakan klaim universal seni modern tak ubahnya mereduksi bentuk topeng Afrika berdasarkan prinsip geometri Euclid. Dan lukisan-lukisan Basquiat adalah "bentuk lain" di tengah universalitas modernisme yang tunggal itu, beriringan dengan gerakan antirasisme, feminisme, dan seterusnya.

Ekonomi nilai

Membaca Basquiat dari rasisme, meski tak terhindarkan, terasa sentimentil dan kuno (meski rasisme terang-terangan masih jadi bagian sah ketaksadaran kolektif zaman sekarang.) Lebih luas dan aktual membawa Basquiat ke ruang urban, di mana estetika seni modern khas Eropa dengan gaya scientific-nya mulai digeser estetika representasi yang muncul di ruang publik kapitalisme pasar. Pada babak ini, aktor utamanya bukan Basquiat, melainkan si feminin Andy Warhol.

Menghadapi para pelukis Eropa berkarakter filsuf-ilmuwan, Warhol melakukan diplomasi artistik elegan dengan tidak mengikuti logika kompetitornya. Baginya, melukis bukan olah intelektual abstrak serupa matematika atau fisika yang mencari konsep dasar geometri semesta dan realitas, melainkan upaya memotret perubahan sosial historis.

Beda dengan Matisse yang berkeras mencapai garis esensial, atau Picasso yang mendistorsi geometri formal, atau De Chirio yang menangkap (sambil mengkritik) dimensi fisis-matematis manusia lewat lukisannya, pula Dali dan Ernst yang menelanjangi realitas lewat surealisme, Warhol berusaha membedah kondisi manusia kapitalistik. Bagi Warhol, bukan matematika atau fisika, filsafat atau ideologi yang mengubah manusia dan dunia, melainkan modal.

Toh, tanpa modal, fisika, matematika, filsafat, atau ideologi (juga seni rupa!) tak menghasilkan teknologi, sistem nilai, dan jenis budaya yang masif dan populer. Warhol melukis Kennedy dan Marilyn Monroe yang jadi ikon dunia berkat media, Coca- cola yang mengubah pola minum sekian persen umat manusia, sepatu dan tas yang maknanya melampaui fungsinya. Pula Jackie Kennedy yang dengan gaya glamour-konsumtifnya mengubah karakter aristokrat-puritan para politisi Gedung Putih.

Temuan Warhol segera dirayakan kelas menengah Amerika. Bertahun-tahun negeri ini tak mampu menghadapi Eropa dengan kepala tegak. Kultur, sejarah, dan seni mereka dianggap sekadar catatan kaki benua itu.

Berkat Warhol, Amerika tak lagi grogi menghadapi negeri-negeri Eropa kontinental, khususnya yang menjadi laboratorium aktif seni rupa modern, seperti Perancis, Belanda, dan Italia.

Peran negara

Seni khas Amerika lahir dari realitas khas negerinya, di mana kapitalisme membentuk relasi imigran dari berbagai bangsa. Bukan agama dan etnik yang memengaruhi ikatan sosial khas Amerika, melainkan kapitalisme.

Perbedaan budaya digeser dari antarsuku, bangsa, dan agama, ke perbedaan selera produk konsumsi. Paradigma pluralisme tak memadai lagi karena itu lahirlah multikulturalisme.

Dan multikulturalisme memang cocok pada masyarakat kapitalisme lanjut, di mana seluruh aspek kehidupan telah tereduksi pada nilai modal (beda dengan kapitalisme industri di mana seluruh aspek kehidupan belum terekonomisasi).

Dalam kapitalisme lanjut, peran lembaga sosial tak sekuat lembaga finansial. Pengaruh pakar pemasaran, iklan dan bintang film lebih nyata dibandingkan dengan menteri pertahanan, politisi, apalagi birokrat.

Multikulturalisme memahami budaya sebagai pilihan konsumsi individu (seperti musik, film, olahraga, dan mode) serta bukan konstruksi "genetik" sosial historis (seperti ras, bahasa, agama dan etnik).

Namun, multikulturalisme menyimpan dilema. Kemunculan Basquiat dengan lukisan-lukisan grafitinya yang "mencoret" ikon- ikon budaya pasar Warhol menunjukkan bahwa dalam masyarakat kapitalisme lanjut, kendati seluruh aspek kehidupan telah tereduksi menjadi nilai modal, tidak semua kelompok sosial mendapat akses finansial yang sama, persis seperti dialami kaum negro Amerika.

Basquiat menelanjangi visi estetik Andy Warhol dan sekelompok ilmuwan sosial yang demi menjaga ketertiban di lingkungan urban melahirkan jenis seni dan teori sosial mengenai kelompok yang diuntungkan sambil mendiamkan atau menyisihkan mereka yang tertindas dan dirugikan.

Yang menyelesaikan persoalan ini tidak cukup dengan hanya memberi ruang representasi sosial kepada yang dirugikan (subaltern), tetapi juga memberi akses finansial yang memadai.

Dalam hal ini, peran negara (khususnya ekonomi) diperlukan sejauh pada batas yang wajar. Tanpa itu, setidaknya ada dua hal yang patut dicatat. Pertama, suasana tertib "multikultural" hanya permukaan belaka, tidak menyentuh substansi sesungguhnya. Kedua, kapitalisme lanjut akan mengalami krisis karena jika seluruh ruang telah dijejali lembaga-lembaga finansial, krisis sosial akan terbungkam.

Padahal, kapitalisme membutuhkan kontrol sosial jika tak ingin bangkrut seperti anaknya yang heroik: komunisme.

Faisal Kamandobat, Penyair, menetap di Majenang, Yogyakarta

Tuesday, October 16, 2007

Mudik


Yang Penting Bisa Sungkem !

Gema takbir, tahlil, dan tahmid sudah lewat dua hari.

Ketika sebagian besar masyarakat rela menerobos kemacetan, antri tiket berjam-jam, berdesak-desak, keluar ongkos lebih mahal, hanya untuk bisa mendengar dan melafaskan takbir, tahlil dan tahmid di kampung halaman, masih ada yang terpaksa pulang setelah lebaran berlalu. Meski, ada juga yang sengaja memilih mudik setelah lebaran dengan alasan lebih murah dan pertimbangan kenyamanan.

Meski arus balik sudah mulai terlihat Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (15/10). Namun, Halifah (42) salah satu penumpang KM Sirimau, justru baru mau mudik ke Bangka.

"Malam takbiran terasa sepi, karena biasanya kami berkumpul dengan keluarga besar. Uwaknya anak-anak juga sedih karena tidak bisa berkumpul saat lebaran," tutur Halifah (42),

"Tapi ada untungnya juga mudik sekarang karena kapal kosong, jadi bisa milih tempat yang nyaman. Selain itu, tiket juga mudah didapat," lanjut Halifah (42) yang tadinya berharap bisa mudik sebelum Lebaran. Namun terpaksa menundanya karena kehabisan tiket KM Labobar yang berangkat tanggal 11 Oktober. "Sebenarnya masih banyak tiket ke Bangka untuk tanggal 8 Oktober. Tapi tidak saya ambil karena baru libur tanggal 11 Oktober," katanya.

Terbatasnya liburan membuat Karyawati PT Leading Garment itu tidak bisa tinggal lama di Bangka. Ia dan keluarganya harus sudah ada di Bandung tanggal 21 Oktober, karena tanggal 22 Oktober nanti anak-anaknya sudah harus masuk sekolah.

Batasan waktu ini tidak berlaku bagi Efi (39). Ibu rumah tangga itu mudik bersama suaminya, seorang wiraswastawan bernama Hary (42). Ia memilih mudik setelah lebaran karena ingin menghadiri pernikahan salah satu adiknya tanggal 27 Oktober. "Jadi suasana Lebaran masih ada, dapat pestanya juga," katanya.

Selain itu, Efi mengaku malas mudik berbarengan dengan arus mudik. "Kalau mudik sebelum lebaran, pasti rame banget. Dan kebetulan jadwal KM Sirimau bulan ini tanggal 15 dan 27, jadi pas. Kalau mudik sekarang 'kan kapal sudah sepi, tiket juga masih banyak, nggak perlu pesen jauh-jauh hari," jelas Efi yang berencana kembali ke Bandung akhir Oktober nanti.

Alasan yang sama diungkapkan Shinta (25). Demi keamanan dan kenyamanan ia memilih untuk mudik ke Yogyakarta Kamis, (18/10) depan dengan menumpang KA Argolawu dan kembali ke Jakarta dengan pesawat Minggu, 21 Oktober. Untuk itu, karyawati Bank Danamon itu mengambil tiga hari cuti.

"Mudik setelah lebaran rasanya lebih aman dan nyaman. Tidak perlu berdesak-desakan di kereta. Lagipula tiket lebih murah karena tidak perlu pakai calo," kata Shinta.

Tiket Murah

Sejumlah terminal di Jakarta pun, masih ramai didatangi pemudik. Mereka umumnya beralasan harga tiket yang jauh lebih murah, dan lebih nyaman.

"Biasanya kalau beli tiket di H-2 dan H-1 harga tiket tinggi sekali. Jadi nunggu habis Lebaran saja, agar harga tiket lebih murah," kata Alifin, pemudik tujuan Wonosobo, Jawa Tengah.

Sahrul, pemudik tujuan Pemalang, Jawa Tengah juga memiliki alasan yang sama dengan Alifin. Demi mendapat harga tiket paling murah, Sahrul, sengaja menginap di terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur sejak Minggu malam. Namun, hingga Senin (15/10) siang, tiket seharga Rp 70.000,- yang diharapkannya belum didapat.

"Biasanya tiket tujuan Pemalang itu cuma Rp 70.000. Sekarang, yang paling murah Rp 80.000," ujar Sahrul yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang parkir di Masjid Istiqlal Jakarta.

"Ditunggu turun, sekarang belum turun juga," lanjut Sahrul yang istrinya sudah ikut mudik bareng dengan Sido Muncul beberapa hari sebelum lebaran.

Dari data harga tiket di beberapa Perusahaan Otobus di terminal Pulo Gadung, sesudah H-1 harga tiket turun antara 20-30 persen.

Tiket Jakarta-Pamekasan, misalnya, turun dari Rp 335.000 saat H-1 menjadi Rp 255.000 sejak lebaran hingga kemarin. Tiket Jakarta-Madura yang pada H-2 seharga Rp 350.000, kemarin menjadi Rp 250.000. Penurunan tiket.

Lebaran di Bogor

Pasangan Nyemas Nurseni dan Purnawiran Polisi Udung Adiwijaya yang menetap di Bogor, ingin berlebaran dulu dengan tetangga dan kerabat yang ada di Jakarta.

"Ini mudik pertama setelah dua tahun enggak pulang ke Pontianak," ujar Nyemas yang berprofesi sebagai Kepala Sekolah SDN Panaragan 3 Bogor ini.

Pasangan yang akan merayakan ulang tahun perkawinan ke-36 ini mengaku merayakan lebaran di Pontianak jauh berbeda dengan di Jakarta. Bila di Jakarta kebiasaanya hanya merayakan lebaran dalam dua hari, di Pontianak bisa sampai seminggu. Oleh karena itu, meskipun tidak shalat ied di Pontianak, namun tidak akan terasa terlambat ketika tiba di kampungnya.,

"Kalau di Jakarta mah kan cuma salam-salaman bermaafan pas hari lebarannya saja sama tetangga dan saudara. Di pontianak itu harus ada kunjungan balasan, sehabis kita bermaafan ke rumah tetangga, terus mereka akan balik mengunjungi kita. Makanya silaturahminya enggak selesai-selesai (putus)," ujar Nyemas semangat.

Menurut Nyemas kebiasaan berlebaran seminggu di Pontianak ini merupakan tradisi yang terus berlangsung meski liburan tidak ditetapkan seminggu seperti sekarang.

"Dulu kalau liburannya pendek, ya kunjungan ke tetangganya disesuaikan dengan jam kantornya mereka. Setelah pada pulang kerja baru kita mulai lagi silaturahminya," kata Nyemas.

Lebaran tahun ini, Nyemas dan Udung mengaku membeli tiket pesawat dengan harga yang jauh di atas harga biasa. Per orangnya mereka harus mengeluarkan dana sebesar Rp 665.000, padahal pada hari biasa tiket ke Pontianak biasa dibeli seharaga Rp 350.000.

Bersama Nyemas, turut pula putri mereka Desi (29), dalam mudik lebaran kali ini. "Habisnya dia sudah lama tidak pernah mudik, jadi dibawa saja," ujar Udung yang kerap bergurau dengan istri dan anak-anaknya.

Desi, seorang manajer di Kawasan Industri Cikarang, mengaku lebaran kali ini sengaja mudik terlambat karena mengikuti keinginan kedua orang tuanya, selain itu kebetulan pula ia mendapat cuti hingga tanggal 21 Oktober mendatang.

Salah satu pemudik yang memutuskan untuk mudik pada H+1 misalnya Tari (20). Pekerja rumah tangga di perumahan Bumi Serpong Damai ini sengaja pulang ke kampung halamannya di Temanggung setelah Lebaran karena menunggu suasana sepi. "Kalau sebelumnya ramai banget, takut nggak kebagian tiket," tutur Tari yang ditemui di Terminal Bus Antarkota Antarpropinsi (AKAP) Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Senin (15/10).

Lain lagi dengan Tukini (42), seorang perawat orang tua (pramu rukti) di kawasan Pondok Indah yang mudik pada H+1 karena belum mendapat cuti dari majikannya. Keluarga tempatnya bekerja meminta Tukini untuk tetap tinggal saat Lebaran karena kondisi sangat repot.

Tukini yang merasa majikannya selama ini sudah berlaku sangat baik padanya, dengan senang hati menyanggupi hal itu. "Nggak papa, lha ibu sudah baik banget sama saya. Itu saya dibawakan makanan sama baju baru satu tas," kata Tukini sambil menunjuk tas berwarna merah muda ukuran 50 x 20 x 50 sentimeter.

Sebetulnya Tukini tidak berencana pulang hari ini. Ia mengira masih akan ditahan majikannya selama beberapa hari ke depan, tetapi hari ini ia diberi uang saku Rp 250.000 dan satu tas penuh berisi makanan kecil dan pakaian baru. Karenanya, tanpa ragu Tukini segera menuju Terminal Bus Lebak Bulus untuk membeli tiket bus Muncul kelas eksekutif jurusan Solo seharga Rp 250.000.

Berbeda dengan pemudik lain, Suroto (55) berencana pulang ke Madiun hari ini, Senin (15/10), karena sudah dua minggu penyakit asmanya kambuh. Begitu agak pulih, ia memutuskan untuk segera pulang. "Biar cepat-cepat dibuatkan jamu oleh ibu saya," ujarnya seraya berharap bisa mendapat ketenangan begitu sampai di Madiun.

Ia ingin cepat-cepat pulang agar bisa berlebaran dengan keluarganya. Sudah lima tahun ia seorang diri merayakan lebaran setelah istrinya menikah lagi dan pindah ke Manado. Baginya, terlambat tidak menjadi masalah, karena yang penting ia bisa berkumpul dengan orang tua dan kedua anaknya.

Selain itu, Suroto juga sengaja memilih pulang kampung pada H+1 karena harga tiket lebih murah daripada harga sebelum Lebaran. "Sebelum Lebaran saya coba lihat, harganya bisa sampai Rp 200.000," sahut Suroto.

Sejak pukul 09.00 pagi bapak ini menunggu di terminal seorang diri. Ia dibelikan tiket bus Madjoe Utama oleh pemuda yang tinggal di dekat tempat kerjanya di Pondok Pinang. Pemuda itu mengaku harga tiket bus Rp 150.000, padahal harga yang tertera di karcis Rp 102.940.

Seharusnya bus berangkat pukul 13.00, tetapi sampai pukul 16.00 Suroto belum beranjak dari tempat duduknya. "Dari tadi saya nunggu, tapi busnya belum datang juga," ujar Suroto lirih sambil merubah posisi duduknya karena nafasnya mulai sesak.

Ketika dikonfirmasi, loket perusahaan otobus (PO) Madjoe Utama ternyata sudah tutup, dan pengurusnya sudah pulang. PO lain pun turut membantu. Misalnya Bungaran, karyawan dari PO Nantungga yang menghubungi pihak PO Madjoe Utama. Setelah berhasil dihubungi, diputuskan untuk mengalihkan Suroto ke PO lain dengan jurusan yang sama.

PO Haryanto pun siap membantu. Namun bus yang tersisa adalah bus dengan kelas eksekutif. Bapak tua yang bekerja sebagai penjaga rumah itu pun menolak karena asmanya bisa kambuh jika memakai AC.

Makin banyak karyawan dari PO lain yang datang dan mencoba membantu. Arisman, pengurus PO Damri mencoba mengusulkan pada Suroto untuk kembali keesokan harinya saja dan naik bus yang sama pada jam yang sama. Setelah mempertimbangkan banyak hal, Suroto setuju untuk kembali lagi pada Selasa (16/10), yang berarti waktu mudiknya terulur lebih lama lagi.

Widuri (22), karyawan PO Madjoe Utama yang akhirnya datang menjelaskan bahwa petugas sudah memanggil-manggil para calon penumpang untuk naik bus. "Kami sudah nunggu sampai pukul 14.00, tetapi bapak itu belum naik ke bus juga. Daripada mengorbankan penumpang yang lain, maka bus segera kami berangkatkan. Saya nggak tahu kalau bapak itu masih ada di terminal," jelas Widuri.

Mereka yang Memilih Mudik Terlambat…

Bila sebagian besar penduduk Jakarta rela bersesak-sesakan, mengantre, dan bermacet-ria naik mobil pribadi, pesawat, kereta, atau pun kapal laut untuk mencapai kampungnya tepat sebelum lebaran, lain halnya dengan kisah pasangan guru dan purnawirawan berikut ini.

Senin (15/10), Terminal 1B Bandara Soekarno-Hatta tidak terlalu dipadati calon penumpang. Di salah satu bangku panjang yang merentang di tengah terminal itu terdapat pasangan suami-istri yang sedang bersenda gurau.

Di depan mereka tampak sebuah trolli yang berisikan dua buah kardus, koper dan dua tas travel. Sesaat bersenda gurau, sesat kemudian mereka terlibat dalam pembicaraan serius.

Desi bersama adiknya Melda, rencananya kan kembali lebih dulu pada Sabtu (20/10), sedangkan Nyemas dan Udung baru kembali pada Kamis (25/10). "Tikenya dapetnya begitu…jadinya ya dipisah-pisah saja. Lagian kan mereka harus sudah kembali bekerja dan kuliah pas hari Seninnya," ujar Udung.

Usaha Dagang dan Perkawinan

Sama halnya dengan keluarga Nyemas dan Udung, Erni (34), seorang pedagang busana muslim yang bertempat tinggal di Balikpapan juga memilih mudik terlambat. Erni bersama suami, ketiga anaknya dan adiknya ini hendak mudik menuju Solok, Padang, dengan menggunakan pesawat Air Asia.

"Sengaja mudiknya baru sekarang, habisnya kan ada barang dagangan," ujar Erni yang ditemui di Terminal 1A Bandara Soekarno-Hatta, Senin (15/10).

Menurut pengakuan Erni, dagangan busana muslimnya justru sedang laku-lakunya ketika mendekati lebaran. "Omzetnya bisa sampai lima juta, sayang kan kalau bela-belain mudik duluan hanya untuk merayakan lebaran," ujarnya.

Selain alasan tingginya keuntungan dari usaha dagangnya, Erni juga mengaku di Balikpapan ia tidak merantau sendirian. "Ada dua orang kakak saya yang juga tinggal di sana, adik juga ikut saya. Jadi lebaran bisa dirayain di sana juga. Paling kumpul keluarga dan bermaafan dengan lingkungan tetangga," kata Erni.

Selain kedua alasan di atas, momen mudik kali ini juga bertepatan dengan pernikahan adiknya yang rencananya akan dilangsungkan di Solok pada Kamis (25/10).

"Dari Balikpapan tidak ada yang rute langsung, transit ke Jakarta dulu, harga tiketnya juga sama," ujar Erni yang mengaku mengeluarkan uang sebesar Rp 1.080.000 untuk tiket satu kali jalan per orangnya.

Menurut Erni, harga tiketnya jauh lebih murah, yaitu hanya Rp 800.000 per orangnya. Meski begitu, tiket yang dibelinya sejak sebulan lalu ini menurutnya masih tinggi bila dibandingkan degnan harga biasa yang hanya Rp 700.000.

Rencananya Erni akan kembali ke Balikpapan Senin (29/10) mendatang. "Anak-anak juga harusnya sudah masuk sekolah Senin (22/10), tapi karena adiknya saya mau menikah ini makanya mereka bolos hingga tanggal 29 Oktober."(A02/A08/A10/A15)

Friday, October 12, 2007

Kesenian sebagai Pembelajaran Nilai


Secara Holistik, Seni Terkait Sistem Masyarakat

Jakarta, Kompas - Kesenian dapat menjadi media, bahkan sangat potensial menjadi pembelajaran nilai-nilai. Kesenian tidak sekadar media pencapaian nilai estetik, dari sisi kontekstual kesenian mempunyai muatan nilai-nilai lain yang akan membantu pembentukan kepribadian.

Ketua Asosiasi Tradisi Lisan, sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Pudentia MPSS mengatakan, ketika orang berkesenian, sebetulnya orang tengah mempelajari banyak nilai seperti kedisiplinan melalui kepatuhan terhadap jam berlatih, ketaatan terhadap pakem kesenian tertentu, dan kerja sama dalam tim.

Kesenian di daerah dan seni tradisi dapat menjadi sumber pembelajaran yang sangat baik. Terlebih lagi, kesenian tradisi yang masih terus hadir di dalam masyarakatnya berarti telah mengalami seleksi secara alami dalam arti masih dipandang berfungsi, dipandang indah, bernilai, sebagai simbol-simbol ekspresi masyarakatnya, dan mengandung nilai-nilai baik. Dalam kesenian biasanya juga tergambar kearifan lokal yang terbukti berfungsi untuk mengatur hidup komunitas.

Berkesenian membuat individu lebih peka terhadap kehidupan sekitarnya dan manusia lain. Kesenian dengan berbagai bentuknya terkadang merupakan gambaran dari kehidupan itu sendiri.

"Semakin terlatih dalam kesenian, anak mempunyai orientasi nilai yang baik dan berperasaan halus. Mereka akan mudah untuk diajarkan peka terhadap kehidupan sekitarnya. Ketika belajar menari, misalnya, anak tidak hanya belajar meniru gerakan, tetapi juga seharusnya mendalami mengapa tarian itu ada dan filosofinya. Demikian juga dalam sastra. Anak tidak sekadar diajarkan membaca dan menirukan bunyi. Namun, yang terpenting ialah bagaimana memberikan penafsiran terhadap bacaan dan mencoba memikirkannya," ujarnya.

Pudentia menjelaskan, pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai harus menekankan kepada proses. Sulit jika iklim dunia pendidikan lebih menekankan kepada hasil seperti belakangan terjadi dengan adanya Ujian Nasional. Penanaman nilai dimulai dengan mengetahui nilai tersebut, memahaminya, mengapresiasi, menginternalisasikan nilai tersebut, dan kemudian mewujudkannya dalam bentuk perilaku.

Holistik terkait

Direktur Eksekutif Lembaga Pendidikan Seni Nusantara Endo Suanda mengungkapkan, pendidikan kesenian cenderung modernis atau terpisah dari sektor lainnya. Pendidikan kesenian yang modernis menggunakan paradigma Barat lama dengan pendekatan antara lain kesenian dibagi menjadi beberapa jenis, seperti seni musik, teater, dan tari.

Selain itu, terdapat kecenderungan untuk merumuskan kesenian yang baik, terutama dari sisi nilai estetika. Padahal, kesenian tidak sekadar melihat estetika saja. Pendidikan kesenian kurang melihat kesenian terkait secara holistik dengan sistem masyarakat. Padahal, dengan melihat konteks kesenian, akan mencuat nilai-nilai. Oleh karena itu, pendidikan kesenian harus dilihat secara bijak.

"Pendekatan pendidikan apresiasi kesenian yang didasarkan kepada kesenian terkotak-kotak itu membuat kita kurang menghargai perbedaan. Padahal, tidak ada nilai yang tunggal atau absolut. Di Barat sendiri pendekatan itu mulai ditinggalkan dan digantikan dengan cultural base education dan community base education yang melihat kesenian dari sisi kehidupan." ujarnya. (INE)