Wednesday, February 13, 2008

Ilmu Sosial dan Demokrasi


Rabu, 13 Februari 2008 | 01:52 WIB

Oleh: Rochman Achwan

Adakah hubungan ilmu sosial dengan demokrasi di Indonesia? Bila ada, dalam bentuk apa dan apa sumbangannya terhadap perkembangan demokrasi?

Pertanyaan ini penting mengingat ilmu sosial terkait erat dengan kekuasaan sepanjang sejarah politik Indonesia. Artikel ini berargumentasi, ilmu sosial publik (public social science) berhasil mendominasi perkembangan ilmu sosial di Tanah Air dalam satu dasawarsa terakhir.

Namun, dominasi ini ditandai lemahnya fondasi teori dan metodologi. Akibatnya, ilmu sosial publik menjadi pop social science, ditandai berubahnya isu kemasyarakatan menjadi ”gelembung udara”, timbul dan tenggelam di arena publik. Karena berbentuk gelembung, isu itu hilang ditelan angin perubahan. Dominasi jenis ilmu sosial ini merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kemunculan demokrasi gelembung (bubble democracy) di Tanah Air.

Adalah ironi, bila di era Soeharto, kita menyaksikan perkembangan ilmu sosial publik yang dinamis, kini, di tengah medan publik yang terbuka, justru pop social science menjadi arus utama, meninggalkan jenis ilmu sosial lain.

Empat jenis ilmu sosial

Para ilmuwan sosial mengajukan pertanyaan dasar ”ilmu untuk apa” dan ”ilmu untuk siapa” dalam membagi jenis ilmu sosial. Ilmu untuk ilmu, ilmu untuk elite, atau ilmu untuk kemajuan peradaban? Pertanyaan dasar itu melahirkan ilmu sosial akademis, ilmu sosial kritis, ilmu sosial kebijakan, dan ilmu sosial publik. Idealnya, keempat jenis ilmu itu saling berhubungan dan memberi sumbangan kepada kemajuan peradaban.

Ilmu sosial akademis memiliki kecanggihan dalam merumuskan kerangka teori dan metode penelitian. Karena itu, harus menjadi tulang punggung ilmu sosial yang lain. Ilmu sosial kebijakan memanfaatkannya untuk memberi rekomendasi praktis kepada para pengambil kebijakan. Sedangkan ilmu sosial publik melibatkan diri dalam perdebatan publik tentang persoalan kemasyarakatan dengan menggunakan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Akhirnya, ilmu sosial kritis mempertanyakan fondasi ilmu sosial akademis.

Anehnya, di era Soeharto, keempat jenis ilmu sosial itu berkembang dinamis dan melahirkan ilmuwan sosial publik yang saling menancapkan pengaruhnya di Tanah Air. Sarbini Sumawinata dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (ekonomi politik), Mubyarto (ekonomi Pancasila), Kuntjaraningrat (peran budaya), Selo Sumardjan (kemiskinan struktural), dan Arief Budiman (strukturalisme) adalah beberapa dari daftar ilmuwan yang telah melukis kanvas ilmu sosial publik di Indonesia. Pandangan mereka tentang masalah kemasyarakatan—lepas apakah kita setuju atau tidak—telah mengilhami kalangan terpelajar dalam meruntuhkan tembok otoriter dan menyemai benih demokrasi di dasawarsa berikut.

Ada pelajaran berharga yang dapat ditarik dari era Soeharto. Mereka berhasil membuktikan sebagai ilmuwan yang melibatkan diri di arena publik dengan memanfaatkan hasil studi mereka yang diterbitkan di jurnal akademis prestisius dan media. Dengan kata lain, mereka meramu ilmu sosial akademik sehingga mampu dicerna kalangan terpelajar. Mereka memiliki symbolic capital (dalam bentuk reputasi akademik) sebelum terjun menjadi ilmuwan sosial publik.

”Pop social science”

Ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan dan dominasi sisi gelap ilmu sosial publik ini di Tanah Air.

Pertama, dominasi paham neoliberal. Paham ini menancapkan pengaruhnya justru di era pasca-Soeharto. Belum pernah dalam sejarah ekonomi politik Indonesia muncul paham tunggal tanpa ditantang paham ekonomi politik lain.

Paham neoliberal muncul dari gedung pencakar langit di Washington—bukan dari universitas terkemuka di Barat—merembes ke dalam organisasi keuangan dan lembaga donor internasional dan dibawa ke negara-negara yang dilanda krisis ekonomi dan transisi demokrasi. Paham neoliberal tidak tertarik mempelajari sejarah politik, kapitalisme kroni atau oligarki yang bercokol di suatu negara. Padahal, faktor struktural itu membawa pengaruh luar biasa terhadap masa depan demokrasi dan pemulihan ekonomi. Karena itu, riset tentang pembangunan civil society, modal sosial, dan efektivitas birokrasi tidak perlu memperhitungkan bekerjanya faktor struktural itu.

Kedua, program aksi sebagai kelanjutan hasil riset lebih menekankan pelatihan pemberdayaan sosial terhadap kelompok sasaran seperti LSM, pengusaha kecil, dan lainnya. Dengan dukungan dana luar biasa, berbagai lembaga internasional dengan mudah merekrut kaum terpelajar yang bergiat di LSM, universitas, dan lembaga riset melakukan kedua kegiatan itu. Pada titik inilah terjadi transformasi dari aktivis gerakan sosial menjadi konsultan pemberdayaan masyarakat.

Transformasi ini menandai hilangnya kekritisan mereka mempertanyakan asumsi dan ideologi yang tersembunyi di balik riset dan program aksi. Karena itu, kita sering menemui komentar membosankan dari beberapa pengamat sosial di berbagai media.

Para ilmuwan dan pengamat sosial perlu menyadari bahaya dominasi pop social science. Bila jenis ilmu sosial ini tetap mendominasi arena publik, kita akan menyaksikan tumbuhnya ilmu sosial yang pincang dan mendorong berkembangnya demokrasi gelembung udara.

Rochman Achwan Sosiolog Ekonomi FISIP-UI

No comments: