Tuesday, October 28, 2008

Sidang Kasus Buku 2004 Purworejo

27/10/2008 23:44 wib -
Usai Sidang, Dody dan Didit Ditahan

Purworejo, CyberNews. Sidang dugaan korupsi pengadaan buku perpustakaan sekolah tahun 2004 yang berlangsung Senin (27/10) dilanjutkan dengan penahanan terhadap dua terdakwa. Yakni mantan Kabag Keuangan pemda H Budi Santoso SSos MSi alias Dody (50) dan ketua Yayasan Komunitas Yogyakarta Ir H Didit Abdul Madjid MSi (40).

Dalam sidang yang dipimpin Sundari SH, dua terdakwa disidangkan secara bergantian. Mulanya Dody disidang terlebih dahulu dan jaksa Sarwo Edi SH yang membacakan dakwaan. Disusul persidangan Didit, jaksa Ali Nurudin SH yang membacakan dakwaan.

Jaksa Sarwo Edi SH saat membacakan dakwaan terhadap Dody menyebutkan, pada awal tahun 2003 di gedung DPRD dilakukan rapat antara eksekutif dan legislatif untuk membahas permintaan anggota DPRD periode 1999-2004 berupa sepeda motor, tanah kapling, dan uang purna tugas dengan jumlah total Rp 2.587.500.000.

Atas permintaan tersebut Bupati waktu itu, H Marsaid SH MSi, menyetujuinya dengan cara akan diambilkan dari rabat proyek. Selanjutnya Bupati menyerahkan daftar permintaan dari anggota Dewan itu kepada ketua panitia anggaran eksekutif, Ir H Akhmad Fauzi MA, agar dititipkan dalam anggaran proyek pengadaan buku perpustakaan sekolah pada Dinas Pendidikan tahun 2004.

Dari proyek tersebut diharapkan akan memperoleh rabat sekitar 30 persen. Disebutkan, dalam rapat tersebut terdakwa Dody menyetujui tetap diadakan proyek pengadaan buku. Hingga pada akhirnya panitia anggaran mengajukan tiga alternatif skenario.

Skenario pertama belanja administrasi umum dikurangi dengan 50 persen pagu anggaran 2003, kemudian semua kegiatan lain termasuk buku dan alat kesehatan (alkes) dialokasikan, dengan risiko defisit APBD 2004 sebesar Rp 25.835.798.820.

Skenario kedua sama dengan skenario pertama, dikurangi belanja pakaian dinas, THR, pembekalan purna tugas, pengurangan bantuan pendidikan sebesar 50 persen dari pagu 2003, bantuan infrastruktur pedesaan dialokasikan Rp 1,5 miliar, proyek buku dan alkes tetap masuk, dengan risiko defisit Rp 13.350.661.520. Skenario ketiga sama dengan skenario dua namun buku dan alkes tidak dialokasikan, dengan risiko defisit APBD 2004 Rp 1.850.661.520.

Menaruh Apresiasi

Atas telaahan tersebut, kata jaksa, Bupati memilih skenario kedua. Dan memasukkan pengadaan buku senilai Rp 8.975.000.000. Selanjutnya, kata jaksa, Dody meminta Didit sebagai koordinator proyek. Dan meminta Didit menyediakan uang Rp 1 miliar untuk membayar utang kepada Hari Mangindaan.

Dalam pertemuan itu juga ada kesepakatan dari proyek senilai Rp 8,9 miliar itu Didit sanggup mengusahakan rabat 30 persen untuk menutup permintaan anggota DPRD dan untuk menutup utang kepada Hari Mangindaan.

Singkat kata pada Maret 2004 dilakukan lelang terbuka dengan 34 peserta dan yang lolos hanya 11 rekanan. Setelah lelang, kantor Kas Daerah mengeluarkan uang Rp 8,9 miliar yang diberikan kepada Didit. Setelah digunakan untuk membayar sejumlah penerbit pemenang lelang, ada rabat sebesar Rp 4.628.849.176,06.

Dan uang itu oleh Didit didistribusikan kepada pihak-pihak yang berperan dalam proyek tersebut. Menurut jaksa, kepada Dody diserahkan uang Rp 1.965.000.000. Uang tersebut, kata jaksa, tidak disetorkan ke Kas Daerah. Maka atas perbuatan itu terdakwa Dody dianggap melanggar Pasal 2 Ayat (1) junto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaiamana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 11 UU 31/1999, junto pasal 64 ayat 1 KUHP.

Terhadap terdakwa Didit Abdul Madjid, jaksa Ali Nurudin SH, mendakwa telah memberikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Waktu itu kepada Marsudi (ketua DPRD 1999-2004), Rukma Setyabudi, Sumbogo, Samino, Katon, Zusron (semuanya anggota DPRD), Marsaid (Bupati), Soedarmo Subroto (ka Dinas Pendidikan), pegawai Dinas Pendidikan, serta pegawai Bagian Keuangan dan Kasda.

Perbuatan terdakwa diancam pidana dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, junto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Terdakwa juga diancam pidana dalam pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, junto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Koordinator Komite Persiapan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi, Agus Budi Santoso SH, menaruh apresiasi kepada pengadilan. Penanganan kasus korupsi di daerah itu dia nilai merupakan langkah maju dalam penegakan hukum di daerah itu. Shock therapy, kata dia, sangat tepat untuk bisa menuntaskan persolan korupsi.

(Eko Priyono /CN09)

Monday, October 27, 2008

20 Persen APBD Berat

Daerah Khawatir Sektor Lain Terganggu
Senin, 27 Oktober 2008 | 01:17 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah daerah menyatakan keberatan jika 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah dialokasikan untuk anggaran pendidikan sesuai konstitusi. Alasannya, APBD yang terbatas harus dibagi dengan sektor lain.

Beberapa daerah merasa anggaran daerahnya amat terbatas sehingga muncul kekhawatiran tersebut. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, alokasi anggaran pendidikan dalam APBD 2009 direncanakan hanya 6 persen atau sekitar Rp 47,3 miliar.

”Dengan anggaran 6 persen dari total RAPBD, sebenarnya tak ada perubahan berarti di bidang pendidikan di NTT tahun 2009,” kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, akhir pekan lalu.

Anggota DPRD NTT Marthenus Billy mengatakan, sebagian anggota DPRD juga mempertanyakan kecilnya alokasi anggaran sektor pendidikan dan kesehatan dalam RAPBD 2009. ”Tetapi, DPRD juga tidak bisa memaksakan karena instansi lain akan kekurangan anggaran,” katanya.

Di Kabupaten Ende, Provinsi NTT, anggaran pendidikan tahun 2008 sebesar Rp 35,2 miliar. Dalam APBD 2009, jumlah ini tak banyak berubah, jadi masih jauh dari 20 persen APBD.

”Kami punya komitmen mengalokasikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBD, namun belum bisa dilaksanakan,” kata Kepala Subdinas Program Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende Umar Embu.

Penuhi komitmen

Sementara itu, beberapa daerah lain mampu memenuhi komitmen untuk pendidikan. Di Nusa Tenggara Barat (NTB), anggaran pendidikan untuk 2009 besarnya Rp 260 miliar atau 20 persen dari total APBD Rp 1,3 triliun.

”Tinggal diketuk palu oleh legislatif,” kata Badrul Munir, Wakil Gubernur NTB.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga merancang alokasi anggaran 20 persen dari Rp 2,2 triliun total APBD tahun 2009.

”Tidak mengganggu alokasi sektor lain, sebab dari 2007 lalu masih ada sisa APBD tak terpakai Rp 208 miliar,” ungkap Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Provinsi Sulsel H Jufri Rahman.

Di Kabupaten Gowa, Sulsel, anggaran pendidikan akan naik menjadi 25 persen dari APBD. Pada tahun lalu sebesar 21 persen.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur juga akan memperbaiki rancangan APBD, semula 13 persen dari APBD akan dinaikkan menjadi 20 persen dari APBD.

Di Jawa Barat, anggaran pendidikan APBD 2009 diproyeksikan Rp 1,6 triliun, dua kali lipat tahun sebelumnya—besarnya 20 persen dari APBD.

”Ini sangat mendasar seiring dengan komitmen kami di bidang pendidikan,” kata Ketua Komisi E DPRD Jabar Nur Suprianto.(KOR/RUL/BRO/WHY/CAS/FUL/ NAR/JON/SEM)

Indonesia Kehilangan Tenaga Terdidik


Senin, 27 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Den Haag, Kompas - Indonesia kehilangan tenaga terdidik dan profesional karena setiap tahun jumlah emigrasi tenaga terdidik dan profesional ke luar negeri terus meningkat. Untuk membangun dan meningkatkan daya saing Indonesia di dunia, diperlukan strategi untuk membangun jaringan ilmuwan dan tenaga profesional yang saat ini tersebar di negara lain. Hal ini telah dilakukan negara lain, seperti Singapura, India, China, dan Irlandia.

Pemikiran itu diungkapkan gabungan mahasiswa: Riza, Ahmad, Yulfian, dan Rifki dari International Islamic University; Dedy H BW dari Delft University of Technology; Oki Muraza dari Eindhoven University of Technology; dan Syarif Junaidi dari Universiti Kebangsaan Malaysia, dalam panel khusus Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia (PII) di Den Haag, Belanda (26/10).

Dalam pemaparannya, mereka menyebutkan, perpindahan tenaga terdidik Indonesia ke luar negeri, baik untuk tujuan pendidikan, penelitian, maupun profesional terus bertambah dengan kenaikan rata-rata per tahun hingga 5 persen. Mereka memilih bekerja di negara lain karena tidak menemukan peluang untuk bekerja sesuai dengan harapan mereka di negeri sendiri.

Banyak alasan yang menyebabkan tenaga terdidik dan profesional Indonesia pindah ke negara lain, terutama ke Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, negara-negara di Eropa, dan Jepang. Biasanya karena lingkungan kerja dan infrastruktur di Indonesia yang tidak kondusif, kurangnya kolaborasi antara universitas dan industri, kurangnya dana penelitian, hingga sedikitnya pendapatan di dalam negeri.

Achmad Aditya (29), mahasiswa program doktor dari Universitas Leiden, misalnya, mengaku gamang untuk pulang ke Indonesia karena meragukan ilmunya akan terserap di dalam negeri.

Menurut para panelis, saat ini negara lain berupaya menarik tenaga-tenaga terdidik dan profesional dari berbagai negara. Irlandia, misalnya, melaksanakan program nyata untuk menarik tenaga terlatih dan profesional masuk ke negara mereka dengan membentuk Science Foundation Ireland (SFI) dan Singapura membentuk Singapore’s Agency for Science and Technology Research (A STAR’s).

Kedua lembaga ini memiliki otoritas tinggi dan jaringan kuat dengan dewan ekonomi nasional dan kegiatan investasi, komitmen yang kuat dari pemimpin negara, dan punya mekanisme pendanaan untuk mempromosikan kolaborasi penelitian internasional.

India dan China memiliki jaringan tenaga terdidik dan profesional di luar negeri.

Para panelis mengusulkan dibentuknya jaringan internasional ilmuwan dan profesional Indonesia, mendirikan organisasi brain circulation berdasarkan prioritas atau bidang, mengembangkan lingkungan penelitian yang kondusif di Indonesia terutama untuk mempermudah kolaborasi antara dunia akademik dan industri. (AIK)

Saturday, October 25, 2008

Narasi dan "Dogmatisasi"

Narasi dan "Dogmatisasi"
Sabtu, 25 Oktober 2008 | 00:36 WIB

Robert Bala

Visualisasi novel Andrea Hirata dalam film Laskar Pelangi yang menyedot perhatian masyarakat menarik disimak. Apa yang menjadi kekuatan internal? Bagaimana menafsirnya dalam konstelasi politik saat ini?

Narasi, demikian Ernesto Robles Valle dalam EducaciĆ³n y NarraciĆ³n, 2006, memiliki kekuatan yang dahsyat. Ia menarik (narrare-Latin) tidak hanya perhatian, tetapi juga keikutsertaan subyek dalam pemaknaan sebuah kisah. Karena itu, pendidikan harus menjadikannya narasi sebagai bagian integral. Di sana yang diajarkan bukan sekadar pengetahuan (conocimiento), tetapi juga pemahaman (reconocimiento).

Narasi juga memiliki sisi implikatif. Subyek tidak saja didorong untuk mengetahui akhir sebuah cerita, tetapi sekaligus menganyam kisah pribadi. Selanjutnya akan terjalin sebuah adegan interior (escenario interior) karena subyek dilibatkan secara proaktif demikian Jose manuel Prellezo dalam Narrazione, Dizzionario di Scienze Dell’Educazione, 1999. Pendengar sekaligus menjadi pemain karena kisah pribadinya turut disusun.

Adegan ini lalu memacu pencarian nilai yang lebih tinggi, bukan sekadar meniru kisah serupa. Dalam Laskar Pelangi, misalnya, para siswa yang begitu terpesona oleh model narasi Bahtera Nuh, tidak sekadar terajak untuk melakukan adegan serupa, tetapi secara produktif menghasilkan imajinasi baru, demikian Paul Ricoeur dalam Historia y Narratividad, 1999. Inilah yang membedakan narasi dari sejarah yang sebatas mereproduksi kisah.

”Dogmatisasi”

Narasi pedagogis dalam film seharusnya tidak sekadar ide. Ia juga perlu menjadi acuan dalam pendidikan politik bangsa. Ruang publik, misalnya, dibuka agar setiap kisah hadir secara spontan menawarkan perspektifnya tanpa ada pemaksaan. Dialog yang terbuka dan saling pengertian memungkinkan tampilnya sesuatu yang bermakna, yang sekaligus menjadi takaran akhir keabsahan sebuah ide. Sementara itu, daya tarik luar yang artifisial akan cepat buram dan suram.

Pemahaman ini amat kontradiktif dengan realitas saat ini. Persoalan akut bangsa, seperti kemiskinan, KKN, dan lebarnya jurang kaya-miskin, dilihat secara simplistik. Jalan keluarnya adalah secara gnostik menempatkan hal-hal spiritual lebih utama dan lebih tinggi. Yang lain dianggap nonsense. Aneka legitimasi kekerasan pun dihalalkan demi mempercepat ”realisasi” ide spiritual. Aksi main hakim sendiri pun dianggap heroik.

Sayang, spiritualitas dipahami secara timpang. Ia tidak inkarnatif dalam arti terjelma dalam aksi dan membumi dalam perwujudan nyata. Yang ada hanya pertautan ajaran (dogma) dan debat merumuskan peraturan atau undang-undang sebagai kekuatan makroyuridis. Tak pelak, negeri ini kebanjiran peraturan dan undang-undang yang bermuara pada kesimpangsiuran. Keberadaan perangkat hukum sebelumnya dilihat terlalu umum dan hendak diganti dengan ”tips” baru yang lebih spesifik demi mengatur ruang privat.

Keberanian

Tendensi dogmatisasi seharusnya diakhiri dengan terbukanya narasi politik.

Pertama, perlu keberanian untuk bertanggung jawab. Reproduksi undang-undang tanpa kekuatan produktif-kreatif yang menjelmakan ide dalam aksi adalah ciri pribadi yang penakut. Ia hanya berbicara dan tahu merumuskan teks, tetapi miskin dalam kontekstualisasi dan aplikasi, demikian William Ian Miller, dalam El Misterio del Coraje, 2005. Baginya, sebuah bangsa yang besar ditandai keberanian untuk bertanggung jawab (coraje de responsabilidad).

Korupsi yang kian tersibak, yang melibatkan tidak sedikit anggota legislatif, adalah cermin sikap ini. Undang-undang dirumuskan entah untuk siapa, tetapi yang pasti prosesnya telah menguras tak sedikit ”u(nd)ang”. Memang, di balik batu undang- undang, ada u(n)dang, yakni u(nd)ang.

Kedua, perlu keberpihakan pada aksi. Produktivitas dan kreativitas menjadi takaran akhir yang perlu dipertaruhkan. Ide dan aturan hanya terasa manfaatnya saat dijabarkan dalam praksis. Pembaruan sosial melalui program pemberdayaan masyarakat, entah melalui micro-financial atau pelatihan, sambil tidak melupakan penghidupan demokrasi partisipatif yang dijalankan dalam lingkup terbatas akan menjadi ragi yang cepat atau lambat akan meluas. Perubahan seperti ini memiliki jaminan karena tiap individu dilibatkan sebagai pemain aktif dalam adegan interior yang tercipta.

Ketiga, perlu membangun moralitas sosial yang integratif. Jiwa yang membadan dan badan yang menjiwa adalah dua sisi yang saling mengandaikan, bukannya meniadakan. Di sana pembaruan sosial dilihat sebagai ibadah karena merupakan wujud nyata iman yang menjelma. Pada saat yang sama, jiwa yang suci mustahil egoistik karena hati yang murni akan bersifat humanis. Ia tidak egois, tetapi solidaris, altruistis, dan rela berkorban.

Robert Bala Lulusan Universidad Pontificia de Salamcanca dan Universidad Complutense de Madrid

Tuesday, October 21, 2008

Guru Honorer Diabaikan


Gaji Rendah, Masa Depan Tak Jelas
Selasa, 21 Oktober 2008 | 00:59 WIB

Jakarta, Kompas - Sedikitnya 50.000 guru honorer di sekolah negeri, yang tidak digaji dari APBN dan APBD, kini nasibnya terkatung-katung. Para guru honorer ini mendesak pemerintah agar mereka diangkat menjadi guru pegawai negeri sipil seperti guru honorer lainnya yang digaji pemerintah pusat dan daerah.

Sementara itu, guru swasta mendesak pemerintah supaya menetapkan aturan soal penggajian guru yang besarnya minimal sama dengan upah minimum provinsi atau kota/kabupaten (UMP/UMK) dan tunjangan jaminan sosial tenaga kerja. Pemerintah juga diminta memperbaiki kondisi kerja guru swasta dan honorer dengan memberikan subsidi gaji dan menghapuskan sistem kerja kontrak.

Desakan ratusan guru swasta dan honorer di sekolah negeri yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia itu terungkap dalam pertemuan dengan Komisi X DPR di Jakarta, Senin (20/10). Para guru yang mengadu ke DPR itu tergabung dalam Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia (FTHSNI) dan Forum Guru Independen Indonesia (FGII).

Ani Agustina, Ketua Umum FTHSNI, mengatakan, ada sebanyak 150.000 tenaga honorer di sekolah negeri, di antaranya 50.000 orang adalah guru honorer, sedangkan lainnya tenaga nonguru.

Belum bisa fokus

Menanggapi hal ini, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno mengatakan, rapat kerja gabungan beberapa komisi di DPR untuk membahas nasib guru honorer ini belum bisa dilakukan secara maksimal. DPR saat ini masih fokus untuk membahas penggunaan alokasi dana APBN bersama pemerintah.

Suparman, Ketua Umum FGII, mengatakan, jika pemerintah tidak mendiskriminasikan guru swasta dan honorer yang punya beban kerja dan tanggung jawab sama dengan guru PNS, sebenarnya tuntutan untuk menjadi pegawai pemerintah tidak lagi segencar saat ini. ”Memperbaiki kesejahteraan guru sebagai salah satu bagian dari perbaikan kondisi kerja guru akan berdampak pada perbaikan kondisi belajar siswa,” kata dia.

Yanti Sriyulianti, Wakil Sekretaris Jenderal FGII, menyebutkan, subsidi tunjangan fungsional guru non-PNS yang diharapkan dari pemerintah supaya gaji guru swasta setara UMP/UMK dan Jamsostek senilai Rp 15,8 triliun.

Dede Hermana, Koordinator Forum Guru Swasta Jawa Barat, mengatakan, dalam pelaksanaan sertifikasi guru, pemerintah menerapkan kebijakan diskriminatif yang menetapkan kuota guru swasta yang terbatas, yakni hanya 10 persen untuk guru swasta tiap tahunnya.

Di Slawi, Jawa Tengah, ratusan guru sekolah swasta dari taman kanak-kanak hingga SLTA yang tergabung dalam Forum Guru Sekolah Swasta atau Forgusta Kabupaten Tegal berunjuk rasa di halaman kantor DPRD Kabupaten Tegal. Mereka menuntut kenaikan tunjangan kesejahteraan serta menuntut diangkat sebagai calon PNS. (ELN/WIE)

Saturday, October 18, 2008

UN Dilaksanakan April 2009

Tidak Terpengaruh Penyelenggaraan Pemilu
Jumat, 17 Oktober 2008 | 01:19 WIB

Jakarta, Kompas - Pelaksanaan ujian nasional untuk siswa SMP dan SMA/SMK tahun ajaran 2008/2009 tidak dimajukan meskipun ada hajatan nasional Pemilihan Umum 2009. Ujian nasional akan diselenggarakan pada April 2009, tetapi tanggalnya belum dipastikan.

”Kemungkinan setelah pelaksanaan pemilu,” kata Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Djemari Mardapi, Kamis (16/10) di Jakarta. Penjelasan ini untuk menjawab keresahan guru, siswa, dan orangtua yang mendapat informasi pelaksanaan ujian nasional (UN) dipercepat pada Maret, sedangkan materi pelajaran belum seluruhnya disampaikan kepada siswa.

Djemari mengatakan, guru dan siswa tidak usah resah karena UN dilaksanakan dengan memperhitungkan semua materi yang harus dipelajari siswa kelas III SMP dan SMA/SMK. Adapun standar nilai kelulusan UN juga masih akan dibicarakan dengan mengkaji hasil evaluasi pelaksanaan UN 2008.

”Bisa saja standarnya tetap seperti tahun lalu,” ujar Djemari.

Perlu persiapan

Guru Bahasa Indonesia, Supriyono, mengatakan bahwa berita soal jadwal UN masih simpang siur di lapangan. Sebagian guru ada yang mendengar isu bahwa UN dilaksanakan sekitar Januari atau Februari guna mengantisipasi pelaksanaan Pemilihan Umum 2009.

Menurutnya, ujian nasional membutuhkan persiapan intensif. Pada semester ganjil bulan Juli hingga Desember para guru biasanya membahas materi sesuai dengan kurikulum dengan sedikit persiapan ujian. Persiapan ujian secara lebih intensif melalui pendalaman materi dan simulasi ujian biasanya dimulai pada semester berikutnya, yakni bulan Januari.

”Kalau ujian nasional dimajukan, persiapan menjadi tidak maksimal. Beban anak juga menjadi berat, apalagi mereka harus mempelajari materi sejak kelas I,” ujarnya. Dia sendiri berpendapat, penyelenggaraan pemilihan umum tidak akan terlalu mengganggu UN.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMP Bhakti Nusantara, Jakarta Timur, Yanti Sriyulianti, juga mendengar isu bahwa UN dipercepat menjadi Februari.

”Untuk ujian persiapan bisa enam hingga delapan bulan. Kalau UN sebagai alat evaluasi kompetensi itu dimajukan jadwalnya, anak bisa kehilangan kesempatan melengkapi ketuntasan kompetensinya,” ujarnya.

Djemari mengatakan, mata pelajaran yang diujikan sampai saat ini tidak ada perubahan. Tahun lalu, untuk SMA mata pelajaran yang masuk UN di jurusan IPA adalah Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. Di jurusan IPS mata pelajaran dalam UN adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi. Untuk jurusan Bahasa adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Sejarah Budaya atau Antropologi, Sastra Indonesia, dan bahasa asing lain.

Di jenjang SMP, mata pelajaran yang termasuk dalam UN adalah Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Alam. (INE/ELN)

Pendidikan Terpangkas


Sebagian Besar Dana Mengalir Melalui Pemerintah Daerah
Jumat, 17 Oktober 2008 | 01:34 WIB

Jakarta, Kompas - Anggaran pendidikan terpangkas Rp 16,75 triliun menjadi Rp 207,1 triliun dalam Rancangan APBN 2009. Hal ini merupakan revisi atas pagu anggaran pendidikan terdahulu yang telah disepakati pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR pada 24 September 2008.

Perubahan nominal anggaran pendidikan ini merupakan dampak otomatis dari menurunnya anggaran belanja negara dalam RAPBN 2009. Sebab, anggaran belanja tiap tahun wajib mengalokasikan 20 persen untuk pendidikan.

Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR sekaligus Koordinator Panitia Kerja Asumsi Dasar, Penerimaan, Defisit, dan Pembiayaan RAPBN 2009 Suharso Monoarfa mengungkapkan hal tersebut, Kamis (16/10) di Jakarta.

Dalam kesepakatan Panitia Anggaran dengan pemerintah pada 24 September 2008 disebutkan bahwa pagu anggaran belanja negara dalam RAPBN 2009 mencapai Rp 1.119,2 triliun. Dengan demikian, untuk mengejar alokasi 20 persen dari anggaran belanja negara, anggaran pendidikan ditetapkan Rp 223,84 triliun.

Namun, dalam kesepakatan Panitia Anggaran dengan pemerintah, yang diwakili Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, pada rapat kerja 15 Oktober 2008 disebutkan anggaran belanja negara menurun jadi Rp 1.035,46 triliun. Akibatnya, anggaran pendidikan berubah menjadi Rp 207,1 triliun atau melorot Rp 16,75 triliun.

”Anggaran itu tersebar di dana alokasi umum, dana alokasi khusus, serta kementerian dan lembaga,” ujar Suharso.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, sebagian besar dana pendidikan akan digunakan untuk membayar gaji guru dan dosen. Dari anggaran pendidikan awal, Rp 224 triliun, Rp 110 triliun di antaranya dialokasikan untuk kesejahteraan guru dan dosen (Kompas, 24/9/2008).

Rencana pendidikan tahun depan, antara lain, adalah menaikkan gaji pokok guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS), 15 persen dari gaji yang diterimanya pada Desember 2008.

Daerah dominan

Dari anggaran Rp 224 triliun itu, Departemen Pendidikan Nasional hanya mengelola sekitar Rp 75 triliun, selebihnya dikelola Departemen Agama sebanyak Rp 26 triliun dan Rp 4 triliun lewat kementerian lain. Alokasi terbanyak ke daerah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya tetap menjaga alokasi anggaran pendidikan berada di posisi 20 persen terhadap belanja negara. ”Namun, karena adanya koreksi terhadap anggaran belanjanya, maka nominalnya memang menjadi berkurang,” ujarnya. (OIN)


Minim, Guru Swasta Diangkat Yayasan
Jumat, 17 Oktober 2008 | 01:19 WIB

Jakarta, kompas - Baru sekitar 20 persen dari 1,2 juta guru swasta di Indonesia yang diangkat yayasan sebagai guru tetap. Padahal, status sebagai guru yayasan dibutuhkan guru swasta untuk bisa ikut serta dalam sertifikasi guru dan mendapatkan tunjangan kesejahteraan.

Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia di Jakarta, Kamis (16/10), mengatakan, tidak adanya surat keputusan (SK) yayasan sebagai bukti bahwa guru swasta itu merupakan guru tetap membuat kesempatan guru swasta untuk ikut uji sertifikasi menjadi terhalang. Kondisi ini merugikan guru swasta yang seharusnya juga berhak mendapatkan berbagai tunjangan kesejahteraan dari pemerintah.

”Yayasan harus segera mengangkat guru-guru yang mengajar di sekolah yang dinaungi yayasan itu. Sebab, syarat guru swasta untuk bisa ikut sertifikasi guru sehingga mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok, ya harus sebagai guru tetap di yayasan,” kata Sulistiyo.

Pengangkatan guru di sekolah swasta sebagai guru yayasan, kata Sulistiyo, memang berkonsekuensi pada adanya gaji pokok dan tunjangan kesejahteraan lainnya. Jika kemampuan yayasan terbatas, harus ada keterbukaan mengenai hal ini dengan guru.

”Guru-guru swasta itu butuh SK yayasan supaya bisa diajukan untuk ikut sertifikasi guru dan juga bisa mendapat tunjangan fungsional bagi guru swasta yang akan ditingkatkan tahun depan,” ujar Sulistiyo.

Subyanto, Ketua Umum Lembaga Persatuan Guru Swasta Balikpapan, mengatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah tidak bisa tinggal diam melihat kondisi guru swasta yang kesejahteraannya masih rendah. Jika yayasan tidak bisa memberikan gaji guru yang besarnya minimal upah minimum regional per bulan, kekurangannya seharusnya disubsidi pemerintah pusat dan daerah.

”Jangan seperti sekarang, guru swasta dibiarkan saja nasibnya mengenaskan. Akibatnya, banyak guru swasta yang tidak diangkat, tidak punya SK yayasan dan kontrak kerja. Tapi, di lain pihak, pemerintah mensyaratkan harus ada SK yayasan untuk bisa mendapatkan kesejahteraan. Ini tidak adil buat guru swasta,” kata Subyanto.

Di Kota Balikpapan, baru 10-20 persen dari 2.044 guru swasta yang sudah diangkat oleh yayasan. (ELN)

Kesejahteraan pendidik


Minim, Guru Swasta Diangkat Yayasan
Jumat, 17 Oktober 2008 | 01:19 WIB

Jakarta, kompas - Baru sekitar 20 persen dari 1,2 juta guru swasta di Indonesia yang diangkat yayasan sebagai guru tetap. Padahal, status sebagai guru yayasan dibutuhkan guru swasta untuk bisa ikut serta dalam sertifikasi guru dan mendapatkan tunjangan kesejahteraan.

Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia di Jakarta, Kamis (16/10), mengatakan, tidak adanya surat keputusan (SK) yayasan sebagai bukti bahwa guru swasta itu merupakan guru tetap membuat kesempatan guru swasta untuk ikut uji sertifikasi menjadi terhalang. Kondisi ini merugikan guru swasta yang seharusnya juga berhak mendapatkan berbagai tunjangan kesejahteraan dari pemerintah.

”Yayasan harus segera mengangkat guru-guru yang mengajar di sekolah yang dinaungi yayasan itu. Sebab, syarat guru swasta untuk bisa ikut sertifikasi guru sehingga mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok, ya harus sebagai guru tetap di yayasan,” kata Sulistiyo.

Pengangkatan guru di sekolah swasta sebagai guru yayasan, kata Sulistiyo, memang berkonsekuensi pada adanya gaji pokok dan tunjangan kesejahteraan lainnya. Jika kemampuan yayasan terbatas, harus ada keterbukaan mengenai hal ini dengan guru.

”Guru-guru swasta itu butuh SK yayasan supaya bisa diajukan untuk ikut sertifikasi guru dan juga bisa mendapat tunjangan fungsional bagi guru swasta yang akan ditingkatkan tahun depan,” ujar Sulistiyo.

Subyanto, Ketua Umum Lembaga Persatuan Guru Swasta Balikpapan, mengatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah tidak bisa tinggal diam melihat kondisi guru swasta yang kesejahteraannya masih rendah. Jika yayasan tidak bisa memberikan gaji guru yang besarnya minimal upah minimum regional per bulan, kekurangannya seharusnya disubsidi pemerintah pusat dan daerah.

”Jangan seperti sekarang, guru swasta dibiarkan saja nasibnya mengenaskan. Akibatnya, banyak guru swasta yang tidak diangkat, tidak punya SK yayasan dan kontrak kerja. Tapi, di lain pihak, pemerintah mensyaratkan harus ada SK yayasan untuk bisa mendapatkan kesejahteraan. Ini tidak adil buat guru swasta,” kata Subyanto.

Di Kota Balikpapan, baru 10-20 persen dari 2.044 guru swasta yang sudah diangkat oleh yayasan. (ELN)

Pelayanan kesehatan

Pemerintah dan Swasta
Harus Jalin Kemitraan
Sabtu, 18 Oktober 2008 | 00:51 WIB

Ahmedabad, Kompas - Kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta dalam menerapkan sistem pelayanan kesehatan dasar perlu dibangun. Hal ini bertujuan mempercepat pembangunan kesehatan, terutama mengatasi kesenjangan akses layanan kesehatan masyarakat miskin di daerah terpencil.

Demikian dikatakan oleh Mirai Chatterjee, koordinator Self Employed Women’s Association (SEWA), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perempuan pada Konsultasi Tingkat Tinggi Badan Kesehatan Dunia Wilayah Asia Tenggara (WHO SEARO), di Ahmedabad, India, Jumat (17/10).

”Dalam pembangunan kesehatan, ada banyak masalah yang harus dihadapi, seperti kurangnya jumlah tenaga kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan, serta faktor kemiskinan dan sosio-ekonomi. Itu tidak bisa diatasi hanya dengan pendekatan kesehatan. Ini bisa diatasi dengan melibatkan sektor swasta termasuk organisasi-organisasi nonpemerintah,” ujarnya menegaskan.

Di India, kemitraan publik dan sektor swasta terjalin dalam pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir. Jadi, pemerintah meningkatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir bekerja sama dengan klinik swasta, profesi dokter kebidanan dan kandungan, serta organisasi non- pemerintah. Pemerintah berperan serta dalam pendanaan untuk orang miskin, termasuk uang transportasi menuju fasilitas layanan kesehatan.

Tidak bisa sendiri

Kepala Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Laksono Trisnantoro menambahkan, peran swasta juga diperlukan dalam pembangunan kesehatan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dengan luasnya wilayah dan keterbatasan jumlah dokter, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian dalam mengatasi masalah kesehatan.

Sayangnya, Indonesia masih belum memiliki sistem kesehatan yang mengakomodasi partisipasi masyarakat dalam membangun fasilitas kesehatan. Padahal, di beberapa negara, seperti India dan Filipina, puskesmas dan rumah sakit memiliki dewan penyantun yang menerima donasi dari masyarakat umum.

Dengan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan dan luasnya wilayah geografis di Indonesia, pemerintah seharusnya membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan melibatkan klinik-klinik swasta dalam pemberian layanan kesehatan dasar termasuk bagi ibu dan bayi. Hal ini diharapkan bisa menekan angka kematian ibu dan bayi baru lahir. (Evy Rachmawati, dari India)

Dana BOS Tidak Dipotong


Pemotongan Anggaran
Tidak Ganggu Pendidikan Dasar
Sabtu, 18 Oktober 2008 | 00:49 WIB

Jakarta, Kompas - Dalam rencana pemangkasan anggaran pendidikan sebesar Rp 16,75 triliun pada Rancangan APBN 2009, alokasi dana untuk biaya operasional sekolah atau BOS tidak akan dikurangi. Penghematan akan dilakukan dengan mengorbankan program-program yang dinilai tidak terlalu mendesak.

”Program-program yang prioritasnya rendah, seperti seminar- seminar atau penelitian yang tidak mendesak, akan ditunda dulu,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo seusai acara ”Halal Bi Halal” di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Jumat (17/10).

Perubahan nominal anggaran pendidikan ini merupakan dampak otomatis dari menurunnya anggaran belanja negara dalam RAPBN 2009 yang awalnya disepakati panitia anggaran DPR dan pemerintah mencapai Rp 1.119,2 triliun jadi Rp 1.035,46 triliun. Akibatnya, anggaran pendidikan berubah dari Rp 224 triliun menjadi Rp 207,1 triliun atau melorot Rp 16,75 triliun (Kompas, 17/10).

Menurut Bambang, perubahan nominal anggaran pendidikan ini mengakibatkan perlunya penyesuaian program-program yang sudah direncanakan di unit-unit kerja Departemen Pendidikan.

Program prioritas utama pemerintah, seperti peningkatan dana BOS yang sudah populer di masyarakat, peningkatan kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan profesi dan tunjangan fungsional, serta rehabilitasi gedung-gedung sekolah yang rusak, akan tetap dilaksanakan sesuai dengan target.

Dari paparan mengenai program prioritas pendidikan di Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2009, selain membiayai wajib belajar 9 tahun yang murah dan terjangkau, pemerintah juga memfokuskan penggunaan anggaran pendidikan untuk kesejahteraan guru dan dosen serta peningkatan mutu pendidikan menengah, atas, dan perguruan tinggi.

Terpatok 20 persen

Irwan Prayitno, Ketua Komisi X DPR, mengatakan, pemerintah masih terpatok untuk memenuhi amanat konstitusi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Belum terlihat komitmen kuat pemerintah untuk meningkatkan pendidikan, terutama pemerataan dan kualitas pendidikan.

”Seharusnya anggaran pendidikan bisa seperti rencana semula Rp 224 triliun supaya kualitas pendidikan bisa semakin ditingkatkan. Tapi, pemerintah, kan masih berpikir bagaimana bisa 20 persen dulu saja, jadi ya anggaran pendidikan pun ikut terpengaruh dengan perubahan anggaran belanja,” kata Irwan.

Menurut Irwan, perubahan anggaran pendidikan itu belum dibahas di DPR. (ELN/INE)

Dana BOS Tidak Dipotong


Pemotongan Anggaran
Tidak Ganggu Pendidikan Dasar
Sabtu, 18 Oktober 2008 | 00:49 WIB

Jakarta, Kompas - Dalam rencana pemangkasan anggaran pendidikan sebesar Rp 16,75 triliun pada Rancangan APBN 2009, alokasi dana untuk biaya operasional sekolah atau BOS tidak akan dikurangi. Penghematan akan dilakukan dengan mengorbankan program-program yang dinilai tidak terlalu mendesak.

”Program-program yang prioritasnya rendah, seperti seminar- seminar atau penelitian yang tidak mendesak, akan ditunda dulu,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo seusai acara ”Halal Bi Halal” di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Jumat (17/10).

Perubahan nominal anggaran pendidikan ini merupakan dampak otomatis dari menurunnya anggaran belanja negara dalam RAPBN 2009 yang awalnya disepakati panitia anggaran DPR dan pemerintah mencapai Rp 1.119,2 triliun jadi Rp 1.035,46 triliun. Akibatnya, anggaran pendidikan berubah dari Rp 224 triliun menjadi Rp 207,1 triliun atau melorot Rp 16,75 triliun (Kompas, 17/10).

Menurut Bambang, perubahan nominal anggaran pendidikan ini mengakibatkan perlunya penyesuaian program-program yang sudah direncanakan di unit-unit kerja Departemen Pendidikan.

Program prioritas utama pemerintah, seperti peningkatan dana BOS yang sudah populer di masyarakat, peningkatan kesejahteraan guru dengan memberikan tunjangan profesi dan tunjangan fungsional, serta rehabilitasi gedung-gedung sekolah yang rusak, akan tetap dilaksanakan sesuai dengan target.

Dari paparan mengenai program prioritas pendidikan di Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2009, selain membiayai wajib belajar 9 tahun yang murah dan terjangkau, pemerintah juga memfokuskan penggunaan anggaran pendidikan untuk kesejahteraan guru dan dosen serta peningkatan mutu pendidikan menengah, atas, dan perguruan tinggi.

Terpatok 20 persen

Irwan Prayitno, Ketua Komisi X DPR, mengatakan, pemerintah masih terpatok untuk memenuhi amanat konstitusi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Belum terlihat komitmen kuat pemerintah untuk meningkatkan pendidikan, terutama pemerataan dan kualitas pendidikan.

”Seharusnya anggaran pendidikan bisa seperti rencana semula Rp 224 triliun supaya kualitas pendidikan bisa semakin ditingkatkan. Tapi, pemerintah, kan masih berpikir bagaimana bisa 20 persen dulu saja, jadi ya anggaran pendidikan pun ikut terpengaruh dengan perubahan anggaran belanja,” kata Irwan.

Menurut Irwan, perubahan anggaran pendidikan itu belum dibahas di DPR. (ELN/INE)

Tuesday, October 14, 2008

Tantangan Mengelola Dana BOS


Senin, 13 Oktober 2008 | 00:56 WIB

Supri Harahap

Bantuan operasional sekolah atau BOS yang dikucurkan ke jenjang pendidikan dasar kini merupakan sumber dana utama untuk segala macam kegiatan operasional di sekolah. Ketika pencairan dana ini mengalami keterlambatan, banyak kepala sekolah yang ”menjerit” , sehingga harus mengutang ke sana kemari untuk menutupi biaya aktivitas pembelajaran yang tak mungkin dihentikan.

Banyak sekolah yang sama sekali tidak mendapatkan sumber dana lain lagi kecuali BOS. Di sisi lain, orangtua dan masyarakat seringkali menjadi lebih kritis jika pihak sekolah menyatakan memerlukan bantuan dana, karena seakan semuanya bisa diselesaikan dengan BOS.

Besaran dana yang diterima sekolah selama ini, yakni Rp 254.000 per siswa SD per tahun dan Rp 354.000 per siswa SMP per tahun. Alokasi dana yang diberikan ke sekolah sesuai jumlah siswa, serta dicairkan setiap triwulan.

Sekolah-sekolah swasta yang sebelumnya membutuhkan biaya operasional yang lebih besar, ada yang ”terpaksa” menolak dana pemerintah yang bersumber dari kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tersebut. Sebaliknya, sekolah-sekolah yang lemah keuangannya, BOS menjadi ”anugerah” yang senantiasa diharapkan.

Menegakkan aturan

Satu dari sekian implikasi kenaikan anggaran pendidikan tahun 2009 sebesar 20 persen dari APBN adalah terjadinya kenaikan anggaran untuk BOS. Anggaran yang biasanya Rp 254.000 untuk siswa SD, direncanakan naik menjadi Rp 300.000 per siswa setiap tahun. Adapun untuk siswa SMP naik dari Rp 354.000 menjadi Rp 420.000 per siswa setiap tahun (Kompas, 11/9). Rencana kenaikan anggaran itu tentu menggembirakan dan patut disyukuri.

Rasa syukur juga harus disertai dengan rasa tanggung jawab dan usaha sungguh-sungguh untuk memajukan pendidikan, sesuai dengan maksud diadakannya BOS. Bayangkan saja, jumlah peserta didik SD sekitar 30 juta orang dan SMP sekitar 12 juta orang, sehingga sangat besar anggaran yang dialokasikan untuk BOS. Tentu saja kita tidak mengharapkan terjadinya kebocoran-kebocoran dari anggaran yang besar tersebut.

Tanpa adanya niat untuk menegakkan aturan secara masif, bukan tidak mungkin menyebabkan penggunaan dana BOS menuai banyak masalah. Yang selalu harus konsisten dalam menegakkan hukum adalah niat untuk menjaga kebersihan dan kejujuran nurani. Misalnya, menggunakan dana pendidikan sebagai bukan milik pribadi. Ini sikap dasar yang mesti dimiliki sebelum menceburkan diri dalam anggaran pendidikan.

Manusia seringkali rentan terhadap godaan materi. Manusia terkadang kehilangan nurani, bahkan akal sehat jika sudah berhadapan dengan persoalan materi. Tidak memandang pangkat, jabatan, maupun kekayaan. Pengalaman empiris sudah sering kita saksikan di negeri ini. OLeh karena itu, untuk menjaga kebocoran atau penyelewengan dana BOS diperlukan aturan hukum yang ketat dan penegakan hukum yang konsisten.

Kredibilitas kepala sekolah sebagai pemegang kekuasaan mengelola dana BOS merupakan ujian tersendiri. Kenakalan dan permainan dalam pengelolaan dana BOS bisa saja terjadi apalagi jika pengawasannya lemah. Bahkan bukan mustahil terjadi semacam kolaborasi antara kepala sekolah dan pengawas.

Ketika aparat badan pengawas kota atau kabupaten melakukan pemeriksaan ke sekolah, sepertinya semuanya beres dan tidak ada masalah. Benarkah demikian? Mudah-mudahan begitu. Hanya hati nurani saja yang bisa menjawabnya.

Meski demikian, ada beberapa fenomena di lapangan yang cukup menggelitik dan mengundang tanda tanya. Misalnya, dana BOS sesuai aturan hanya diperuntukkan bagi operasional sekolah. Akan tetapi, ada saja sela yang dapat dimanfaatkan. Misalnya, kegiatan peningkatan profesi guru-guru melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) dan semacamnya.

Fenomena yang terjadi di lapangan justru diklat tidak diselenggarakan, tetapi pembagian uang kepada guru-guru dilakukan dengan mengatasnamakan uang musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) atau kelompok kerja guru (KKG).

Semestinya, setiap rencana anggaran pendapatan dan belanja sekolah (RAPBS) harus melalui rapat dewan guru. Namun, karena guru juga ”kecipratan” rezeki, maka mereka membiarkan saja ketika pihak lain menyusun dan mengatur RAPBS tersebut. Siapa yang mengawasi dan menindak hal seperti itu?

Suatu tantangan

Adalah suatu ironi sekaligus tantangan jika dana besar yang dikucurkan selama ini belum banyak memberikan pengaruh positif bagi peningkatan kualitas pendidikan. Di Sumatera Utara, misalnya, ketua Dewan Pendidikan Medan Muthsyohito Solin mengkritik kondisi di lapangan (Kompas, 11/9). Tahun 2008, provinsi ini menerima dana alokasi khusus pendidikan sebesar Rp 400 miliar. Masing-masing kabupetan/kota rata-rata menerima Rp 10 miliar.

Dana itu sekitar 60 persen digunakan untuk keperluan pembangunan fisik, sedangkan 40 persen lagi untuk pengadaan buku.

Dana Rp 10 miliar itu sangat besar, tetapi dampaknya kelihatan belum begitu optimal. Di Medan saja, menurut penilaian dosen Universitas Negeri Medan (Unimed) ini, hanya 15 persen dari semua SD dan SMP yang memenuhi standar nasional.

Makanya sebelum bicara tentang peningkatan mutu, ada baiknya pertanyaan ini direnungkan: sudah sejauh manakah BOS menyukseskan wajib belajar sembilan tahun? Jangan sampai anggaran yang sedemikian besarnya tidak mencapai sasaran. Perlu ada evaluasi yang komprehensif dan menyeluruh setelah program itu berjalan sekian lama, apakah sudah mencapai sasaran yang diinginkan? Di mana titik kelemahan dalam pelaksanaannya, sehingga perlu diperbaiki.

Benarkah besarnya anggaran pendidikan yang tersedia selalu berbanding lurus dengan meningkatnya mutu pendidikan? Kita lihat saja nanti.

Supri Harahap Guru SMA Negeri 4 Medan

Gaji Guru Minimal Rp 2 Juta


Senin, 13 Oktober 2008 | 00:56 WIB

PROBOLINGGO, KOMPAS -Gaji guru pegawai negeri sipil mulai setingkat SD hingga SMA minimal Rp 2 juta per bulan. Ketentuan ini berlaku mulai Januari 2009.

”Gaji Rp 2 juta itu merupakan uang pangkal bagi guru dengan pangkat terendah, meskipun yang bersangkutan belum mempunyai sertifikat maupun belum mengantongi ijazah strata 1,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada acara Halalbihalal Guru di alun-alun Kota Probolinggo, Jawa Timur, Sabtu (11/10).

Mendengar pernyataan itu, sekitar 5.000 guru yang hadir spontan bersorak. Turut hadir dalam kesempatan itu, antara lain, mantan Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Rasiyo, dan Wali Kota Probolinggo Buchori.

Bambang menjelaskan hal itu setelah menegaskan kebijakan pemerintah yang meletakkan kesejahteraan guru pada prioritas pertama alokasi 20 persen anggaran pendidikan nasional.

Mengenai kesejahteraan guru non-pegawai negeri sipil (PNS), menurut Bambang, pemerintah telah berencana memberikan subsidi kepada mereka. Namun, ia tidak merinci seberapa besar subsidi yang dimaksud. ”Soal subsidi guru non-PNS sedang dibahas DPR. Tunggu saja nanti keputusan dari DPR,” ujar Bambang.

Bambang mengemukakan, pemerintah juga sedang mengusulkan kepada DPR untuk menaikkan dana biaya operasional sekolah (BOS) mulai tahun depan. Besarnya 50 persen lebih besar dibanding BOS tahun ini.

Menyinggung soal buku murah, Bambang mengatakan, pemerintah telah membeli hak cipta 409 judul buku bacaan sekolah. Kepada siapa pun dipersilakan untuk mencetak dan mengedarkannya, dengan syarat harganya tidak boleh melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan Menteri Pendidikan Nasional. (LAS)

Modernisasi Thailand Berawal di Jawa

Modernisasi Thailand Berawal di Jawa
Selasa, 14 Oktober 2008 | 00:41 WIB

Kehidupan dan kemajuan Pulau Jawa akhir tahun 1800-an dan awal 1900 ternyata menjadi inspirasi bagi modernisasi kerajaan Siam yang kini menjadi salah satu pelaku industri otomotif, pertanian, perkebunan, serta produk pangan olahan kelas dunia.

Semua itu berawal dari kunjungan Raja Rama V atau Raja Chulalangkorn yang dikenal sebagai pembaru Siam ke seantero Pulau Jawa pada tahun 1871, 1896, dan 1901. Raja Chulalangkorn adalah putra sulung Raja Mongkut atau Raja Rama IV yang dikenal dalam film legendaris Anna and the King.

Kunjungan Raja Chulalangkorn diabadikan di utara Kota Bandung di kaki air terjun Dago. Raja Chulalangkorn yang menghadiahkan patung gajah di Museum Nasional, Jakarta, menorehkan nama dalam prasasti di batu besar di kaki air terjun. Putra Raja Chulalangkorn, Raja Rama VII atau Raja Prajadiphok, juga singgah di air terjun Dago pada 12 Agustus 1929 dan meninggalkan prasasti serupa.

Dua buah gazebo kayu berarsitektur Thailand warna merah, hijau, dan kuning emas sudah berdiri menaungi dua prasasti peninggalan Raja Chulalangkorn dan Raja Prajadiphok. Gazebo tersebut menambah indah pemandangan air terjun Dago yang mengalir deras.

Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Thailand untuk RI Sombat Khattapan mengatakan, prasasti itu merupakan tanda persahabatan kerajaan Siam dengan masyarakat Jawa dan Indonesia.

”Raja Chulalangkorn belajar banyak dari keberadaan infrastruktur dan industri modern di Jawa zaman itu, seperti kereta api, jalan raya, hingga perkebunan yang menjadi tulang punggung ekonomi Thailand sekarang. Setelah beliau kembali ke Siam, pelbagai perintah untuk membangun jaringan kereta api, perintisan perkebunan karet, hingga pelebaran jalan ukuran dikerjakan serius setelah membuat catatan secara detail segala segi kehidupan di Pulau Jawa,” kata Sombat.

Diminati wisatawan

Imtip Suharto, warga Bandung yang secara teratur datang ke air terjun Dago, menyayangkan banyaknya sampah di air terjun Dago yang hanyut dari hunian warga di daerah hulu. Padahal, air terjun tersebut dapat menjadi magnet bagi wisatawan mancanegara, seperti Belanda hingga Thailand. Khususnya bagi bangsa Thai, situs peninggalan para raja dari dinasti Chakri selalu dihormati dan dikunjungi secara berkala. ”Sayang kalau situs ini rusak. Bahkan, papan penanda situs dari besi juga rusak digergaji,” kata Imtip.

Imtip yang juga menulis Journeys to Java by a Siamese King mencatat betapa Raja Chulalangkorn menjalin hubungan baik dengan penguasa Jawa dari semua keraton yang ada di Yogyakarta dan Surakarta. Beliau juga bersahabat dengan keraton- keraton di Cirebon, Jawa Barat.

Berdasarkan data yang diolah Imtip dari pelbagai sumber, sungguh layak jika Raja Chulalangkorn belajar dari Pulau Jawa. Kala itu, galangan kapal terbesar di dunia terdapat di Surabaya. Pelbagai industri dari usaha kecil menengah pembuatan topi hingga permesinan dikunjungi lalu dicatat secara detail untuk dikembangkan di kerajaan Siam (nama kerajaan Thailand baru resmi digunakan tahun 1940-an).

Kini bangsa Thailand menikmati buah dari proses studi banding ke mancanegara hingga Eropa-Amerika yang diawali di Pulau Jawa. Peresmian situs air terjun Dago seharusnya menjadi cambuk bagi bangsa Indonesia untuk bangkit kembali di semua bidang dan kembali menjadi panutan bagi bangsa lain. (Iwan Santosa)

Sunday, October 12, 2008

Gaji Guru Non PNS Naik Rp 100 Ribu


Selasa, 9 September 2008 | 14:58 WIB

Laporan Wartawan Persda Network Ade Mayasanto

JAKARTA, SELASA - Kenaikan anggaran pendidikan rangka memenuhi amanat konstitusi dari yang semula Rp 154 triliun menjadi Rp 224 triliun tidak hanya membawa berkah bagi guru-guru Pegawai Negeri Sipil (PNS). Guru non PNS juga akan mendapat kenaikan gaji sebesar Rp 50-100 ribu. Alokasi anggaran pendidikan disalurkan melalui Depdiknas, Depag, dana alokasi umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

"Guru-guru yang memunuhi persyaratan untuk mendapat tunjangan subsdi fungsional, untuk yang belum sarjana dinaikkan Rp 50 ribu per bulan. Sedangkan yang sarjana Rp 100 ribu per bulan," kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo usai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (9/9).

Sebelumnya, Bambang mengemukakan, tambahan anggaran pendidikan yang meningkat menjadi Rp 46,1 triliun juga digunakan untuk peningkatan kesejahteraan guru dan dosen. Rata-rata kesejahteraan guru dan dosen akan meningkat 14-15 persen. "Dengan itu guru PNS yang terendah pangkatnya, peningkatan kesejahteraan minimal Rp 2 juta," ujarnya.

Tidak hanya itu, kenaikan anggaran pendidikan juga digunakan untuk penuntasan percepatan wajib belajar sembilan tahun untuk Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah, dan MTs. "Anggaran pendidikan lebih dari 50 persen akan terserap untuk anggaran wajib belajar ini," tukasnya.

Lebih lanjut Bambang menambahkan, tambahan anggaran pendidikan bakal diberikan kepada peneliti dan perekayasa yang berada di luar depdiknas."Kita akan sediakan anggarannya jadi setiap peneliti non PNS bisa melakukan penelitian dan dari situ kesejahteraannya bisa meningkat," sergahnya seraya memastikan, persyaratan terhadap peneliti non PNS akan dirumuskan direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. "Ini karena anggarannya diambil dari dirjen pendidikan tinggi," pungkasnya.

Menyangkut permintaan anggaran pendidikan kedinasan yang diminta Badan Intelijen Negara kepada Depdiknas, Bambang menegaskan, pihaknya telah menyetujui permintaan BIN. "BIN telah melalui permintaan resmi kepada saya, dan saya setujui itu didirikan sebuah PTN, namanya sekolah tinggi inelijen negara dibawah depdiknas, dimana BIN ikut mensupervisi, dan mengawasi penyelanggaraan itu," jelasnya.

Bambang menambahkan, pemerintah akan menerbitkan sebuah peraturan pemerintah untuk pendidikan kedinasan sekaligus Perpres sebagai implementasinya. "Ketentuan ini tentang bagaimana peralihan dibawah departemen, dan menjadi tunduk pada UU sisdiknas," ungkapnya.

Masih dalam kesempatan yang sama, Menteri Agama Maftuh Basyuni mengatakan, pihaknya menerima tambahan anggaran sebesar Rp 10 triliun. Dana ini akan diberikan kepada guru madrasah, dan rehibilitasi bangunan sekolah. "Semua guru akan mendapat tambahan tapi memang belum rinci. Nanti akan dibicarakan," ujarnya.

Kenaikan Gaji Guru Jangan Diskriminatif


Ratusan guru bantu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Guru Bantu Indonesia Provinsi DKI Jakarta berunjuk rasa di Gedung Balaikota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (9/6). Mereka menuntut gaji guru bantu DKI Jakarta dibayarkan rutin setiap bulan sampai dengan penerimaan gaji PNS dan segera memproses berkas-berkas calon pegawai negeri sipil.
Selasa, 9 September 2008 | 21:02 WIB

JAKARTA, SELASA - Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan gaji guru pada 2009 menjadi minimal Rp 2 juta untuk guru pegawai negeri sipil (PNS) golongan terendah dinilai diskriminatif. Pasalnya, gaji guru PNS selama ini dinilai sudah hampir mendekati nilai tersebut, sedangkan guru non-PNS banyak yang di bawah upah minimum provinsi atau upah minimum kota/kabupaten.

Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman di Jakarta, Selasa (9/9), mengatakan jika kenaikan gaji guru hingga minimal Rp 2 juta untuk golongan terendah hanya diprioritaskan bagi guru PNS, kebijakan itu dinilai diskriminatif. Kebijakan yang semata-mata memprioritaskan guru PNS tersebut dinilai sebagai janji-janji manis dan umbar kebaikan pemerintah.

Jika kebijakan itu untuk semua guru PNS dan non-PNS, baru bisa dibilang perubahan yang bagus. Yang adil itu, jika pemerintah juga memberikan subsidi tunjangan fungsional bagi guru swasta atau guru honores sebesar upah minimum provinsi atau upah minimum kota/kabupaten dan jaminan sosial tenaga kerja. "Ini baru perubahan yang signifikan," kata Suparman.

Menurut Suparman, secara umum gaji PNS sudah mencapai Rp 1,5 juta - Rp 2 juta. Jika pemerintah daerah memberikan tambahan tunjangan, gaji guru PNS bisa lebih lagi. Seperti di DKI Jakarta sudah bisa mencapai Rp 4 juta per bulan.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo menyambut baik komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Tetapi yang dibutuhkan guru itu realisasinya, bukan janji-janji kosong. Banyak guru yang resah karena pembayaran tunjangan sertifikasi terhenti. "Guru-guru yang sudah mengabdi puluhan tahun tidak jelas apa bisa menikmati tunjangan sertifikasi hanya karena belum S-1, sementara pemerintah tidak juga mengesahkan PP Guru dan PP dosen soal sertifikasi," kata Sulistyo.

Guru Swasta Dianaktirikan


Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Istana Negara Jakarta, Jumat (2/5). Dalam aksinya ini mereka menuntut pengangkatan status sebagai pegawai negeri sipil.
Rabu, 10 September 2008 | 23:43 WIB

JAKARTA, RABU - Kesejahteraan guru-guru swasta di Indonesia memprihatinkan. Besarnya gaji yang diterima dari yayasan masih jauh dari layak, sedangkan untuk mendapatkan insentif atau tunjangan fungsional dari pemerintah pusat dan daerah terganjal ketentuan mengajar 24 jam per minggu.

"Guru swasta itu masih dianaktirikan. Padahal, para guru swasta ini kan punya kewajiban yang sama untuk mengabdi pada negara. Namun, pemerintah tutup mata terhadap kesejahteraan guru swasta yang masih minim," kata Maruli Taufik, Ketua Perkumpulan Guru Karyawan Swasta Seluruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta yang dihubungi, Rabu (10/9).

Pada 2009 nanti, pemerintah merencanakan untuk meningkatkan gaji guru golongan terendah menjadi minimal Rp 2 juta per bulan. Adapun tunjangan fungsional guru swasta non-S1 ditambah Rp 50.000 dan guru S-1 Rp 100.000 per bulan.

Menurut Maruli, jika mengandalkan gaji dari sekolah saja, guru swasta mendapatkan jumlah gaji yang jauh dari layak, bahkan di bawah upah minimum provinsi atau kota/kabupaten. Di Yogyakarta, bayaran mengajar di sekolah swasta biasa berkisar Rp 5.000 - Rp 10.000 jam.

"Sekolah swasta itu mengandalkan pemasukan dari siswa. Sementara sekolah swasta sekarang ini banyak yang kekekurangan siswa. Kesejahteraan guru juga terpengaruh karena lokal berkurang, berarti jam mengajar terbatas," kata Maruli.

Pemerintah provinsi DIY dan pemerintah kota memang memberikan tunjangan yang besarnya bisa mencapai Rp 200.000 per bulan atau lebih. Adapun tunjangan fungsional dari pemerintah pusat belum dirasakan semua guru swasta karena sedikit sekali yang bisa memenuhi ketentuan mengajar 24 jam per minggu.

Edi Susanto, Ketua Federasi Guru Independen Indonesia Kota Padang, mengatakan guru-guru swasta terpaksa mengajar dua bidang studi atau mengajar di sekolah lain untuk bisa memenuhi ketentuan mengajar 24 jam/minggu. Upaya ini ditempuh guru swasta supaya bisa mendapatkan insentif dari pemerintah daerah senilai Rp 100.000/bulan.

"Tapi turunnya insentif juga tidak lancar. Yang kasihan sekolah swasta yang kecil, para guru tidak bisa berbuat banyak karena tidak bisa mengajar sampai 24 jam/minggu," kata Edi.

Tuesday, October 7, 2008

Presiden: Pertumbuhan Jangan Sampai Turun


BI Sempurnakan Giro Wajib Minimum untuk Atasi Krisis


KOMPAS/ALIF ICHWAN / Kompas Images
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin sidang kabinet paripurna di Gedung Utama Sekretariat Negara, Senin (6/10). Sidang yang membahas antisipasi menghadapi krisis keuangan dan perekonomian global itu juga dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur Bank Indonesia Boediono, menteri Kabinet Indonesia Bersatu, Panglima TNI, Kepala Polri, direktur BUMN, pimpinan perbankan nasional, Ketua Kadin, pengusaha swasta nasional, pengamat ekonomi, akademisi, serta pimpinan media cetak dan elektronik.
Selasa, 7 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Meskipun krisis keuangan global yang tengah melanda dunia dewasa ini berbeda dengan krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1997, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta bangsa Indonesia agar tidak lengah dan lalai untuk mengantisipasinya.

Pemerintah dan dunia usaha harus terus waspada untuk bersama-sama dalam satu tekad dan langkah menjaga momentum perekonomian. Diharapkan pertumbuhan ekonomi tidak turun dari angka 6 persen, agar penyerapan tenaga kerja tetap terjamin.

Demikian disampaikan Presiden Yudhoyono saat sidang kabinet paripurna yang diperluas di Gedung Utama Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (6/10).

Dalam sidang kabinet tersebut hadir Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan hampir semua menteri Kabinet Indonesia Bersatu, kalangan dunia usaha, pimpinan umum dan pimpinan redaksi media massa, serta pengamat ekonomi.

Pengusaha yang hadir antara lain Rachmat Gobel, Fransiscus Welirang, dan James Riady. Adapun pengamat ekonomi yang diundang di antaranya Christianto Wibisono, Pande Radja Silalahi, dan Mirza Adityaswara.

”Saya harus katakan secara tegas dan jelas, insya Allah tidak akan terjadi krisis sebagaimana kita alami pada 10 tahun lalu. Rasionalnya jelas. Prakondisi faktor pemburuk dan isu-isu nonekonomi yang membuat krisis ekonomi 1997-1998 pada waktu dulu sungguh parah. Akan tetapi, sekarang, sesungguhnya tidak terjadi atau tidak sama dengan keadaan tahun 1997-1998,” papar Presiden.

Menurut Presiden, dirinya tak mengatakan akan aman-aman saja. ”Akan tetapi, saya punya keyakinan, apabila kita bersatu dan mengatasi masalah ini bersama, mimpi buruk yang terjadi pada 10 tahun yang lalu niscaya tidak akan terjadi,” katanya.

Presiden Yudhoyono kemudian memaparkan perbedaan kondisi pada saat krisis 1997 dengan kondisi ekonomi sekarang ini. Hal itu di antaranya penyebab utama krisis ekonomi yang berbeda, adanya kepanikan pasar, dan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan yang tidak konsisten, kestabilan pemerintahan, dan faktor ekonomi lainnya, seperti harga minyak mentah dunia yang jatuh sampai 20 dollar AS per barrel.

”Untuk itu, mari menjaga misi bersama kita, tiada lain adalah memelihara momentum kebangkitan ekonomi nasional. Sayang kalau momen ini lepas dan kita sia-siakan karena bertahun- tahun kita bekerja keras karena proses recovery setelah krisis itu berjalan dengan baik, dan bahkan kemudian tahun-tahun terakhir ini tanda-tanda perbaikan itu nyata,” ujarnya.

Presiden menambahkan, dampak dari krisis keuangan di Amerika Serikat, dengan segala turunannya dan alirannya, akan berpengaruh terhadap momentum pertumbuhan itu. ”Oleh karena itu, mari kita kelola agar tidak mengancam, apalagi menghentikan atau membuatnya mundur dari pertumbuhan ekonomi kita yang sedang berlangsung dewasa ini,” katanya lagi.

Presiden mengakui banyak negara mengoreksi pertumbuhan ekonominya. Namun, dengan usaha bersama dan kegigihan sekuat tenaga, pertumbuhan ekonomi diharapkan berada di kisaran 6 persen. Saat ini pertumbuhan ekonomi pemerintah diasumsikan masih 6,3 persen.

Seusai sidang, Ketua Kadin MS Hidayat menyatakan, pemerintah bisa saja tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi di angka 6 persen. Namun, sejumlah syarat harus dipenuhi, yaitu menjaga tingkat konsumsi dengan menjaga produksi dan meningkatkan investasi, serta menjaga kinerja ekspor agar bisa terus meningkat.

”Dan, jangan dilupakan adalah menjalankan rekomendasi Kadin, di antaranya penurunan biaya logistik pelabuhan, peninjauan ulang kebijakan biaya listrik pada saat beban puncak, penguatan perlindungan pasar dalam negeri sesuai mekanisme WTO, peningkatan dan kemudahan percepatan restitusi pajak, dan lainnya,” ujar Hidayat.

Menurut Hidayat, apabila rekomendasi Kadin dijalankan semuanya, dan kinerja ekspor, investasi dan konsumsi ditingkatkan, pertumbuhan ekonomi akan tetap di kisaran 6 persen.

Jangan terlalu optimistis

Anggota Komisi XI DPR, Dradjad Wibowo, mengatakan, pemerintah sebaiknya jangan terlalu optimistis. ”Pemerintah kerap salah perhitungan. Dulu dikatakan Indonesia tak akan terimbas kasus subprime mortgage, nyatanya kini kita terkena imbasnya, berupa pengeringan likuiditas,” kata Dradjad.

Menurut Dradjad, sulit untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang baik tahun depan. Pasalnya, pada tahun 2009 akan terjadi pengetatan likuiditas, lonjakan suku bunga hingga dua digit, dan anjloknya harga komoditas.

Penyempurnaan GWM

Gubernur Bank Indonesia Boediono mengakui bahwa dalam waktu dekat BI akan menyempurnakan perhitungan giro wajib minimum (GWM) untuk membantu likuiditas perbankan yang melemah akibat krisis keuangan global. ”Kami juga akan menyempurnakan GWM. Kami akan lakukan penyederhanaan, dan sekarang sedang digarap,” ujar Boediono.

Sebelumnya, Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A Sarwono mengatakan, implementasi aturan GWM yang dikaitkan dengan rasio kredit terhadap dana pihak ketiga atau loan to deposit ratio (LDR) tidak lagi relevan mengingat LDR perbankan sudah cukup tinggi.

Langkah lain yang ditempuh BI, kata Boediono menambahkan, di antaranya adalah BI telah membuka ruang untuk repo Surat Utang Negara (SUN) atau SBI yang diperpanjang masa berlakunya hingga tiga bulan. ”Itu semua untuk menjaga likuiditas perbankan menghadapi krisis,” ujar Boediono.

Sebelumnya, Ketua Kadin MS Hidayat dalam sidang kabinet meminta BI melakukan relaksasi kebijakan uang ketat melalui perubahan kebijakan-kebijakan terkait likuiditas, di antaranya penurunan tingkat GWM yang dikaitkan dengan LDR dan perluasan repo SUN untuk jangka waktu yang lebih panjang.(HAR/FAJ)