Friday, February 22, 2008

TAJUK RENCANA


Jumat, 22 Februari 2008 | 02:23 WIB

Listrik dan Martabat Bangsa

Apa yang bisa kita lakukan dengan kondisi kelistrikan yang sering padam? Menjadikan alam sebagai faktor penyebab tentu bukan alasan rasional dan arif.

Kita angkat lagi permasalahan kelistrikan sehubungan dengan peristiwa padamnya listrik sebagian Jawa dan Bali dua hari belakangan ini. Tujuannya tidak lain supaya menjadi perhatian serius bagi semua pihak. Pemerintah, pengelola kelistrikan nasional, kalangan dunia usaha, konsumen, serta semua pihak yang berkepentingan dengan kelistrikan.

Berbagai daerah di luar Jawa dan Bali masih bergelut dengan persoalan kelangkaan dan kekacauan pasokan listrik. Kita tidak bermaksud mendramatisasi persoalan kelistrikan ini. Faktanya, listrik telah menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia yang paling asasi. Sesuatu yang mutlak adanya, tidak boleh tidak ada.

Pemenuhan kebutuhan listrik sudah merupakan urusan harkat dan martabat bangsa. Bagaimana kita mau berproduksi untuk meningkatkan tarap hidup rakyat jika pasokan listrik tak keruan? Padahal, jangankan usaha besar, bisnis rumah tangga skala mikro sekalipun kini sudah sangat bergantung pada pasokan listrik dalam proses produksinya.

Dalam konteks berproduksi untuk meningkatkan tarap hidup rakyat itulah kita tempatkan listrik amat mendasar. Hanya dengan berproduksi, menghasilkan karya, kita akan menjadi bangsa bermartabat, dihormati bangsa lain.

Karut-marut kelistrikan saat ini bukanlah semata persoalan PT PLN sebagai pemegang hak monopoli kelistrikan nasional yang disubsidi negara. Kelistrikan harus ditempatkan dalam kerangka kebijakan nasional di bidang energi dan sumber daya mineral. Oleh karena itu, kebijakan kelistrikan harus andal, komprehensif, dan berwawasan jauh ke depan. Pilihan kebijakan ditentukan, lalu diimplementasikan sekuat tenaga. Kebijakan tanpa kepentingan pribadi dan kelompok tentu akan mendapat dukungan luas dari pemangku kepentingan.

Peristiwa terakhir yang kita alami, padamnya listrik sebagian Jawa dan Bali, sejauh alasan PT PLN yang dapat kita simak, terjadi karena gangguan pasokan batu bara, bahan bakar pembangkit listrik. Pasokan tersendat karena kondisi cuaca, iklim yang menghambat angkutan batu bara melalui laut sehingga telat tiba di lokasi pembangkit.

Argumentasi ini kita patut gugat karena pembangkit listrik yang dikelola perusahaan partikelir justru tidak mengalami hal serupa. Ini berarti ada persoalan manajemen. Tidak adil menyalahkan alam sebagai faktor hambatan manajemen suplai bahan baku. Bukankah pengurus PLN sudah berpengalaman, sampai memecat seorang direkturnya beberapa waktu lalu karena dinilai gagal mengelola suplai bahan bakar batu bara?

Janganlah salah urus kelistrikan selalu ditimpakan kepada konsumen, rakyat. Itu tidak adil dan tak bertanggung jawab. Kita tuntut pertanggungjawaban itu.

***

Makna Lain Penembakan Satelit AS

ungguh pameran teknologi militer canggih apa yang dilakukan oleh negara adidaya Amerika Serikat pada hari Kamis, 21 Februari, kemarin.

Di orbit berketinggian sekitar 200 km di atas Samudra Pasifik melayang sebuah satelit uzur yang tangki bahan bakarnya masih berisi 400 kg hidrazin yang beracun. Menurut AS, daripada satelit turun dan jatuh ke permukaan Bumi tak terkendali, lebih baik dihancurkan di antariksa. Itulah rupanya yang dilaksanakan.

Kapal perang USS Lake Erie—kapal penjelajah berkelas Aegis—menembakkan sebuah rudal penyergap ke arah satelit, dan dilaporkan berhasil menghantam satelit. Meskipun demikian, masih perlu menunggu sehari lagi untuk meyakinkan bahwa tangki bahan bakar benar-benar sudah hancur dan tidak membahayakan.

Kita katakan itu merupakan pameran teknologi canggih. Dengan rudal yang ada di kapal, bisa ditembak satelit yang melayang di orbit dengan kecepatan sekitar 27.000 km per jam. Langkah menembak satelit National Reconnaissance Office yang sudah tidak berfungsi ini melibatkan jaringan sensor kompleks di darat, laut, dan udara, bahkan juga di angkasa.

Radar dan perlengkapan penjejak (tracking) di antariksa dan di darat dimonitor di Pangkalan AU Vandenberg di California, dan juga di Komando Ruang Angkasa di Colorado Springs, dengan kontrol operasi di Komando Strategis di Omaha, Nebraska.

Namun, di luar penjelasan dan kemampuan teknis yang diperlihatkan, langkah AS di atas bisa dimaknai lain. Kemampuan menembak sasaran yang bergerak di udara dan di ruang angkasa, selain bisa untuk menembak satelit di orbit, juga bisa untuk menembak rudal yang datang menyerang. Ini artinya, AS juga sedang menguji kemampuan sistem pertahanan antirudalnya.

Jubir Pentagon Bryan Whitman menegaskan, langkah penembakan satelit semata untuk mengurangi risiko terhadap manusia di Bumi, tidak lebih dari itu. Tetapi, ketika hal itu terjadi setelah beberapa waktu lalu China juga memperlihatkan kemampuan serupa, maka sulit dihindarkan munculnya kesan bahwa AS mengingatkan pihak lain. Kemampuan antisatelit dan juga antirudal masih operasional di adidaya ini.

Kita tahu, tanpa bantuan satelit di orbit, operasi militer di darat, laut, dan udara bisa lumpuh. Jadi, kalau diproyeksikan ke persaingan, atau hubungan tidak mudah, antara AS dan China dewasa ini, khususnya menyangkut Taiwan, kemampuan menetralisasi satelit lawan bersifat vital.

Kedua pihak kini bisa memperlihatkan, masing-masing punya kemampuan itu.

No comments: