Wednesday, April 2, 2008

Dilema Pulau Jawa

Perubahan Iklim
Rabu, 2 April 2008 | 00:47 WIB

Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara (lihat gambar). Luas Pulau Jawa 6,9 persen luas daratan seluruh Indonesia. Namun, jumlah penduduknya 60 persen dari penduduk Indonesia. Jacub Rais

Menurut data resmi Bakosurtanal, luas Pulau Jawa adalah 132.187 km persegi dan luas total daratan Indonesia adalah 1.919.443 km persegi.

Jumlah penduduk di Pulau Jawa pada tahun 1990, menurut Agenda 21 Indonesia yang diterbitkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup 1997, adalah 107.515.322 jiwa dari jumlah total penduduk Indonesia pada tahun tersebut sebanyak 179.243.375 jiwa, atau 60 persen penduduk Indonesia hidup di Pulau Jawa. Ini berarti kepadatan penduduk di Jawa adalah 813 orang per km persegi. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa ini sebenarnya juga sudah terjadi sejak Gubernur Jenderal Thomas Raffles (1820-1830) dalam tulisannya pada 1826, The History of Java, Volume I, halaman 68-72, yang mengatakan bahwa 60 persen penduduk Indonesia hidup di Pulau Jawa yang merupakan 6,95 persen dari luas daratan Indonesia. Rasio ini tidak berubah sejak tahun 1920 ketika penduduk Pulau Jawa hanya 34,4 juta, yang kemudian berkembang menjadi 41,7 juta (1930), 48,4 juta (1940), dan 60 juta (1950).

Prediksi dalam Agenda 21 Indonesia, pada tahun 2020 penduduk Indonesia akan mencapai 254.214.909 jiwa dan penduduk Pulau Jawa akan berkembang menjadi 144.214.909 jiwa atau kepadatan penduduk menjadi 1091 orang per km persegi. Ini berarti 57,7 persen penduduk Indonesia hidup di 6,9 persen lahan daratan. Kita juga tahu bahwa tidak semua daratan dapat digunakan karena berupa gunung dan bukit yang ditutupi hutan lindung, atau topografi terjal yang tidak dapat dimanfaatkan, bahkan sebagian besar harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan hidrologis.

Masalah kota Jakarta dengan jumlah penduduk pada siang hari katanya sekitar 11,4 juta pada tahun 2001 telah makin membuat kesemrawutan lalu lintas, penduduk yang mendiami bantaran sungai, kolong jembatan, masalah jalur hijau, pedagang kaki lima, masalah banjir yang kronis, masalah kesehatan, dan lain-lain. Menurut prediksi, kota Jakarta yang berpenduduk lebih dari 10 juta ini pada tahun 2015 akan mencapai 17,3 juta penduduknya. Bagaimana mengatasinya?

Dari rasio penduduk terhadap ketersediaan lahan yang makin kecil, Pulau Jawa sampai tahun 2020 akan terus-menerus menghadapi degradasi lingkungan, seperti ketidakseimbangan hidrologis (keterbatasan tersedianya air, banjir, longsor), lingkungan hidup makin kumuh di bantaran-bantaran sungai, pantai, dan urbanisasi semakin meningkat karena kehidupan di tanah-tanah pertanian tidak memberi harapan yang baik, meningkatnya konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian (perumahan, industri, pusat-pusat jasa), meningkatnya konsumsi beras dengan bertambahnya penduduk—sedangkan luas lahan pertanian tidak berubah, malah berkurang—juga meningkatnya aspek sampingan dari kepadatan dan kemiskinan penduduk, seperti kesehatan, kriminalitas, dan pengangguran.

Dalam prediksi Agenda 21 Indonesia, kebutuhan beras akan meningkat dari 27,2 juta ton pada 1992 menjadi 45,1 juta ton pada 2018. Ini memerlukan pembukaan lahan sawah baru sebesar 11,2 juta hektar (di luar Jawa) pada 2018 jika ingin mempertahankan swasembada beras.

Perambahan hutan telah terjadi dengan laju yang menakutkan akibat kebutuhan lahan bagi penduduk setempat maupun pendatang untuk tempat hidup dan berladang. Keadaan ini mempunyai dampak terhadap meningkatnya laju erosi dan tingkat sedimentasi yang ditranspor melalui sungai-sungai sehingga hampir semua sungai besar di Pulau Jawa tercemar oleh sedimen, ditambah dengan sisa-sisa nutrien dan polutan dari sumber-sumber point and non-point sources yang berada di sekitar sungai (permukiman, industri, pertanian, peternakan, dan sebagainya). Sedimen, polutan, dan nutrien yang mengalir di sungai akan menurunkan kualitas air sehingga menurunkan pula daya dukungnya terhadap biota laut di daerah-daerah estuaria, lahan basah, delta di daerah hilir.

Ada ancaman lain yang datangnya dari luar (di luar kehendak manusia), seperti proses-proses endogenetik (dari dalam tubuh Bumi) dan eksogenetik (dari luar tubuh Bumi, seperti dari atmosfer dan hidrosfer), antara lain:

(1) Bencana kebumian, karena Pulau Jawa sebagai pulau vulkanik dan seismik aktif, dan berada pada tepian lempeng tektonik Eurasia yang ditunjam oleh lempeng tektonik Australia dari selatan, sehingga gempa, tsunami, dan letusan gunung api sudah menjadi bagian dari ritme fisik Indonesia, termasuk pulau di Jawa.

(2) Naiknya muka laut akibat pemanasan global. Kalau prediksi IPCC (1992) menjadi kenyataan bahwa secara global muka laut akan naik pada akhir abad ini sampai 1 meter, jika tidak ada usaha-usaha manusia di planet ini (business as usual) meredam emisi karbondioksida pada 2025. Jikapun ada usaha-usaha tersebut, muka air laut masih akan naik dengan prediksi 60 cm pada akhir abad ke-21 ini (WCC 1993). Kedua angka tersebut, 1 m atau 60 cm, akan membuat sebagian dataran rendah Indonesia hilang (tergenang, inundated), termasuk pantura Pulau Jawa. Bagi pantura Jawa, banjir akan menjadi fenomena yang kronis, yang dapat menyengsarakan rakyat, tanpa manusia dapat berbuat sesuatu secara signifikan.

Ada dua hal yang harus dilakukan di Pulau Jawa dalam jangka menengah, yaitu:

1. Masalah sampah

a. Sampah adalah produk dari kehidupan dan pembangunan.

b. Memerlukan pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.

c. Menjadikan sampah dari gangguan (nuisance) menjadi potential resources. Perlu program nasional untuk itu.

2. Masalah Penataan Ruang

a. Penataan ruang Pulau Jawa secara sinergis antara provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan provinsi-provinsi luar Jawa. Terapkan Penataan Ruang Darat-Laut Terpadu.

b. Jadikan Agenda 21 Indonesia sebagai acuan pembangunan nasional/daerah/kota (kalau perlu ada revisi agenda tersebut)

c. Strategi Pengembangan Wilayah (untuk meningkatkan daya dukung daratan dan lautan) bagi meningkatkan kemakmuran dengan memperhitungkan dinamika atmosfer.

Sebagai catatan, tidak ada satu provinsi pun di Pulau Jawa yang boleh menata ruangnya secara sendiri-sendiri. Butuh keterpaduan antara provinsi-provinsi yang berbatasan langsung maupun tidak langsung.

Pulau Jawa memerlukan satu strategi terpadu dalam menata ruangnya, yaitu bagaimana menangani penduduk yang padat dan bagaimana mendistribusikan penduduk secara merata ke seluruh Indonesia.

Untuk dapat mengurangi penduduk Pulau Jawa minimal 2 juta per tahun, diperlukan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan di pulau-pulau besar dan kecil di luar Pulau Jawa, berbasis industri agromaritim. Rencana strategis ini perlu didukung oleh tata ruang terpadu antara pusat dan daerah serta antara darat dan laut untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan di Pulau Jawa. Jika penduduk Jakarta mencapai 17,3 juta pada tahun 1015, bagaimana bentuk penataan Jakarta? Tentang supermegapolitan?

Pengembangan sumber daya energi bersih lingkungan perlu dikembangkan dan diterapkan secara konsekuen, seperti tenaga energi listrik dari surya dan angin.

Lihat saja, Amerika Serikat sendiri telah memutuskan energi pada 2050 akan seluruhnya bertumpu pada energi surya (solar energy) dan energi udara (Zweibel et al. 2008).

JACUB RAIS Guru Besar Emeritus ITB; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

No comments: