Thursday, November 29, 2007

Sekolah Ramah Anak


JC Tukiman Taruna


Mengapa kekerasan terhadap anak amat mudah terjadi? Salah satu jawabnya adalah karena banyak orang tidak mengenal dengan baik pengertian/batasan kekerasan terhadap anak.

Bahkan definisi berikut mungkin dipandang mengada-ada oleh sebagian orang. Kekerasan terhadap anak adalah "Semua bentuk perlakuan salah secara fisik dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan" (UNICEF, 2002).

Seorang ibu yang menjewer telinga anaknya agar mau mandi dianggap wajar, padahal tindakan itu berupa kekerasan fisik. Guru membentak-bentak murid agar mau duduk manis dan mendengarkan, terjadi di mana pun dan itu dianggap wajar, padahal guru telah melakukan kekerasan emosional. Bahkan kekerasan kepada anak sering "dibungkus" dengan alasan budaya. Misalnya, "Anak-anak di sini harus dipukul secara fisik agar disiplin karena budaya kita keras."

Di tengah masih derasnya arus kekerasan seperti itu, diperlukan pendekatan baru, yakni penting menempuh pendekatan kelembutan terhadap anak. Dan salah satu tempat paling besar peluangnya untuk melakukan kelembutan terhadap anak adalah sekolah. Maka, sebaiknya dikembangkan apa yang disebut sekolah ramah anak (SRA). Kunci utama pembuka kemungkinan SRA tentu guru dan jalan menuju SRA yang harus ditempuh guru memang sulit, tetapi dapat dicoba.

Langkah awal

Rudolf Dreikurs menawarkan 10 langkah menuju SRA, antara lain, pertama, jadilah guru tidak lagi sebagai penguasa kelas/mata pelajaran atau mata pelajaran (mapel), tetapi pembimbing kelas/mapel.

Kedua, kurangi kelantangan suara dan utamakan keramahtamahan suara. Ketiga, kurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan diganti ajakan.

Keempat, hindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan siswa.

Kelima, hal-hal yang menekan diganti dengan memberi motivasi sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi memberi stimulasi.

Keenam, jauhkan sikap guru yang ingin "menguasai" siswa karena yang lebih baik ialah mengendalikan. Hal itu terungkap bukan dengan kata-kata mencela, tetapi kata-kata guru yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa.

Ketujuh, guru hendaknya menjauhkan diri dari hanya mencari-cari kesalahan siswa, tetapi akuilah prestasi sekecil apa pun yang dihasilkan siswa.

Kedelapan, guru sering berkata, "Aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku," gantilah dengan "Aku anjurkan/minta, mari kalian ikut menentukannya juga."

Perubahan sikap guru tak akan banyak berarti jika tidak terus dikomunikasikan kepada siswa, kepala sekolah, orangtua siswa, dan pihak lain, seperti polisi.

Peran dan kekerasan

Guru hendaknya memberi tahu (dan mengajak siswa) tentang pentingnya gerakan antikekerasan di sekolah. Sekecil apa pun tindak kekerasan terhadap siswa harus didiskusikan dan dicari penyelesaiannya. Laporan adanya tindak kekerasan juga perlu diakomodasi cepat dan jangan dibiarkan/tertunda sampai hari berikut.

Langkah lebih lanjut yang lebih jitu adalah libatkan siswa menyusun peraturan sekolah atau mendaftar perilaku yang baik yang harus ditunjukkan, baik oleh guru maupun siswa, setiap saat. Melibatkan siswa membuat rambu-rambu atau aturan pasti akan membuahkan hal yang amat mengejutkan bagi banyak guru.

Selama ini aturan sekolah disusun hanya oleh sekolah (kepala sekolah dan guru), padahal seharusnya dibuat oleh siswa sendiri berikut sanksinya. Semakin sering sekolah mendatangkan pihak kepolisian pasti berdampak baik karena siswa dapat semakin akrab dengan polisi sehingga berani melaporkan jika terjadi kekerasan apa pun.

Pihak orangtua (komite sekolah) dapat memfasilitasi hal-hal seperti mendatangkan polisi dan mengundang aparat pemerintah setempat untuk memberikan perhatian kepada sekolah.

Singkatnya, SRA amat mudah dan murah dilaksanakan di semua sekolah di mana pun berada, tetapi hasilnya akan amat mengagumkan ketika kita menyaksikan (kelak) tidak ada lagi kekerasan terhadap anak-anak oleh siapa pun.

JC Tukiman Taruna Praktisi Manajemen Berbasis Sekolah; Tinggal di Ungaran, Jawa Tengah

Ketidakadilan dalam Pendidikan


Doni Koesoema A


Kritik bertubi-tubi itu sepertinya tidak mempan. Putusan pengadilan yang memenangkan tuntutan korban ujian nasional, protes guru, demo pelajar menolak UN, dan efek samping UN rupanya tidak pernah sampai ke telinga pengambil kebijakan.

Lebih dari itu, pemerintah sebagai wakil rakyat bersikukuh melaksanakan UN etika kewarganegaraannya dipertanyakan sebab kebijakan itu melanggengkan praksis ketidakadilan dan melestarikan kebijakan pendidikan yang cacat secara moral.

Kegagalan dalam UN berarti tinggal kelas, mengulang setahun, atau penundaan masuk perguruan tinggi karena harus mengikuti ujian persamaan; ini memastikan setiap siswa telah memiliki kesempatan belajar yang sama dan mampu membuktikan apa yang dipelajari merupakan tolok ukur pasti.

Kesempatan belajar

Gagasan persamaan kesempatan belajar terkait ide akuntabilitas pendidikan. Akuntabilitas pendidikan bertujuan menilai dan memastikan, para siswa telah mengalami proses belajar secara adekuat sehingga mampu mengerjakan ujian standar. Premis dasar akuntabilitas pendidikan adalah jika semua siswa wajib mencapai patokan standar yang sama, mereka harus mendapat kesempatan belajar yang sama.

Persamaan kesempatan belajar yang menjadi prasyarat akuntabilitas pendidikan adalah memastikan semua siswa dapat hadir di sekolah dan belajar memberi metode pengajaran berkualitas, materi yang terorganisasi baik, logis, dan koheren, yang didukung kehadiran guru yang cakap, kompeten, dan profesional, disertai fasilitas sekolah yang aman dan nyaman untuk belajar, kebijakan sekolah yang nondiskriminatif, serta pemberian materi pelajaran yang selaras standar isi minimal kurikulum sesuai yang ditetapkan.

UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa jelas akan memengaruhi kehidupan individu siswa. Karena UN memiliki dampak besar terhadap individu, ia harus memenuhi standar kelayakan evaluasi yang menghargai hak-hak individu.

Standar ini mensyaratkan adanya orientasi pelayanan, dengan evaluasi didesain sedemikian rupa sehingga membantu organisasi atau individu agar dapat melayani kepentingan peserta yang tercakup dalam target evaluasi, menjaga agar evaluasi dilakukan secara sah/legal, memenuhi standar moral, menghormati kesejahteraan mereka yang terlibat dalam evaluasi. Untuk menjaga kepentingan individu yang terlibat, evaluasi semestinya didesain agar melindungi hak-hak dan memberi kesejahteraan kepada individu itu.

Evaluasi pendidikan harus ada. Namun, UN yang tidak menjaga kepentingan dan memberi kesejahteraan kepada individu yang terlibat perlu dipertimbangkan ulang. Saat negara mengharuskan setiap siswa lulus UN (jika gagal akan mengalami penghinaan publik, dicap bodoh), tetapi gagal menyediakan kesempatan belajar yang sama bagi siswa, kebijakan seperti ini hanya melestarikan tumbal-tumbal UN, tidak memberi kesejahteraan kepada individu, sebaliknya justru menghina individu di depan publik secara berkelanjutan. Karena itu, kebijakan pendidikan seperti ini tidak memiliki kredibilitas moral.

Ketidakadilan tingkat dasar

Perbedaan sarana dan prasarana pendidikan di kota besar, di pedesaan, dan daerah terpencil amat mencolok. Kita lihat anak-anak belajar di ruang kelas seperti kandang ayam atau di bangunan yang hampir roboh. Tidak nyaman. Belum lagi perbedaan kualitas guru yang memengaruhi cara menyampaikan materi. Persoalan ketakadilan, perbedaan akses, dan kesempatan belajar telah ada di tingkat dasar.

Dengan ketimpangan kesempatan belajar seperti ini, apakah pemerintah (pusat atau daerah) bisa menjamin pelecehan dan penghinaan publik atas individu tidak terjadi dengan memaksakan UN?

Jika kesempatan belajar yang sama itu telah ada dan siswa secara faktual menunjukkan telah belajar, tidak akan ada siswa yang tidak lulus. Namun, apa faktanya? Dalam setiap UN masih banyak siswa tidak lulus. Mereka tidak lulus karena lingkungan sosial dan sekolah tidak memberi kesempatan belajar yang sama.

Di balik agenda ujian

Logika baik di balik agenda ujian dan akuntabilitas pendidikan adalah setiap anak dapat kesempatan belajar yang sama, terbukti dengan praksis pengalaman belajar itu sendiri. Logika ini menuntut negara memberi layanan pendidikan berkualitas.

Pemerintah memiliki tanggung jawab moral dan politis untuk memberi kesempatan belajar, terutama terhadap mereka yang tidak memiliki akses belajar. Tanpa perubahan kualitas layanan pendidikan, anak-anak miskin yang bersekolah di sekolah miskin akan tersingkirkan. Mereka terancam tidak lulus secara berkelanjutan dan penghinaan publik yang diterimanya akan semakin besar.

Tidak mengherankan jika anak-anak yang tidak lulus UN ada yang memilih tidak mengulang, putus sekolah, karena tidak ingin martabatnya diinjak-injak dua kali. Jika ini terjadi terhadap siswa SD, kebijakan pendidikan kita benar-benar immoral sebab secara sengaja membiarkan anak-anak ini diinjak-injak martabatnya dan hancur masa depannya.

Melaksanakan kebijakan UN, apa pun bentuknya, dan memaksa anak untuk lulus, tetapi pemerintah gagal menyediakan akses dan kesempatan pendidikan yang sama merupakan kebijakan politik yang melanggar keadilan sosial. Lebih dari itu, membiarkan anak didik mengalami penghinaan publik berkelanjutan karena dipaksa gagal merupakan kebijakan politik pendidikan yang immoral dan tidak bertanggung jawab.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

Pendidikan Tinggi sebagai Sarana Publik


Amich Alhumami


Para perumus kebijakan publik sering dihadapkan pertanyaan, "Pendidikan tinggi termasuk sarana publik atau swasta?"

Pertanyaan ini relevan diajukan karena masyarakat risau dengan biaya pendidikan tinggi yang kian mahal. Penyelenggara pendidikan tinggi pun tampaknya cenderung mengikuti tuntutan pasar, menjadikan pendidikan tinggi seperti komoditas bahkan mengarah ke komersialisasi. Maka, dapat dimaklumi bila muncul resistensi dari masyarakat bahwa pendidikan tinggi menjadi lembaga pencari keuntungan. Bahkan RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sedang dibahas di DPR dikhawatirkan akan menjadi justifikasi atas praktik komersialisasi pendidikan tinggi, yang sudah menjadi gejala umum beberapa tahun ini.

Parameter sarana umum

Dalam ilmu ekonomi, ada parameter pokok untuk menentukan sesuatu barang dapat dikategorikan sarana umum, yaitu harus bersifat non-rival dan non-excludable. Non-rival berarti konsumsi, pemakaian, atau pemanfaatan atas suatu barang tidak menyebabkan nilai dan volume barang itu berkurang. Non-excludable berarti orang lain tidak terhalangi atau berpeluang setara untuk mengonsumsi, memakai, atau memanfaatkan barang yang sama. Sebagai contoh, jalan raya.

Merujuk parameter itu, para penekun kebijakan publik berpendapat, pendidikan tinggi termasuk kategori sarana umum sebab menyangkut hajat hidup dan kebutuhan masyarakat. Maka, negara bertanggung jawab menyediakan layanan pendidikan tinggi agar tiap warga mendapat kesempatan sama (non-excludability) dalam memperoleh akses pendidikan tinggi (non-rivalry).

Jika pendidikan tinggi dimaknai sebagai sarana umum, tidak boleh ada praktik komersialisasi yang berorientasi mencari untung atau mengakumulasi kapital. Komersialisasi pendidikan tinggi jelas menggugurkan sifat non-excludable karena hanya melayani sekelompok orang.

Namun, ada juga pendapat, pendidikan tinggi tidak sepenuhnya sarana umum sebab lulusan universitas akhirnya masuk pasar kerja dan mendapat keuntungan ekonomi/finansial dari ilmu dan keterampilan yang diperoleh di perguruan tinggi. Namun, argumentasi ini tidak cukup meyakinkan karena para sarjana yang telah bekerja lalu memberi kontribusi pada pendapatan negara berupa pembayaran pajak, yang digunakan untuk membiayai pelayanan publik, termasuk pendidikan tinggi. Sepanjang ada unsur dana publik yang dimanfaatkan untuk kepentingan pelayanan umum, hal itu bisa digolongkan dalam sarana umum juga.

Fungsi dan manfaat

Untuk memberi pemahaman lebih utuh ihwal pendidikan tinggi sebagai sarana umum, perlu dikaitkan dengan fungsi dan manfaat pendidikan tinggi. Anthony Chambers dalam Special Role of Higher Education in Society (2005) mengidentifikasi lima fungsi pokok pendidikan tinggi. (1) Fungsi riset, terkait pengembangan ilmu pengetahuan dan penemuan ilmiah (scientific innovation); (2) fungsi pengajaran, terkait pelatihan tenaga terampil dan berkualifikasi tinggi; (3) fungsi pengabdian, terkait layanan jasa bagi masyarakat; (4) fungsi penyiapan individu sebagai warga negara yang baik guna membangun masyarakat beradab dan demokratis; dan (5) fungsi kontrol sosial, kritik publik, dan penjaga moral agar perilaku masyarakat tetap merujuk nilai-nilai etika sosial yang berlaku umum.

Jelas, pendidikan tinggi memberi manfaat besar bagi individu dan masyarakat, secara ekonomi ataupun sosial. Scott London dalam Higher Education for the Public Good (2005) menjelaskan, di tingkat individu, manfaat pendidikan tinggi secara ekonomi adalah (1) membuka peluang pengembangan karier dan pekerjaan yang lebih baik; (2) meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan relaksasi; dan (3) membuka ruang berbagai aktivitas sosial dengan pendapatan yang lebih.

Adapun manfaat di tingkat sosial individu adalah (1) menyediakan pilihan-pilihan dalam mengembangkan kehidupan; (2) mengembangkan jaringan dan membangun kemitraan untuk memupuk modal sosial; dan (3) memperluas pemikiran guna mencapai kepuasan individual.

Manfaat ekonomis pendidikan tinggi di tingkat masyarakat adalah (1) merangsang kegiatan ekonomi, menciptakan iklim bisnis yang baik, dan membuka lapangan kerja; (2) memacu belanja untuk konsumsi dan meningkatkan pendapatan pajak; dan (3) mendorong inovasi teknologi.

Adapun manfaat sosial di masyarakat adalah (1) memperkuat kohesi sosial melalui pengakuan dan penghargaan atas keragaman budaya dalam masyarakat; (2) memperkuat struktur sosial sebagai basis bagi pengembangan masyarakat pluralis dan kepemimpinan politik demokratis; dan (3) meneguhkan nilai-nilai civic morality dan public responsibility untuk menciptakan masyarakat berkeadaban (lihat juga Kezar, Chambers & Burkhardt [eds], Higher Education for the Public Good: Emerging Voices for a National Movement, 2005).

Pendidikan tinggi jelas mengemban misi sosial-profetik untuk memajukan masyarakat secara ekonomi-politik-sosial-budaya dan peradaban umumnya. Maka penyelenggara pendidikan tinggi seyogianya terikat nilai-nilai etika sosial dan tidak mengikuti arus komersialisasi. Dengan merujuk nilai-nilai etika sosial, pemaknaan pendidikan tinggi sebagai sarana umum akan kian kuat. Maka, penyelenggaraan pendidikan tinggi tidak boleh sepenuhnya diserahkan pada mekanisme dan hukum pasar. Negara ikut bertanggung jawab menyediakan sumber pembiayaan ataupun intervensi kebijakan dengan membuat regulasi agar layanan pendidikan tinggi tidak hanya digerakkan motif mencari untung dan menumpuk kapital.

Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, United Kingdom

Ekosistem Pesisir Kritis


Pemulihan Kawasan Pesisir Bukan dengan Reklamasi


Jakarta, Kompas - Ekosistem di kawasan pesisir Indonesia dalam kondisi kritis ditandai dengan laju kerusakan mangrove yang tak terkendali. Rusaknya ekosistem di pesisir sudah menuai ongkos sosial dan lingkungan berupa bencana banjir, abrasi, intrusi air laut, dan rusaknya biota di perairan.

Berdasarkan catatan Departemen Kehutanan, di sepanjang garis pantai Indonesia yaitu, 81.000 kilometer sejatinya ditumbuhi ekosistem mangrove seluas 9,36 juta hektar (9.361.957,59 hektar).

Akan tetapi, hasil identifikasi Dephut tahun 2000, hanya tersisa 2,5 juta hektar (2.548.209,42 hektar) mangrove yang kondisinya tergolong baik. Dengan demikian, areal mangrove yang rusak sudah mencapai sekitar 70 persen.

Mangrove berperan sebagai peredam gelombang laut dan angin, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimentasi.

Potret kerusakan pesisir, termasuk ekosistem mangrove, sudah bisa dirasakan dampaknya ketika banjir akibat gelombang pasang air laut terjadi di utara Jakarta awal pekan ini.

Tegakan bakau yang bisa disaksikan saat ini hanya terlihat sedikit di kawasan Suaka Margasatwa Muara Angke dan kawasan taman wisata alam Angke Kapuk, yang luas tegakkan bakaunya tinggal sekitar 9 hektar, yang secara ekologis tidak lagi bisa berfungsi

Penyebab kerusakan kawasan pesisir selama ini yaitu karena reklamasi, pencemaran, konversi menjadi tambak, juga penebangan bakau untuk dijadikan arang.

Akan tetapi, saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan sembilan pengembang justru tengah merealisasikan proyek mercusuar reklamasi pantai utara Jakarta.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) melalui Keputusan Menteri (Kepmen) Negara Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 telah menyatakan ketidaklayakan lingkungan proyek tersebut. Namun, Pemprov dan DPRD tetap bersikeras mengizinkan proyek itu.

Reklamasi tersebut akan menguruk pantai sedalam delapan meter, selebar dua kilometer dari garis pantai, dan sepanjang 30 km kawasan pesisir. Rencananya, di atas lahan reklamasi itu akan digunakan untuk berbagai kegiatan bisnis dan perumahan penduduk untuk 750.000 jiwa.

Bukan Reklamasi

Khalisah Khalid dari Walhi Jakarta mengatakan, proyek itu hanya akan menuai kerugian ekologi hingga Rp 3,499 triliun dan menggusur 125.000 nelayan.

Muhammad Ilman dari Wetland International menegaskan, pemulihan kawasan pesisir tidak bisa dijawab dengan reklamasi. Hal itu justru akan memperparah kondisi pesisir.

Bambang Supiyanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan juga mengatakan, pemulihan kawasan pesisir, khususnya di Jakarta, tidak bisa dilakukan dengan pendekatan ekonomi. "Sebab tidak sepadan dengan ongkos akibat dampaknya. Namun, pemeliharaan lingkungan itu masih dianggap cost center," ujarnya.

Direktur Pemukiman dan Perumahan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Basah Hernowo mengatakan, merujuk Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pencabutan dan pembatalan izin, bahkan pembongkaran bangunan bisa dilakukan bila properti merugikan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Baik pemberi izin maupun penerima izin bisa dikenakan sanksi pidana denda bahkan penjara bila properti memang merusak lingkungan.

Pemprov Mengakui

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengakui adanya kesalahan perencanaan tata ruang di masa lalu. "Saat ini, kita mengadapi konsekuensi dari naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global. Tidak perlu saling menyalahkan tata ruang di masa lalu tetapi kita harus mencari cara untuk mengatasinya," kata Fauzi.

Saat ini, Jalan Tol Prof Sedijatmo, Bandara Soekarno-Hatta pada kilometer 27 masih menghadapi ancaman banjir dari kawasan tambak rakyat akibat air laut pasang. Namun, dalam jangka pendek PT Jasa Marga masih belum berniat membangun tanggul pembatas tepian tambak dan jalan tanah. Rabu siang (28/11), titik lokasi awal meluapnya air tambak karena laut pasang ke jalan tol hanya ditutup dengan tumpukan deretan karung berisi tanah setinggi 20 sentimeter.

Korban Masih Terlantar

Sementara itu, Sekitar 300 warga RT 06 / RW 01 Kamal Muara Penjaringan Jakarta Utara yang mengungsi di tenda darurat akibat banjir Senin lalu kondisinya cukup memprihatinkan. Bantuan air minum serta obat-obatan masih minim sehingga mengakibatkan puluhan balita terserang penyakit.

"Hingga hari ini, kami hanya mendapat satu bantuan dos air minum kemasan gelas. Bahkan, obat-obatan sama sekali kami belum dapat. Padahal banyak balita sudah sakit demam, diare dan gatal-gatal," ujar Ketua RT 06/01, Muksin.

Warga juga mengeluh karena tidak bisa lagi mencari nafkah. "Saya sudah tidak punya uang lagi karena tiga hari tidak melaut," ujar Udin (42) warga RT 2 / RW 1 Dadap Kosambi.

Sementara itu, sebagian besar nelayan di Muara Baru tinggal di RT 19 dan RT 20, yang merupakan wilayah terparah dari sembilan RT yang ada di sana. Sekitar 20 rumah di wilayah itu rusak.

Untuk mengatasi banjir di Jakarta Utara yang ditimbulkan limpasan gelombang air pasang, Fauzi Bowo mengatakan, polder untuk mengatasi limpasan gelombang air pasang seharusnya berlapis sehingga mampu menampung dan memompa air kembali ke laut, saat mulai surut. Cara itu meniru sistem di Belanda. (SF/ECA/WIN/A04/A05/A08/)

Friday, November 23, 2007

Sistem Pendidikan dan Integritas Antikorupsi


Adrianus Meliala

Upaya keras berbagai panitia seleksi guna mencari anggota komisi-komisi atau lembaga negara yang memiliki integritas pribadi yang antikorupsi, bersih, dan jujur di masa mendatang tampaknya akan semakin sulit membuahkan hasil gemilang. Setelah beberapa kali upaya pencarian calon semacam itu dilakukan, telah muncul pola atau kecenderungan sebagai berikut.

Pertama, terdapat beberapa nama yang aktif melamar guna menjadi calon di berbagai kesempatan mengindikasikan tipisnya lapisan menengah di Indonesia yang berani "jual diri" menyangkut integritas kepribadian dan track record bersih serta jujur.

Kedua, yang banyak melamar adalah karyawan atau pejabat yang hampir atau telah pensiun. Bisa diduga, motivasi mereka adalah untuk memperpanjang aktivitas setelah purna dari pekerjaan yang lama. Bisa diduga pula, yang mereka tawarkan adalah profesionalisme dalam rangka bekerja; hal mana tidak selalu sejalan dengan kepribadian yang antikorupsi, bersih, serta jujur.

Ketiga, katakanlah mendaftar, maka cukup banyak yang bermodalkan self-acclamation (pernyataan diri sepihak) terkait dengan siapa dirinya serta bagaimana kepribadiannya. Pelamar dari tipe ini akan bertumbangan saat panitia melakukan verifikasi tentang siapa mereka sebenarnya.

Keempat, mereka yang ditengarai memiliki integritas tinggi, bersih, serta jujur malah tidak ada atau sedikit yang mencoba melamar. Selain khawatir dipecundangi melalui sistem seleksi yang kotor, orang seperti ini memang tidak pernah kurang kerjaan. Di mana-mana membutuhkan orang langka tersebut, tidak hanya komisi atau lembaga negara saja.

Sistem integritas

Itulah yang terjadi ketika kita sebagai masyarakat tidak mempersiapkan lahir dan besarnya orang-orang dengan kepribadian yang berintegritas tinggi guna menyatakan "tidak" pada korupsi, bersih serta jujur secara sistematis dan massal. Sebaliknya, terkesan bahwa kita semua meyakini orang-orang dengan ciri demikian memang ditakdirkan langka, yang banyak adalah orang dengan ciri sebaliknya.

Itulah yang diperkirakan terjadi dalam masyarakat yang memang telanjur kuat budaya korupnya. Kuat sekali dorongan untuk menjadi me-too-corrupt alias "saya tak beda dengan yang lain" dalam hal perilaku korupsi mengingat korupsi dilakukan oleh semua. Sebaliknya, kecil sekali tarikan atau kekangan untuk menjadi berbeda atau tidak melakukan korupsi melalui sistem yang dikenal dengan sebutan sistem integritas (integrity system). Alhasil, yang berani berkata "tidak" pada korupsi menjadi orang langka.

Singkatnya, orang yang bersih dan jujur bukan ditemukan seperti kuda liar, tetapi dibiakkan dan dirawat dalam suatu sistem yang mendorong hal-hal itu untuk tumbuh. Tidak hanya tumbuh dengan sendirinya, tetapi juga karena dipupuk sehingga tumbuh dengan lebat. Jika kita percaya bahwa masyarakat pada dasarnya adalah sama, yang berbeda adalah sistemnya, maka sistem integritas itulah yang paling menentukan siapa dan bagaimana dia di kemudian hari.

Apabila dikatakan sistem integritas antikorupsi, pada dasarnya kita tidak menunjuk sistem yang khusus melainkan berbagai sistem yang telah ada, seperti sistem politik, sistem hukum, sistem pendidikan, dan seterusnya. Hanya satu bedanya, yakni bahwa sistem-sistem tadi semuanya sama-sama menuntut integritas dalam rangka menjalankannya, yakni integritas untuk menjauhi korupsi.

Sistem pendidikan

Dari berbagai sistem yang semuanya perlu digerakkan dengan sifat "integritas" itu, sistem pendidikan memiliki peran terpenting dibandingkan dengan yang lain. Jika sistem-sistem lain menyentuh atau disentuh orang per orang pada saat dewasa, sistem pendidikan memengaruhi seseorang sejak berusia belia. Apabila kandungan integritas antikorupsi telah terdapat secara intens dalam sistem pendidikan, niscaya akan menular pada subyek didik dan bertahan selama hidupnya.

Masalahnya, hal-hal yang tidak sejalan dengan nilai integritas antikorupsi tadi masih kerap terlihat dalam sistem pendidikan kita. Ada siswa yang tidak naik kelas dan bisa naik kelas dengan pindah sekolah. Ada pula siswa yang mendapat bocoran nilai ujian akhir nasional secara sengaja dari guru mereka sendiri. Ada siswa yang membuat keonaran malah dipuji. Ada guru yang minta uang dari muridnya, dan sebagainya.

Jadi, bibit berbuat korupsi, tidak bersih dan tidak jujur itu telah diketahui dan mungkin tertanam pada diri seorang anak saat baru pertama kali disentuh oleh sistem modern bernama sistem pendidikan. Kita bisa bayangkan apa yang terjadi saat yang bersangkutan selanjutnya bersentuhan dengan sistem-sistem lain yang lebih kerap, lebih vulgar, serta lebih intens perbuatan koruptifnya.

Terkait strategisnya sistem pendidikan ini, mungkin kita semua bisa fokus dan habis-habisan mencegah terkontaminasinya sistem pendidikan dari berbagai hal yang dapat mengurangi nilai-nilai integritas antikorupsi di dalamnya. Dan, mengingat terdapat ketidakseimbangan antara berbagai pihak yang berperan dalam sistem tersebut (peserta didik yang berjumlah terbanyak selalu berada pada posisi lebih lemah, pasif, dan tergantung dibanding, misalnya, pihak sekolah), maka kemauan dan peran guru, sekolah, jajaran kantor wilayah serta departemen akan amat menentukan mutu keluaran dari sistem pendidikan tersebut.

Di sinilah pentingnya memerhatikan kesejahteraan para guru, meningkatkan pengetahuan guru, melengkapi fasilitas belajar-mengajar di sekolah, membersihkan perekrutan guru atau siswa dari praktik KKN, memosisikan peran UAN secara tepat, meniadakan budaya patrimonial bagi guru yang akan menjadi kepala sekolah, dan lain-lain. Itulah bibit-bibit penggerus nilai-nilai integritas antikorupsi yang sedianya akan ditransformasikan kepada anak didik melalui perilaku langsung ataupun ajaran.

Pendidikan tinggi

Ada hal menarik saat melihat bagaimana kita semua memandang seseorang yang dikatakan memiliki integritas kepribadian tinggi, bersih dan jujur. Hampir semua kalangan melihatnya dari sudut apa yang dilakukan seseorang pascamenempuh pendidikan formal, entah itu pendidikan menengah ataupun pendidikan tinggi.

Kita cenderung terkonsentrasi melihat track seseorang dari sudut riwayat pekerjaannya, apa saja posisi dan jabatannya, apa prestasi yang dihasilkannya, bagaimana ia memperoleh kekayaan selama periode itu serta bagaimana catatan tentang kelakuannya. Sebaliknya, data tentang seseorang pada saat duduk di bangku sekolah dasar hingga menempuh pendidikan tinggi umumnya tidak diketahui. Minimal, seolah dianggap tidak penting. Padahal, pada saat itulah tengah dibuat baseline yang akan menentukan apakah seseorang akan benar-benar menjadi orang yang berintegritas tinggi, bersih dan jujur.

Dalam konteks itulah, fase seseorang yang sudah berada di tingkat pendidikan tinggi menjadi penting dan strategis. Itulah fase terakhir sebelum seseorang di-"pelototi" (atau di-scrutinize) riwayat hidupnya jika yang bersangkutan mau menjadi pejabat publik di komisi atau lembaga negara tertentu. Tidak pernah kita dengar, misalnya, skandal atau perbuatan curang yang dilakukan seorang pejabat saat masih mahasiswa. Masa mahasiswa pada umumnya tidak dipersepsikan sebagai memberi kesempatan besar bagi mahasiswa untuk terlibat dalam suatu hal yang "kotor".

Berbeda situasinya ketika telah lulus. Seorang sarjana harus terus-menerus, mau tak mau, menata gerak langkah, jangan sampai terjeblos pada penyakit masyarakat tertentu, khususnya apabila berkeinginan menjadi pejabat publik di suatu waktu kelak.

Seiring dengan persepsi tentang fase perguruan tinggi yang "steril" dari kemungkinan korupsi, para mahasiswa juga kerap kurang menyadari betapa strategisnya kehidupan di perguruan tinggi dalam konteks keseluruhan hidup mereka sendiri. Sebagai fase terakhir dari fase panjang kehidupan seseorang terkait sistem pendidikan, itulah kesempatan terakhir untuk berlatih hidup bersih, hidup jujur, dan membiasakan hidup secara berintegritas. Pada saat telah memasuki dunia kerja, dunia profesi atau karier, kesempatan latihan tadi akan mengecil, kalau tidak mau dibilang tidak ada.

Setiap mahasiswa seyogianya melihat kesempatan belajar bebas ala orang dewasa (adult education) yang diterapkan di pendidikan tinggi sebagai sarana melatih kejujuran (tidak plagiat), melatih hidup bersih (tidak mencuri data orang lain), dan mengasah nilai integritas antikorupsi dalam diri sendiri (dengan tidak memanfaatkan hubungan dengan dosen atau dengan cara-cara lain).

Hal-hal itu akan menjadi modal besar guna tidak terbawa arus dan menjadi sama dengan orang lain, terkait budaya korupsi di masyarakat.

Adrianus Meliala Guru Besar Universitas Indonesia

Kerinduan kepada Pemimpin yang Merakyat


ST SULARTO

Negara Indonesia bukanlah negara agama. Namun, organisasi keagamaan, para tokoh agama, dan kelompok-kelompok lintas agama berperan penting dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebagai "penjaga moral publik", mereka punya kontribusi mengingatkan moralitas kekuasaan bersumber dari dan untuk rakyat. Pemikiran, bahkan gerakan sekalipun, senantiasa berangkat dari niat tulus demi kemaslahatan bersama.

Oleh karena itu, ketika sejumlah tokoh lintas agama bertemu, kali ini diprakarsai Maarif Institute dan Yayasan Visi Anak Bangsa, Jumat (16/11), peristiwa itu perlu ditempatkan dalam proporsi kepekaan dan komitmen terhadap persoalan kebangsaan. Meminjam istilah Syafii Ma’arif dalam pertemuan itu, "Tergerusnya kepekaan pada nasib bangsa dan negara ini mendorong kami untuk melakukan gerakan moral".

Pernyataan Buya Syafii disambung tokoh Buddha, Bhiku Sri Panjavaro Mahathera. "Memang deklarasi, pernyataan, ajakan, ataupun gerakan belakangan ini menjamur, tetapi para tokoh agama yang berangkat dari niat tulus sudah sepantasnya menyampaikan sesuatu yang sifatnya mengingatkan." Katakan sebuah gerakan moral. Latahnya deklarasi, pernyataan dan gerakan menjadi cair, tidak lagi sekadar meriuhkan suasana. Moralitas yang disampaikan menyangkut ajakan kembali pada jati diri takhta kekuasaan berasal dari dan untuk rakyat; sesuatu yang melawan arus utama mengedepankan sisi negatif kekuasaan melik nggendong lali.

Kondisi masyarakat Indonesia saat ini dirumuskan "sedang sakit" atau menurut istilah filsuf wanita Hannah Arendt (1906-1975) sebagai sedang mengalami krisis spiritual. Dalam kondisi krisis itu, kepedulian—dalam pemikiran Arendt bukan sekadar masalah emosi dan empati melainkan bertindak—dikesampingkan. Tidak adanya kepekaan dan kepedulian, penumpukan kekuasaan menjadi tujuan utama sehingga berlaku petuah klasik Niccolo Machiavelli (1469-1527)-repotnya sering dikutip keluar dari konteks "untuk memperoleh, memperbesar dan melestarikan kekuasaan, tujuan menghalalkan cara". Benar pula penjelasan psikologis tentang merebaknya agresivitas dan kekerasan yang terjadi belakangan ini bahwa ada kaitan erat antara frustrasi dan katarsis sebagai perwujudan energi yang tersumbat. Frustrasi membangkitkan energi agresif.

Kerangka teoretis di atas menjelaskan kejadian-kejadian tidak masuk akal belakangan ini. Sekadar disebut kasus Adelin Lis yang mengesampingkan konteks keadilan formal dan rasa keadilan; motivasi partai-partai politik bukan untuk kesejahteraan umum, tetapi kepentingan perebutan kekuasaan; gencarnya pemberantasan korupsi ditorehkan cela RUU Pemberantasan Korupsi yang mencantumkan pasal ringan untuk pejabat publik; dan seterusnya.

Bangsa yang sakit

Mengenai sakitnya bangsa-masyarakat Indonesia, Mohamad Sobary menambahkan, bangsa yang sakit menyebabkan hilangnya orientasi nilai. Entah karena rasa tidak aman atau karena kekuasaan senantiasa menuntut lebih (bdk. Lord Acton dengan rumusnya "kekuasaan cenderung korup"), fenomena primordial meruyak yang dalam arti tertentu adalah kerinduan untuk mengelompok, eksklusif dan merasa solid dalam kelompoknya. Ke-kita-an menipis, ke-kami-an bahkan ke-aku-an mengental. Hubungan sesama dikategorikan dalam aku dan kamu, kawan dan lawan. Keadaan ini dia sebut sebagai bangsa Indonesia dalam situasi "ketercabutan budaya".

Demokratisasi vs kemiskinan

Fakta yang terjadi dan penjelasan atasnya menegaskan bangsa ini memang "benar-benar sedang sakit", yang menurut tokoh Hindu, Luh Ktut Suryani, di antaranya ditengarai setiap dua hari sekali di negeri ini ada orang bunuh diri atau perilaku pengendara sepeda motor yang tidak mematuhi rambu lalu lintas. Politik uang yang merajalela, kata Luh Suryani, menjadi salah satu faktor mengapa setiap pemimpin tidak merasa aman. Rasa tidak aman mengakibatkan mereka sibuk mengamankan diri, tidak sempat memberi perhatian lebih pada kepentingan rakyat banyak, sebab yang dilakukan adalah secara sadar terus-menerus menjaga citra.

Masih besarnya jumlah orang miskin disorot Uskup Agung Jakarta, Julius Kardinal Darmaatmadja SJ. "Selama di negeri ini masih banyak orang miskin, demokratisasi belum ada," ujarnya. Demokrasi tidak bisa dibangga-banggakan selagi masih ada orang miskin. Barometer demokratisasi adalah tidak adanya lagi yang kuat memakan yang lemah. Demokratisasi terjadi kalau yang lemah dan yang kuat saling menghormati dan menghargai. Kemiskinan, kata Kardinal Darmaatmadja, tidak bisa diatasi dengan pemberian. Pemberian hanya dibenarkan pada saat menderita dan bersifat karitatif, sedekah. Pengentasan masyarakat miskin mesti dilakukan terprogram, menuntut kesediaan menghargai kemanusiaan—jati diri prinsip kehidupan demokratis—di antaranya lewat penyediaan lapangan kerja.

Data dan realitas kemiskinan penduduk negeri ini belum satu kata. Selalu ada perbedaan angka/data antara versi pemerintah dan versi masyarakat, termasuk para ahli, antara 19 juta dan 30 juta. Jumlahnya 30 juta atau 19 juta? Berkurang atau bertambah? Pro dan kontra tak pernah jelas argumentasinya. Masing-masing menyodorkan data plus argumentasi masing-masing. Namun yang jelas, Rapat Pleno Komisi IV DPR, awal Oktober 2007, memutuskan jumlah penerima beras untuk rakyat miskin tahun 2008 meningkat 19,1 juta rumah tangga dari 15,78 juta pada tahun 2007. Jadi angka, data, dan argumentasi mana yang lebih masuk akal? Hal yang sama, termasuk dalam kepastian angka, menyangkut jumlah pengangguran.

Masa depan negeri ini dihadapi dengan pesimisme? Tidak, jawab Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Andreas Yewangoe. Agama harus membangun harapan. Masa depan Indonesia yang tergambar memprihatinkan harus dihadapi dengan optimistis. Caranya? "Manfaatkan kekayaan negeri ini. Kita kaya," kata Faisal Basri, ekonom dari FE UI, Jumat siang itu.

Faisal Basri menunjukkan data kekayaan negara yang belum dimanfaatkan atau sudah dimanfaatkan, tetapi tidak dipakai untuk menyejahterakan rakyat. Impor minyak mentah Indonesia lebih besar dibandingkan ekspor, jelas memprihatinkan. Kekayaan tidak terbagi merata. Besarnya jumlah orang miskin, sementara di Singapura orang Indonesia termasuk pemborong terbesar rumah-rumah real estat, merupakan bukti tidak meratanya kesejahteraan.

Pengusaha, kelompok yang perlu diberi tempat selain birokrasi dan lembaga swadaya masyarakat dalam membangun masyarakat warga—ide yang menjadi obsesi sejumlah pemikir, di antaranya Jakob Oetama—dengan lisensi mengelola kekayaan alam harus mengembalikannya kepada rakyat. Safari ke berbagai negara, apalagi persiapan untuk menyelenggarakan pertemuan tentang pemanasan global di Bali, Desember 2007, seolah-olah mencibir Indonesia tentang penggundulan hutan yang menjadi salah satu biang pemanasan global. Di antaranya, data bahwa pada tahun 2006 Indonesia mengumumkan China telah memesan 800.000 meter kubik kayu Indonesia senilai satu miliar dollar AS guna konstruksi Olimpiade 2008 (International Herald Tribune, 1 Mei 2006). Indonesia saat ini di kalangan para pengamat asing berada dalam mini-crisis (Newsweek, 19 September 2005), yang kemudian ternyata diperparah oleh kenaikan harga minyak dunia hingga 95 dollar AS per barrel hari-hari belakangan ini.

Globalisasi dunia dengan "bapak kandung" neoliberalisme, dalam pertemuan setengah hari itu tidak sempat dijabarkan. Masalahnya sudah banyak dibahas, sudah diketahui duduk soalnya, yakni Indonesia bisa tergencet kalau asyik dengan persoalan dalam negeri dan bertengkar antarsesama.

Kenyataannya, elite negeri ini terkesan gamang dan kurang antisipasi. Padahal, seharusnya satu kata, yakni sistem perekonomian negeri ini lebih sesuai dijalankan dengan sistem pasar ekonomi sosial daripada neoliberalisme. Perkembangan ekonomi tak sepenuhnya diserahkan ke pasar, sebab yang terjadi adalah yang kuat kian kuat dan memakan yang lemah. Ekonomi diserahkan pasar, tetapi perlu regulasi dari pemerintah yang berpihak pada yang kecil-lemah-masyarakat kebanyakan.

Pemimpin yang merakyat

Dalam karut-marut memprihatinkan itu, para tokoh lintas agama sepakat membangun optimisme lewat hadirnya seorang pemimpin yang tidak serakah. Mereka tidak perlu sevisioner seperti Bung Sjahrir, Bung Karno, Bung Hatta. Dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu menangani kekayaan negara ini untuk kemaslahatan rakyat, yang berani mengambil keputusan-keputusan tidak populis, yang tampil tidak melulu "jaga image" (jaim), yang bertanggung jawab atas kekuasaan yang diembannya dari rakyat. Pendeknya seorang pemimpin yang merakyat, yang perhatian dan komitmennya adalah kesejahteraan umum.

Dalam waktu dekat-dekat ini, adakah pemimpin "impian" seperti itu? Memang, menyebut nama selalu dengan reserve. Seolah-olah bangsa ini kekurangan pemimpin yang kapabel, yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak. Muncul gagasan perlunya menghadirkan—bagi media berarti memanggungkan—tokoh-tokoh pemimpin di tingkat daerah ke panggung nasional. Entah seorang bupati, seorang gubernur, atau bahkan pemimpin di luar jalur politik—yang dari sisi lain berarti perlunya diberi kesempatan calon pemimpin lewat jalur nonpartai; tidak perlu juga "menyewa seorang pemimpin nasional dari luar" seperti seloroh Buya Syafii.

Siapakah mereka?

Kebijakan Afirmatif Dorong Berkembangnya Isu Perempuan


JAKARTA, KOMPAS - Kebijakan afirmatif tentang kepengurusan perempuan dalam partai politik di semua tingkatan sebanyak 30 persen merupakan peluang untuk mengangkat lebih banyak lagi isu perempuan.

Demikian dikatakan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono di Jakarta, Rabu (21/11). Ia bicara mengenai pembahasan Paket Rancangan Undang-Undang Bidang Politik yang tengah berlangsung di DPR.

Menurut Meutia, dengan terlibatnya perempuan—setidaknya 30 persen—di parpol, persoalan perempuan dapat lebih mendapat perhatian publik. "Kita butuh percepatan, dalam hal ini jumlah wakil perempuan, yang memang mengerti masalah perempuan," ujarnya.

Dengan terdorongnya perempuan masuk ke politik, tambah Meutia, perempuan mampu memiliki jabatan publik dan mengawasi jalannya pembangunan.

Sementara itu, Idrus Marham, Ketua Panja RUU Parpol dari Fraksi Partai Golkar, mengatakan, rendahnya keterwakilan perempuan di bidang politik bisa terjadi antara lain karena ada aturan yang menghambat perempuan untuk maju. Kedua, budaya yang membuat perempuan dianggap tak layak bergelut di politik. Dan ketiga, karena ketidakmampuan perempuan sendiri.

Dari 550 anggota DPR periode 2004-2009, jumlah perempuan 11 persen dan di tingkat DPD 21 persen. Adapun di pemerintahan, jumlah pegawai negeri sipil eselon I perempuan sebanyak 12,8 persen. (A11)

"Dunia Rata" ala Indonesia


Henry Subiakto


Siapa sangka India, yang dulu dikenal sebagai negara yang mayoritas rakyatnya miskin dengan kondisi kota-kotanya yang kumuh serta diwarnai konflik sosial politik tinggi, kini membuat kagum banyak orang.

Bahkan muncul kekhawatiran di AS karena perkembangan penguasaan information and communication technology (ICT) luar biasa. Minimal itulah kesan dari buku The World Is Flat (2006) karya Thomas L Friedman, kolumnis Foreign Affairs The New York Times.

Menurut penyabet penghargaan Pulitzer 2002 kategori komentator itu, kini dunia sudah bersifat datar, yaitu mengglobal dan ber-platform jaringan internet sehingga berbagi aneka bentuk pengetahuan dan pekerjaan sudah tak terkendala oleh waktu, jarak, wilayah, dan bahasa. Dunia datar menyuguhkan aras palagan permainan (level playing field) yang kompetitif untuk negara industri dan negara berkembang (emerging market countries).

Dunia datar bersumbu pada kemajuan dan pemanfaatan ICT. Siapa pun, dari mana pun, dengan ICT dapat menjadi "pemain" utama di pasar kerja. Adanya internet, alur kerja memanfaatkan mesin, kemudahan kirim-unduh data, outsourcing, relokasi tempat produksi, hingga kemudahan mencari informasi melalui mesin pencari, dan tautan digitalisasi bergerak virtual mempribadi dicatat Friedman sebagai kekuatan pendatar dunia.

Semua perkembangan ini telah memunculkan fenomena luar biasa, saat semua kekuatan pendatar berkonvergensi dan berproses dengan sokongan model bisnis baru yang inovatif berbasis ICT membuat semua orang memiliki kesempatan yang sama menjual kemampuannya di pasar global.

Friedman menunjukkan kehebatan India. Betapa perusahaan di kawasan Bhavya, Bangalore, mampu menyediakan tenaga kerja untuk juru ketik, operator call center, akuntan, hingga pemrogram komputer di negara maju. Orang India bekerja untuk AS, tetapi tetap tinggal di India. Mereka bekerja sebagai bagian integral rantai bisnis perusahaan global, seperti Dell, American On Line (AOL), dan Microsoft.

Bersaing melalui ICT

Kini orang AS harus bersaing kerja dengan yang tinggal di AS dan insan brilian sejagat. Artinya, di sana ada pekerjaan yang mulai terancam tergusur oleh orang dari belahan dunia lain melalui mekanisme outsource, otomatisasi, atau digitalisasi. Profesi, seperti ahli bedah, radiologi, dokter gigi, ortodontis, pengacara, farmakolog, dan guru, termasuk kategori yang rentan tergusur tanpa bisa dicegah meski dengan larangan masuknya pekerja migran.

Dengan mengandalkan kualitas hasil kerja dan daya saing harga, serta memaksimalkan ICT, warga India mengambil alih pekerjaan warga AS. Misalnya, melalui webcam, guru India dengan harga jauh lebih murah dapat memberi les secara virtual kepada siswa yang tinggal di AS.

Tugas dokter radiologi di John Hopkins Hospital AS pada malam hari atau pada akhir pekan sudah di-outsource ke dokter-dokter India. Melalui teleradiology memungkinkan para dokter India mendapat gambar dari rumah sakit ke rumah mereka (bisa juga ke Vail atau Cape Cod). Gambar itu langsung dapat diinterpretasi sehingga tersedia layanan media secara prima 24 jam. Untung, ketika di AS malam, di India siang sehingga tidak ada ongkos lembur.

Para akuntan India di Bengalore, dengan kemampuan sama, bisa mengambil alih auditing dari akuntan AS di Washington atau New York. Kualitas hasilnya hampir sama, tetapi lebih murah.

Itu contoh bagaimana orang India dengan kemajuan ICT-nya mampu "merebut" pekerjaan profesi-profesi tertentu tanpa harus hadir secara fisik.

Ala Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Kita memang masih tertinggal, baik dari sisi infrastruktur maupun SDM. Namun, tidak berarti kita diam saja. Setidaknya, upaya ke arah itu sudah ada. Salah satunya dilakukan Depkominfo dengan memperluas akses jaringan informasi dan komunikasi, dewasa ini tengah dibangun infrastruktur yang disebut Palapa Ring. Suatu jaringan serat fiber optik high-speed packet access (HSPA), yang dibangun sepanjang 11.000 km, diperkirakan selesai akhir 2008.

Palapa Ring merupakan jaringan penopang utama yang menghubungkan pulau-pulau dan kota-kota di Indonesia timur. Semacam jalan tol untuk lalu lintas informasi digital, yang dibangun atas dana partisipasi swasta murni dari para operator telepon. Palapa Ring akan terkoneksi dengan jaringan yang sudah ada di Indonesia bagian barat. Untuk jaringan ICT masuk ke desa, juga dibangun universal service obligation (USO) yang diperkirakan rampung tahun 2009.

Melalui infrastruktur itu diharapkan akan terjadi pertukaran informasi yang lebih masif dan mampu menumbuhkan berbagai aktivitas positif. Infrastruktur ICT dimaksudkan untuk mendorong warga Indonesia berpeluang lebih baik untuk memperoleh kualitas pendidikan (e-education). Misalnya, guru pintar yang enggan mengajar di daerah terpencil, dengan jaringan internet dilengkapi webcam, dapat berbagi ilmu ke masyarakat di sekolah pelosok kendati ia tetap berada di kota.

ICT juga dikembangkan untuk e-health, yaitu puskesmas-puskesmas dikoneksikan dengan rumah sakit, tenaga medis, atau dokter andal. Nantinya pasien dan tenaga medis dapat berkonsultasi jarak jauh dengan memanfaatkan perangkat teknologi komunikasi berbasis visual (3G), atau bahkan menggunakan teleradiology.

Dalam ekonomi, warga desa diharapkan dapat melakukan transaksi uang tanpa bertemu fisik atau melalui ATM yang jarang di daerah terpencil. Cukup dengan telepon seluler, siapa pun bisa bertransaksi melalui jaringan (e-money) yang dikemas seperti kode angka voucher pulsa dan bila menerima angka, dapat menukarkan dalam bentuk uang tunai melalui (misalnya) kantor pos di desa mereka.

Ini merupakan perkembangan ICT yang revolusioner. Diharapkan melalui Palapa Ring dan USO, keberadaan ICT di berbagai pelosok Indonesia akan menjadi determinan perubahan sosial, yang ujungnya adalah peningkatan kesejahteraan.

Memang semua ini masih cita-cita, sekaligus optimisme. Untuk mewujudkan mimpi "dunia datar" ala Indonesia diperlukan keseriusan dan sinergi semua komponen. Kalau India bisa, orang Indonesia tentu juga bisa. Yang penting ada semangat, optimisme, dan berpikiran positif terhadap perubahan. Kita tak perlu gentar menghadapi dunia yang datar.

Henry Subiakto Dosen Program Pascasarjana Komunikasi Universitas Airlangga

Thursday, November 22, 2007

Memberdayakan Pencarian di Google


Amir Sodikin

Tak semua orang yang melek internet mengerti harus bagaimana untuk mendapatkan informasi, data, atau lagu dari internet. Dia tahu, googling atau mencari dengan enjin Google merupakan cara bertanya, tetapi sering kali gagal. Itu semua karena satu hal: meremehkan Google tak mengerti bahasa kita.

Popularitas Google sebagai mesin pencari hampir sama dengan internet sendiri. Tampilan sederhana dan algoritma perhitungan yang canggih membuat Google banyak disukai dibandingkan dengan pesaingnya, Yahoo.

Pencarian sering lama dan membuang waktu karena kata kunci yang diberikan terlalu sedikit, misalnya: ”iwan fals”. Padahal, yang diinginkan download lagu MP3 dari Iwan Fals.

Makin banyak kata yang dimasukkan, seperti: ”iwan fals download mp3” (tanpa tanda kutip) barulah lagu yang diinginkan bermunculan. Semakin banyak dan makin spesifik informasi yang kita masukkan, makin cepat menemukan yang dicari.

Cara pencarian dengan memasukkan banyak kata yang kemungkinan ada di dalam dokumen merupakan ”cara bodoh” paling mudah jika kita tak ingin menghafal ”rumus” tertentu.

Jika ingin cara yang lebih cepat, bisa menggunakan ”rumus” tertentu. Untuk pencarian MP3, misalnya, ada banyak cara, salah satunya seperti ”iwan fals site:multiply.com/music”, berarti hanya mencari lagu Iwan Fals di situs jaringan sosial Multiply.

Cara lain yang telak adalah memanfaatkan format pencarian dengan format seperti: intitle: ”index of” mp3 ”peterpan”, untuk mencari lagu Peterpan.

Cara bodoh

Tidak tahu siapa yang menemukan mesin uap? Masukkan saja kata kunci sederhana, misalnya ”mesin uap ditemukan oleh” (tanpa tanda kutip), atau tanda * (bintang) bisa mewakili sembarang kata, maka secara cepat akan mendapatkan jawaban dengan memasukkan ”mesin uap ditemukan oleh *” (tanpa tanda kutip) dan jawabannya akan muncul.

Google mampu menginterpretasikan parameter yang diberikan untuk mempercepat pencarian. Tanda ”+” dan tanda kutip (” ”) untuk pencarian frase seperti: mesin+uap atau ”mesin uap”. Pencarian pun bisa memasukkan file spesifik, misalnya hanya file pdf. Contoh: jika ingin mencari dokumen pdf Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, kita bisa memasukkan ”taman nasional laut kepulauan seribu filetype:pdf”. Jika file yang dicari dalam Microsoft Word, tinggal mengisi filetype:doc.

Jika sudah tahu di situs mana akan dilakukan pencarian, bisa digunakan format ”site:nama situs”. Misal, jika ingin mencari kesehatan reproduksi di situs Kompas, bisa diketik: ”site:kompas.com kesehatan reproduksi” (tanpa tanda kutip). Masih banyak tanda-tanda spesifik untuk meningkatkan pencarian dan semuanya bisa dicari di Google.

Kalkulator

Jika sudah di depan Google, tak perlu membutuhkan kalkulator. Coba langsung masukkan 245*234+123-45, hasilnya akan langsung terlihat. Google juga bisa langsung mengonversi satuan yang berbeda, misalnya jika ingin mengetahui 500 pounds itu berapa kg, bisa mengetikkan ”500 pounds in kg”.

Untuk mengonversi mata uang asing tak perlu menelepon ke sana kemari. Misal, jika ingin tahu 50 dollar Singapura itu ada berapa rupiah, tinggal mengetikkan ”50 SGD in IDR” (tanpa tanda kutip). IDR merupakan kode Indonesian rupiah.

Khusus yang menyukai buku, Google menyediakan alamat khusus di www.books.google.com. Berbagai ragam buku disediakan di sini.

Masih ada seabrek fitur, seperti google map yang mengintegrasikan Google Earth, google images untuk mencari khusus koleksi foto, google video, dan semua ada di internet.

***

Tips Pencarian

1. Prinsip pertama dalam menghadapi mesin pencari seperti Google atau Yahoo adalah jangan "under-estimate" dengan kemampuannya. Masukkan informasi sebanyak mungkin dalam pencarian itu.

2. Untuk mencari gambar, klik khusus pencarian khusus "images" dan video. Baik di Google maupun Yahoo, tersedia.

3. Google juga memiliki kamus penerjemah. Klik Language Tools di bagian bawah untuk menerjemahkan bahasa tertentu ke dalam bahasa yang Anda pahami. Namun, hanya bahasa besar dunia yang tersedia. Untuk English-Indonesia dan Indonesia-English, gunakan www.kamus.net.

4. Untuk memperdalam informasi, Wikipedia merupakan ensiklopedia terbuka. Untuk Wikipedia Bahasa Inggris, alamatnya http://en.wikipedia.org dan untuk Bahasa Indonesia di http://id.wikipedia.org. Sebagai ensiklopedia bebas, jika artikel di Wikipedia tidak bagus, kita bisa menyumbangkan artikel di situ. (AMR)

Wednesday, November 21, 2007

Biaya Kemacetan Lalu Lintas



Oleh : Teddy Lesmana

Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI

Suasana lalu lintas di Jakarta akhir-akhir ini diwarnai oleh kemacetan yang semakin parah. Di sisi lain, berkembang opini dari banyak pihak yang mengatakan bahwa semakin buruknya kondisi lalu lintas di Jakarta dikarenakan adanya pembangunan koridor-koridor baru busway. Pertanyaannya selanjutnya, apakah memang benar kemacetan di Jakarta belakangan ini disebabkan oleh busway?

Dari survei dan penelitian berikut ini memperlihatkan bahwa jauh sebelum dibangunnya proyek busway, Jakarta memang sudah semakin sesak dipadati kendaraan bermotor yang tumbuh kian pesat dari tahun ke tahun. Survei Arterial Road System Development Study (ARSDS) pada tahun 1985 mencatat, sebanyak 13 juta perjalanan atau trip dilakukan warga Jakarta setiap hari. Kemudian survei Study on Integrated Transportation Master Plan (SITRAMP) Fase 2 pada tahun 2002 mencatat peningkatan sekitar 30 persen, yakni menjadi sekitar 17 juta trip. Belum ditambah trip yang dilakukan para penglaju dari luar Jakarta.

Peningkatan ini jauh lebih besar daripada peningkatan penduduk Jakarta yang hanya sekitar 15 persen selama kurun waktu tersebut. Jumlah kendaraan pribadi yang lebih banyak dibanding kendaraan umum memperparah keruwetan transportasi di Jakarta. Perbandingan jumlah kendaraan pribadi dan kendaraan umum adalah 98 persen kendaraan pribadi dan 2 persen kendaraan umum. Padahal jumlah orang yang diangkut 2 persen kendaraan umum lebih banyak dari pada jumlah orang yang diangkut oleh 98 persen kendaraan pribadi. Dari total 17 juta orang yang melakukan perjalanan setiap hari, kendaraan pribadi hanya mengangkut sekitar 49,7 persen penumpang. Sedangkan 2 persen kendaraan umum harus mengangkut sekitar 50,3 persen penumpang.

Penelitian yang pernah dilakukan Japan International Corporation Agency (JICA) dan The Institute for Transportaion and Development Policy (ITDP) menunjukkan bahwa jika tidak ada pembenahan sistem transportasi umum, maka lalu lintas Jakarta akan mati pada tahun 2014. Perkiraan kematian lalu lintas Jakarta pada tahun 2014 itu didasarkan pada pertumbuhan kendaraan di Jakarta yang rata-rata per tahun mencapai 11 persen, sedangkan pertumbuhan panjang jalan tak mencapai 1 persen. Tercatat, setiap hari ada 138 pengajuan STNK baru yang berarti di setiap harinya Jakarta membutuhkan penambahan jalan sepanjang 800 meter.

Biaya tersembunyi
Kemacetan merupakan suatu indikasi di mana permintaan mendekati atau melebihi kapasitas desain infrastruktur transportasi. Ketika jumlah kendaraan yang melintasi suatu jalan mendekati kapasitas fisik fasilitas jalan yang ada, kecepatan berlalu lintas akan semakin lambat hingga merayap dan kemampuan keseluruhan perlintasan di jalan tersebut menjadi turun.

Dampak dari kemacetan adalah kerugian sosial yang diderita masyarakat lebih dari Rp 17,2 triliun per tahun akibat pemborosan nilai waktu dan biaya operasi kendaraan terutama bahan bakar. Belum lagi emisi gas buang diperkirakan sekitar 25 ribu ton per tahun. Bahkan, ada suatu perhitungan yang memperkirakan kerugian dari kemacetan lalu lintas ini mencapai Rp 43 triliun. Dampak pada tahap selanjutnya adalah menurunnya produktivitas ekonomi kota (bahkan negara) dan merosotnya kualitas hidup warga kota. Setidaknya ada dua 'subsidi' yang mendorong orang untuk mengendarai kendaraan pribadi dibanding menggunakan moda transportasi publik.

Pertama, jasa privat dalam hal ini mengendarai kendaraan pribadi dengan BBM bersubsidi yang dibayar oleh anggaran publik. Padahal setiap kenaikan harga minyak 1 dolar AS per barel, maka subsidi BBM akan naik sebesar Rp 3,15 triliun yang tentunya akan menggeser prioritas sektor publik yang dibutuhkan oleh masyarakat luas seperti pendidikan dan kesehatan. Kedua, biaya sosial yang tidak dibayar oleh para pengendara kendaraan pribadi. Pengendara hanya membayar biaya yang diperlukannya untuk mengoperasikan kendaraan, sementara biaya sosial seperti biaya atas polusi dan kemacetan lalu lintas tak dibayar oleh mereka.

Mencari solusi
Untuk mengurangi biaya ekonomi dan sosial yang timbul dari kemacetan lalu lintas, ada tiga pendekatan mendasar. Pertama, peningkatan kapasitas infrastruktur jalan raya dan transit. Kedua, memperbaiki manajemen penggunaan infrastruktur. Ketiga, pengenaan sistem harga yang harus dibayar untuk menggeser permintaan private driving, sehingga lalu lintas publik yang lebih penting untuk mengangkut penumpang secara massal dapat bergerak secara efektif sementara penggunaan kendaraan pribadi bisa digeser.

Menaikkan harga mengendarai mobil pribadi (private driving) sebagai bagian dari pergeseran pajak berbasis sumber daya akan menginternalisasikan biaya mengendarai kendaraan pribadi kepada masyarakat. Biaya-biaya ini mencakup biaya yang umum dikenal oleh masyarakat seperti waktu, energi, material, kesehatan, dan sebagainya, juga subsidi yang secara artifisial mengurangi harga mengendarai. Karena ketika para pengguna kendaraan bermotor tidak menanggung full cost, maka efek dari subsidi secara signifikan mengurangi biaya untuk menggunakan kendaraan pribadi jauh di bawah harga sebenarnya. Hal ini mendorong orang untuk lebih senang menggunakan kendaraan pribadi. Fenomena ini umum ditemui pada hampir semua produk atau jasa yang secara artifisial dihargai di bawah harga pasar (market price) yang sebenarnya.

Biaya-biaya sosial seperti turunnya kualitas udara yang timbul sebagai dampak dari kemacetan lalu lintas tidak akan hilang begitu saja hanya karena para pengendara kendaraan pribadi tidak membayarnya. Biaya sosial tersebut ditanggung oleh masyarakat secara keseluruhan termasuk mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Secara teoritis, jika biaya yang sebenarnya dari penggunaan kendaraan pribadi dapat ditentukan dengan mengkuantifisasi subsidi, harga akan dapat dinaikkan untuk merefleksikan biaya yang sebenarnya dari penggunaan kendaraan pribadi tersebut. Pada gilirannya hitungan ini akan memengaruhi pilihan-pilihan terhadap penggunaan moda transportasi publik melalui kekuatan-kekuatan pasar (market forces).

Teori yang melatarbelakangi analisis ini adalah jika biaya-biaya yang selama ini tak terlihat dari penggunaan kendaraan pribadi dapat nyata diperlihatkan dalam bentuk pajak atau mekanisme lain yang menaikkan harga terhadap pengguna kendaraan, dampak positifnya bakal terlihat. Kota yang lebih bersih dan hidup, penghematan konsumsi energi, dan berkurangnya emisi gas polutan udara yang menyebabkan pemanasan global, akan dapat diwujudkan.

Selain pengenaan disinsentif terhadap penggunaan kendaraan pribadi, penyadaran akan perlunya penghematan energi dengan merubah paradigma masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi berdasarkan fungsi ekonomis bukan hanya sekedar prestise status sosial. Sementara itu, sebagai kompensasi dari peningkatan pengenaan pajak atas kendaraan pribadi, kualitas dan kuantitas moda transportasi publik yang cepat, aman, dan nyaman harus disediakan oleh pemerintah.

Ikhtisar
- Peningkatan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta telah membawa kerugian sosial maupun ekonomi yang tidak sedikit.
- Selama ini warga tidak melihat secara langsung nilai nominal kerugian tersebut, sehingga mereka belum menganggapnya sebagai kerugian.
- Pemerintah harus membuat hitungan nominal yang jelas, sehingga warga bisa melihat langsung kerugian dari penggunaan kendaraan pribadi.

Monday, November 19, 2007

Perlu Materi Akhlak Budi Pekerti

Jakarta, Kompas - Berbagai kekerasan yang terjadi di sekolah tidak semata-mata tanggung jawab sekolah, tetapi juga masyarakat dan orangtua murid. Kekerasan yang terjadi pun bisa akibat pengaruh lingkungan masyarakat, media, maupun secara tidak sengaja sekolah menerapkan struktur kekerasan.

"Kejadian kekerasan di sekolah banyak yang mengeluhkan itu persoalan akhlak dan budi pekerti," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo seusai rapat koordinasi bidang kesejahteraan di Jakarta, Selasa (13/11). Meski demikian, Mendiknas tidak menyinggung kewajiban sekolah menerapkan pelajaran budi pekerti.

Mendiknas hanya mengharapkan agar orangtua berperan aktif mendidik anak-anaknya sehingga tidak mudah terpengaruh oleh teman-teman yang mungkin bisa menjerumuskan mereka. Mata rantai kekerasan harus diputuskan dengan memberi pendidikan yang baik kepada anak-anak.

Pembelajaran kreatif

Secara terpisah, sejumlah sekolah mulai mengembangkan pembelajaran kreatif, misalnya di SD Citra Berkat Surabaya. "Sekolah ini mengembangkan pembelajaran kreatif dengan memanfaatkan kurikulum nasional yang diperkaya dengan pendidikan karakter dan entrepreneurship," kata Endang Trisulistowati, Kepala SD Citra Berkat Surabaya, Selasa.

Menurut dia, guru sekarang ini tidak bisa lagi menempatkan dirinya sebagai pentransfer ilmu yang menjadikan guru sebagai pusat pengetahuan. Justru pembelajaran harus mendorong siswa kreatif dan dengan menggali segala potensi dirinya.

"Karena itu, di sekolah ini siswa diberi keleluasaan untuk mengeluarkan pengetahuan dan ide-ide yang muncul selama proses belajar," kata Dwi Sunu, Kepala Pusat Kurikulum untuk Pendidikan Kewirausahaan YayasanCiputra Entreprenir Surabaya.

Agar tidak membelenggu kreativitas siswa, sekolah ini meniadakan buku-buku teks wajib. Pembelajaran dilaksanakan dengan berfokus pada tema, lalu siswa diberi kebebasan untuk mencari sumber belajar. Guru berperan agar kreativitas sesuai koridor. (LOK/ELN)

726 Bahasa Daerah Terancam Punah



Bisa Dipelihara Melalui Komunitas

Bandar Lampung, Kompas - Sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah karena generasi muda enggan memakai bahasa tersebut. Bahkan, kini hanya tersisa 13 bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur di atas satu juta orang, itu pun sebagian besar generasi tua.

"Anak muda sekarang cenderung memakai bahasa asing dan bahasa nasional daripada bahasa daerah di dalam kehidupan sehari-harinya," kata Kepala Bidang Pembinaan Pusat Bahasa Mustakim di sela-sela Kongres Bahasa-bahasa Daerah Wilayah Barat di Bandar Lampung, Selasa (13/11).

Menurut Mustakim, sebanyak 13 bahasa daerah yang jumlah penuturnya lebih dari satu juta penutur adalah Bahasa Jawa, Bahasa Batak, Sunda, Bali, Bugis, Madura, Minang, Rejang Lebong, Lampung, Makassar, Banjar, Bima, dan Bahasa Sasak.

Bahkan, tidak sedikit bahasa daerah yang jumlah penuturnya kurang dari satu juta bahkan hanya tinggal puluhan penutur saja. Di antaranya bahasa di daerah Halmahera, Maluku Utara, yang jumlah penuturnya sangat terbatas.

Salah satu faktor penyebab terjadinya penurunan jumlah penutur adalah akibat pengaruh budaya global. Pengaruh budaya itu menyebabkan generasi muda lebih suka berbicara dengan menggunakan bahasa nasional Bahasa Indonesia, sesekali diselingi dengan menggunakan bahasa asing, daripada dengan bahasa daerah.

Cinta bahasa daerah

Kepala Kantor Bahasa Lampung Agus Sri Dhanardana mengatakan, untuk menumbuhkan dan melestarikan bahasa daerah, Pusat Bahasa bekerja sama dengan balai-balai bahasa di setiap provinsi di Indonesia menggiatkan kembali kecintaan generasi muda pada pemakaian bahasa daerah. Selain itu, pemakaian bahasa daerah bisa digarap melalui komunitas-komunitas sastra, lembaga-lembaga bahasa, ataupun jalur pendidikan formal di sekolah.

Akan tetapi, tindakan yang lebih konkret untuk mempertahankan bahasa daerah adalah dengan menerapkan langsung bahasa daerah itu dalam kehidupan sehari-hari.

Mustakim mencontohkan, bahasa daerah juga bisa dipakai dalam percakapan di rumah, untuk nama jalan, nama bangunan, nama kompleks perkantoran, nama kompleks perdagangan, merek dagang, ataupun nama lembaga pendidikan. Nama-nama dalam bahasa daerah itu bisa ditulis di bawah nama dalam bahasa Indonesia.

Lebih lanjut Mustakim mengatakan, pemerintah sebetulnya juga telah menunjukkan keberpihakannya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa Nasional dan Daerah. "Peraturan itu seharusnya bisa menjadi pedoman setiap kepala daerah melestarikan bahasa daerah masing-masing," kata Mustakim.

Meski demikian, menurut Mustakim, peraturan yang paling mengikat untuk bisa melestarikan bahasa daerah dan menghindarkan dari kepunahan adalah diterbitkannya undang-undang bahasa. (HLN)

Kehidupan Sosial


Pondok Indah dan Perubahan

Rhenald Kasali

Perlawanan orang-orang Pondok Indah, Jakarta, terhadap pembangunan busway, meski terbilang peristiwa kecil di negeri ini, mencerminkan betapa rumitnya bangsa ini menghadapi perubahan.

Pemimpin dan yang dipimpin sama-sama keukeuh dengan pendiriannya dan menutup pintu percakapan. Padahal, tidak perlu diragukan lagi, semua orang menginginkan perubahan. Seperti warga Jakarta lainnya, penduduk Pondok Indah (PI) juga ingin punya jalan yang lebih bagus, fasilitas publik yang memadai, pelayanan kesehatan yang maju, pusat belanja yang lengkap, dan tentu saja investasi rumah yang nilainya terjaga. Dan, seperti warga perumahan lainnya, yang terjadi warga justru membangun portal dan menutup akses. Padahal, untuk perubahan semua harus berani berkorban. Namun, perubahan memerlukan lebih dari sekadar pengorbanan, yaitu dialog, kebersamaan, dan akal yang jernih.

Pengorbanan rakyat

Jauh sebelum PI ada, bagi saya ujung selatan Kota Jakarta adalah Kebayoran. Tahun 1960-an saya menghabiskan masa kanak-kanak saya di Jalan Radio Dalam yang jalannya belum beraspal. Kalau hujan turun, Jalan Radio Dalam selalu penuh lumpur dan banyak orang terpeleset.

Ujung Kebayoran Baru ada di ujung jalan itu, tepatnya di kawasan dekat kebun-kebun karet tempat kegiatan pramuka. Namanya Margaguna. Setelah itu, tidak ada jalan tembus sebelah selatannya. Sekarang Margaguna masih ada, namun ia bukan ujung lagi karena pada akhir tahun 1970-an sebuah kawasan mewah telah berdiri di sebelahnya, yaitu PI. Kawasannya sangat luas dan rumahnya besar-besar.

Untuk menghidupkan kawasan PI, mau tidak mau akses jalan di sekitarnya harus dibuka. Jalan Radio Dalam pun dilebarkan dan diaspal. Seingat saya, lebih dari separuh luas halaman rumah kami diambil negara demi pelebaran jalan dan jadilah kami korban gusuran.

Pengorbanan penduduk tidak terbatas hanya itu saja. Kawasan permukiman yang tadinya akrab, berubah menjadi kawasan dagang yang resmi, berjarak, bising dan macet, namun harga tanahnya melonjak.

Bukan ujung Jakarta lagi

Akses Jalan Radio Dalam yang dibuka menjadikan kawasan itu bukan ujung lagi. PI-lah ujungnya. Namun, sekarang PI sudah bukan ujung Jakarta lagi. Di sebelah selatannya telah berkembang kawasan-kawasan permukiman yang lebih baru. Bahkan, ia menjadi jalan utama bagi sepak bola mania yang akan menuju Stadion Lebak Bulus. Namun, jalan PI tetap ramping dan asri dengan jalan-jalan perumahan.

Dari posisinya yang semula di ujung, PI berubah menjadi titik sentral penduduk kawasan selatan Jakarta. Pusat perbelanjaannya berubah menjadi sangat besar dengan fasilitas fitness dan bioskop yang modern. Rumah sakitnya juga besar. Bank, kafé, laundry, lapangan golf, boling, dan hotel semua ada di sana. Aksesnya pun terbuka pada berbagai sisi. Semua itu menjadikan harga rumah di Pondok Indah menjadi sangat tinggi dan digemari bukan hanya oleh para eksekutif dan politisi, melainkan juga artis-artis muda yang sedang populer.

Perubahan yang terjadi perlahan-lahan tentu saja tidak begitu terasa kalau Anda bukan orang lama yang mengenal kawasan itu. Yang mereka tahu cuma jalanan makin hari makin macet, tempat usaha makin banyak, dan sebagian penduduknya mulai merasa tidak nyaman.

Dengan permukiman baru yang melingkarinya, mau tidak mau penduduk harus berbagi jalan. Tetapi, bukannya dibuka, banyak akses jalan alternatif di situ malah ditutup dengan portal-portal besi. Bagi pengguna jalan ini sungguh keterlaluan. Adapun sebagian jalan yang menghubungkan ke luar menuju jalan tol, diberi banyak polisi tidur sehingga mobil harus berjalan perlahan-lahan. Di sana tertulis: Bukan Jalan Umum.

Percakapan perubahan

Apa yang terjadi di sini tentu saja bukan hanya monopoli warga PI. Di mana-mana di negeri ini terdapat kecenderungan masyarakat untuk menutup akses bagi orang lain. Mereka menutup jalan menuju sekolah, tempat ibadah, rumah sakit, tempat belanja, jalan tembus, dan permukiman penduduk lama. Para pendatang itu merasa, merekalah yang paling berhak memakai dan menguasai kawasan karena mereka pulalah yang merawat dan membiayainya.

Benturan yang terjadi di jalan akses PI, saat Pemprov DKI akan membangun busway sebenarnya bukan masalah kecil. Rasa kepemilikan yang begitu besar di kawasan permukiman tentu berbeda dengan rasa kepemilikan penduduk di sekitar jalan-jalan protokol/perkantoran yang saat dijalankan proyek busway tidak menimbulkan protes warga sekitar. Sikap dasar manusia sebenarnya sederhana saja, yaitu ingin tempat tinggalnya asri dan aman.

Pembangunan busway, meski menimbulkan banyak perdebatan, sebenarnya didasari niat yang baik, yaitu memperbarui transportasi massal. Pembaruan atau perubahan tentu saja memerlukan kesepahaman dan energi yang sangat besar. Keterdesakan (sense of urgency) untuk mengatasi kemacetan telah mendorong gubernur bekerja cepat. Tetapi, kala ia menembus kawasan permukiman, perubahan fisik saja tidaklah cukup. Perubahan itu harus menyentuh mindset, sikap mental atau cara berpikir masyarakat dan aparat. Sebab, saat satu komponen berubah, keseluruhan sistemnya pun dituntut berubah.

Kita tidak bisa menyimpulkan begitu saja bahwa penduduk menutup jalan karena ego mereka. Sikap itu dibentuk oleh pemahaman, pengalaman, dan persepsi masyarakat tentang pengorbanan. Kala pengorbanan terhadap perubahan dirasa lebih besar dari benefit yang akan diterimanya, maka resistensi mencuat. Ini adalah sisi lain dari perubahan yang perlu diatasi pemerintah-pemerintah daerah.

Di sisi lain, sikap pemprov yang membangun busway di jalur yang sempit dan mengorbankan lingkungan asri yang dibutuhkan warga telah menambah lebar persepsi sebagai looser (kerugian, kekalahan).

Dalam setiap perubahan diperlukan percakapan. "Everything happens through conversation" kata Judith G Glaser dalam bukunya, The DNA of Leadership. Bahasa dan cara-cara yang kita pakai dalam berkomunikasi akan menentukan komunitas, hubungan, peradaban, dan masa depan. Kita harus memilih, apakah ingin terus mempertahankan budaya saling menyalahkan (culture of blame) dengan saling menunjuk hidung, fokus pada apa yang tidak bisa dikerjakan oleh orang lain, atau budaya saling menghargai (culture of appreciating), dan fokus pada apa yang bisa kerjakan bersama. Mari kita bangun peradaban yang lebih sehat.

Rhenald Kasali, Staf Pengajar UI