Monday, February 11, 2008

"Biang Kerok"


Senin, 11 Februari 2008 | 03:22 WIB

Sepekan ini lingkungan industri telekomunikasi ramai membahas persoalan penarifan penggunaan telepon seluler, baik untuk keperluan suara maupun pesan singkat SMS. Regulator melalui Dirjen Postel Depkominfo pun mulai mengeluarkan ancaman kepada operator untuk menurunkan tarif telekomunikasi.

Lembaga yang seharusnya independen, seperti BRTI, pun mulai berhitung memperkirakan tarif dasar dan menyatakan sebenarnya tarif SMS seharusnya berada pada biaya Rp 150, bukan Rp 320 seperti yang sekarang dibebankan konsumen. Selain masalah tarif SMS, para operator pun mengakui adanya kartel tarif dalam menentukan biaya SMS ke konsumen.

Semua ini muncul di tengah- tengah perang tarif antaroperator seluler yang sekarang jumlahnya sudah mencapai 11 perusahaan yang bersaing dengan mengiming-imingi konsumen dengan berbagai angka dalam rupiah yang tidak jelas perhitungannya. Apa sebenarnya yang tengah terjadi?

Banyak pertanyaan yang muncul di tengah ramainya perbincangan mengenai tarif komunikasi seluler di Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah regulator serius untuk menata keseluruhan tarif telekomunikasi ini? Atau, memang sudah ada operator seluler yang mulai berteriak karena persaingan menjadi terlalu sengit dan mereka bisa KO sebelum berkembang?

Tarif telekomunikasi yang sekarang mahal dibandingkan negara-negara di Asia Pasifik bisa disebabkan para operator memang mengambil keuntungan yang sangat besar, berujung konsumen dirugikan terus-menerus tanpa mengetahui pokok persoalan. Bisa juga karena biaya ekonomi tinggi, yang terjadi di berbagai bidang kehidupan kita, yang juga berujung ruginya konsumen.

Semua orang sekarang hanya berbicara tarif yang tinggi dan perlu diturunkan. Padahal, ekonomi biaya tinggi yang terjadi dalam menggelar layanan telekomunikasi seluler bisa jadi adalah biang kerok tingginya tarif percakapan seluler kita.

Bayangkan saja, untuk menggelar kabel serat optik sepanjang 2 kilometer, biaya keseluruhan termasuk serat optiknya bisa mencapai Rp 150 juta. Bayangkan sekarang biaya untuk mendirikan menara antena seluler yang sampai sekarang kita tidak pernah mengetahui berapa besar biayanya untuk bisa menentukan berapa besar sebenarnya tarif seluler yang harus dikenakan ke konsumen.

Atau, memang selama ini kita sengaja dikecohkan dengan persoalan-persoalan tarif tinggi tanpa mau melihat pokok persoalan yang mendasar yang kita hadapi sekarang ini dalam mengembangkan teknologi komunikasi informasi.

No comments: