Friday, April 4, 2008

Batik, Enggak Cuma Seragam Sekolah


KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH / Kompas Images
Jumat, 4 April 2008 | 02:35 WIB

Sewaktu negeri tetangga mengklaim batik sebagai busana khas bangsa itu, sebagian dari kita meradang. Kita enggak rela batik diambil alih ”kepemilikannya” oleh bangsa lain. Tetapi, jujur saja, selama ini sudahkah batik menjadi bagian dari busana kita sehari-hari? Adakah batik cuma berhenti sebagai salah satu seragam yang (karena peraturan sekolah) harus dipakai sekali seminggu?

Belakangan ini batik lagi booming. Tengoklah dari mal sampai pasar tradisional, batik dalam berbagai desain baju dipakai banyak orang, dari anak-anak sampai orang tua. Berbagai kegiatan sekolah pun sering mencantumkan batik sebagai salah satu baju ”wajib”.

Kalau biasanya hanya toko tertentu yang menjual batik, sekarang nyaris di setiap mal, pasar, bahkan di emperan pedagang kaki lima batik ”merajai”. Sepotong baju batik di pusat perbelanjaan seperti ITC di Jakarta bisa didapat dengan harga mulai Rp 50.000.

Penikmat batik tinggal menyesuaikan model baju, bahan, dan corak yang diinginkan, dengan kemampuan kocek. Batik enggak lagi (semoga bukan cuma musiman ya) sekadar baju yang dipakai buat kondangan atau demi Hari Kartini setiap tanggal 21 April itu. Batik jadi fashion yang kudu lu ikutin, biar enggak ketinggalan mode gitu…

Sekalian juga, biar semua orang tahu kalau kita doyan batik! Kita enggak cuma bisa cuap-cuap atau ngamuk kala batik diklaim milik bangsa lain. Sebab, kita memang menghargai, menggunakannya, dan udah menjadikan batik sebagai gaya hidup sehari-hari.

Selembar kain

Memang sih selama ini sebagian dari abu-abuers juga suka pakai batik untuk pesta atau buat acara tertentu. Misalnya nih, enggak jarang kan abu-abuers pakai kebaya model encim dipadu dengan kain batik. Biar baju model itu udah dikenal dari zaman dulu kala, tetapi enggak ngerasa mendadak jadi tua atau jadul banget kan waktu lu makai?

Apalagi sekarang, duh duh duh… batik tuh enggak lagi sekadar selembar kain buat dipakai bareng kebaya. Mau batik yang berkesan klasik, lusuh, atau justru berwarna-warni dengan banyak tebaran motif bunga seperti batik pesisiran, juga ada.

Modelnya? Hmm, kalau lu rajin jalan-jalan ke mal aja, pasti bisa lihat betapa beragam batik itu, dan betapa batik bisa menyesuaikan diri dengan tren masa kini.

Batik memang fleksibel, enggak hanya karena motifnya terbuka buat segala desain, tetapi bahan ini pun cocok buat segala bentuk baju. Batik yang dijajakan dalam bentuk blus atau rok yang cenderung mini asyik dan matching aja buat model empire, baby doll, blus, atau rok balon dan berlengan balon sekalipun. Paduannya juga gampang, bisa pakai celana skinny, legging, atau stocking.

Buat kerahnya? Ini pun banyak banget variasinya, dari bentuk bulat, kotak, sampai peter-pan biasa maupun diberi kerut-merut sekalipun, bisa masuk dengan batik. Bahkan, biar pun sekarang lagi musim busana yang bervolume, kalau kamu masih pengin pakai baju pas badan pun tetap oke dengan batik.

Dine Evantara, pemilik batik berlabel Kenes, bercerita, masih banyak kok abu-abuers yang suka model baju sackdress, berlengan setali, atau backless. Dia memadukan batik dengan bordir sebagai aksen. Untuk baju produknya Dine memasang harga Rp 300.000-Rp 900.000 per potong.

Sementara Josephine yang produknya bernama Josephine juga memilih batik bercorak dan berwarna ”asli” seperti coklat muda dan coklat tua. Model bajunya dia pilih yang ”tahan segala cuaca”, seperti semi-blazer atau model kimono lengkap dengan obinya. Harganya? Berkisar dari Rp 500.000 sampai Rp 1,5 juta.

Keabisan stok

Ujiek Mudhofar, pemilik batik berlabel Rima, berkisah, stok baju bermodel rimpel di atas perut (seperti baju hamil), atau yang bertali di dada maupun di pinggang laris manis. Dia sering kali sampai keabisan stok.

”Penjahit saya kewalahan membuat stok. Sekarang, kami fokus dulu pada pesanan jahitan dari pelanggan,” ujarnya.

Ujiek memang menyediakan bermacam-macam kain batik yang bisa dipilih. Pembeli pun bebas memilih model baju untuk dijahitkan di tempatnya. Batik yang banyak dipilih orang untuk baju berharga sekitar Rp 125.000-Rp 250.000 per lembar.

”Alhamdulillah, satu orang bisa beli 8 sampai 12 kain batik buat dijahit. Biasanya, baju itu ya buat anak-anak dan orangtuanya,” tambah Ujiek yang menjanjikan baju selesai dijahit minimal tiga hari dan maksimal 14 hari itu.

Hmm, buat meyakinkan kalau batik itu lagi ngetren, bisa dilihat antara lain dari omzetnya. Dalam sebulan, Josephine misalnya, bisa meraup pendapatan sekitar Rp 40 juta. Sementara pemilik label batik lain bercerita, kalau biasanya sebulan omzetnya Rp 50 juta-Rp 60 juta, sejak sekitar awal 2008 ini naik sampai Rp 100 jutaan.

Hmm, terbukti kan kalau batik itu memang bisa jadi ”gue banget”. Makanya, jangan sampai enggak ada batik di lemari baju lu duung. Batik yang bukan cuma baju seragam sekola

No comments: