Wednesday, May 30, 2007

Kehidupan Berbangsa
Negeri dengan Elastisitas Diri

Radhar Panca Dahana

Kampung itu hampir tak berbeda dengan kebanyakan kampung lainnya. Juga dalam soal tradisi konflik, baik dengan kampung lain, antargeng, maupun antarfamili. Belum lama terjadi perselisihan yang akhirnya membawa ratusan orang, tinju, batu, kayu, dan golok ke dalam satu bentrokan.

Perkaranya, seperti biasa, sepele. Seorang perempuan mabuk dianggap menghina karena menyebut teman mabuknya, dari kampung lain, sebagai "maling".

Yang menarik dari pertikaian tersebut adalah pesertanya. Sebagai satu wilayah urban, kedua kampung urban tersebut diisi oleh mereka yang berdatangan dari pelbagai daerah. Ada orang Jawa, Batak, Madura, Bali, Padang, dan sebagainya. Namun, ketika bertikai, asal-usul kedaerahan atau etnik itu lenyap.

Demi nama, wibawa, atau harga diri kampungnya, orang Batak bisa berhadapan dengan orang Batak, Jawa dengan Jawa, dan seterusnya. Sebuah solidaritas baru dan masyarakat baru dibentuk berdasarkan sentimen, kepentingan, dan tantangan hidup setempat yang sama, yang perlahan melenyapkan selaput- selaput etnisitas atau chauvinisme lokal yang mereka bawa dari daerah.

Seperti kelompok simpatisan atau fans dari sebuah klub sepak bola di mana saja. Betapapun klub itu bersifat "kedaerahan" karena berasal dari satu lokal/ kota tertentu, tak bisa dimungkiri ia menghimpun simpatisan sekota yang ternyata berasal dari berbagai wilayah atau etnik.

Maka, ketika dua klub bertemu, dua kelompok simpatisan bertemu, maka identitas kota tempat mereka berdiamlah yang mencuat, melunturkan identitas asal/etnik dari masing-masing anggota kelompok dan klub bersangkutan. Pendukung Persija dan PSMS bisa bersitegang walau keduanya ternyata asli Sunda.

Ilustrasi kecil ini mengabarkan realitas sosio-kultural kita dalam melakukan proses perekatan dan pada akhirnya cara mereka mengidentifikasi diri. Pada keberadaan, peran, dan apa yang dapat kita lakukan di dalam satu masyarakat yang guncang ini. Dan ternyata, betapapun baru dan mutakhirnya kondisi, masyarakat yang ada di negeri kepulauan ini tetap menggunakan satu modus yang khas dalam berekspresi dan mengaktualisasi diri.

Modus yang saya sebut sebagai mode of cultural expression ini semacam satu ekspresi kultural di mana kita secara kolektif menegakkan dan mengembangkan kualitas diri melalui satu proses osmosa dari simbol- simbol budaya yang ada di hidup keseharian kita.

Dalam modus ini, kita sesungguhnya tidak lagi mempersoalkan dari mana asal datangnya simbol kultural yang bertebaran itu. Secara pragmatis dan otomatis kita menyeleksi, menerima, dan menerapkan bagian-bagian yang berguna dari khazanah simbolik tersebut demi keperluan praktis hidup serta ekspresi mereka.

Di tingkat kolektif, modus dan prosedur pemaknaan simbolik ini pada akhirnya membentuk semacam "identitas", sebuah karakter, atau bahkan satu adab atau budaya.

Maka, dengan relaks dan alamiah, orang Jawa menerima masukan simbol-simbol baru dari berbagai sumber: Buddha, Hindu (India), Arab, China, Inggris, Belanda, hingga Melayu. Orang Betawi dengan ramah dan terbuka menerima sumbangan simbolik dari budaya Banjar, Bali, Sunda, China, Arab, hingga Portugis.

Orang Indonesia kini, menerima apa saja, yang datang dari Hollywood (Amerika Serikat), Bollywood (India), Jepang, bahkan Korea, Filipina, Thailand, hingga Venezuela. Pola dari prosedur pemaknaan inilah yang, dalam hemat saya, untuk sementara ini, membuat kita survive, bertahan sebagai sebuah Jawa, Sunda, Minang, Bugis, sebagai sebuah Indonesia.

Fakta historis itu menunjukkan bagaimana daya terima kita yang sangat kuat dan egaliter terhadap dunia atau budaya baru. Kemampuan—yang juga kekuatan—penerimaan ini mengindikasikan adanya kelenturan, elastisitas, atau fleksibelitas— tanpa kelembaman—yang secara khas kita miliki.

Bukan sekadar untuk survive, tetapi juga untuk berkembang. Kekuatan yang lentur itu memperlihatkan bagaimana kita sebagai sebuah masyarakat atau kesatuan budaya bukanlah sesuatu yang sudah fixed atau selesai. Ia adalah sebuah entitas yang selalu bergerak, memodifikasi dan memperbarui diri.

Risiko ideologis

Identifikasi eksistensial semacam ini memberi kita risiko yang tidak kecil, terutama bersangkutan dengan apa yang selama ini kita yakini secara politis, historis, atau ideologis.

Sebagai sebuah entitas yang lentur dan tidak pernah berdiam, secara konsekuen seharusnya kita tidak akan pernah bertahan atau ngeyel dengan satu bentuk identitas, satu tatanan nilai, atau satu definisi. Ia mau tak mau harus terus mengubah diri, mengubah segalanya, termasuk ekspresi eksistensialnya.

Dengan pengertian itu, satu etnik atau suku bangsa tertentu tak dapat dikatakan "tradisional" jika ia diartikan sebagai sesuatu yang fixed, old fashioned, kaku, beku, bahkan jumud.

Semua kelompok etnis—Batak, Daya, Bugis, dan sebagainya—ternyata adalah sesuatu yang terus mengubah dirinya. Selalu berada dalam posisi yang kontemporer. Jika pun ada satu faktor yang dapat disebut "tetap", dalam logika penalaran ini, adalah modus dan prosedur pemaknaan yang saya sebut di atas. Ketetapan yang menjadi ruang ketidaktetapan.

Dasar pikiran inilah yang saya jadikan proposal sebagai salah satu cara kita melihat dan menerima realitas mutakhir kita sebagai seorang manusia, sebagai kelompok atau suku bangsa, sebagai sebuah bangsa atau negara. Ini karena, mengenai satu hal inilah kita selama ini tampaknya lalai, alpa, juga malas mengurus dan merenungkannya.

Sebuah missing link (rantai terputus) dalam sejarah modern kita sebagai sebuah bangsa, menurut Daoed Joesoef dalam tulisannya terakhir di harian Kompas.

Sebagaimana kita paham bersama, kata "Indonesia" tercipta, kita terima, pahami, dan coba terapkan, adalah sebuah rumusan politis dan ideologis belaka. Abstrak, terlampau abstrak, bahkan, "Tidak membumi," tulis Daoed Joesoef lagi. Pada masanya dahulu, kata itu efektif sebagai satu moral atau ideal yang menggerakkan massa. Namun, secara substansial ia masih hampa, bahkan ilusif.

Inilah risiko logis yang saya maksud. Realitas mutakhir dari kemanusiaan kita kini berhadapan vis a vis dengan realitas historis-politis-ideologis yang sekian dekade kita yakini dan hayati.

Kenyataan bahwa kita adalah sebuah entitas yang tak tetap, selalu mencari dan menghasilkan bentuk atau jati diri baru, tidak lagi fit in dengan ide-ide tentang kesatuan, kultur dan sistem yang fixed, bahkan dasar- dasar (filosofi) negara yang ditetaskan lebih setengah abad lalu.

Konsekuensi logis berikutnya, kini tidak ada lagi sesuatu yang harus mati-matian dipertahankan—secara mental dan intelektual—karena semua harus bergulir, memperbarui diri, melakukan adjustment dengan situasi-situasi baru. Segala retorik historis-ideologis yang menunggalkan dan memastikan kini jadi beban politik yang menyulitkan.

Bagaimana, misalnya, kita masih memercayai—secara mental dan intelektual—satu frase: "Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa". Sementara semua "kesatuan" yang disebut itu hanya ilusi belaka. Sebagaimana kita membayangkan Indonesia sebagai "satu nusa" dengan 17.000 pulaunya, "satu bahasa" dengan 400-an bahasa lokal, atau "satu bangsa" dengan 600-an (suku) bangsa yang tersebar di seluruh kepulauannya.

Prosedur pemaknaan tunggal dan fixed inilah, bukan hanya menghasilkan sejarah dan identitas yang fantasional, tetapi juga pengalienasian—bahkan pembunuhan secara perlahan—harta karun kita dalam soal, nusa, bangsa, dan bahasa. Dan gugurlah pula kemungkinan kita mendapatkan kontribusi penting dari khazanah lokal tersebut. Kontribusi dalam menjalankan modus ekspresi kultural kita di atas.

Hilanglah sesungguhnya "kekuatan" dasar yang sebenarnya selama ini membuat kita survive dan mampu mengembangkan diri serta memproduksi karya- karya kultural sebagaimana peninggalan-peninggalan masa lalu memberi tahu kita.

Bila kemudian kerancuan, situasi khaotik seakan terasa menggenang dalam perihidup kita belakangan ini, dengan berbagai kasusnya yang bertebar di semua head lines, tentu dengan segera bisa kita mafhumi.

Indonesia selalu baru

Untuk itu, sebuah Indonesia saya kira, pada akhirnya, harus dimengerti sebagai semacam "kesepakatan" saja. Dalam arti yang pragmatis, secara politis dan ekonomis, misalnya.

Selebihnya adalah sebuah mozaik besar. Yang disusun oleh eksistensi kelokalan, dalam bentuk apa saja, yang dengan kekuatan "daya terima" yang khas, menciptakan sinergi kultural secara kolektif dan masif membentuk identitas dirinya yang baru. Yang tak pernah tetap, tidak bergeming.

Untuk itu tak perlu lagi kita menganggap semua produk kemerdekaan begitu sakral, bahkan menyaingi kitab suci agama. Tak ada yang permanen dan eternal di atas tanah, termasuk konstitusi, bahkan preambule- nya sekalipun.

Sungguh suatu yang mengherankan ketika kita begitu khawatir dan takutnya pada amandemen konstitusi, bahkan merasa berdosa untuk sekadar "menyentuh" pembukaannya. Sementara hidup, termasuk nilai dan filosofi dasarnya terus berubah.

Seluhur apa pun founding fathers di negeri mana pun, tak dapat ia memberi kita tuntunan abadi yang tak lekang ratusan tahun, sebagaimana kitab suci. Bagaimana mungkin, manusia yang fana, yang tidak abadi, yang mudah rapuh dan retak, dapat menciptakan sesuatu yang abadi, yang tak akan lapuk dan rusak?

Sungguhlah arif, jika kita mampu dan berani melihat dan menerima kenyataan itu, sambil belajar dengan saksama bagaimana sebenarnya masyarakat atau komunitas lokal/etnik telah memberi kita contoh-contoh konkret yang membuat mereka bertahan dan berkembang.

Bukan dengan, misalnya, mengadopsi mentah-mentah, tanpa proses akulturasi sama sekali, pola, sistem, atau cara bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dari dunia lain, yang seluruh pranata sosio-kulturalnya sungguh berbeda.

Seperti terjadi saat ini. Di mana kita seperti anak kecil gagah- gagahan dengan pedang kayu di pinggangnya, menampilkan diri pada dunia sebagai negeri modern, negeri demokratis, dan sebagainya. Lalu, kita sibuk mengisi etalase kebudayaan dengan lembaga-lembaga tetiron atau jiplakan—mulai dari parlemen, pemilihan langsung, sekian komisi, senatoriat, dan sebagainya—hanya untuk mengatakan, "kami adalah negeri modern dan demokratis, sama seperti kalian".

Kita seperti barisan toko di jalan protokol yang sibuk mengisi vitrine dengan produk-produk terbaru. Tetapi, semua bukan hasil dan milik kita sendiri. Tidak tahu bagaimana membuat bahkan mengoperasikannya.

Sebarisan elite menyatakan "demokrasi", tetapi apa makna itu bagi jutaan orang yang makan nasi aking, tak bisa bayar sekolah anak, rumah tergusur, bencana menimpa, diperas oleh tilang polisi, atau para clubbers yang berkumpul di sudut kafe mal dan plasa?

Persoalannya: mengapa kita begitu malas berpikir untuk mendapatkan cara terbaik mengelola diri kita, sebagai bangsa, sebagai negara, selain sekadar dengan mengadopsi secara brutal cara atau sistem asing, betapapun populernya ia, betapapun global dan universalnya ia?

Bukankah penerapan secara membabi buta itu bukan saja membuat kita justru menjadi beku dan kaku dalam standar- standar dan indikator hidup yang disusun pihak/orang lain?

Sementara begitu banyak pelajaran hebat dan sangat kaya, yang teruji waktu, tersedia di depan mata kita. Bahkan mungkin di dalam diri kita sendiri.

Di situlah, bisa jadi berada Indonesia kita yang sebenarnya. Sebuah peradaban Nusantara, yang bergerak lentur, lincah, tanpa bentuk, bahkan kebenaran yang pasti. Bukankah begitu sesungguhnya nasib bumi ini, karena keterbatasan ruang dan waktu, tak mampu ia menciptakan sesuatu pasti dan abadi.

Sebagaimana manusia itu sendiri.

Radhar Panca Dahana Sastrawan

No comments: