Monday, February 25, 2008

Nilai Janji yang Terucap


Senin, 25 Februari 2008 | 01:09 WIB

Christina Suprihatin

Sebagai penggambar dan penulis, saya gemar membuat peta dan tulisan mengenai negeri-negeri yang saya karang atau, tepatnya, saya temukan. Barangkali karena saya menjadi bagian dari dua negara yang berbeda, yang dua-duanya saya cintai, namun yang di satu pun saya tidak pernah benar-benar merasa betah….

Demikian bunyi penggalan surat yang dikirimkan Tonke Dragt kepada pembaca di Indonesia terkait dengan peluncuran salah satu bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. De brief voor de koning, karya Tonke Dragt, yang terbit tahun 1962 akhirnya dapat dinikmati publik Indonesia. Penerbit Pena Wormer, yang mengkhususkan diri pada karya penulis Belanda, meluncurkan edisi bahasa Indonesia dengan judul Surat untuk Raja, awal Desember 2007.

Pada tahun 1963—setahun setelah penerbitannya—anugerah buku anak terbaik disabet Surat untuk Raja. Empat puluh tahun kemudian karya itu belum kehilangan geregetnya. Cetakan ke-19 terbit pada tahun 2002. Capaian tertinggi diraih dua tahun kemudian saat buku anak itu dinobatkan sebagai Buku Anak Terbaik di Belanda sepanjang lima puluh tahun terakhir (1955-2004). Suatu pencapaian yang luar biasa dari sebuah karya yang seolah tak lekang dimakan usia. Oplahnya tidak boleh dipandang sebelah mata: sejak 1962, jutaan eksemplar telah terjual dan berbagai toko buku di Belanda setiap tahun menjual lebih dari 15.000 buku.

Cerita dalam Surat untuk Raja berlatar waktu saat para ksatria masih berjaya. Tokoh utamanya adalah seorang pemuda berusia enam belas tahun bernama Tiuri, seorang calon ksatria yang harus menempuh ujian terakhir sebelum diangkat menjadi ksatria. Pada malam menjelang pengangkatan, bersama empat calon ksatria lainnya, Tiuri bertirakat dan menyepi di sebuah kapel di wilayah kerajaan Baginda Dagonaut. Dua puluh empat jam lamanya dia harus menahan kantuk, lapar, dan keinginan berinteraksi dengan orang lain.

Pada malam yang menentukan itu, dia mendengar ketukan di pintu kapel. Seorang lelaki tua misterius meminta pertolongannya untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Ksatria Hitam Laskar Perisai Putih. Si lelaki tua menyerahkan surat dan mengatakan bahwa seekor kuda hitam akan membawa Tiuri menemui ksatria yang dimaksudkan. Mengikuti kata hatinya, Tiuri menafikan semua larangan dan mempertaruhkan nasibnya. Menembus gelapnya malam, calon ksatria itu berkuda mengantarkan surat.

Suatu tugas yang teramat berat dan penuh bahaya untuk dilaksanakan. Dalam sekejap dia menjadi barid, seorang pengantar surat. Jalan panjang ditempuh menuju Kerajaan Unawen. Dalam perjalanan Tiuri harus menghadapi Laskar Pusu Pengendara Merah dari negeri Eviellan yang sedang berperang dengan Kerajaan Unawen. Laskar itu berkepentingan mencegah surat itu sampai di tangan Raja Unawen. Tiuri juga harus berhadapan dengan ksatria yang tergabung dalam Pusu Ksatria Kelabu, yang menuntut balas kematian Ksatria Hitam laskar Perisai Putih. Nantinya terbukti bahwa Ksatria Kelabu berada di pihak yang sama seperti Tiuri, mereka membela kepentingan Raja Unawen. Para Ksatria Kelabu menuturkan bahwa Ksatria Hitam Perisai Putih yang terbunuh adalah Edwinem dari Forestera, ksatria Raja Unawen yang paling setia dan digdaya, yang gugur karena dijebak Laskar Pusu Pengendara Merah.

Di pertapaan Menaures, sang petapa memperkenalkannya pada Piak, penunjuk jalan di pegunungan. Pada Piak, Tiuri menemukan sosok seorang sahabat. Rintangan demi rintangan dilalui kedua pemuda dalam melaksanakan tugas mengantar surat rahasia itu.

Nilai kebajikan dalam kemasan sederhana

Kisah Tiuri yang berlatar negeri antah berantah dan bermain di masa yang mengingatkan orang pada Abad Pertengahan patut mendapat acungan jempol. Pendapat pemerhati buku anak di Belanda—yang menilai buku ini sebagai karya abadi yang memiliki semua hal yang semestinya dipenuhi sebuah buku anak yang baik—dapat dibenarkan. Setelah lebih dari dua puluh enam tahun, tidak ada satu nilai kebajikan yang diusung dalam cerita ini ketinggalan zaman.

Unsur fiksi yang dihadirkan menjadikan kejadian dalam cerita tetap terterima sampai saat ini. Dragt berhasil menggabungkan fantasi dan kenyataan, dunia yang diciptakannya terasa begitu nyata. Penggambaran latar tempatnya membuat pembacanya terseret dan mulai membayangkan keindahan hutan dan bengawan, pekatnya malam di hutan atau sulitnya perjalanan melalui pegunungan. Kepiawaiannya menggambar—dia membuat sendiri ilustrasi buku-bukunya—barangkali berperan dalam pembentukan gambaran latar yang memikat. Penggambaran latar bersifat universal sehingga memudahkan pembaca menghayatinya. Struktur cerita yang jelas dengan alur maju pastinya tidak akan menyulitkan pembaca muda menangkap benang merah kisah petualangan ini.

Buku ini mengusung nilai-nilai kebajikan dalam kemasan sederhana. Terkadang pesan yang penuh perenungan diungkap, bukan lewat tindakan heroik para ksatria, tetapi misalnya ujaran tokoh sampiran. Tokoh Tirillo, pelawak penghibur di Negeri Unawen, berulang kali mengemban tugas menyampaikan perenungan itu. ”Seseorang tidak perlu mengusung pedang dan perisai untuk menjadi ksatria” (hal 459). Makna yang terkandung dalam pendapat si badut itu teramat dalam. Atau barangkali yang lebih menarik. Bagian berikut ini tak kalah memikat, saat si pelawak diminta menyanyi untuk menghibur hati, Trililo menolak dan justru mengatakan, ”Aku tidak bisa menghilangkan kesedihan hati kalian. Sekali-kali kau harus merasakan kesedihan agar bisa lebih menghargai kegembiraan. Sama seperti hujan yang mesti turun di antara sinar matahari” (hal 449).

Pemenuhan janji yang telah terucap, kentara ditekankan dalam Surat untuk Raja. Berkali-kali dalam cerita disuguhkan bagaimana tokoh utama dan beberapa tokoh lain jungkir balik berupaya memenuhi janji. Bahwa mereka harus mengalahkan rintangan dan berbagi beban dalam menghadapi berbagai kendala yang menghadang, memperkuat pesan yang hendak disampaikan. Dan bila semua rintangan dan kendala terlewati, tugas dan janji terpenuhi, imbalan yang layak menanti. Dus bukanlah lidah tak bertulang, lain di bibir lain di hati.

Makna persahabatan dijunjung tinggi, bersama teman kesulitan lebih mudah dihadapi, kebahagiaan dan kemenangan menjadi jauh lebih bermakna. Nilai seorang teman sejati diungkap dalam kisah ini, berkorban, menimbang rasa, besar artinya dalam sebuah relasi.

Perjalanan yang dilakukan Tiuri sejalan dengan tema yang sering diangkat Dragt. Untuk menyampaikan surat penting, Tiuri menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Di akhir perjalanan Tiuri becermin dan melihat sebuah sosok baru: seorang calon ksatria telah menjadi ”ksatria” sesungguhnya, seorang pemuda menjadi lelaki dewasa.

Dua ragam dalam satu kemasan

Sungguh bukan pekerjaan mudah untuk menuturkan kembali kisah petualangan Tiuri yang luar biasa ini ke dalam bahasa Indonesia. Dalam mengalihbahasakan Surat untuk Raja, Laurens Sipahelut menggabungkan dua ragam bahasa. Kentara ada upaya dari penerjemah untuk membuat buku ini terterima di kalangan pembaca muda. Ragam keseharian dipilih dan dihadirkan melalui dialog. Kehadiran kata-kata yang tidak ”resmi” seperti enggak, ’lah buset’, ’larinya enggak ada matinya’, tos gambar, ditengarai dapat menjadi ”pencair” keseriusan cerita. Sayangnya, terkadang pilihan kata semacam ini mengganggu keasyikan membaca.

Edisi bahasa Indonesia ini juga berhasil menunjukkan kehebatan Dragt bercerita. Di samping ragam keseharian, Sipahelut menghadirkan ragam tinggi, dengan pilihan kata yang elok. Mungkin saja ini untuk memperlihatkan kedahsyatan kisah petualangan Tiuri. Efek kehadiran kata-kata ”berdaya” seperti barid, biduanda, juak-juak, sipangkalan sangat mencengangkan. Kata-kata yang tidak ”lumrah” dan jarang didengar—untungnya untuk kata semacam itu selalu diberikan penjelasan makna—menimbulkan sensasi keindahan yang luar biasa. Dampak gabungan dua ragam itu menciptakan ”kemegahan” yang terasa begitu ”membumi”.

Sipahelut juga bereksperimen menciptakan kata-kata baru, yang barangkali terasa asing di telinga pengguna bahasa Indonesia, seperti pekuda, mengendala, mencenangkan. Beberapa kata bahkan tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tetapi pemaknaannya mengalir saja. Kenyamanan membaca justru terganggu karena masih banyaknya pekerjaan penyuntingan yang harus dibenahi.

Gembira rasanya menyaksikan bahwa ranah buku anak di Indonesia diperkaya dengan edisi bahasa Indonesia karya Tonke Dragt ini. Di Negeri Belanda, Surat untuk Raja disejajarkan dengan karya besar penulis buku anak kelas dunia seperti CS Lewis The Chronicle of Narnia dan The Lord of the Ring milik JRR Tolkien. Hanya sedikit sekali buku anak karya bahasa Belanda dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk menyebut beberapa di antaranya, Perjalanan Menembus Waktu karya Thea Beckman (Teraju, 2005) dan Minoes karya Annie MG Schmidt (Gramedia, 2006).

Petualangan Tiuri belum berakhir, kisah perjalanannya dapat diikuti dalam buku karya Tonke Dragt lainnya. Siapa tahu Pena Wormer atau penerbit lain masih akan menerbitkan edisi bahasa Indonesia petualangan Tiuri berikutnya. Kita tunggu saja.

Christina Suprihatin Pengajar Susastra dan Terjemahan pada Program Studi Belanda FIB Universitas Indonesia

Mediator "Diam" Pembentukan Budaya




KOMPAS/WAWAN H PRABOWO / Kompas Images
Senin, 25 Februari 2008 | 01:10 WIB

Esther Kuntjara

Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, budaya orang Indonesia Tionghoa dikenal memiliki kekhasan yang berbeda dari budaya etnik lain. Dapat dikatakan budaya masyarakat Indonesia Tionghoa sebetulnya hibrida dari budaya China yang dibawa orang-orang China yang datang ke Indonesia dan budaya lokal di mana orang-orang China tersebut menetap.

Berbicara tentang budaya hibrida orang Tionghoa, yang sering terlupakan adalah peran penting perempuan Tionghoa sebagai pelangsung dan pembentuk budaya hibrida ini karena kehidupan mereka yang ”diam” atau ”terdiamkan”.

Seperti sudah banyak ditulis dalam buku-buku Leo Suryadinata, Charles Coppel, dan Myra Sidharta, kedatangan orang China ke Indonesia pada mulanya tidak disertai istri mereka yang ditinggal di negaranya. Kehidupan yang cukup lama di Indonesia memaksa mereka mengambil perempuan lokal sebagai istri.

Keturunan dari perkawinan antara orang China dan penduduk setempat itu menurun kelompok yang dikenal sebagai Tionghoa peranakan. Biasanya lelaki China yang kembali ke China hanya membawa anak laki-laki, sedangkan anak perempuan ditinggal dan dipelihara ibu mereka yang orang setempat.

Dari ibu-ibu anak-anak peranakan inilah mereka belajar budaya lokal dan mencampurnya dengan kebiasaan orangtua mereka yang China sehingga muncul budaya hibrida di kalangan mereka dan keturunannya.

Hal paling menonjol yang bisa kita saksikan dalam budaya hibrida apalagi kalau bukan urusan domestik yang sering kali diidentikkan dengan urusan perempuan. Di sekitar pekerjaan domestik inilah biasanya keseharian hidup perempuan. Yang tampak jelas adalah dalam hal busana, makanan, dan bahasa sehari-hari.

Busana

Anak-anak perempuan peranakan Tionghoa belajar mengenakan kebaya dan sarung yang biasa dikenakan perempuan setempat di Jawa. Untuk membedakan mereka dari perempuan setempat biasanya motif sarung dan kebaya dibuat berbeda. Batik pekalongan dan lasem dikenal sebagai batik yang bercorak khusus yang dipakai perempuan Tionghoa. Kebayanya juga dikenal sebagai ”kebaya encim” yang biasanya ada bordiran di tepi baju. Kalaupun busana seperti itu sudah jarang kita temui dikenakan oleh masyarakat Tionghoa perempuan sebagai busana sehari-hari, busana ini sudah dimodifikasi sehingga menjadi busana anggun yang banyak dikenakan perempuan Indonesia modern untuk acara hajatan dan acara resmi.

Pada umumnya perempuan Tionghoa sejak kecil sudah diajarkan memasak oleh ibunya karena mereka diharapkan kelak dapat mengurus rumah tangga bila sudah menikah. Para istri orang setempat yang menikah dengan orang China pasti akan berusaha belajar memasak masakan yang biasa dimakan suami Chinanya dengan cara masak dan bumbu-bumbu yang didapat di tempatnya.

Dari sinilah muncul masakan yang dinamai dengan nama China, tetapi berselera lokal. Seperti kalau kita makan cap cai atau mi. Masakan China yang dimasak di Indonesia tidak lagi memiliki rasa yang sama dengan masakan yang dimasak di China. Masakan hibrid ini ternyata juga digemari orang-orang Tionghoa hingga sekarang maupun oleh orang Indonesia umumnya.

Bahasa

Bahasa yang digunakan orang Tionghoa bisa juga kita sebut sebagai bahasa hibrida. Jarang sekali kita jumpai di kelompok lain di mana kata sapaan mencampurkan dua kata dari budaya berbeda.

Contohnya, pada beberapa kelompok masyarakat Tionghoa tertentu, sapaan kohdé, cikngah, dan kulik merupakan gabungan dari dua kata engkoh gedé, tacik tengah, dan engku cilik. Kata pertama berasal dari dialek China, sedangkan kata kedua dari bahasa Jawa. Cara ini mirip dengan cara orang Jawa menyapa, misalnya, paklik, pakdé, atau bulik dan budé.

Dari lebih 1.000 kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa China atau dialek China (ditulis dalam buku Kong Yuanzhi Silang Budaya Tiongkok-Indonesia). Yang menarik, dari sekian banyak kata tersebut, yang paling banyak adalah kata-kata yang berhubungan dengan kekeluargaan, makanan dan minuman, serta alat-alat dapur dan rumah tangga.

Tentu peranan perempuan Tionghoa di sini amat penting karena pada dasarnya perempuanlah yang sering kali menjadi penerus budaya. Perempuan mengajarkan kepada anak-anaknya tentang kebiasaan sehari-hari dan bagaimana mereka harus hidup, sedangkan suami pada umumnya merasa lebih bertanggung jawab mencari uang untuk keluarga.

Meski demikian, dari sekian banyak buku tentang kehidupan orang Tionghoa, sedikit sekali kita jumpai tentang kehidupan perempuan Tionghoa dan kiprahnya dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.

Myra Sidharta dan Mely G Tan sudah sering mengangkat nama perempuan Tionghoa yang sudah banyak berjasa bagi bangsa Indonesia. Mereka sudah berkiprah di hampir semua bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, susastra, dan pendidikan. Meski demikian, secara umum peranan perempuan Tionghoa masih terasa ”terdiamkan”, mungkin karena pada umumnya mereka lebih biasa ”diam”.

Esther Kuntjara Dosen Fakultas Sastra, UK Petra, Surabaya

Keamanan Digital


Melindungi Aset Perusahaan di Tengah Globalisasi Digital

Kompas/ Rene L Pattiradjawane / Kompas Images
Menjadi hacker di tengah kemajuan digitalisasi sekarang ini tidak selalu berkonotasi negatif. Jay Bavisi, Presiden EC-Council (kanan) bersama Sean Lim, Vice-President EC-Council (Council of Electronic Commerce Consultant), memperkenalkan sertifikasi yang disebut sebagai ethical hacker, sebuah upaya untuk memberikan pengetahuan, pemahaman, dan keahlian melindungi sistem keamanan digital yang bisa merugikan siapa saja.
Senin, 25 Februari 2008 | 00:34 WIB

Tanpa disadari, sering kali keamanan digital menjadi sesuatu yang tidak penting dan mudah diabaikan oleh semua orang, termasuk mereka yang bertanggung jawab, menjadi sistem teknologi informasi di perusahaan. Dan tanpa disadari juga, kita condong menganggap semua informasi yang kita miliki aman tersimpan di komputer, di server, di situs web, dan sebagainya.

Hacker atau para penyusup komputer sekarang menjadi terminologi penting dalam kehidupan sehari-hari. Para administrator jejaring digital di mana saja di dunia selalu harus waspada menghadapi berbagai ancaman digital yang sering kali menembus sistem jejaring perkantoran dengan berbagai cara, dari yang paling sederhana sampai tercanggih.

Di era digitalisasi sekarang ini, persoalan keamanan digital sering kali menyebabkan kerugian sampai miliaran rupiah. Di sisi lain, sering kali insiden tembusnya keamanan digital ditutup-tutupi untuk melindungi reputasi perusahaan yang terkena serangan.

Berdasarkan statistik global, ancaman keamanan digital berasal dari virus komputer (85 persen), pelecehan penggunaan komputer (79 persen), dan vandalisme situs web (64 persen). Selain itu, berdasarkan survei CSI/FBI Computer Crime and Security Survey, 59 persen serangan terhadap sistem keamanan digital berasal dari pelecehan ”orang dalam” mengakses jejaring LAN, kemudian diikuti oleh 52 persen serangan virus.

Dari survei ini juga ditemukan bahwa sebesar 12 persen aktivitas serangan terhadap keamanan digital dilakukan untuk mengelabui keuangan, dan 12 persen aktivitas password sniffing untuk membuka sandi orang lain. Akibatnya, kerugian yang diderita bisa mencapai ratusan miliar rupiah dan merugikan siapa saja yang terkena akibat gagalnya sistem keamanan digital mempertahankan diri.

Bunuh diri

Dalam konteks keamanan digital ini, PT Datamation Purwana Utama bekerja sama dengan EC-Council (Council of Electronic Commerce Consultant) dari AS memberikan pelatihan dan sekaligus sertifikasi CEH (Certified Ethical Hacker), berupa pelatihan, pemahaman, dan berbagai keahlian untuk menjadi konsultan sistem keamanan digital.

Jay Bavisi, Presiden EC-Council, dan Sean Lim, Vice-President EC-Council, dalam pembicaraan dengan Kompas bulan lalu mengatakan, pada dasarnya mereka yang disebut sebagai hacker atau para penyusup digital ini memiliki berbagai tujuan. Tapi, menurut Bavisi, pada intinya apa pun kenyataan yang dilakukan, menyelusup akses tanpa otorisasi adalah sebuah kejahatan. ”Apa pun tujuan tersebut,” jelas Bavisi.

Di kalangan para ahli keamanan digital, para hacker ini sebenarnya terbagi atas beberapa kategori. Ada yang termasuk dalam kategori yang disebut sebagai ”topi hitam”, yaitu para individu dengan keahlian komputer yang luar biasa, melakukan kegiatan digital dari hanya sekadar iseng sampai bersifat destruktif dan sering juga disebut sebagai crackers.

Ada juga yang disebut sebagai ”topi putih”, terdiri dari para individu yang memiliki profesi keahlian hacker dan menggunakan pengetahuannya untuk kepentingan defensif. Mereka juga disebut sebagai analis keamanan digital. Di antara kedua topi ini, ada yang disebut sebagai kelompok ”topi abu-abu”, para individu yang bekerja secara ofensif dan defensif dalam waktu yang berbeda-beda.

Dari semua ini, masih ada satu kelompok lagi yang disebut sebagai ”suicide hacker” atau kelompok bunuh diri. Mereka ini termasuk individu yang bertujuan untuk menjatuhkan sebuah sistem infrastruktur yang kritis untuk kepentingan tertentu, dan termasuk orang-orang yang tidak khawatir untuk di penjara selama lebih dari 30 tahun karena aktivitas digitalnya.

Kehilangan keuntungan

Menurut Jay Bavisi, dalam persaingan global sekarang ini banyak cara yang dilakukan untuk bisa menembus sistem keamanan digital. ”Orang sering lupa kalau di era digitalisasi sekarang ini, keamanan digital menjadi sangat krusial, seperti kita berusaha untuk mengamankan uang kita di dompet,” jelasnya.

Dampak yang ditimbulkan dari lalainya untuk menjaga keamanan digital adalah berbagai kehilangan bagi perusahaan, mulai dari kehilangan niat baik, kehilangan keuntungan, kehilangan aset, kehilangan nilai kompetitif, kehilangan moral dan kepercayaan, serta kehilangan kehidupan bisnis.

Menurut Bavisi, banyak sekali perusahaan besar dunia yang tidak memahami bagaimana keamanan digital ini harus dilindungi dari luar maupun dari dalam. Dikatakan, EC-Council yang telah hadir di 60 negara dan memberikan sertifikasi kepada lebih 16.000 pekerja profesional, bekerja berdasarkan pengalaman dalam menangani berbagai pelanggaran keamanan digital yang terjadi di dunia.

Dalam percakapan dengan Kompas, Bavisi dan Lim menceritakan berbagai pengalaman mereka, bagaimana mudahnya untuk memasuki ruang server sebuah perusahaan karena prosedur keamanan yang tidak diterapkan secara benar. Salah satu pekerjaan para hacker yang beretika, jelasnya, adalah mencoba sistem keamanan digital yang diterapkan sebuah perusahaan, termasuk menerobos sebuah kantor dengan cara yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Berdasarkan berbagai pengalaman, kelemahan yang dihadapi sekarang ini adalah bagaimana membuat sebuah password yang aman untuk e-mail, misalnya. Kebanyakan di antara kita, karena derasnya arus informasi yang ingin diserap, condong memilih password yang sederhana seperti nama anak, istri, tanggal lahir, dan sebagainya yang mudah ditebak.

Melalui pelatihan dan sertifikasi CEH ini, para individu yang bekerja pada departemen teknologi informasi sebuah perusahaan memiliki pemahaman yang luas dan diharapkan mampu untuk mencegah upaya untuk melanggar keamanan digital, baik dari dalam maupun dari luar perusahaan. (rlp)

Anggaran Pendidikan


Siasat Angka 20 Persen

Pesuruh sekolah, Sukarni, merapikan tangga di bawah atap yang jebol di SLB-C1 Sumber Asih I di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (20/2). Dimasukkannya gaji pendidik dalam 20 persen anggaran pendidikan menyebabkan rehabilitasi sekolah makin sulit dilakukan.
Senin, 25 Februari 2008 | 00:58 WIB

Indira Permanasari

Angka 20 persen mendadak istimewa. Untuk pertama kalinya kata-kata ”mencerdaskan bangsa” berupaya diterjemahkan secara nyata, setidaknya dari segi anggaran. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan hal serupa.

Sejak itu bolak-balik angka 20 persen dipersoalkan. Aktivis pendidikan tak bosan-bosan menagih janji pemenuhan persentase itu. Pemerintah dan DPR pun mulai ”tawar-menawar” agar pemenuhan 20 persen tersebut dapat dilakukan secara bertahap.

Hasilnya? kenaikan anggaran pendidikan disepakati bertahap hingga tercapai persentase tersebut pada tahun 2009.

Pada 19 Mei 2004, pemerintah dan DPR sepakat penahapan pencapaian dana pendidikan sebesar 20 persen dari APBN di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan.

Dalam periode 2004-2009 disepakati anggaran pendidikan berturut-turut mencapai 6,6 persen, 9,29 persen, 12,01 persen, 14,68 persen, 17,40 persen, dan 20,10 persen. Komitmen itu dikuatkan pada 4 Juli 2005.

Sudah tawar-menawar pun ternyata target kenaikan anggaran pendidikan per tahun lagi-lagi meleset. Anggaran pendidikan tahun 2008 misalnya, baru sekitar 12 persen. Para hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi pun ikut sibuk menghadapi permohonan pengujian Undang-Undang APBN yang jumlah anggaran pendidikannya masih jauh di bawah amanat.

Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia dan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengajukan permohonan pengujian ke MK terhadap UU No 13/2005 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2006. Pernah pula dilakukan pengujian UU No 18/2006 tentang APBN Tahun Anggaran 2007 dengan alasan yang sama oleh pemohon Prof DR H Mohamad Surya.

Keputusan mengejutkan

Kini dunia pendidikan dikejutkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi soal dimasukkannya gaji guru dalam perhitungan anggaran pendidikan. Keputusan itu berawal dari gugatan seorang guru dan seorang dosen yang berpandangan, seharusnya gaji pendidik masuk dalam perhitungan anggaran 20 persen. Alhasil, anggaran pendidikan 2007 yang semula dihitung-hitung hanya 11 persen siuuuttt...melonjak menjadi 18 persen!

Pengamat dan pemerhati pendidikan pun dengan sedih berkomentar betapa keputusan itu merupakan kemunduran, kehancuran, bahkan lonceng kematian bagi dunia pendidikan. Komentar suram itu tak lepas dari pengalaman selama ini betapa sulitnya membuat pendidikan menjadi prioritas dalam anggaran.

Pendidikan diperlakukan layaknya dagangan. ”Tawar-menawar” anggaran pendidikan mencerminkan betapa pendidikan dipandang sebagai biaya dan beban. Bukan sebagai pemenuhan pelayanan hak dasar warga negara.

Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia Soedijarto sempat berkomentar, betapa mirisnya kondisi pendidikan saat ini. Mengutip UNDP dalam terbitannya bersama Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BPPN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, pada tahun 2001 anggaran pendidikan Indonesia sekitar 10 persen dari APBN (atau 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto). Adapun pada tahun yang sama, Thailand mencapai 30 persen dari anggaran negara, Myanmar 18 persen, dan Butan 16 persen dari anggaran negara. Dalam publikasi The Economics of Democracy 2004, Indonesia mendapat gelar ”poor performance by international standart”.

Masih menyedihkan

Dunia pendidikan Indonesia masih menyedihkan. Untuk akses pendidikan dasar misalnya, daerah yang Angka Partisipasi Kasar atau APK level SMP masih kurang dari 80 persen sebanyak 111 kabupaten/kota dan tujuh provinsi hingga akhir 2007. Masih terdapat daerah yang APK SMP di bawah 50 persen seperti Kabupaten Teluk Bintuni di Papua Barat dengan APK SMP sederajat baru 46,92 persen dan Kabupaten Yahukimo di Papua yang baru mencapai 48,32 persen.

Jumlah guru yang berkualifikasi di bawah S-1 dan D-4 masih tinggi, yakni 1.457.000 orang atau sekitar 58,3 persen.

Pendidikan bermutu membutuhkan biaya yang sangat besar. Sayangnya, sampai saat ini pendidikan baru menjadi katalog jualan indah untuk kampanye politik. Begitu terpilih, yahhhh barangnya tidak seperti diharapkan!

Saturday, February 23, 2008

Yaa Qawiyyu, Pesta Rakyat di Jatinom


Berjualan Apem Lebih Untung
Sabtu, 23 Februari 2008 | 13:55 WIB

Tariyah menyuap nasi berlauk kering tempe ke mulutnya. Bekalnya hampir habis. Perutnya yang lapar membuatnya tidak terlalu peduli dengan ratusan orang yang hilir mudik di hadapannya. Tariyah bersama sekitar 40 ibu seusianya dan anak-anak mereka duduk di tepi teras Masjid Besar Jatinom menyantap bekal dan melepas lelah.

Mereka baru saja menempuh perjalanan dua jam dari tempat tinggal mereka di Kartasura, Sukoharjo, menuju Jatinom, Klaten, demi menyaksikan perayaan sebar apem Yaa Qawiyyu, Jumat (22/2).

Jarak tempuh sebenarnya tidak jauh, sekitar 20 kilometer. Akan tetapi, karena menumpang sepur kelinci, perjalanan pun makan waktu lama. Mereka pun harus jalan kaki lebih dari dua kilometer karena sepur kelinci diparkir jauh dari lokasi Yaa Qawiyyu.

Meski akhirnya tidak bisa menyaksikan sebar apem dari dekat karena puluhan ribu pengunjung memenuhi lokasi tersebut, Tariyah tetap senang bisa memuaskan rasa penasarannya.

Tradisi yang diperingati setiap hari Jumat tanggal 12-20 bulan Sapar kalender Jawa sejak tahun 1600-an ini erat kaitannya dengan Ki Ageng Gribig, leluhur Jatinom. Ki Ageng Gribig adalah keturunan Raja Brawijaya dari Majapahit. Dia suatu saat pergi ke tanah suci dan membawa air zam-zam dan roti gimbal sebagai buah tangan.

Sayang, oleh-oleh itu tak cukup dibagikan ke semua tamu. Maka, ia meminta sang istri membuat kue mirip roti gimbal yang dinamakan afwan, yang artinya maaf. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi apem. Apem lantas dibagikan ke seluruh santri dan warga yang datang ke Masjid Besar.

Sejak itu, setiap tahun peristiwa itu dijadikan tradisi pembagian apem yang bertujuan sebagai sarana silaturahmi warga. Sejak tahun 1980-an, sebar apem dipindahkan ke tanah lapang karena halaman muka masjid tidak mampu lagi menampung pengunjung yang semakin membeludak.

Puluhan ribu orang memenuhi tanah lapang untuk berebut kue apem yang dianggap membawa berkah. Bagi warga Jatinom, tradisi ini membawa dampak ekonomi yang luar biasa. Sejak pekan sebelumnya, pasar malam yang menawarkan bermacam barang selalu ramai dikunjungi. Penjual kue apem yang memadati tepi jalan menuju Masjid Besar ikut kebagian rezeki.

Mitro Rejo (50) memilih tidak berjualan sayur yang menjadi pekerjaannya sehari-hari agar bisa berjualan apem. Dibantu anaknya, Rumiyati (25), ia bisa membawa pulang Rp 500.000 hasil penjualan apem. Dari menjual sayur, ia mendapat Rp 150.000 per hari.

Kepala Kantor Pariwisata Kabupaten Klaten Joko Wiyono mengatakan, terciptanya efek berantai untuk warga sekitar adalah harapan utama penyelenggaraan ajang tersebut. "Penghasilan untuk kantor pariwisata tidak seberapa," katanya usai mendampingi Bupati Klaten Sunarna dan Wakil Bupati Klaten Samiadji. (eki)

Friday, February 22, 2008

TAJUK RENCANA


Jumat, 22 Februari 2008 | 02:23 WIB

Listrik dan Martabat Bangsa

Apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi kelistrikan yang sering padam? Menjadikan alam sebagai faktor penyebab tentu bukan alasan rasional dan arif.

Kita angkat lagi permasalahan kelistrikan sehubungan dengan peristiwa padamnya listrik sebagian Jawa dan Bali dua hari belakangan ini. Tujuannya tidak lain supaya menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Pemerintah, pengelola kelistrikan nasional, kalangan dunia usaha, konsumen, serta semua pihak yang berkepentingan dengan kelistrikan.

Berbagai daerah di luar Jawa dan Bali masih bergelut dengan persoalan kelangkaan dan kekacauan pasokan listrik. Kita tidak bermaksud mendramatisasi persoalan kelistrikan ini. Faktanya, listrik telah menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling asasi. Sesuatu yang mutlak adanya, tidak boleh tidak ada.

Pemenuhan kebutuhan listrik sudah merupakan urusan harkat dan martabat bangsa. Bagaimana kita mau berproduksi untuk meningkatkan tarap hidup rakyat jika pasokan listrik tak keruan? Padahal, jangankan usaha besar, bisnis rumah tangga skala mikro sekalipun kini sudah sangat bergantung pada pasokan listrik dalam proses produksinya.

Dalam konteks berproduksi untuk meningkatkan tarap hidup rakyat itulah kita tempatkan listrik amat mendasar. Hanya dengan berproduksi, menghasilkan karya, kita akan menjadi bangsa bermartabat, dihormati bangsa lain.

Karut-marut kelistrikan saat ini bukanlah semata persoalan PT PLN sebagai pemegang hak monopoli kelistrikan nasional yang disubsidi negara. Kelistrikan harus ditempatkan dalam kerangka kebijakan nasional di bidang energi dan sumber daya mineral. Oleh karena itu, kebijakan kelistrikan harus andal, komprehensif, dan berwawasan jauh ke depan. Pilihan kebijakan ditentukan, lalu diimplementasikan sekuat tenaga. Kebijakan tanpa kepentingan pribadi dan kelompok tentu akan mendapat dukungan luas dari pemangku kepentingan.

Peristiwa terakhir yang kita alami, padamnya listrik sebagian Jawa dan Bali, sejauh alasan PT PLN yang dapat kita simak, terjadi karena gangguan pasokan batu bara, bahan bakar pembangkit listrik. Pasokan tersendat karena kondisi cuaca, iklim yang menghambat angkutan batu bara melalui laut sehingga telat tiba di lokasi pembangkit.

Argumentasi ini kita patut gugat karena pembangkit listrik yang dikelola perusahaan partikelir justru tidak mengalami hal serupa. Ini berarti ada persoalan manajemen. Tidak adil menyalahkan alam sebagai faktor hambatan manajemen suplai bahan baku. Bukankah pengurus PLN sudah berpengalaman, sampai memecat seorang direkturnya beberapa waktu lalu karena dinilai gagal mengelola suplai bahan bakar batu bara?

Janganlah salah urus kelistrikan selalu ditimpakan kepada konsumen, rakyat. Itu tidak adil dan tak bertanggung jawab. Kita tuntut pertanggungjawaban itu.

***

Makna Lain Penembakan Satelit AS

ungguh pameran teknologi militer canggih apa yang dilakukan oleh negara adidaya Amerika Serikat pada hari Kamis, 21 Februari, kemarin.

Di orbit berketinggian sekitar 200 km di atas Samudra Pasifik melayang sebuah satelit uzur yang tangki bahan bakarnya masih berisi 400 kg hidrazin yang beracun. Menurut AS, daripada satelit turun dan jatuh ke permukaan Bumi tak terkendali, lebih baik dihancurkan di antariksa. Itulah rupanya yang dilaksanakan.

Kapal perang USS Lake Erie—kapal penjelajah berkelas Aegis—menembakkan sebuah rudal penyergap ke arah satelit, dan dilaporkan berhasil menghantam satelit. Meskipun demikian, masih perlu menunggu sehari lagi untuk meyakinkan bahwa tangki bahan bakar benar-benar sudah hancur dan tidak membahayakan.

Kita katakan itu merupakan pameran teknologi canggih. Dengan rudal yang ada di kapal, bisa ditembak satelit yang melayang di orbit dengan kecepatan sekitar 27.000 km per jam. Langkah menembak satelit National Reconnaissance Office yang sudah tidak berfungsi ini melibatkan jaringan sensor kompleks di darat, laut, dan udara, bahkan juga di angkasa.

Radar dan perlengkapan penjejak (tracking) di antariksa dan di darat dimonitor di Pangkalan AU Vandenberg di California, dan juga di Komando Ruang Angkasa di Colorado Springs, dengan kontrol operasi di Komando Strategis di Omaha, Nebraska.

Namun, di luar penjelasan dan kemampuan teknis yang diperlihatkan, langkah AS di atas bisa dimaknai lain. Kemampuan menembak sasaran yang bergerak di udara dan di ruang angkasa, selain bisa untuk menembak satelit di orbit, juga bisa untuk menembak rudal yang datang menyerang. Ini artinya, AS juga sedang menguji kemampuan sistem pertahanan antirudalnya.

Jubir Pentagon Bryan Whitman menegaskan, langkah penembakan satelit semata untuk mengurangi risiko terhadap manusia di Bumi, tidak lebih dari itu. Tetapi, ketika hal itu terjadi setelah beberapa waktu lalu China juga memperlihatkan kemampuan serupa, maka sulit dihindarkan munculnya kesan bahwa AS mengingatkan pihak lain. Kemampuan antisatelit dan juga antirudal masih operasional di adidaya ini.

Kita tahu, tanpa bantuan satelit di orbit, operasi militer di darat, laut, dan udara bisa lumpuh. Jadi, kalau diproyeksikan ke persaingan, atau hubungan tidak mudah, antara AS dan China dewasa ini, khususnya menyangkut Taiwan, kemampuan menetralisasi satelit lawan bersifat vital.

Kedua pihak kini bisa memperlihatkan, masing-masing punya kemampuan itu.

GREEN FESTIVAL


Irit Bahan Bakar dan Pemanasan
Jumat, 22 Februari 2008 | 02:16 WIB

Oleh Nawa Tunggal

Di tengah ketidakmampuan menjangkau teknologi tinggi, tindakan sebatas memodifikasi kendaraan supaya lebih irit bahan bakar fosil pun berarti turut andil dalam mengurangi percepatan pemanasan global. Teknologi sarana transportasi di negara maju sudah jauh berkembang dan kita di Indonesia masih jauh tertinggal.

Teknologi bahan bakar di negara-negara maju sudah sampai pada tingkat menggunakan bahan bakar hidrogen dengan limbah senyawa air murni. Air murni ini turut menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca—gas penyebab pemanasan global.

Saat ini para produsen otomotif sudah berusaha menyempurnakan tipe-tipe kendaraan agar semakin hemat dalam konsumsi bensin atau solar. Penggabungan atau hibrid dengan baterai penyimpan listrik juga sudah dilakukan.

Pada konteks mengurangi percepatan pemanasan global, pengganti bahan bakar minyak dari fosil dengan bahan bakar nabati terus diupayakan.

Namun, berpijak pada kenyataan bahwa sarana transportasi yang paling banyak digunakan masih memakai bahan bakar dari fosil—bensin dan solar—maka pengembangan teknologi penghemat bahan bakar fosil tidaklah berlebihan.

Pembakaran bahan bakar minyak dari fosil menghasilkan gas karbondioksida (CO2). Gas ini sudah tidak bisa lagi sekadar dimaknai sebagai salah satu polutan udara. Sebab, gas ini termasuk paling dominan dalam menimbulkan efek gas rumah kaca (GRK) yang terperangkap di lapisan troposfer atmosfer.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang beranggotakan sekitar 3.000 ilmuwan dunia mencatat, konsentrasi CO2 di atmosfer menunjukkan laju percepatan paling tinggi setelah meninggalkan masa praindustri tahun 1900-an.

Data konsentrasi CO2 sebelum masa industri sebesar 278 parts per million/ppm dan pada tahun 2005 mencapai 379 ppm.

Selama 100 tahun terakhir (1906-2005), menurut IPCC, terjadi kenaikan temperatur permukaan bumi rata-rata sebesar 0,74° Celsius. Diproyeksikan, rata-rata kenaikan per dekade 0,2° Celsius.

Proyeksi IPCC itu tanpa menyertakan skenario pengurangan emisi GRK.

Radiasi matahari menembus lapisan atmosfer ke permukaan bumi, efek GRK mengubah gelombang pendek radiasi matahari menjadi gelombang yang lebih panjang. Gelombang panjang ini terhalang GRK sehingga tak dapat dipantulkan lagi ke luar angkasa sehingga menyebabkan permukaan bumi memanas. Fenomena memanasnya permukaan bumi ini disebut pemanasan global (global warming).

Akibat pemanasan global, IPCC menengarai, tutupan gletser (daratan salju) abad XX di belahan bumi utara sudah berkurang 7 persen. Gletser mencair dan permukaan laut pun meningkat 17 cm seabad terakhir.

Optimalisasi pembakaran

Pengurangan produksi CO2menjadi kunci mengatasi percepatan pemanasan global. Salah satu hal yang bisa mengurangi percepatan peningkatan temperatur permukaan bumi adalah dengan melakukan optimalisasi bahan bakar minyak dari fosil atau penghematan.

Salah satu teknologi penghematan bahan bakar fosil ini contohnya yang dikembangkan Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan Instrumentasi (UPT BPI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Peralatan yang diberi nama EFT (Electric Fuel Treatment) sudah diproduksi dan didaftarkan patennya dan sudah diekspor ke Malaysia dan Singapura.

”Optimalisasi pembakaran dengan EFT mampu mengurangi emisi atau gas buang pada kendaraan sebesar 15 persen,” kata perekayasa EFT, Hariyadi, dari UPT BPI LIPI yang berkantor di Bandung, Jawa Barat, Kamis (21/2). Menurut dia, EFT yang diciptakan pada 2004 itu menggunakan prinsip intervensi bahan bakar dengan frekuensi dari metode Larmor. Frekuensi ini mampu meresonansi unsur C (carbon) dan H (hidrogen) yang mengalir dari tangki menuju ruang pembakaran di karburator.

Kandungan C dan H yang sudah terpengaruh frekuensi itu memungkinkan terjadi optimalisasi pembakaran. Hasil uji coba menunjukkan sekitar 15 persen emisi gas buang berkurang akibat pembakaran lebih sempurna.

Dari optimalisasi pembakaran, mesin semakin efisien. Dari hasil uji coba sepeda motor Honda Supra saat dipasang EFT seharga Rp 150.000, dapat menjangkau jarak 62 kilometer (km) dari sebelumnya tanpa EFT hanya mencapai 50 km.

Uji coba juga dilakukan pada mobil Honda Grand Civic berdaya jangkau 11 km/lt, setelah dipasang EFT menjadi 16 km/lt. Uji coba lainnya, pada mobil Isuzu Panther dengan bahan bakar solar, ketika dipasang EFT dapat menempuh 14 km. Saat tanpa EFT jenis mobil yang sama hanya bisa menjangkau 10 km/lt. Tambahan tenaga mencapai 3,6 tenaga kuda (HP).

Kota Jakarta dengan kondisi sistem transportasi yang makin macet dan makin semrawut, kini seraya menunggu perbaikan Pola Transportasi Makro dengan bus transjakarta atau monorel yang tak kunjung selesai, mungkin memodifikasi kendaraan pribadi supaya lebih irit menjadi solusinya. Setidaknya, ini bisa mengurangi percepatan pemanasan global....

Keputusan MK Kemunduran


Biaya Pendidikan Bisa Semakin Mahal
Jumat, 22 Februari 2008 | 02:18 WIB

Jakarta, Kompas - Keputusan Mahkamah Konstitusi yang memasukkan komponen gaji guru dalam anggaran pendidikan 20 persen disesalkan banyak kalangan. Dikhawatirkan, dengan berkurangnya anggaran dari negara, biaya pendidikan yang harus ditanggung masyarakat semakin mahal.

Demikian tanggapan anggota legislatif dan pendidik terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal anggaran pendidikan pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Rusli Yunus mengatakan sangat kecewa dengan keputusan MK dan menyayangkan pengajuan permohonan tersebut oleh para pemohon yang juga seorang guru. ”Kepentingan bangsa dirugikan,” ujar Rusli Yunus, Kamis (21/2).

Pengamat pendidikan yang juga mantan Rektor Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP Jakarta), Prof Winarno Surachmad, mengatakan, keputusan MK itu merupakan kemunduran besar yang dapat berujung kepada kehancuran. ”Itu jawaban yang salah bagi anak bangsa,” ujarnya.

Dia meyakini, perumus Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memasukkan angka 20 persen di luar gaji guru dan pendidikan kedinasan tentu mempunyai cara pandang lain dari cara MK sekarang menafsirkan.

”Dengan tidak dimasukkannya gaji guru, sebetulnya bukan berarti gaji guru tidak diperhatikan,” ujarnya.

Prof Said Hamid Hasan, pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, berpendapat, jika gaji guru ikut dimasukkan ke dalam 20 persen anggaran, bisa-bisa anggaran pendidikan itu habis untuk gaji guru.

”Apalagi, jumlah guru dan kesejahteraannya seharusnya terus ditingkatkan,” ujarnya.

Ia khawatir putusan itu justru akan menghambat amanah konstitusi lainnya, yaitu tentang pendidikan dasar gratis.

Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Iwan Hermawan mengatakan, putusan itu merupakan sebuah kekalahan masyarakat atas perjuangan untuk memperoleh sekolah murah berkualitas. ”Keputusan tersebut merupakan sebuah musibah bagi dunia pendidikan,” ujarnya.

Anggaran terhambat

Secara terpisah, anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Wayan Koster, mengatakan, keputusan MK itu diperkirakan akan berdampak pada upaya percepatan kenaikan anggaran pendidikan.

”Kalau gaji dimasukkan, kenaikan anggaran bersifat semu saja karena sebagian besar terpakai untuk gaji pegawai. Semangatnya bukan sebatas besaran anggaran, tetapi peruntukannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan,” ujarnya.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR Mahfudz Siddiq mengatakan, keputusan MK membuktikan betapa bangsa ini tidak punya niat untuk meningkatkan pelayanan pendidikan.

Menurut Mahfudz, semangat memberikan 20 persen anggaran pendidikan dengan tidak memasukkan komponen gaji guru, untuk memajukan pendidikan. Dengan dimasukkannya gaji guru ke dalam bagian dari angka 20 persen anggaran pendidikan sesuai dengan keputusan MK, hal itu bisa menghilangkan political will pemerintah/DPR untuk meningkatkan anggaran pendidikan. (INE/MAM/JON)

Thursday, February 21, 2008

Askeskin Disempurnakan


Uang Langsung Dikirimkan ke Rumah Sakit
Kamis, 21 Februari 2008 | 02:32 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar program Asuransi untuk Keluarga Miskin atau Askeskin disempurnakan. Hal itu juga menyangkut penataan Askeskin dan mengaudit pelaksanaan Askeskin 2007. Adapun uang asuransi akan langsung dikucurkan ke rumah sakit terkait.

”Askeskin tak hanya melayani masyarakat miskin yang 34 juta, tetapi juga masyarakat setengah miskin. Maka total masyarakat yang dibantu 76 juta,” kata Presiden Yudhoyono seusai memimpin rapat terbatas bidang kesehatan di Departemen Kesehatan, Jakarta, Rabu (20/2). Seluruh warga miskin berhak mendapat layanan kesehatan gratis.

Dia meminta agar mekanisme Askeskin segera dibahas. Kini harus dipikirkan kecepatan bantuan kesehatan dari negara ke rumah- rumah sakit.

”Supervisi, audit harus dilakukan. Saya sedang menunggu hasil audit. Mengapa klaim belum dibayar? Jika ada penyimpangan akan diberi sanksi,” katanya. Saat ini pelaksanaan Askeskin 2007 sedang diaudit.

Soal kerja sama dengan PT Askes, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan, PT Askes difokuskan ke manajemen peserta Askeskin—jangan sampai ada orang miskin tidak memiliki kartu Askeskin.

Pihak Depkes dan PT Askes tidak akan memegang uang. Uang langsung dikucurkan Kantor Perbendaharaan Kas Negara Departemen Keuangan langsung ke rumah sakit melalui bank yang ditunjuk. Depkes akan membentuk tim verifikasi independen di setiap rumah sakit itu melalui usulan dinas kesehatan kabupaten/kota dan diangkat kepala dinas kesehatan provinsi atas nama Depkes.

Soal siapa menjalankan program Askeskin, PT Askes atau pemerintah daerah, Ketua Umum PB IDI Fachmi Idris menyatakan, ”Mestinya wacana siapa berhak mengelola uang, bukan pada pendekatan bagi-bagi persentase nominal uang, namun lebih pada siapa mengerjakan apa dan dapat apa, serta pekerjaannya dinilai berdasar kinerja.” Dana management fee program Askeskin besarnya 5 persen (Rp 230 miliar).

Tetap dilayani

Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, akan tetap menerima pasien miskin meski per 1 Juli klaim biaya pelayanan kesehatan ke pemerintah pusat hanya dibatasi untuk pasien pemilik kartu Askeskin. Tagihan dari pasien pemegang surat keterangan tak mampu akan dibebankan kepada pemerintah daerah.

Direktur RSHS Cissy Rachiana Sudjana Prawira Kartasasmita mengatakan, target pembuatan dan distribusi kartu Askeskin selesai Juni. ”Setelah itu tidak ada pembuatan kartu Askeskin tambahan,” kata Cissy.(INU/LOK/LSD)

Bisnis Website


Meroket seperti Real Estat
Kamis, 21 Februari 2008 | 02:31 WIB

Oleh Amir Sodikin

Seorang praktisi pembuatan website yang termasuk masih pemula berkirim pesan online, intinya menggunjingkan harga jual website yang gila-gilaan. Harganya tidak sekadar jutaan, tetapi miliaran. Bahkan ada yang mencapai tiga triliunan rupiah. ”Akhirnya saya ikutan jualan website, laku Rp 1,5 juta, lumayan buat pemula,” katanya.

Era sekarang sudah berbeda dengan lima tahun lalu. Jika dulu bisnis utama para spekulan adalah bagaimana mencari nama domain dot com yang bagus (premium name), hal seperti itu sudah lewat.

Memang sampai sekarang masih ada yang nekat ”membabi buta” pasang harga nama domain melangit, seperti www.kompas.mobi dan www.klikbca.mobi yang dipasang harga oleh broker 800.000 dollar AS. Tetapi, hanya sekadar memarkir domain itu tanpa ada isinya tak akan membuat orang tertarik.

Kini arah bisnis sudah berubah. Angka traffict atau lalu lintas pengunjung web jauh lebih menarik dari sekadar nama domain. Walau demikian, tetap nama domain harus dijaga.

Setidaknya, untuk sebuah perusahaan akan terlihat menggelikan jika nama perusahaannya sudah dibajak orang. Contoh lama kasus ini melanda www.gudanggaram.com dan www.satelindo.com (untung sudah berubah nama jadi Indosat) yang berada di tangan orang lain.

Bisnis portal

Traffict atau lalu lintas pengunjung di sebuah website sekarang lebih dilirik pembeli website. Jika ingin membeli sebuah website, pertama kali yang dicek adalah seperti apa statistik lalu lintas datanya.

Kategori ”portal news” adalah website yang mudah dibuat karena tersedia berbagai software pembuat website interaktif yang bisa didapatkan gratis. Karena itu, para pemain bisnis website ini rata-rata membangun portal (gerbang informasi). Bisa portal selebriti Indonesia, selebriti internasional, portal olahraga, portal berita umum, portal teknologi informasi, apa pun bisa ”dijual”.

Semakin menarik isi portal tersebut, semakin banyak yang mengunjungi, dan semakin banyak yang membuat link atau tautan untuk website itu, maka semakin tinggi traffict-nya dan semakin mahal harganya.

Luput dari sorotan publik, ternyata bisnis penjualan website di Indonesia cukup mencengangkan. Seorang tenaga staf sebuah perusahaan yang mengelola beberapa portal mengatakan perusahaannya beberapa bulan lalu menjual portal yang isinya selebriti internasional dengan harga tiga triliun rupiah.

”Portal entertainment itu paling banyak dikunjungi dan mudah update-nya, beda dengan berita-berita umum atau berita politik,” kata tenaga staf tadi. Pemain kecil tak akan turun di segmen portal berita umum karena sudah kalah jauh dengan media massa.

Hebatnya, bisnis seperti itu dilakoni secara individual, dari rumah saja, bukan dari perusahaan resmi yang berkibar namanya. ”Bos saya itu sudah lama jualan website, kadang beli website yang belum jadi, terus dikembangkan isinya, kalau sudah bagus baru dijual,” katanya.

Kini, pemain-pemain baru di Indonesia terus tumbuh. Pemain baru akan membuka harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah saja. Cek di mesin pencari di google.com, rata-rata website berbahasa Indonesia dijual murah dengan harga Rp 1,5 juta. Harga itu tidak terlalu jelek karena modal mereka untuk nama domain dot com plus web hosting-nya per tahun bisa cuma Rp 200.000.

”Website” komunitas

Tren yang masih berkembang saat ini adalah bagaimana meng-online-kan komunitas-komunitas yang ada. Hingga kini hampir semua segmen komunitas sudah dibuatkan website-nya.

Konsep website komunitas selalu menarik perhatian karena komunitas yang loyal dan banyak akan semakin membuat website ramai sekaligus meningkatkan rating website di mata mesin pencari. Salah satu ciri adalah memiliki sistem keanggotaan yang terdaftar.

Data teknis anggota seperti daerah asal, umur, pekerjaan, akan menjadi profil yang menarik bagi pendistribusian informasi yang sesuai. Karena itu, website komunitas menjadi kandidat kuat untuk mendapatkan iklan online secara lebih mudah.

Fotografer.net adalah salah satu komunitas pehobi fotografi yang anggotanya ribuan dan memiliki loyalitas tinggi. Dari sisi kepentingan bisnis, nilai domain dan website fotografer.net akan mahal (jika dijual).

Chip.co.id (dari majalah komputer CHIP) juga menjadi contoh yang baik bagaimana mereka mengelola komunitas. Tak ada catatan valid, website mana yang anggotanya paling banyak di Indonesia. Namun, chip.co.id pernah mengklaim sebagai komunitas bidang teknologi informasi yang terbesar di Indonesia.

Keberhasilan situs-situs komunitas Indonesia sebenarnya tak bisa dinilai dengan uang. Loyalitas anggota komunitas lebih dari sekadar uang. Karena itu, akan menjadi kendala tersendiri jika sewaktu-waktu pemilik komunitas itu menjual website-nya.

Jika ingin memulai menjadikan website sebagai komoditas, jenis portal berita akan lebih baik daripada website komunitas. Namun, jika fokusnya adalah mengembangkan website untuk mendapatkan pendapatan dari iklan online, website komunitas bisa jadi pilihan.

Valuasi ”website”

Anda punya website dan ingin menjualnya tetapi bingung menentukan harga? Beberapa perusahaan sudah banyak mencoba membuat software online untuk menilai website. Perhitungan ini biasanya didasari pada jumlah link website kita di tempat lain.

Contohnya www.dnscoop.com. Dari situs ini, perkiraan harga Yahoo.com adalah 2.147.483.647 dollar AS. Ada juga www.estibot.com, perkiraan harga Yahoo.com 13.000.000 dollar AS untuk nama domainnya dan 372.000.000 dollar AS untuk traffict-nya. Satu lagi, www.smartpagerank.com, maka perkiraan harga Yahoo.com 3.103.366.084 dollar AS.

Harga sebuah website akan meroket jika traffict juga meroket. Karena itu, bagi perusahaan yang berkecimpung di dalamnya, bisnis jualan website yang sudah ada traffict-nya jauh lebih menggiurkan dibandingkan dengan bisnis real estat.

Harga valuasi di atas hanya perkiraan dan valid bagi domain utama. Untuk kategori subdomain dan weblog (seperti anggota blogger.com), bisa jadi harga yang tertera tak berarti apa-apa karena tak akan ada yang mau membeli blog/subdomain. Jadi, jika ingin serius, tinggalkan blog gratisan dan bangun blog atau portal sendiri dari domain utama.

Gaji Guru Masuk 20 Persen Anggaran


Keputusan MK Mengecewakan Kalangan Pendidik
Kamis, 21 Februari 2008 | 02:32 WIB

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi memutuskan gaji guru masuk dalam perhitungan anggaran pendidikan 20 persen. Namun, terdapat tiga hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion. Keputusan tersebut sendiri mengecewakan berbagai pihak, terutama kalangan pendidik.

Putusan terhadap perkara pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2006 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2007, dan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dibacakan oleh Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie didampingi hakim-hakim lainnya, Rabu (20/2).

Permohonan pengujian itu diajukan oleh Rahmatiah Abbas, guru dari Sulawesi Selatan, dan Prof Dr Badryah Rifai, dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, dengan kuasa hukum pemohon, Elsa Syarif.

UUD 1945 dan UU Sisdiknas telah menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD, tetapi peningkatan itu tak memberikan manfaat bagi guru. Itu disebabkan Pasal 49 Ayat 1 yang mengecualikan gaji guru. Dalam pasal itu disebutkan, Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.

Keputusan

Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 49 Ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut sepanjang frasa ”gaji pendidik dan” bertentangan dengan Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan permohonan yang terkait UU tentang APBN Tahun 2007 tidak dikabulkan. Mahkamah Konstitusi memutuskan gaji pendidik harus secara penuh diperhitungkan dalam penyusunan anggaran pendidikan.

Jika komponen gaji pendidikan dikeluarkan, anggaran pendidikan dalam APBN 2007 sebesar 11 persen. Sedangkan dengan memasukkan gaji pendidik, anggaran pendidikan dalam APBN 2007 mencapai 18 persen.

Mahkamah Konstitusi berpendapat, dengan dimasukkannya gaji guru, maka menjadi lebih mudah bagi pemerintah dan DPR untuk melaksanakan kewajiban pemenuhan anggaran pendidikan 20 persen. ”Dengan adanya keputusan tersebut, tidak boleh ada lagi alasan untuk menghindar atau menunda-nunda pemenuhan ketentuan anggaran sekurang-kurangnya 20 persen untuk pendidikan, baik APBN atau APBD,” ujar Jimly.

Beda pendapat

Tiga hakim konstitusi yang berbeda pendapat adalah Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan H Harjono. Abdul Mukhtie Fadjar mengungkapkan, pengabulan permohonan tersebut dengan dalih agar ketentuan 20 persen anggaran pendidikan akan mudah terpenuhi (tahun 2007 sudah berkisar 18 persen) sungguh merupakan suatu ”penyiasatan” konstitusional yang menyesatkan. Dia juga berpendapat, seharusnya Mahkamah Konstitusi menolak karena pemohon tidak dirugikan. Para pemohon tidak memahami niat baik pembentuk undang-undang.

Dua hakim konstitusi lainnya, Maruarar Siahaan dan H Harjono, berpendapat, sebagai strategi untuk mencapai tujuan yang digariskan dalam konstitusi agar anggaran pendidikan membesar, kesepakatan pemerintah dan DPR dalam membentuk undang-undang sama sekali tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Soedijarto mengatakan kecewa dengan adanya keputusan tersebut. ”Sekarang, dengan adanya keputusan tersebut, pemerintah sudah merasa telah memenuhi 20 persen dan dikhawatirkan tidak terjadi kenaikan anggaran pendidikan secara signifikan. Padahal, negara yang berpendidikan maju, sebut saja sekarang ini negara tetangga Malaysia, anggaran pendidikannya mencapai 25 persen di luar gaji guru,” ujarnya.

Padahal, untuk meningkatkan mutu pendidikan ditentukan oleh proses pendidikan, yang dipengaruhi oleh ketersediaan dana. Dana itu diperlukan agar anak, terutama di level pendidikan dasar, dapat menempuh pendidikan dengan tanpa biaya, memiliki buku pelajaran, serta terpenuhinya sarana dan prasarana pendidikan yang layak dan memadai bagi siswa. (INE)

Monday, February 18, 2008

Seabad Takdir


Oleh : Zaim Uchrowi

Dalam hujan serta kabut di tengah siang, saya sempat takziah ke makam Takdir. Sutan Takdir Alisjahbana lengkapnya. Saya dulu, sebagaimana kebanyakan kita, mengenalnya cuma sebagai pengarang buku Layar Terkembang. Sebuah karya yang terus akan disebut bersama roman klasik Siti Nurbaya dan Salah Asuhan. Tak lebih dari itu yang kita tahu.

Beberapa orang mengaitkan Takdir dengan kontroversi. Ia dikaitkan dengan 'Polemik Kebudayaan'. Sebuah polemik yang melibatkan para tokoh nasional di tahun 1935-36. Saat itu, Takdir dianggap sebagai budayawan pro-Barat. Ia mengajak seluruh bangsa ini mengadopsi budaya Barat. Barat sudah terbukti maju. Barat telah memimpin dan menguasai peradaban. Maka, kalau mau maju, adopsilah budaya Barat. Itu yang disebutnya solusi buat bangsa. Sebuah bangsa yang telah berabad-abad terjajah ini.

Ajakan Takdir itu mengundang reaksi. Para tokoh pergerakan nasional menanggapi keras. Dr Soetomo, misalnya. Ia menunjukkan halus dan utama budaya Timur. Mengapa harus budaya Barat? Perdebatan berkepanjangan hingga, barangkali, menjadi polemik terkeras dalam sejarah modern kebangsaan Indonesia. Dari polemik itu, Takdir kian terposisikan sebagai 'agen' budaya Barat. Pernikahan Takdir dengan perempuan Jerman, setelah istrinya terdahulu meninggal, kian mempertebal prasangka publik padanya.

Namun, ada yang terlewat dari bahasan soal Takdir itu. Tak banyak yang membahas apa yang melatari pandangan Takdir. Saya juga tak pernah tahu itu, sampai kemudian saya memimpin Balai Pustaka. Sebuah tempat di mana Takdir selalu tersenyum pada saya lewat potret. Dari Polemik Kebudayaan yang dibukukan Balai Pustaka, saya tahu betapa risau Takdir. Ia melihat bangsa ini begitu statis. Begitu kental dengan mental terjajah. Begitu pasrah bangsa pada realitas alam. Itulah yang menjelaskan mengapa kita menjadi bangsa miskin dan kalah.

Saya tersentak dengan pengungkapan Takdir. Realitas masyarakat sekarang tak banyak berbeda dengan masyarakat yang dilihatnya di tahun 1930-an. Yakni masyarakat yang statis, lemah, miskin, hanya bisa pasrah terhadap bencana alam, gemar tangan di bawah, serta mudah diperalat baik oleh kekuatan politik maupun kapital. Mentalitas kita jauh dari mentalitas khalifatullah fil ard yang dituntunkan agama. Lebih setengah abad merdeka, belum cukup signifikan mengubah kita.

Kenyataan ini memperjelas siapa sebenarnya Takdir, dan apa yang dimauinya. Sejak itu saya lebih suka memggunakan tafsir sendiri tentang Takdir. Yakni, bahwa sebenarnya bukan 'Barat' atau 'Timur' yang tengah diperjuangkan Takdir. Ia hanya melecut bangsa ini agar menjadi bangsa dinamis. Bukan bangsa statis. Ia ingin bangsa ini mengendalikan, dan bukan dikendalikan, alam. Ia ingin membebaskan banyak pemimpin publik sampai sekarang.

Takdir juga diidentikkan sebagai seorang sekuler. Tetapi, Takdirlah yang menunjuk dengan jelas apa penyakit pemahaman agama (Islam) yang berkembang di Indonesia. Islam di sini, menurutnya, sangat diwarnai budaya India lama. Budaya yang menghinakan sekelompok manusia, dan memuliakan kelompok manusia lainnya. Itu yang menjelaskan mengapa banyak umat nikmat menjadi 'kawulo' dan gemar mencium tangan orang. Tak sedikit pula para pemegang atribut agama yang suka dicium tangannya.

Padahal, itu bertolak belakang dengan prinsip Islam sebenarnya. Takdir pun menyeru kaum agama: mengapa kalian tidak kembali ke nilai asli Islam yang diajarkan Nabi? Islam yang mengajarkan umatnya menjadi manusia merdeka, rasional, dan menghargai sesama secara setara. Bukanlah Islam nilai yang mengajarkan untuk pasrah pada nasib.

Masih banyak lagi peran Takdir buat membangun Indonesia yang sekarang kita warisi. Dalam membangun bahasa Indonesia hingga layak menjadi bahasa resmi negara salah satunya. Tapi, publik memang cenderung untuk hanya kagum pada mereka yang gampang ditepuktangani. Maka, Takdir pun tak banyak diapresiasi hingga ia terbaring damai di pekarangannya yang asri, di Tugu, Puncak, itu. Saya bersyukur dapat menziarahi seabad setelah Takdir, dilahirkan. Ziarah yang memperkuat tekad untuk menerbitkan kembali buku Polemik Kebudayaan pada Kebangkitan Nasional yang tahun ini juga genap seabad.

Friday, February 15, 2008

Pendidikan Tinggi dan Globalisasi




Oleh: Amich Alhumami

Globalisasi membawa dampak luas pada berbagai bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, politik, budaya, sampai pendidikan tinggi. Globalisasi dan pendidikan tinggi lalu menjadi isu penting dalam wacana publik, merujuk empat hal pokok.

Pertama, globalisasi merupakan gejala mondial yang ditandai aktivitas bisnis dan perdagangan antarnegara yang kian intensif. Kedua, globalisasi memicu knowledge-driven economy, yang mensyaratkan tenaga-tenaga profesional dan berketerampilan tinggi, untuk bekerja di sektor industri, bisnis, dan jasa. Ketiga, globalisasi ekonomi mendorong kompetisi antarbangsa, yang menuntut setiap negara memiliki daya saing kuat. Keempat, daya saing bangsa dapat dibangun dengan baik bila ditopang perguruan tinggi (PT) yang bagus dan kuat, yang mampu melahirkan orang terdidik, mahir, dan berkeahlian.

Dalam konteks globalisasi, pendidikan tinggi memainkan peran sentral dalam membangun masyarakat berpengetahuan, tercermin pada munculnya lapisan kelas menengah terdidik dan kaum profesional yang menjadi kekuatan penentu kemajuan ekonomi. Mereka merupakan elemen pokok dalam menyokong ekonomi berbasis pengetahuan.

Ilmu pengetahuan menjadi investasi modal yang amat penting, sekaligus faktor determinan dalam proses produksi. Sebab, aktivitas ekonomi lebih bersifat padat pengetahuan sehingga dukungan sumber daya alam menjadi berkurang (Latham 2001). Selain itu, teknologi komunikasi dan informasi berperan dominan mendukung aktivitas bisnis dan perdagangan global.

Dengan demikian, peran PT menjadi penting sebagai basis produksi, diseminasi, dan aplikasi ilmu pengetahuan serta inovasi teknologi. PT berperan strategis dalam konteks pembangunan kapasitas dan peningkatan keahlian, kompetensi profesional, dan kemahiran teknikal.

Bangsa yang mempunyai banyak manusia terdidik, berpengetahuan, dan menguasai teknologi pasti memiliki daya saing kuat dalam kompetisi ekonomi global. Daya saing nasional amat ditentukan oleh kemampuan bangsa bersangkutan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan inovasi teknologi, dan mendorong program riset dan pengembangan untuk melahirkan berbagai penemuan baru.

Simak ungkapan Anthony Giddens dalam The Global Third Way Debate (2002), ”kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuannya dalam kapasitas inovasi, pendidikan, dan riset (seperti yang ditunjukkan oleh Jepang, China, dan Korea Selatan)”.

Produktivitas nasional

Untuk itu, hubungan segi tiga antara ilmu pengetahuan, dunia industri, dan universitas (triple helix of knowledge-industry-university) menjadi tak terelakkan. Selain menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi, PT menyediakan tenaga profesional yang diperlukan dunia industri. PT juga dapat melakukan kegiatan litbang yang memberi manfaat bagi perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dunia industri dapat mengalokasikan dana untuk menopang kegiatan litbang di universitas. Sangat jelas, dinamika hubungan segi tiga ini akan memberi sumbangan besar pada peningkatan produktivitas nasional.

Dalam konteks demikian, dukungan finansial pemerintah amat vital guna mengembangkan PT menjadi institusi yang kuat. Ada empat pertimbangan sosial ekonomi yang penting dicatat.

Pertama, investasi untuk pendidikan tinggi akan melahirkan manfaat eksternal jangka panjang yang menjadi faktor krusial pembangunan ekonomi yang bertumpu pada ilmu pengetahuan. Kedua, investasi untuk pendidikan tinggi memberi manfaat sosial politik karena akan melahirkan lapisan masyarakat terpelajar, yang dapat memperkuat kohesi sosial dan memantapkan dasar-dasar demokrasi. Ketiga, pendidikan tinggi memainkan peran kunci dalam menopang pendidikan dasar dan menengah, sekaligus menyokong economic externalities kedua jenjang pendidikan itu. Keempat, pengembangan teknologi dan kegiatan penelitian dasar dan terapan oleh PT akan membawa keuntungan jangka panjang guna mencapai keunggulan bangsa.

Karena itu, tugas utama pemerintah adalah mengembangkan PT bermutu dan unggul sehingga mampu memasok tenaga-tenaga ahli yang diperlukan di berbagai bidang kehidupan. Untuk itu, investasi dalam pengembangan PT harus difokuskan pada (1) pembangunan sarana-prasarana dan penyediaan fasilitas pendidikan: laboratorium (peralatan) dan perpustakaan (buku, jurnal); (2) penguatan struktur kelembagaan termasuk penataan institusi litbang; (3) peningkatan kualitas program akademik; (4) peningkatan mutu akademisi (dosen, peneliti); (5) pemantapan landasan keilmuan; dan (6) pengembangan kerja sama PT dengan dunia industri.

Keenam hal itu penting diperhatikan agar para akademisi dapat lebih optimal mengemban tugas-tugas akademik, mendalami bidang keilmuan yang menjadi minatnya, dan melakukan riset-riset ilmiah yang berorientasi pengembangan iptek. Tanpa dukungan fasilitas memadai, mereka akan tergoda untuk berdiaspora ke negara-negara maju, baik di Asia, Australia, Eropa, maupun Amerika. Sebab, di negara-negara itu mereka menemukan lingkungan akademik yang kondusif guna menekuni profesi sebagai akademisi dan peneliti.

Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom

 

Pengangguran Intelektual




Oleh: Doni Koesoema A

Pengangguran intelektual akan tetap menjadi keniscayaan jika kebijakan politik pendidikan tuli terhadap kritikan dan buta terhadap realitas kehidupan.

Mengangkat kembali wacana kewirausahaan dan menggemakan lagi wacana link and match hanya akan merupakan kebijakan tambal sulam jika pemerintah tidak segera menyadari bahwa kebijakan pendidikan di tingkat dasar dan menengah, yang menjadi fondasi kualitas pendidikan tinggi, lebih banyak mematikan kreativitas dan memandulkan daya cipta guru maupun siswa.

”Kita hidup dalam sebuah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) dan sebuah masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Ekonomi pengetahuan bertumbuh karena adanya kreativitas dan kemampuan mencipta yang memungkinkan pemecahan masalah secara cerdas (ingenuity). Sekolah dalam masyarakat berpengetahuan harus menciptakan kualitas ini; kalau tidak, masyarakat dan bangsa akan ditinggalkan.” (Andy Hargreaves, 2003)

Hargreaves tepat membidik dua hal yang sering dilupakan dalam pembaruan pendidikan.

Pertama, ekonomi pengetahuan pertama-tama melayani kebaikan individu.

Kedua, masyarakat berpengetahuan mengarahkan dirinya demi kebaikan umum. Sekolah semestinya mempersiapkan anak didik untuk keduanya.

Namun, sebagaimana perilaku di balik logika kapitalis, ekonomi pengetahuan memelihara daya kreatif yang merusak. Ia merangsang pertumbuhan dan kemakmuran, tetapi serentak gelojoh dalam memburu keuntungan dan kepentingan pribadi, serta menghancurkan keteraturan sosial. Maka, sebagai lembaga publik, sekolah harus mampu menumbuhkan solidaritas dan empati pada komunitas yang mampu meredam perilaku tamak kapitalisme.

Sayang, alih-alih mengembangkan kreativitas dan menumbuhkan daya cipta, sistem pendidikan kita tanpa disadari lebih suka memaksakan kurikulum manajemen mikro secara seragam. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yang seharusnya membuka ruang dan kebebasan bagi terciptanya kreativitas, menumbuhkan kemampuan memecahkan persoalan dan menanggapi masalah baru secara cerdas, tetap terpasung dalam rubrik Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) yang sifatnya sentralistis.

Alih-alih mengembangkan misi solidaritas dan empati terhadap komunitas, kebijakan pendidikan kita memosisikan guru dan siswa sekadar terampil menjawab soal pilihan ganda. Usaha meraih mutu tinggi bagi pendidikan berubah menjadi obsesi kompulsif akan standardisasi.

Pembelajaran otentik

Apa yang dibanggakan pemerintah sebagai meningkatnya motivasi belajar siswa karena UN sebenarnya sebuah ironi akademis yang memosisikan guru dan siswa sebagai sekadar anjing pavlov. Mereka giat mengajar dan belajar karena ada stimulus dari luar. Padahal, dalam lingkup pedagogi, pandangan behavioris paling kuno ini telah lama ditinggalkan. Jika pendidikan merupakan pemanusiaan, logika anjing pavlov harus dijauhkan dari kinerja pendidikan kita!

Situasi ini diperparah banyaknya sekolah publik yang masih megap-megap, sekadar untuk mencukupi biaya operasional, diisi guru bergaji rendah, sekadar mengikuti SKL dan SI yang sifatnya sentralistis, dan hanya mengajar siswa agar dapat lolos UN. Hampir tidak ada ruang bagi kebebasan dan pertumbuhan. Juga tidak lahir motivasi internal mengajar dan belajar yang dibutuhkan bagi berkembangnya kreativitas dan inovasi.

Kita bisa mengembangkan investasi tinggi dalam pendidikan dengan menciptakan sistem pendidikan yang memiliki visi jauh ke depan dan peka akan dinamika masyarakat. Guru semestinya diberi ruang kebebasan agar dapat meningkatkan keterampilan yang mendukung proses pembelajaran otentik yang menumbuhkan kreativitas dan daya cipta.

Mengusung kembali wacana kewirausahaan dan matching dunia pendidikan dengan dunia kerja—tanpa disertai perubahan radikal dalam kebijakan pendidikan—hanya akan memiskinkan kemanusiaan. Dua wacana itu kian mengukuhkan, siswa hanya sekrup dari mesin uang kapitalisme. Pendidikan tidak dipahami sebagai sarana pemanusiaan dan pembudayaan, tetapi sistem prosedur untuk menyortir orang berdasar keahlian.

Jika selama menjalani masa pendidikan siswa tidak pernah mengalami apa artinya menjadi kreatif, mengalami semangat belajar tinggi karena tumbuhnya motivasi internal belajar, jangan pernah kita berharap semangat kewirausahaan akan tumbuh. Jangan pernah berharap kreativitas dan inovasi akan hadir dalam diri generasi muda intelektual kita.

Cermin bagi pemerintah

Pengangguran intelektual harus menjadi cermin bagi pemerintah untuk berkaca dan berani memperbaiki kebijakan pendidikan yang secara sistemik mematikan kreativitas dan inovasi.

Pendidikan akan mampu menciptakan lulusan yang kreatif, penuh daya cipta, bukan hanya mampu memecahkan persoalan, tetapi kompeten dalam menjawab tantangan zaman dengan lebih kreatif dan adaptif jika mereka dibekali pengalaman untuk itu. Pengalaman seperti ini sulit tercapai jika kurikulum tetap diikat dari pusat dan siswa tidak pernah mengalami pembelajaran kontekstual sejak dini. Asumsi dasar di balik UN adalah dekontekstualisasi pengetahuan.

Kreativitas dan inovasi hanya dapat tumbuh dari jiwa merdeka yang memiliki motivasi internal dalam belajar. Kreativitas dan inovasi tidak pernah terjadi dalam ruang hampa, sebagaimana soal-soal UN. Kemampuan ini bertumbuh seiring dialog dan perjumpaan individu dalam membumikan pengetahuan yang diajarkan. Pengetahuan kontekstual akan menjadi modal pertumbuhan kemanusiaan.

Pengangguran intelektual akan tetap menjadi sebuah keniscayaan jika kebijakan politik pendidikan tuli terhadap kritikan dan buta terhadap realitas masyarakat. Kebijakan UN yang berlaku sejak tingkat SD sampai SLTA hanya akan menyiapkan para mahasiswa yang mampu menjawab soal-soal, tetapi tidak mampu memecahkan persoalan kehidupan. Tidak mengherankan jika banyak dari mereka yang menjadi penganggur.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

 

Bubble Information" PTS Konglomerat


Jumat, 15 Februari 2008 | 03:13 WIB

Oleh: Priyo Suprobo

Hasil pemeringkatan perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta yang dimuat majalah Globe Asia amat mengagetkan.

Pada edisi Februari 2008, majalah ini menempatkan Universitas Pelita Harapan (UPH)—yang sekelompok dengan majalah itu— sebagai ranking kedua di bawah UI mengalahkan perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) terkemuka di Indonesia.

Contoh, total score UPH (356) ”diposisikan” mengalahkan lima PTN besar seperti UGM (338), ITB (296), IPB (283), Unair (279), dan ITS (258). Begitu pula terhadap PTS terkemuka seperti Trisakti (263), Atma Jaya (243), Unpar (230), dan Petra (151).

Sebagai seorang akreditor perguruan tinggi yang mengakreditasi PTN-PTS, terasa ada keanehan dalam ”pemosisian” ranking oleh Globe Asia.

Keanehan pertama, Globe Asia menggunakan aneka kriteria yang meski ”mirip” lembaga pemeringkat internasional, tetapi memberi ”bobot” berbeda. Contoh, bobot fasilitas kampus 16 persen, tetapi bobot kualitas staf akademik (dosen) 9 persen. Lebih parah lagi, kualitas riset dibobot 7 persen.

Keanehan kedua, subkriteria fasilitas kampus tidak memasukkan kapasitas bandwidth sebagaimana standar akreditasi.

Keanehan ketiga, sistem membandingkan yang tidak berbasis kaidah logis dasar apple to apple (kesederajatan).

Standar akreditasi

Menilik standar akreditasi, ada akreditasi dalam negeri (Dikti), regional asia (Asia University Network), maupun akreditasi pemeringkatan dunia (THES, Jiao Tong, Webbo). Akreditasi dalam negeri, regional, dan dunia menggunakan kriteria dan key performance indicator (KPI) yang ”logis secara akademis”. Artinya, meski bervariasi, kriteria itu benar-benar menunjukkan ”jaminan mutu” dari input, proses, sarana pendukung, hingga outcome. Dari kriteria dan subkriteria itu, tidak ada yang hanya menunjukkan keunggulan ”kemewahan lifestyle”. Demikian juga membandingkan universitas dengan institut, yang nature kriterianya pasti berbeda.

Maka, ranking yang dilakukan Globe Asia dikhawatirkan menjadi ”penipuan” informasi yang bubble kepada publik. Penipuan ini menjadi meluas saat dirilis begitu saja oleh sebuah koran sore.

Mungkin fenomena ini adalah akibat komersialisasi pendidikan di Indonesia. Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, telah menjadi komoditas ”empuk” untuk menaikkan status sosial pemilik guna meraup keuntungan besar. Di tangan para penyulap bisnis, pendidikan dikelola dengan citra lifestyle, bukan dengan citra qualistyle (gaya kualitas). Mereka menyusun ranking sesuai kekuatan yang dimiliki, tetapi menyembunyikan kelemahan yang seharusnya menjadi kriteria akreditasi. Akibatnya, segala cara akan dilakukan agar target meraih mahasiswa selama periode marketing tiap awal tahun (Februari-Juli) dicapai dengan memuaskan.

Mengganggu PTN-PTS

Bubble informasi yang dilakukan Globe Asia untuk menaikkan citra UPH itu secara langsung akan mengganggu citra beberapa PTN maupun PTS yang dikelola dengan kaidah jaminan mutu yang baik. Sebagai gambaran, sistem Webbo Rank (Juli 2007), yang merupakan sistem akreditasi dunia pada penekanan kriteria kerapian manajemen data, menempatkan PTS terkenal di kawasan timur, Universitas Petra, pada ranking ke-49 se-Asia Tenggara, UGM dan ITB ranking ke-12 dan 13. Padahal, Webbo Rank adalah sistem dunia yang dianggap ”paling sederhana”.

Karena itu, sebagai regulator, pemerintah bersama masyarakat sudah saatnya secara aktif mengawasi pola komersialisasi pendidikan yang dampaknya menggunakan cara-cara tidak fair dalam merekrut mahasiswa.

Hasil kerja Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang membuat 15 standar penilaian, antara lain tata kelola kepemimpinan, fasilitas lab, alumni, jumlah guru besar (tidak perlu harus expert asing), rasio dosen-mahasiswa, prestasi mahasiswa, hingga rasio antara jumlah peminat dengan yang diterima, merupakan kriteria yang amat lengkap untuk menunjukkan daya saing suatu perguruan tinggi.

Daya saing pendidikan tinggi sebagaimana diamanatkan dalam konsep strategis Higher Education Long Term Strategy (HELTS) Dikti harus dicapai dengan sistem penjaminan mutu yang benar sehingga hasilnya bisa dilihat, salah satunya dengan kriteria akreditasi yang logis secara akademis, bukan logis secara bisnis.

Priyo Suprobo Rektor ITS; Tim Akreditasi PT-Ditjen Dikti Depdiknas

 

Thursday, February 14, 2008

Hati-hati Pencurian Data "Login"


Kamis, 14 Februari 2008 | 02:16 WIB

Kami saat ini sedang me-review akun Anda, dan kami mencurigai ada transaksi ilegal menggunakan akun Anda. Proteksi akun Anda adalah prioritas kami.... Untuk memastikan akun Anda tidak dibajak, mudah saja tekan tombol ’Resolution Center’ untuk mengonfirmasi identitas Anda sebagai anggota Paypal...”.

Oleh: Amir Sodikin

E-mail di atas begitu meyakinkan. Dilengkapi kepala surat (header) yang ada logo Paypal-nya dan juga catatan kaki (footer) yang memuat trademark Paypal yang sudah dikenal kredibilitasnya untuk transaksi online realtime itu.

Siapa pun sepintas tak curiga menerima e-mail itu. Pengguna Paypal aktif pasti menyangka e-mail itu tak salah alamat dan benar-benar dari Paypal. Padahal, e-mail itu dikirim acak ke jutaan pengguna lain dengan sistem massal, tanpa mempertimbangkan apakah e-mail tersebut menjadi anggota Paypal atau tidak. Begitu yang menerima pengguna Paypal, kesempatan menjadi korban makin besar.

Begitu menekan link ”Resolution Center”, akan keluar www.paypalupdate.com yang tampilannya sama dengan situs asli www.paypal.com. Di tampilan web itu ada permintaan memasukkan username e-mail dan password. Begitu memasukkan informasi itu, dalam sekejap data login bisa berpindah tangan.

Dalam sekejap, hitungan menit, bisa jadi pemilik situs Paypal palsu telah mengeruk dana untuk ditransfer ke rekening Paypal lainnya. Jika sudah demikian, jangan berharap uang kita bisa kembali.

Memilukan memang. E-mail phising yang berisi tipu-tipu itu kini banyak beredar. Tak hanya dari paypalupdate.com seperti contoh di atas, tetapi sudah ada puluhan situs pengacau. Hebatnya, Gmail dan Yahoo sebagai penyelenggara e-mail gratis terbesar yang dikenal jagoan dalam menyaring e-mail sampah tak bisa mendeteksi e-mail jahat itu.

Sistem antivirus juga tidak memiliki metode valid memverifikasi apakah situs tersebut jahat atau tidak. Tetapi, masih ada harapan karena browser modern Mozilla Firefox bisa dengan cepat mengidentifikasi web jahat semacam itu. Untuk kasus di atas, Internet Explorer keluaran Microsoft tak memiliki warning.

Paypal adalah sistem transaksi online terbesar yang menggunakan e-mail sebagai ”rekening” seseorang. Dengan e-mail yang sudah didaftarkan dan sudah memasukkan data kartu kredit di dalamnya, kita bisa menjadikan Paypal sebagai alat transaksi realtime terpercaya.

Karena itu, pencurian data login pada alat pembayaran online adalah sama dengan pencurian dompet di dunia nyata. Pencurian data login ini akan terus merajai kasus-kasus kejahatan internet tahun 2008 ini.

Kompas sempat mengirim contoh e-mail yang dicurigai sebagai e-mail phising ke tim pendukung Paypal. Biasanya, setelah menerima laporan seperti itu, Paypal akan melakukan aksi menghentikan situs tersebut.

Korban ”chatting”

Beberapa hari lalu, di mailing list juga beredar cerita dari korban kejahatan pencurian data login. Kali ini yang menjadi sasaran adalah pengguna akun e-mail Yahoo dan Yahoo Messenger (YM) yang biasa digunakan untuk percakapan online atau chatting.

Cara ini sebenarnya lebih ”kasar” karena kebanyakan ”aktivis” YM sudah banyak yang mafhum bahwa ajang chat lewat YM bisa dimanfaatkan orang iseng untuk penyebaran virus dan kejahatan konvensional lainnya. Tetapi, hingga kini para programmer jahat (cracker) terus menemukan lubang keamanan sehingga masih banyak orang yang tertipu.

Salah satu cara adalah mengirim alamat link yang berisi situs tertentu yang langsung mengunduh file. Pengiriman pesan yang berisi link itu tentu saja dilakukan secara massal dan korban pun berjatuhan.

”Awalnya seorang teman chatting via YM bilang dia mau kirim file dan dia minta calon korban download file gambar. Setelah download file selesai, korban tak bisa lagi mengaktifkan YM, Yahoo Mail, dan Friendster,” begitu seorang teman bercerita.

Tanpa disadari, korban tadi telah mengunduh file berisi virus trojan atau kemungkinan spyware. Trojan inilah yang mengirimkan informasi spesifik ke remote komputer mengenai data login. Tidak hanya Yahoo, bisa data login apa pun yang ada. Sistem antivirus yang ter-update sebenarnya bisa mendeteksi spyware ini, namun spyware terbaru selalu bisa mengamuflase dirinya.

Dengan keahlian memanipulasi skrip pemrograman, yang semua tutorialnya tersedia di internet, seorang pembuat trojan dan malware bisa mendapatkan data yang diinginkan. Jika data login sudah didapatkan, sang cracker pun bisa login ”menyamar” dan berkomunikasi dengan teman-teman korban.

”Cracker tersebut chatting dengan teman-teman korban, bilang kalau dia perlu uang. Salah seorang teman percaya dan langsung mentransfer dana tanpa mengecek apa benar orang yang diajak chatting adalah teman dia,” begitu kisahnya.

Dalam kisah yang ekstrem, dengan menguasai e-mail berarti bisa menemukan pula data keuangan korban jika si korban juga menggunakan transaksi online. Karena itu, pencurian data login bukan persoalan sepele.

Tahun 2008 ini akan menjadi ujian bagi generasi Web 2.0 yang menjadikan sistem keanggotaan dengan data login sebagai andalan. Diperkirakan, akun di situs ternama seperti Yahoo, Friendster, MySpace, dan situs-situs jaringan pertemanan lainnya akan terus menghadapi gangguan.

Menelusuri asal-usul batik Madiba MANDELA

 
Rohmatin Bonasir
Produser BBC Siaran Indonesia


Mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela sempat membuat mendiang Presiden RI Suharto terhenyak ketika menerima Mandela dalam kunjungan kenegaraan tahun 1997.

Mandela mengenakan kemeja batik. Sedangkan, Pak Harto saat itu mengenakan stelan jas lengkap.

Sila dengar Paket Minggu asal usul Batik Mandela

Pada acara-acara resmi seperti peluncuran asosiasi mantan pemimpin dunia, The Elders Juli tahun 2007 lalu ini, Mandela sering dengan bangga mengenakan kemeja batik Indonesia.

Acara tersebut diadakan bertepatan dengan ulangtahun ke-89 Mandela, yang tokoh veteran perjuangan anti-apartheid Mandela.

Perkenalan Mandela pertama kali dengan batik Indonesia ini, menurut Duta Besar RI untuk Afrika Selatan Sugeng Rahardjo, terjadi tahun 1990 beberapa bulan setelah dia keluar dari penjara di Pulau Roben.

Perjalanan pertama

Sebagai presiden Kongres Afrika Selatan, Mandela atau nama akrabnya Madiba, mengadakan perjalanan pertama ke Asia, termasuk ke Indonesia.
Nelson Mandela mengenakan salah satu koleksi kemeja batiknya


Di masa lalu, ANC merupakan kekuatan dalam perjuangan masyarakat kulit hitam Afrika Selatan dari kebijakan apartheid yang mengawal sistem ekonomi dan sosial negara dengan dominasi kulit putih dan diskriminasi ras.

Duta Besar RI untuk Afrika Selatan Sugeng Rahardjo dalam kunjungan Nelson Mandela ke Indonesia tersebut menjabat sebagai kepala Seksi Afrika di departemen luar negeri dan menjadi notulen pertemuan Presiden Suharto dan Presiden Nelson Mandela.

Sebagian kemeja batik yang dikenakan sang mantan Presiden Afrika Selatan merupakan rancangan Iwan Tirta, salah satu perancang batik terkenal di Indonesia.

Dalam pemilihan umum pertama yang diadakan secara bebas di Afrika Selatan tahun 1994 sejak tumbangnya sistem apartheid, ANC yang menentang keras apartheid keluar sebagai pemenang dan Nelson Mandela terpilih sebagai presiden.

Pada tahun yang sama, tokoh kharismatik itu menghadiri konferensi APEC di Bogor dengan mengenakan kemeja batik khas Indonesia.

Belakangan, muncul istilah Madiba shirt atau kemeja Madiba (nama panggilan Mandela) untuk menyebut busana yang kerap dikenakan Nelson Mandela.

Wednesday, February 13, 2008

Ilmu Sosial dan Demokrasi


Rabu, 13 Februari 2008 | 01:52 WIB

Oleh: Rochman Achwan

Adakah hubungan ilmu sosial dengan demokrasi di Indonesia? Bila ada, dalam bentuk apa dan apa sumbangannya terhadap perkembangan demokrasi?

Pertanyaan ini penting mengingat ilmu sosial terkait erat dengan kekuasaan sepanjang sejarah politik Indonesia. Artikel ini berargumentasi, ilmu sosial publik (public social science) berhasil mendominasi perkembangan ilmu sosial di Tanah Air dalam satu dasawarsa terakhir.

Namun, dominasi ini ditandai lemahnya fondasi teori dan metodologi. Akibatnya, ilmu sosial publik menjadi pop social science, ditandai berubahnya isu kemasyarakatan menjadi ”gelembung udara”, timbul dan tenggelam di arena publik. Karena berbentuk gelembung, isu itu hilang ditelan angin perubahan. Dominasi jenis ilmu sosial ini merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kemunculan demokrasi gelembung (bubble democracy) di Tanah Air.

Adalah ironi, bila di era Soeharto, kita menyaksikan perkembangan ilmu sosial publik yang dinamis, kini, di tengah medan publik yang terbuka, justru pop social science menjadi arus utama, meninggalkan jenis ilmu sosial lain.

Empat jenis ilmu sosial

Para ilmuwan sosial mengajukan pertanyaan dasar ”ilmu untuk apa” dan ”ilmu untuk siapa” dalam membagi jenis ilmu sosial. Ilmu untuk ilmu, ilmu untuk elite, atau ilmu untuk kemajuan peradaban? Pertanyaan dasar itu melahirkan ilmu sosial akademis, ilmu sosial kritis, ilmu sosial kebijakan, dan ilmu sosial publik. Idealnya, keempat jenis ilmu itu saling berhubungan dan memberi sumbangan kepada kemajuan peradaban.

Ilmu sosial akademis memiliki kecanggihan dalam merumuskan kerangka teori dan metode penelitian. Karena itu, harus menjadi tulang punggung ilmu sosial yang lain. Ilmu sosial kebijakan memanfaatkannya untuk memberi rekomendasi praktis kepada para pengambil kebijakan. Sedangkan ilmu sosial publik melibatkan diri dalam perdebatan publik tentang persoalan kemasyarakatan dengan menggunakan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Akhirnya, ilmu sosial kritis mempertanyakan fondasi ilmu sosial akademis.

Anehnya, di era Soeharto, keempat jenis ilmu sosial itu berkembang dinamis dan melahirkan ilmuwan sosial publik yang saling menancapkan pengaruhnya di Tanah Air. Sarbini Sumawinata dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (ekonomi politik), Mubyarto (ekonomi Pancasila), Kuntjaraningrat (peran budaya), Selo Sumardjan (kemiskinan struktural), dan Arief Budiman (strukturalisme) adalah beberapa dari daftar ilmuwan yang telah melukis kanvas ilmu sosial publik di Indonesia. Pandangan mereka tentang masalah kemasyarakatan—lepas apakah kita setuju atau tidak—telah mengilhami kalangan terpelajar dalam meruntuhkan tembok otoriter dan menyemai benih demokrasi di dasawarsa berikut.

Ada pelajaran berharga yang dapat ditarik dari era Soeharto. Mereka berhasil membuktikan sebagai ilmuwan yang melibatkan diri di arena publik dengan memanfaatkan hasil studi mereka yang diterbitkan di jurnal akademis prestisius dan media. Dengan kata lain, mereka meramu ilmu sosial akademik sehingga mampu dicerna kalangan terpelajar. Mereka memiliki symbolic capital (dalam bentuk reputasi akademik) sebelum terjun menjadi ilmuwan sosial publik.

”Pop social science”

Ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan dan dominasi sisi gelap ilmu sosial publik ini di Tanah Air.

Pertama, dominasi paham neoliberal. Paham ini menancapkan pengaruhnya justru di era pasca-Soeharto. Belum pernah dalam sejarah ekonomi politik Indonesia muncul paham tunggal tanpa ditantang paham ekonomi politik lain.

Paham neoliberal muncul dari gedung pencakar langit di Washington—bukan dari universitas terkemuka di Barat—merembes ke dalam organisasi keuangan dan lembaga donor internasional dan dibawa ke negara-negara yang dilanda krisis ekonomi dan transisi demokrasi. Paham neoliberal tidak tertarik mempelajari sejarah politik, kapitalisme kroni atau oligarki yang bercokol di suatu negara. Padahal, faktor struktural itu membawa pengaruh luar biasa terhadap masa depan demokrasi dan pemulihan ekonomi. Karena itu, riset tentang pembangunan civil society, modal sosial, dan efektivitas birokrasi tidak perlu memperhitungkan bekerjanya faktor struktural itu.

Kedua, program aksi sebagai kelanjutan hasil riset lebih menekankan pelatihan pemberdayaan sosial terhadap kelompok sasaran seperti LSM, pengusaha kecil, dan lainnya. Dengan dukungan dana luar biasa, berbagai lembaga internasional dengan mudah merekrut kaum terpelajar yang bergiat di LSM, universitas, dan lembaga riset melakukan kedua kegiatan itu. Pada titik inilah terjadi transformasi dari aktivis gerakan sosial menjadi konsultan pemberdayaan masyarakat.

Transformasi ini menandai hilangnya kekritisan mereka mempertanyakan asumsi dan ideologi yang tersembunyi di balik riset dan program aksi. Karena itu, kita sering menemui komentar membosankan dari beberapa pengamat sosial di berbagai media.

Para ilmuwan dan pengamat sosial perlu menyadari bahaya dominasi pop social science. Bila jenis ilmu sosial ini tetap mendominasi arena publik, kita akan menyaksikan tumbuhnya ilmu sosial yang pincang dan mendorong berkembangnya demokrasi gelembung udara.

Rochman Achwan Sosiolog Ekonomi FISIP-UI

Jumlah Sarjana Nganggur Melonjak


Rabu, 6 Februari 2008 | 02:09 WIB

Jakarta, Kompas - Jumlah sarjana yang menganggur melonjak drastis dari 183.629 orang pada tahun 2006 menjadi 409.890 orang pada tahun 2007. Ditambah dengan pemegang gelar diploma I, II, dan III yang menganggur, berdasarkan pendataan tahun 2007 lebih dari 740.000 orang.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal, mengutip data Badan Pusat Statistik, mengatakan, hingga Februari 2007, jumlah sarjana yang menganggur sebanyak 409.890 orang. Belum lagi lulusan diploma III yang belum mendapatkan pekerjaan sebanyak 179.231 orang serta diploma I dan diploma II yang menganggur berjumlah 151.085 orang. Total penganggur keluaran institusi pendidikan tinggi berjumlah 740.206 orang.

Angka-angka tersebut bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006 (hingga Agustus). Pada tahun tersebut angka sarjana yang menganggur sebanyak 183.629 orang. Adapun untuk lulusan diploma III sebanyak 94.445 orang serta lulusan diploma I dan diploma II berjumlah 130.519 orang. Total penganggur keluaran institusi pendidikan tinggi berjumlah 408.593 orang.

Fasli Jalal mengatakan, data itu berdasarkan pendataan Badan Pusat Statistik terhadap lulusan pendidikan tinggi yang belum bekerja, tidak mempunyai usaha tertentu, dan terbuka kemungkinan sedang transisi berpindah kerja.

Tidak terserapnya lulusan pendidikan tinggi tersebut antara lain disebabkan kompetensi lulusan yang masih rendah atau tidak sesuai kebutuhan dunia kerja. Oleh karena itu, dibutuhkan standar nasional guna menjamin kualitas lulusan.

Program studi jenuh

Penyebab lain ialah terdapat program-program studi dengan jumlah lulusan yang sudah terlalu berlimpah atau jenuh. Jurusan yang jenuh tersebut terutama untuk ilmu sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Namun, Departemen Pendidikan Nasional sendiri masih harus melihat distribusi lulusan antardaerah dan kebutuhan daerah.

”Bisa saja di perkotaan atau daerah jumlah lulusan dari program studi tersebut berlimpah, tetapi di daerah lain justru kekurangan. Jadi, tidak bisa langsung asal menutup atau membuka program studi,” ujarnya.

Selain itu, dapat saja sebuah daerah yang kekurangan lulusan perguruan tinggi program studi tertentu mengirim mahasiswa dengan beasiswa ke perguruan tinggi yang telah ada dan kemudian membuat sistem ikatan dinas agar para putra daerah itu kembali untuk membangun daerahnya.

Angka partisipasi kasar (APK) di tingkat pendidikan tinggi terus meningkat hingga saat ini sekitar 17 persen dari penduduk berusia 19-24 tahun yang jumlahnya mencapai 25 juta orang. Setiap kenaikan 1 persen dibutuhkan sekitar lebih dari 100.000 mahasiswa. Walaupun, APK secara regional masih berbeda-beda, bahkan masih ada daerah yang APK perguruan tingginya cuma 6 persen. (INE)