2008
Suka Hardjana
Lambat atau cepat tapi pasti, dunia terus bertambah usia. Arti harfiahnya, dunia semakin tua. Semua makhluk penghuni bola semesta ajaib yang dibilang bumi ini tak dapat mengelak. Tak terkecuali, semua bertambah usia, walau hanya sedetik, sehari atau setahun. Sesuai hitungan kalender. Dari dulu hingga kini hitungannya begitu. Hitungan tahunan maju-mundur itu lalu dijadikan semacam permainan hidup.
Dengan segala daya dan cara, parameter lantas dicari untuk mengukur hasil capaian mengatasi repetisi kerumitan hidup berselangkah tahunan. Banyak fakta suram dan abu-abu disemukan, untuk memberi ruang optimisme ke masa depan yang lebih baik. Sambil menyembunyikan fakta-fakta menyakitkan laiknya duri dalam daging, euforia tahunan lantas digelar—sangat sering secara gila-gilaan dan tak tahu diri—agar harapan tetap bisa dipelihara untuk setahun berikutya. Simulasi bohong-bohongan lantas dimainkan untuk menyisihkan sisi-sisi gelap kehidupan yang terus berulang sepenggal tahun. Merayakan datangnya tahun baru, kata orang.
Repetisi pesta tahunan terus dilakukan selama berabad-abad, seolah-olah memberi kesan manusia tak pernah mau belajar mengerti—bahwa dunia semakin bertambah tua, rentan dan tak lagi aman dan nyaman untuk dihuni oleh semua makhluk yang hidup di dalamnya. Petaka perang, bencana alam, penyakit, kemiskinan, kebodohan dan kerusuhan terus berkiprah di pentas kehidupan umat manusia—layaknya panggung ketoprak narsisme impian hidup yang tak habis-habisnya dimainkan ulang. Planet bumi yang dulu dipuja sebagai surga dunia menjadi semakin ciut, penuh sesak dan sumpek dijejali semua makhluk hidup yang saling tindih berebut ruang. Survival for the fittest terus berlangsung sepanjang waktu. Apa pun bentuk dan hakikatnya, semua makhluk bumi yang rentan, tak cukup daya tahan akan punah ditelan waktu—termasuk jenis-jenis tipologi manusia yang tak cukup punya daya tahan. Hanya mereka yang kuat dan perkasa, punya banyak akal dan tega dapat terus menguasai permainan hidup di bumi yang semakin uzur.
Air, udara, dan tanah parah tercemari oleh ulah anak manusia. Matahari, bulan, dan bintang tak mampu lagi bersahabat dan meramahi anak-anak Adam dan Eva yang dari sono-nya, konon memang sudah tercekal dosa asal, karena melanggar larangan Tuhan. Kini semua telah menjadi bubrah (rusak tak terperbaiki). Dan manusia masih saja terus merayakan surga dunia pada setiap tahun baru yang sesungguhnya adalah tahun-tahun lama yang terus berulang. Perut bumi semakin kosong terkuras mulut-mulut kecil manusia yang sanggup menelan bumi bulan dan bintang beserta seluruh isi kandungan hajat hidup yang tersimpan di dalamnya. Sumber-sumber kehidupan yang semula melimpah ruah menjadi semakin berkurang, raib dan tak lagi mencukupi kebutuhan bersama secara adil dan merata. Sumber-sumber hayati dan hajat hidup manusia di tanah, air, dan udara sebagian besarnya tersedot oleh kerakusan mulut-mulut mereka yang lebih perkasa, banyak akal, tega dan tak pernah merasa cukup: "Kalo bisa dapet semua, ngapain kompromi?" pesan sebuah iklan yang terpampang di salah satu ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta. Sebuah ungkapan (atau umpatan?) yang analoginya pas dengan sifat dan perwatakan manusia zaman sekarang.
Menjelang kebiasaan pesta pora tahun baru yang dibuat-buat (artificial), apakah orang masih bisa terperangah mendengar cerita seorang tukang sol sepatu di bawah sana bahwa keluarganya belum pernah merasakan buah mangga, melon, apel, daging sapi, dan ikan gurami?
"Kalo punya uang, mendingan buat beli beras, garam, kangkung, dan ikan asin" yang menjadi menu sehari-hari mereka, katanya. Saya tak habis pikir, bagaimana keluarga tukang sol sepatu itu memasak beras, kangkung, dan ikan asin—kalau minyak tanah dan minyak goreng pun seperti raib di ranah bawah kehidupan? Inikah negeri ajaib yang dibilang kaya sumber alam dan hayati? Seorang tukang becak di Solo mengeluh kepada temannya: "Aku benar-benar pusing kepala dan habis kata-kata. Kuberi istriku uang belanja Rp 150.000,- (baca, seratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulan, tapi terus saja uring-uringan dan ngedumel karena selalu merasa kurang ........" Absurd! Abang becak dan istrinya di kota pelesiran Solo itu beranak tiga. Cerita tukang sol sepatu dan abang becak itu bukan dongeng sinetron melankolis yang tak pernah menyentuh rasa haru. Cerita tersebut fakta nyata kehidupan orang-orang tak berdaya di bawah sana yang terabaikan dari mimpi-mimpi kemakmuran yang terus saja diembuskan oleh mereka yang lebih perkasa, banyak akal, tega dan tak pernah merasa cukup.
Tak ada tahun baru bagi mereka yang terabaikan. Tahun-tahun (lama) terus berjalan tanpa mampu mengubah nasib. Semua berulang seperti penggalan-penggalan waktu sebelumnya di ruang-ruang kehidupan yang tak layak dan tak sepatutnya bagi mereka yang tertinggalkan. Toh mereka terus bertahan menggeluti jebakan nasib yang sesungguhnya tak mereka maui.
"Teguk air tawarmu, bila kau masih punya, tapi jangan ucapkan Selamat Tahun Baru, karena itu sumpah palsu yang melawan nasibmu," kata seorang penyair. "The day after today is today". Besok adalah hari ini juga, kata para penganut faham hedonis yang tak mau surut barang sehari merayakan nikmatnya royal sukacita pelesiran hidup di bumi yang semakin rentan. Selamat Tahun Baru 2008. Besok? Seperti hari-hari kemarin juga... wis!
No comments:
Post a Comment