Tuesday, June 19, 2007

Air Mata Guru
Kejujuran yang Dimusuhi

Susi Fitri

Bagi seorang guru, tidak ada yang lebih membanggakan selain melihat murid-muridnya sukses. Bahkan, seorang guru honor yang bergaji Rp 100.000 sebulan (belum dipotong pajak) pernah mengatakan kepada saya, hanya dengan melihat muridnya sukses sudah bisa mengobati luka hatinya akibat penghargaan yang tak seberapa itu.

Sebaliknya, tidak ada yang lebih memedihkan bagi seorang guru selain menyaksikan murid-muridnya gagal. Namun, ketika bertemu dan mendengar cerita dari guru-guru yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru dari Medan, dan banyak lagi cerita yang sama yang selama ini saya dengar dari organisasi-organisasi guru di beberapa tempat di Indonesia, saya jadi sadar bahwa ternyata ada yang lebih memedihkan hati seorang guru.

Bisa dibayangkan, betapa tidak pedih hati seorang guru ketika mendengar murid-muridnya yang berbuat jujur malah dihina dan diperlakukan sedemikian rupa tidak ubahnya para penjahat. Peristiwa yang menimpa siswa SMK Duafa Nusantara ketika melaporkan adanya kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) yang mereka ikuti di SMK Negeri 5 Padang adalah salah satu contohnya.

Belum lagi pengalaman langsung guru-guru di Medan, yang tergabung dalam Komunitas Air Mata Guru, serta sejumlah guru di berbagai daerah di Tanah Air. Para guru yang membongkar kecurangan UN ini malah diejek, dituduh sok suci, diancam secara fisik (di-"Munir"-kan, ujar seorang guru), diturunkan atau ditunda kenaikan pangkatnya, diberhentikan, disesali oleh orangtua murid, dan dikecam oleh murid-murid sendiri yang mereka sayangi.

Saya memang bukan guru dari para guru-guru itu. Namun, sebagai dosen yang bekerja di institusi yang melahirkan guru, maka yang terbayang pada saya adalah nasib mahasiswi-mahasiswa saya nantinya. Bila saya mengidam-idamkan mereka kelak menjadi guru yang baik dan profesional—kejujuran dan keberanian termasuk di dalamnya—maka saya menyaksikan harga yang sangat mahal dan risiko yang begitu berat yang akan mereka tanggung hanya karena mereka mengungkapkan kebenaran dan berbuat jujur. Namun, tanpa itu semua, lantas apa artinya menjadi guru?

Dari kesaksian Komunitas Air Mata Guru dan banyak lagi guru-guru lain, kita jadi tahu bahwa kecurangan dalam UN bukanlah kecurangan yang kasuistik dan bukan pula kecurangan yang dengan gampang dikilah dengan alasan: "Ah, itu kan cuma pekerjaan oknum yang tidak bertanggung jawab." Kilah semacam ini hanyalah cara pengecut untuk berkelit dari persoalan yang sebenarnya, yaitu persoalan yang bersarang dalam sistem pendidikan kita itu sendiri.

Konflik horizontal

Berbagai kebijakan dan wacana (discourse) pendidikan kita belakangan ini justru telah menimbulkan konflik horizontal di dalam masyarakat pendidikan. Konflik horizontal tersebut terjadi dalam wujud pertentangan di antara sesama guru (yang cemas kehilangan pekerjaan karena tekanan sekolah); guru dengan orangtua (yang cemas anaknya gagal); guru dengan murid (yang cemas dengan masa depannya); dan guru dengan kepala sekolah (yang ingin sekolah yang dipimpinnya mampu mengalahkan sekolah lain). Pertentangan lebih jauh menyangkut guru dengan kepala dinas pendidikan (yang ingin departemennya dianggap berprestasi); serta pertentangan guru dengan pimpinan daerah (yang ingin daerahnya dipandang nomor satu), dan seterusnya.

Guru kini terjebak di tengah- tengah konflik horizontal tersebut: antara mementingkan nama baik sekolah dan prestasi riil murid; antara menjaga konduite daerah dan profesionalisme kerja; antara keinginan membantu murid dan berbuat curang. Dan, semua itu tak lain dan tak bukan hanyalah ditujukan demi menjaga citra dan peringkat (ranking), yang saat ini sudah menjadi semacam berhala dalam pendidikan di negeri ini!

Pemberhalaan citra dan peringkat inilah yang memupuk dan melestarikan budaya persaingan dalam dunia pendidikan kita. Bukannya mendorong budaya kebersamaan dan kepedulian, wacana pendidikan kita saat ini justru dengan amat bersemangat mengelu-elukan budaya persaingan. Di mana-mana orang bicara atas nama "persaingan global, persaingan global, persaingan global".

Kata-kata ini sekarang seperti mantra saja, seperti suara zikir di ujung tasbih. Kita tidak lagi menyadari bahwa budaya semacam ini lahir karena kebijakan pendidikan yang hanya mementingkan logika pasar.

Alhasil, terjadilah favoritisme pelajaran. Hanya pelajaran-pelajaran yang "laku" di pasar yang akan dianggap pantas menjadi pengetahuan dan karenanya hanya itu yang perlu diujikan. Maka, sains dianggap lebih penting daripada seni, matematika jadi lebih berharga daripada sikap terbuka pada keragaman dan kenisbian dunia, dan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia direduksi menjadi tes-tes pilihan ganda. Inilah yang kita saksikan dalam kebijakan UN.

Mahasiswa-mahasiswi yang kelak menjadi guru seni, yang akan membantu kepekaan dan welas asih generasi mendatang, tidak jadi penting. Mahasiswa-mahasiswi yang kelak menjadi guru sejarah, yang mengajarkan berbagai kebiadaban dan kegemilangan masa lalu agar kita tidak jatuh pada kesalahan dan kebiadaban yang sama, malah dipinggirkan. Mahasiswa- mahasiswi yang kelak menjadi guru olahraga, yang membantu anak-anak kita untuk menjadi generasi yang sehat dan sportif, tidak dihargai.

Renungan bersama

Bila demikian jadinya, sebagai dosen yang berada di institusi yang melahirkan guru, saya bertanya kepada diri sendiri: apa artinya mengajarkan mereka berbagai ilmu pengetahuan yang membuat mereka menjadi profesional? Cukupkah segala macam ilmu tentang metode mengajar, pengayaan materi, berbagai disiplin evaluasi, hubungan dosen-mahasiswa yang egaliter, cita-cita tentang perubahan sosial, dan sebagainya, dan sebagainya? Ilmu mana yang bisa melindungi guru-guru dari kekuasaan yang semena-mena? Metode apa yang bisa menyelamatkan guru- guru dari penghinaan karena mengatakan yang benar? Evaluasi apa yang bisa diterapkan untuk mengukur hati nurani? Kurikulum apa yang bisa membuat mereka berani melawan ketidakadilan?

Saya sungguh gemetar ketika menyadari semua itu tidak ada dalam proses pendidikan mereka sebagai guru. Saya merasa ibarat menceburkan mahasiswi- mahasiswa saya ke laut yang dalam, tapi alih-alih mengajarkan mereka berenang, saya malah mengajarkan mereka berlari.

Maka, apa artinya kerja para dosen yang membangun kurikulum sedemikian rupa, yang tujuannya adalah membentuk guru yang memikirkan bangsa, bukan pasar? Di manakah relevansi kurikulum seni yang mengembangkan sikap berbangsa yang multikultur, kurikulum olahraga yang mengembangkan sikap sportif, kurikulum sejarah yang menggambarkan manis-pahitnya melahirkan Indonesia? Maka, apa pentingnya melahirkan guru yang mengembangkan potensi anak, jika pada akhirnya kita menjual mereka? Apa gunanya mengembangkan hubungan yang egaliter di kampus bila yang kuasa bisa menang dengan segala cara?

Namun, bila kritik dilemparkan kepada pengambil kebijakan, bila kejujuran diperdengarkan, maka paling halus mereka akan mengatakan, "Coba solusinya, dong!" Olala, bila semua kritik harus juga dengan solusi, apa kerja para pakar pemerintah yang telah kita bayar mahal dengan pajak rakyat itu? Untuk apa berbagai dewan atau komisi? Bukankah kepada kantong mereka sebagian penghasilan kita, kita serahkan lewat berbagai pajak? Bukankah segala lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif punya segudang pakar yang seharusnya memikirkan solusi?

Lagi pula, bukankah kritik itu sendiri sebenarnya telah membantu mereka melihat adanya persoalan? Sudah ribuan kali teori leadership dan metodologi riset ilmiah mengatakan bahwa dengan menemukan masalah, pada dasarnya sebagian besar masalah sudah dipecahkan. Yang sering kali menghalangi pemecahan masalah justru ketidakmampuan dan ketidakmauan pimpinan untuk mengambil keputusan yang berani dan visioner. Dan, kita kini menyaksikan bahwa di tangan pimpinan yang lemah inilah anak-anak, orangtua, dan guru-guru kita dikorbankan di altar persaingan globalisasi.

Ujian nasional hanyalah sekrup kecil yang membangun altar itu, dan kini para korbannya telah diumumkan satu per satu. Harap dicatat, yang menjadi korban bukan saja yang tidak lulus, tetapi juga yang lulus. Mengapa? Itu tak lain karena keberhasilan mereka pada dasarnya hanyalah keberhasilan yang semu.

Bila sekarang tidak ada perubahan apa-apa, pada masa yang akan datang saya akan mendengar dan menyaksikan murid-murid saya sendiri yang bercerita di hadapan saya tentang nasib buruk, dilema, dan berbagai perlakuan tak pantas yang telah mereka terima sebagai guru. Sekarang pun, saya sungguh tidak sanggup membayangkannya....

Susi Fitri Aktivis Pendidikan dan Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta (FIP-UNJ)

No comments: