Saturday, September 22, 2007

Menyentuh Kedamaian


Gede Prama

Sejumlah wisatawan yang datang ke Bali heran membaca peringatan berbunyi "pemulung dilarang masuk" di mana-mana.

Bagi yang punya empati dan memahami psikolinguistik (ada cermin kejiwaan dalam pilihan kata yang digunakan dalam keseharian) akan bertanya, ada apa di pulau kedamaian Bali?

Persahabatan, pengertian, kesabaran, kebaikan adalah ciri tempat penuh kedamaian. Dengan banyaknya papan "pemulung dilarang masuk" di Bali, adakah kedamaian sudah pergi dari tempat yang kerap disebut the last paradise ini? Maafkanlah keingintahuan. Kalau boleh jujur, Bali tidak sendiri. Keseharian kehidupan di mana pun ditandai kian langkanya kedamaian.

Jangankan negara miskin seperti Botswana, Afrika, yang harapan hidupnya di bawah 40 tahun, sebagian manusia dewasanya positif terjangkit HIV. AS dan Jepang yang dikenal makmur harus menandai diri sebagai konsumen pil tidur per kapita terbesar di dunia dan angka bunuh diri yang tinggi.

Mungkin langkanya kedamaian ini yang ada di balik data cepatnya pertumbuhan pusat meditasi di Barat. Sebagian guru dari Timur disambut komunitas Barat dengan rasa amat lapar akan kedamaian.

Republik ini serupa. Setelah lebih dari enam dasawarsa merdeka, kedamaian tidak tambah dekat. Kemiskinan, bencana, bunuh diri, pengangguran hanya sebagian data yang memperkuat.

Kian menjauhnya kedamaian di luar inilah yang membuat banyak manusia memulai perjalanan ke dalam. Mencari cahaya penerang di dalam.

Pohon kedamaian

Dalam perjalanan ke dalam, ada yang serupa antara pohon dan pencinta kedamaian. Pohon bertumbuh mendekati cahaya. Begitu pula pencinta kedamaian. Dengan serius berlatih, suatu saat hidupnya terang. Maka dalam bahasa Inggris, puncak perjalanan ke dalam disebut enlightenment (pencerahan), ada kata light (cahaya) di tengahnya. Untuk itu, perjalanan menyentuh kedamaian dalam tulisan ini dibuat menyerupai pohon.

Mari dimulai dengan bibit. Bibit jiwa saat berjalan ke dalam adalah tabungan perbuatan baik sekaligus buruk. Bukan baik–buruknya yang menjadi bibit, tetapi bagaimana ia diolah menjadi bibit. Kebaikan belum tentu menjadi bibit yang baik, terutama jika kebaikan diikuti kesombongan dan kecongkakan. Keburukan tidak otomatis menjadi bibit buruk, secara lebih khusus jika keburukan menjadi awal tobat mendalam serta komitmen kuat menjalani latihan keras.

Orang baik dengan bibit yang baik jumlahnya banyak. Namun, orang jahat dengan bibit yang baik juga ada. Milarepa contohnya. Setelah melakukan santet yang berbuntut matinya sejumlah keluarga paman dan tante yang menipunya, Milarepa dihinggapi rasa bersalah mendalam. Sekaligus kesediaan untuk membayar kesalahan dengan pengorbanan berharga berapa pun. Inilah bibit Milarepa berjalan ke dalam yang membuatnya menjadi salah satu orang suci yang amat dikagumi di Tibet.

Lahan-lahan pertumbuhan lain lagi. Meminjam kalimat Kahlil Gibran, keseharian adalah tempat ibadah yang sebenarnya. Maka suatu hari Guru Nanak, yang memiliki murid Islam sekaligus Hindu yang sama banyaknya di India, ditanya mana yang lebih agung, Islam atau Hindu. Dengan sejuk dan teduh, Guru Nanak menyebutkan, baik Islam maupun Hindu sama-sama kehilangan keagungan kalau umatnya tidak berbuat baik. Siapa saja yang mengisi hidupnya dengan kebaikan, ia sudah menyiapkan lahan subur.

Akar pohon kedamaian adalah pikiran yang bebas dari penghakiman. Sebagaimana ditulis Ajahn Munindo dalam The Gift of Well–Being: "until we enter this dimension, all our wise words will be mere imitation". Sebelum kita bebas dari penghakiman, kata-kata kita hanya barang tiruan hambar yang tidak bergetar. Maka, mereka yang berkarya dengan kualitas kenabian (prophetic), seperti Jalaluddin Rumi, Thich Nhat Hanh, Mikhail Naimy, dan Rabindranath Tagore, dengan kata-kata yang menggetarkan, semua sudah lewat dari kesukaan melakukan penghakiman. Dan siapa saja yang telah melewati ini tahu, betapa cepatnya pertumbuhan kemudian.

Teknik yang tepat adalah batang pohonnya. Bertemu teknik yang terlalu maju atau terlalu rendah daripada pertumbuhan hanya akan membuat perjalanan hambar. Jadi layak disarankan untuk mencoba berbagai teknik, lalu merasakan. Teknik mana pun yang menghadirkan rasa damai paling mendalam bisa jadi itulah teknik yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan kini.

Daun rimbun kedamaian muncul saat perjalanan ke dalam mulai menyatu dengan keseharian. Seperti mandi, ada yang kurang jika sehari tidak melakukan perjalanan ke dalam. Lebih dari itu, tiap kejadian dalam keseharian (yang menyenangkan sekaligus menjengkelkan) menghadirkan aneka bimbingan.

Bunga pohon kedamaian mulai bermekaran saat keseharian mulai menyentuh kedamaian. Hidup serupa berjalan ke puncak gunung, makin lama makin teduh dan sejuk. Ini baru bayangan bulan. Bila bayangannya saja begitu indah, betapa indahnya bulan kedamaian yang sebenarnya.

Siapa pun yang tekun dan terus menyentuh kedamaian, masalah waktu, akan melihat munculnya buah pohon kedamaian. Kedamaian yang berlawankan kesedihan memang menghilang, ia diganti batin tenang seimbang yang keluar dari segala dualitas.

Sejumlah sufi yang sampai di sini berhenti memuji surga, berhenti mencaci neraka. Di Jawa disebut suwung. Di Bali disebut embang (sunyi). Orang Zen menyebutnya attaining the non attainment. Mencapai keadaan tanpa pencapaian. Yang membuat cerita pohon kedamaian ini menjadi lebih utuh, Thomas Merton pernah mengungkapkan, pekerjaan manusia yang telah tercerahkan mirip pohon. Dalam hening, damai, pohon mengubah karbon dioksida menjadi oksigen yang dihirup makhluk. Peraih buah kedamaian juga serupa, ia tidak menikmati kedamaiannya sendiri. Dalam hening, dalam damai ia menghasilkan vibrasi kedamaian, serupa oksigen kendati tidak terlihat, tetapi amat dibutuhkan banyak makhluk.

Orang-orang tercerahkan cara bernapasnya berbeda. Saat menarik napas, ia bayangkan menarik masuk semua kekotoran. Saat mengembuskan napas, dibayangkan sedang membuang semua hal yang bersih dan jernih.

Selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga kedamaian mengunjungi semuanya.

Gede Prama Bekerja di Jakarta, Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara

No comments: