Kita Bukan "A Nation In Waiting"
Julius Pour
"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan sosok pemimpin yang teguh sikapnya. Sewaktu Indonesia berubah jadi demokratis, maka kepemimpinannya langsung dihadapkan kepada ujian penting. Menghadapi kenyataan bahwa dia memimpin bangsa majemuk dalam etnis dan keyakinan agama, maka rakyatnya membutuhkan gaya kepemimpinan yang tenang dipadu ketegasan sikap. Banyak kritik sering dilontarkan dan menganggap dia peragu dan tidak pernah berani memanfaatkan mandat mutlak yang pernah diperolehnya dari kemenangan dalam pilpres tahun 2004".
Bagaimanapun, saya tidak merasa ragu, Yudhoyono beserta kabinetnya akan bisa menangani segala persoalan dengan cara santun. Pada sebuah negara berpenduduk lebih dari 230 juta, tidak semua energi harus diboroskan menjawab semua tantangan. Isu dan sasaran perlu dicermati serta dikoordinasikan sebaik mungkin dalam menangani. Ketegasan sikap ini terbukti ketika dia berani memangkas subsidi BBM, memilih Panglima TNI, mempertahankan Helsinki Accord (untuk menyelesaikan pergolakan Aceh) berikut keputusan mengimpor beras meski negaranya agraris, termasuk keberanian menumpas gerakan separatis, hanya contoh kecil dalam gaya kepemimpinannya".
Kutipan artikel di atas berjudul "Yudhoyono-A Man of Mettle", ditulis oleh Yenny Zanuba Wahid, dimuat koran The Straits Times Singapura edisi 11 Agustus 2006. Artikel tersebut, bersama sejumlah pidato dan artikel serta komentar sekitar kepemimpinan SBY, kini dibukukan dalam judul Indonesia on the Move. Buku setebal 335 halaman itu diterbitkan PT Bhuana Ilmu Populer dan akan diluncurkan Jumat pagi, 28 Desember, sekaligus menandai pembukaan Toko Buku Gramedia di Jalan Matraman, Jakarta.
Waktu terus berlalu
Yenny Wahid menulis artikelnya ketika masih menjabat sebagai "...a political communications staffer for President Susilo Bambang Yudhoyono and director of Wahid Institute". Maka pertanyaan paling menarik tentu saja adalah apakah pendapatnya masih tetap berlaku? Sebab waktu terus berlalu dan kini dia sudah tidak lagi menjabat sebagai staf Presiden. Sesudah secara sukarela dia mengundurkan diri dari posisi itu karena Yenny ditunjuk menjadi Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa, parpol yang didirikan KH Abdulrrahman Wahid, ayah kandungnya.
"Kepresidenan merupakan jabatan politik tertinggi dan posisi yang menuntut tanggung jawab besar sekaligus bisa ikut membentuk sejarah. Ketika masyarakat mengikuti pilpres pertama yang dilaksanakan secara langsung tahun 2004, mereka sebenarnya sedang menulis lembaran baru dalam sistem politik kami. Sebuah titik penentuan yang tidak mungkin terulang kembali dalam perjalanan transisi menuju kehidupan demokratis", tulis Presiden SBY dalam kata pengantar untuk buku ini.
Sementara itu, Dr Dino Patti Djalal selaku editor melukiskan, "Presiden selalu mengingatkan saya, memimpin pemerintahan beda dengan kampanye, sebab bukan kontes mencari popularitas. Meski demikian, dia menegaskan, mengelola pemerintahan dan menangani kampanye memiliki persamaan dalam meraih sekaligus berusaha menjaga kepercayaan rakyat. Oleh karena sekali kepercayaan tersebut menyurut, maka hari-hari terakhir kekuasaan tinggal bisa dihitung dengan jari".
Dalam buku ini SBY menjelaskan, setiap kali melakukan tatap muka dengan segala lapisan masyarakat, mereka selalu menyerukan kata-kata, jangan mundur, teruskan, kita pasti mampu, bersama kita bisa. Kepercayaan mereka kepada prinsip demokrasi dan reformasi, berikut harapan untuk bisa meraih kehidupan lebih baik, sesuai janji kampanye saya, yakni tekad membangun demokrasi, tegaknya hukum, kemakmuran, menjaga keamanan, memberantas korupsi, menyelesaikan konflik dan membangun sosok terhormat dalam dunia internasional.
Karena alasan-alasan tersebut SBY menegaskan, dalam setiap kesempatan, baik di dalam negeri maupun di forum antarbangsa, "...saya bertekad mengartikulasikan keinginan bahwa Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia, berdasar persamaan hak, harmoni dan membina kerja sama".
Enam bagian plus komentar
Buku menarik ini terbagi dalam enam bagian. Diawali dengan pembicaraan sekitar persoalan pembangunan bangsa, yaitu demokrasi dan reformasi, kemudian refleksi tentang Islam, penanganan konflik, pembangunan ekonomi dan MDGs (Tujuan Pembangunan Abad Milenium), peristiwa internasional serta bagian yang disebut sebagai pidato pribadi. Semua itu kemudian ditambah sejumlah artikel dan hasil wawancara, melengkapi kutipan komentar singkat dari berbagai tokoh sekitar sosok SBY yang tersebar di sana-sini.
Dari keenam bagian tersebut, porsi terbanyak, tujuh buah, terdapat pada peristiwa internasional. Adapun porsi paling kecil, hanya satu, mengenai pembangunan ekonomi dan MDGs dikutip dari pidato SBY di Columbia University, New York, AS, tanggal 13 September 2005, Perspective on the MDGs and the way forward to 2015.
Memang, sedikit bukan otomatis kurang perhatian.
Akan tetapi, bahwa dari 21 pidato yang disampaikan SBY dalam berbagai kesempatan—sejak pidato di Banda Aceh sampai di depan Nobel Institute di Oslo, Norwegia, mulai pidato di Islamic University of Imam Muhammad bin Sa’ud di Riyadh, Arab Saudi, hingga di Sidang Majelis Umum PBB di New York AS—editor ternyata hanya menampilkan satu topik mengenai masalah ekonomi tentu bisa memancing pertanyaan, begitu kecilkah minat SBY dalam persoalan pembangunan ekonomi?
Tidak ada penjelasan dari editor, mengapa terjadi demikian. Justru penjelasan panjang mereka sampaikan bahwa buku tersebut juga mengikutsertakan pidato terpenting SBY, peringatan 61 tahun kelahiran Pancasila. Saat SBY menegaskan sikap dalam mempertahankan Pancasila sambil menyatakan, Indonesia adalah negara majemuk berdasar prinsip kebebasan, menghargai keragaman dan toleransi. "Dalam konteks meluasnya wacana sekitar isu di atas, maka pidato tadi lantas sangat bermakna", begitu editor menyampaikan catatan.
Selera memang tidak bisa diperdebatkan.
Begitu juga dalam memilih mana pidato terpenting dan mana kurang penting. Tetapi, akibat pilihan yang kurang seimbang terasa ada bagian yang tampak diberi porsi jauh lebih besar, semisal penyelesaian soal Aceh. Tentu saja benar sangat luas, ruwet sekaligus dramatis, sejak penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hingga menghadapi amukan tsunami. Namun apa pun itu, Aceh dan juga soal di sana yang memang telah terselesaikan hanya bagian dari persoalan jauh lebih besar dan masih harus dihadapi SBY.
Rakyat menunggu keajaiban
Memang, penyelesaian soal Aceh menjadi salah satu kisah sukses dalam masa kepemimpinannya. Dalam wawancara khusus dengan Asia Inc bulan Juni 2006, SBY secara terbuka menyatakan, "Saya sangat gembira bisa ikut menangani perjanjian damai di Aceh, menghadapi krisis akibat tsunami, bencana gempa bumi di Jawa dan memenuhi janji saya untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih. Sehingga saya berharap, bisa memenuhi kepercayaan rakyat".
"Ketika mulai menjabat presiden, keinginan utama saya melakukan reformasi dan membangun kembali Indonesia. Orang luar menggambarkan Indonesia a nation in waiting, maka saya bertekad mengubah persepsi itu. Saya sangat berharap, setelah semua kebijakan saya nanti tuntas, maka semua pihak akan bisa berkata, Indonesia is a nation on the move. Dengan demikian tekad saya tetap, melanjutkan pembangunan, meneruskan demokratisasi, dan membangun kembali perekonomian".
Dengan jujur SBY juga mengungkapkan, "Beban berat bagi seorang presiden, tahu banyak mengenai hal yang harus ditangani dan begitu tinggi harapan masyarakat. Namun pada sisi lain, terpaksa menghadapi kenyataan sangat sedikitnya waktu dan kecilnya sarana untuk bisa diajak. Rakyat senantiasa mengharapkan munculnya pencipta keajaiban, sedangkan saya seorang manusia biasa yang berusaha bekerja sebaik mungkin demi sesama sambil berharap tidak dilupakan oleh catatan sejarah".
"Saya memimpin Indonesia ketika bangsa ini sedang menghadapi tahun-tahun paling mencekam. Mungkin itu sudah suratan nasib. Tetapi sebagai seorang pensiunan jenderal, saya tidak akan pernah menyerah dan justru selalu berusaha mencari solusi atas semua yang sedang dihadapi. Saya selalu bertekad mengubah impossible jadi possible…".
Buku ini sangat penting dibaca untuk para pengamat serius masalah politik dan ekonomi Asia, kata Steve Forbes, CEO Forbes Inc. Saya ikut mendukung pendapat ini. Bahkan sebenarnya, bukan hanya penting untuk pengamat dari luar, tetapi juga bagi warga masyarakat Indonesia agar mereka bisa lebih mengenal sosok SBY berikut apa kerjanya selama ini. Maka saya lantas bertanya, mengapa buku ini justru (hanya) diterbitkan dalam bahasa Inggris? Apakah SBY hanya ingin berdialog dengan orang luar dan melalaikan masyarakat pendukung dan yang tentunya ingin dia ajak mewujudkan, apa yang impossible menjadi possible?
Julius Pour Wartawan dan Penulis Buku