Wednesday, July 2, 2008

Polisi yang Tidak Membebani Masyarakat

Selasa, 1 Juli 2008 | 00:40 WIB

Marwan Mas

Polisi Indonesia berusia 62 tahun, usia yang amat matang jika diukur usia manusia. Sayang masih belum berbanding lurus dengan kematangan usia dalam berkarya.

Usia polisi belum sejalan lirik puisi penyair AS, Sara Trevor Teasdale, ”waktu adalah teman yang baik, ia akan membuat kita bijaksana”. Masyarakat sering merasa terbebani oleh kehadiran polisi. Berbagai upaya membuka diri tidak membawa potret polisi lebih baik akibat jejak masa lalu yang dianggap buram.

Rentetan peristiwa yang memojokkan polisi kian menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Tak heran bila tiap langkah polisi selalu menimbulkan keraguan. Bentrok dengan mahasiswa Universitas Nasional saat berunjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak bukan gambaran wajah polisi sebenarnya.

Polisi belum mampu memadukan dua kepentingan berbeda. Pengunjuk rasa yang melarikan diri karena dibubarkan paksa tidak perlu dikejar sampai masuk kampus. Kepentingan keamanan lebih menonjol ketimbang memaknai aspirasi rakyat. Tanpa bermaksud membenarkan aksi anarki mahasiswa belakangan ini, tetapi itulah bentuk kekecewaan kepada pemerintah yang tidak mau mendengar jeritan rakyat.

Sahabat dan mitra

Meningkatnya perasaan tidak aman (fear of crime) bagi masyarakat dapat menimbulkan sikap apatis kepada polisi. Namun, memberi rasa aman juga bukan pekerjaan mudah, harus ditunjang kualitas sumber daya dan sarana. Sudah saatnya polisi kita meniru etos kerja polisi Jepang yang cepat melayani kebutuhan masyarakat. Mereka memegang kultur dan perilaku santun dalam melayani dan mengayomi masyarakat meski tegas terhadap setiap perilaku menyimpang.

Prinsip polisi Jepang, tidak membiarkan pelanggaran sekecil apa pun dalam kehidupan masyarakat. Yang dikedepankan adalah memperluas pengetahuan guna mendalami komunitas yang dilindungi. Prinsip ini mendekatkan polisi dengan masyarakat sehingga kehadiran polisi dirasakan sebagai ”sahabat dan mitra”, bukan membebani masyarakat.

Polisi harus selalu siap mengamankan kehidupan masyarakat dan tidak melanggar HAM saat menegakkan hukum. Ini akan terlaksana bila dihadapi dengan kepala dingin. Sabar, telaten, dan tidak sangar saat menata tertib hukum, mendekatkan polisi dengan masyarakat.

Bentrok polisi dengan mahasiswa pengunjuk rasa belakangan ini—yang seharusnya dijaga dan dilindungi—mengindikasikan telah terjadi pergeseran paradigma. Profesionalitas bukan menjadi tujuan pokok, tetapi amat mendasar dalam mengamankan aksi unjuk rasa. Kelemahan polisi yang juga sering disorot adalah seringnya terlambat ke tempat kejadian perkara (TKP). Akibatnya, TKP tidak bisa dibuat ”bicara” karena sudah rusak. Padahal, hasil olah TKP amat berperan mengungkap kasus yang sulit pembuktiannya.

Sipil berseragam

Perjalanan polisi Indonesia sebenarnya sarat nuansa perubahan. Salah satunya menjadi ”polisi sipil” yang berorientasi pada penguatan rakyat, berinteraksi dengan rakyat, dan menjadikan masyarakat sebagai mitra. Polisi lahir dari masyarakat, dari ”orang sipil”, maka sering disebut sipil berseragam (a civilian in uniform). Perilaku sipil harus lebih menonjol agar warga yang dilayani dan ditertibkan merasa tidak ada jarak. Itulah watak polisi, berbeda dengan militer.

Seperti lazimnya kepolisian di dunia, perilaku khas sebagai sipil berseragam dan dipersenjatai adalah dekat masyarakat yang akan dilayani dan ditertibkan. Di dalamnya penuh dimensi kultural yang butuh perilaku bijak saat menangani persoalan masyarakat. Perubahan kultur dan perilaku polisi harus dilakukan secara progresif, bukan hanya secara alamiah seperti selama ini.

Tentu tidak bijak menuntut polisi berubah secara sepihak. Harus ada harga yang dibayar guna mendapat keamanan. Banyak aspek harus ditata guna mengubah polisi menjadi lebih baik, seperti kesejahteraan, fasilitas memadai, jumlah personel mendekati rasio ideal, dan perbaikan rekrutmen. Jika masyarakat berhak mendapat perlindungan dan pengamanan, perlu diimbangi partisipasi nyata.

Personel polisi harus dekat masyarakat. Konsep community policing (Pasal 14 UU Kepolisian) adalah bagian penguatan masyarakat. Polisi harus berfungsi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.

Marwan Mas Analis Hukum; Direktur Pascasarjana Universitas 45, Makassar

Membangun Polisi Masa Depan


THOMDEAN / Kompas Images
Selasa, 1 Juli 2008 | 03:00 WIB

Satjipto Rahardjo

Meski terdengar agak kuno, masalah citra polisi atau pencitraan terhadap polisi oleh masyarakat tak dapat diabaikan sama sekali. Sebuah institut publik seperti polisi atau Polri, yang ingin dapat bekerja efektif, membutuhkan legitimasi dari masyarakat di mana ia bekerja.

Dengan kata lain, Polri perlu membangun dan menjaga citranya di masyarakat. Citra ini menjadi lebih mendesak sejak bangsa Indonesia memasuki era Reformasi yang menjungkirbalikkan hampir semua kebijakan dan langkah pemerintah pra-reformasi.

Polisi itu adalah etalase (show window) bagi perubahan di masyarakat. Apakah suatu pemerintahan peka terhadap perubahan—dalam hal ini reformasi—dapat dilihat dari penampilan polisi-polisinya. Memang setiap terjadi perubahan di masyarakat, polisi-lah yang pertama-tama terkena imbasnya. Apakah itu demokrasi, transparansi, akuntalibitas, HAM, polisi akan menjadi etalase perubahan. Karena itu dikatakan, polisi seyogianya selalu satu langkah di depan bangsanya. Polisi adalah pemimpin bangsanya, demikian dikatakan dalam seminar internasional tentang polisi di Sicilia, Italia, sekitar dua dekade lalu.

Imbas reformasi

Perubahan akibat reformasi berimbas pada Polri. Akibatnya, polisi harus menata kembali kebijakan perpolisian di Indonesia agar tidak menjadi penghambat proses reformasi. Pembangunan citra Polri sebaiknya dilakukan searah politik reformasi. Polisi Indonesia tidak dapat lagi bertindak otoriter dan berpandangan ”polisilah yang paling tahu”, memutuskan sendiri apa yang akan dilakukan. Ini termasuk ciri sindrom polisi otoriter. Cara seperti itu sudah dikubur seiring ambruknya rezim otoriter tahun 1998.

Sejak memimpin Polri, Jenderal (Pol) Sutanto mencanangkan ”Perpolisian Masyarakat” (community policing). Ini adalah respons positif terhadap tuntutan reformasi dan kebijaksanaan tepat. Perpolisian masyarakat amat kental dengan nuansa polisi yang ada dan bekerja di masyarakat tertentu. Polisi tidak lagi menempatkan diri secara vertikal di atas masyarakat, tetapi horizontal ada di masyarakat dan bersama dengan masyarakat.

Nuansa kemasyarakatan atau sosial ini memunculkan paradigma baru dalam sejarah kepolisian dan perpolisian di negeri ini. Banyak cara bertindak dan teknik perpolisian lama yang perlu ditinjau dan dikoreksi agar sesuai dengan paradigma baru itu. Sebetulnya ia tidak hanya menyangkut perubahan dalam cara perpolisian saja, tetapi lebih dari itu, perubahan kultur kepolisian dan perpolisian. Kultur itu terkait sikap serta perilaku manusia-manusia polisi karena berhubungan dengan mengubah perilaku. Di sinilah kita berhadapan dengan pekerjaan besar dan tidak mudah pelaksanaannya. Sukar atau tidak, perubahan perilaku harus terjadi jika Polri ingin membangun citranya yang baru.

Personel Polri

Saran saya, langkah itu sudah dimulai sejak penerimaan personel Polri. Jika membiarkan tenaga-tenaga tidak tepat dan baik untuk menjadi polisi, upaya memperbaikinya di masa depan akan menjadi pekerjaan sulit. Mereka yang bisa diterima sebagai polisi adalah yang memiliki predisposisi kejiwaan untuk ”melindungi dan melayani masyarakat”. Hal ini terkait ciri kejiwaan polisi yang saya rumuskan sebagai O2H (otak, otot, dan hati nurani).

Mengingat syarat yang amat spesifik itu, momentum penerimaan personel (recruitment) amat krusial dan hasilnya harus terus dikembangkan dalam pendidikan. Langkah selanjutnya, membuat kurikulum pendidikan yang berputar pada poros melindungi dan melayani masyarakat. Kekuatan yang boleh digunakan polisi adalah yang ditundukkan kepada kemuliaan tugas polisi, bukan kekuatan telanjang (brute force). Intinya, pekerjaan polisi sebagai humane job, suatu pekerjaan yang penuh nuansa kemanusiaan. Pendidikan polisi itu tidak statis, hanya saat pendidikan, tetapi terus berlangsung saat mereka sudah bertugas di lapangan.

Tugas polisi berparadigma baru itu tidak akan berhasil baik jika masyarakat tidak diajak serta. Trauma masyarakat berhadapan dengan polisi di masa lalu harus dihapus. Citra baru yang kini dibangun adalah polisi yang bekerja di dalam, untuk, dan bersama masyarakat. Polisi-polisi generasi baru perlu menyadari, pertama-tama mereka adalah anggota masyarakat biasa, lalu sebagai polisi. Sesekali polisi perlu menggunakan kekuatan, tetapi kini polisi perlu selalu berpikir ”penggunaan kekuatan untuk apa?”

Diingatkan, polisi juga anggota masyarakat biasa yang memiliki hak-hak kemanusiaan seperti masyarakat lainnya. Maka, polisi juga harus dipenuhi hak-haknya sebagai manusia dan anggota masyarakat. Maka, tidak berlebihan bila pemerasan dan pengurasan tenaga polisi juga melanggar HAM.

Generasi baru polisi

Mungkin hanya polisi, di mana lembaganya berkelindan erat dengan masyarakat. Maka, pelajaran pertama menuju polisi baru adalah menyadarkan, tugas polisi meringankan penderitaan manusia (to grasp human suffering). Maka, kehadiran polisi yang menyakiti rakyat tak dapat dibiarkan. Memang berat menjadi polisi ideal, tetapi itulah ongkos yang harus dibayar untuk membangun citra polisi.

Maka, sejak sekarang, kita perlu membangun kepolisian bersama-sama, yaitu oleh polisi dan masyarakat sendiri. Kita menutup lembaran lama, di mana polisi dicitrakan sebagai lembaga yang penuh kekuatan, berhadapan dengan masyarakat. Kini, dengan gagasan perpolisian masyarakat, polisi tidak ada di atas masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai sasaran. Polisi ada bersama dan di tengah masyarakat karena tugasnya ”melindungi dan melayani”. Polisi tidak lagi menjadi sosok ”bapak yang paling dan serba tahu”. Dengan semboyan ini, Polri sudah ada di jalan yang benar karena tugasnya melindungi masyarakat. Gagasan perpolisian masyarakat di Indonesia lebih mempertajam tugas polisi yang universal itu.

Untuk mencapai tujuan ideal itu, diperlukan generasi polisi baru, dan ini membutuhkan waktu. Semakin terlambat dimulai, kita kian jauh dari cita-cita memiliki polisi generasi baru itu.

Maka, momentum 100 tahun Kebangkitan Bangsa, 80 tahun Sumpah Pemuda, dan Hari Bhayangkara ke-62 perlu dijadikan tonggak bagi Polri untuk bangkit.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang