Tuesday, November 25, 2008

Ambil Kepahlawananku, Benahi Kesejahteraanku


R Kunjana Rahardi

Sudah banyak diberitakan kisah-kisah guru (baca pula: dosen) yang dalam ketekunan dan kesetiaan profesinya, justru mengemban ironi-ironi besar pendidikan. Bukan saja lantaran gaji bulanan yang tidak dapat dipakai hidup layak dalam keluarga. Terasa berlebihan jika dengan gaji bulanan pas-pasan, ada guru yang dua-tiga kali makan di restoran. Atau, terasa tidak logis pula jika dengan gaji mepet, seorang guru dapat berbelanja di mal dan swalayan.

Akan tetapi, sama sekali bukan itu masalah yang dimaksud dalam refleksi Hari Guru Nasional Ke-15 tahun ini. Yang dimaksud adalah, bahwa dengan penghasilan yang diterima, guru banyak yang tidak mampu mengantarkan anaknya mengecap pendidikan sampai jenjang pendidikan wajar untuk bekal mengarungi kehidupan.

Almarhum Pater Drost (2006) pernah berseloroh lewat tulisannya di Kompas, peran orangtua dalam membimbing anaknya (sendiri) adalah sebagai pendidik utama, termasuk membimbing dalam menghadapi dunia persekolahan. Oleh karena proses pembelajaran berlangsung lewat lembaga sekolah, bimbingan nyata orangtua ialah menyiapkan anak-anak agar akhirnya masuk perguruan tinggi. Akan tetapi, bagaimana mungkin guru swasta menjalankan amanat luhur ini?

Dikotomi

Bagi guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS), mungkin jeritan hati ini sekarang sudah dipicingkan dengan sebelah mata. Sepertinya, guru berpelat merah kini sudah jauh lebih sejahtera. Guru berpelat kuning alias swasta, justru semakin menderita. Artinya pula, memang harus diakui ada dikotomi guru negeri dan guru swasta.

Jeritan refleksi ini barangkali tepat bagi guru swasta, seperti penulis sendiri yang adalah guru swasta. Rasanya guru swasta cukup dipersilakan gigit jari ketika harus mendengar kabar kenaikan gaji, rapelan gaji, kenaikan pangkat, kenaikan golongan/ruang gaji, dan semacamnya dari pemerintah. Faktanya, memang kami yang guru swasta ini benar-benar harus gigit jari dan merasa iri hati dengan mereka yang menjadi anak-anak negeri.

Padahal, jika lebih jauh direfleksi, guru swasta dan negeri pada hakikatnya hanya beda dalam nasib dan lokasi. Maksudnya, yang satu beruntung lantaran menjadi anak negeri, yang satunya terpuruk lantaran menjadi anak yayasan dan/atau perkumpulan. Bagi guru yang menjadi anak-anak yayasan, kami harus jujur mengatakan, penghasilan kami sama sekali tidak cukup untuk hidup layak sebulan.

Ironi besar

Jangankan menyekolahkan dan menguliahkan anak-anak, untuk hidup keseharian kami masih cukup kerepotan. Maka sesungguhnya adalah ironi besar jika guru yang bekerja membanting tulang dalam wahana pendidikan, kadang tidak tahu waktu lantaran pekerjaan dan tanggung jawab kependidikan, tetapi tidak mampu memberikan kesempatan pendidikan yang benar-benar wajar bagi anak-anak sendiri.

Setiap hari kami memintarkan anak-anak orang, anak-anak masyarakat, anak-anak bangsa, tetapi anak-anak kami sendiri, yang lahir dari darah daging kami sendiri, terpaksa harus terpinggirkan ketika harus menikmati pendidikan. Betapa tidak terpinggirkan jika kini kian banyak lembaga pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, jatuh berkubang dalam konglomerasi pendidikan.

Dengan semakin diimaninya konglomerasi itu, pendidikan di semua jenjang menjadi mahal. Kami bahkan ingin berteriak menegaskan, bagi kami pahlawan tanpa tanda jasa ini, kesempatan menyekolahkan dan/atau menguliahkan anak-anak sendiri, kini menjadi utopia dan impian yang kelewat besar.

Maka upaya pemerintah mengangkat martabat guru lewat implementasi Undang-Undang Guru dan Dosen, yang kemudian berimplikasi pada sertifikasi guru dan dosen, bolehlah dianggap sebagai upaya baik pemerintah yang harus diterima dengan syukur dan bangga hati. Akan tetapi, patut juga didengarkan para pejabat yang berwenang mengambil kebijakan, tunjangan profesi yang rencananya diberikan sebesar gaji pokok sesuai dengan golongan dan kepangkatan, hingga kini meninggalkan banyak tanda tanya dan keterngangaan.

Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN 2009 memang tidak berimplikasi langsung pada perbaikan kesejahteraan. Akan tetapi, tetap diharapkan bahwa hasil berdampaknya (outcomes) dari alokasi anggaran itu nantinya dirasakan dari dimensi-dimensi lainnya.

Memberikan kemudahan

Saya rasa tidak berlebihan jika kepada para guru dan dosen yang memang sah memiliki anak yang harus disekolahkan atau dikuliahkan, negara benar-benar memberikan kemudahan dalam fasilitas pembiayaan. Artinya, para guru yang setiap hari harus memeras keringat dan bersusah payah menjadikan anak-anak orang lain, anak-anak masyarakat, dan anak-anak negara, semuanya menjadi cerdas dan pintar, pemerintah menjamin pendidikan bagi anak-anak hingga jenjang pendidikan yang ditentukan.

Usulan ini saya rasa merupakan upaya menjadikan guru negeri dan swasta setara, terutama dalam memberikan kesempatan pendidikan kepada anak-anak. Tempat dan status keguruan boleh tidak sama, tetapi kesempatan memberikan pendidikan harus dipersamakan.

Artinya pula, yang satu boleh menjadi anak negara karena status kepegawaiannya yang PNS, yang satu tetap menjadi anak yayasan juga lantaran status kekaryawanannya. Namun, anak- anak harus diperlakukan sama dalam mendapatkan fasilitas dan kemudahan pendidikan.

Saya rasa inilah salah satu hal mendasar yang hendak kami teriakkan lantang sekarang. Tidak perlu lagi didengung-dengungkan sosok guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Kalaupun telanjur lagu pujian itu diciptakan dan sudah dihafal banyak kalangan, biarlah mulai sekarang semuanya berjalan natural dan tidak perlu lagi ditonjol-tonjolkan.

Bahkan jika boleh berteriak, sudahlah ambil saja kepahlawananku, tetapi mohon benar-benar benahi kesejahteraanku!

R Kunjana Rahardi Guru swasta di Yogyakarta, Penulis buku Melawan dengan Elegan: Serpihan-serpihan Kegelisahan seorang Guru di Tengah Guliran Arus Zaman

No comments: