ST SULARTO
Negara Indonesia bukanlah negara agama. Namun, organisasi keagamaan, para tokoh agama, dan kelompok-kelompok lintas agama berperan penting dalam perjalanan sejarah negeri ini. Sebagai "penjaga moral publik", mereka punya kontribusi mengingatkan moralitas kekuasaan bersumber dari dan untuk rakyat. Pemikiran, bahkan gerakan sekalipun, senantiasa berangkat dari niat tulus demi kemaslahatan bersama.
Oleh karena itu, ketika sejumlah tokoh lintas agama bertemu, kali ini diprakarsai Maarif Institute dan Yayasan Visi Anak Bangsa, Jumat (16/11), peristiwa itu perlu ditempatkan dalam proporsi kepekaan dan komitmen terhadap persoalan kebangsaan. Meminjam istilah Syafii Ma’arif dalam pertemuan itu, "Tergerusnya kepekaan pada nasib bangsa dan negara ini mendorong kami untuk melakukan gerakan moral".
Pernyataan Buya Syafii disambung tokoh Buddha, Bhiku Sri Panjavaro Mahathera. "Memang deklarasi, pernyataan, ajakan, ataupun gerakan belakangan ini menjamur, tetapi para tokoh agama yang berangkat dari niat tulus sudah sepantasnya menyampaikan sesuatu yang sifatnya mengingatkan." Katakan sebuah gerakan moral. Latahnya deklarasi, pernyataan dan gerakan menjadi cair, tidak lagi sekadar meriuhkan suasana. Moralitas yang disampaikan menyangkut ajakan kembali pada jati diri takhta kekuasaan berasal dari dan untuk rakyat; sesuatu yang melawan arus utama mengedepankan sisi negatif kekuasaan melik nggendong lali.
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini dirumuskan "sedang sakit" atau menurut istilah filsuf wanita Hannah Arendt (1906-1975) sebagai sedang mengalami krisis spiritual. Dalam kondisi krisis itu, kepedulian—dalam pemikiran Arendt bukan sekadar masalah emosi dan empati melainkan bertindak—dikesampingkan. Tidak adanya kepekaan dan kepedulian, penumpukan kekuasaan menjadi tujuan utama sehingga berlaku petuah klasik Niccolo Machiavelli (1469-1527)-repotnya sering dikutip keluar dari konteks "untuk memperoleh, memperbesar dan melestarikan kekuasaan, tujuan menghalalkan cara". Benar pula penjelasan psikologis tentang merebaknya agresivitas dan kekerasan yang terjadi belakangan ini bahwa ada kaitan erat antara frustrasi dan katarsis sebagai perwujudan energi yang tersumbat. Frustrasi membangkitkan energi agresif.
Kerangka teoretis di atas menjelaskan kejadian-kejadian tidak masuk akal belakangan ini. Sekadar disebut kasus Adelin Lis yang mengesampingkan konteks keadilan formal dan rasa keadilan; motivasi partai-partai politik bukan untuk kesejahteraan umum, tetapi kepentingan perebutan kekuasaan; gencarnya pemberantasan korupsi ditorehkan cela RUU Pemberantasan Korupsi yang mencantumkan pasal ringan untuk pejabat publik; dan seterusnya.
Bangsa yang sakit
Mengenai sakitnya bangsa-masyarakat Indonesia, Mohamad Sobary menambahkan, bangsa yang sakit menyebabkan hilangnya orientasi nilai. Entah karena rasa tidak aman atau karena kekuasaan senantiasa menuntut lebih (bdk. Lord Acton dengan rumusnya "kekuasaan cenderung korup"), fenomena primordial meruyak yang dalam arti tertentu adalah kerinduan untuk mengelompok, eksklusif dan merasa solid dalam kelompoknya. Ke-kita-an menipis, ke-kami-an bahkan ke-aku-an mengental. Hubungan sesama dikategorikan dalam aku dan kamu, kawan dan lawan. Keadaan ini dia sebut sebagai bangsa Indonesia dalam situasi "ketercabutan budaya".
Demokratisasi vs kemiskinan
Fakta yang terjadi dan penjelasan atasnya menegaskan bangsa ini memang "benar-benar sedang sakit", yang menurut tokoh Hindu, Luh Ktut Suryani, di antaranya ditengarai setiap dua hari sekali di negeri ini ada orang bunuh diri atau perilaku pengendara sepeda motor yang tidak mematuhi rambu lalu lintas. Politik uang yang merajalela, kata Luh Suryani, menjadi salah satu faktor mengapa setiap pemimpin tidak merasa aman. Rasa tidak aman mengakibatkan mereka sibuk mengamankan diri, tidak sempat memberi perhatian lebih pada kepentingan rakyat banyak, sebab yang dilakukan adalah secara sadar terus-menerus menjaga citra.
Masih besarnya jumlah orang miskin disorot Uskup Agung Jakarta, Julius Kardinal Darmaatmadja SJ. "Selama di negeri ini masih banyak orang miskin, demokratisasi belum ada," ujarnya. Demokrasi tidak bisa dibangga-banggakan selagi masih ada orang miskin. Barometer demokratisasi adalah tidak adanya lagi yang kuat memakan yang lemah. Demokratisasi terjadi kalau yang lemah dan yang kuat saling menghormati dan menghargai. Kemiskinan, kata Kardinal Darmaatmadja, tidak bisa diatasi dengan pemberian. Pemberian hanya dibenarkan pada saat menderita dan bersifat karitatif, sedekah. Pengentasan masyarakat miskin mesti dilakukan terprogram, menuntut kesediaan menghargai kemanusiaan—jati diri prinsip kehidupan demokratis—di antaranya lewat penyediaan lapangan kerja.
Data dan realitas kemiskinan penduduk negeri ini belum satu kata. Selalu ada perbedaan angka/data antara versi pemerintah dan versi masyarakat, termasuk para ahli, antara 19 juta dan 30 juta. Jumlahnya 30 juta atau 19 juta? Berkurang atau bertambah? Pro dan kontra tak pernah jelas argumentasinya. Masing-masing menyodorkan data plus argumentasi masing-masing. Namun yang jelas, Rapat Pleno Komisi IV DPR, awal Oktober 2007, memutuskan jumlah penerima beras untuk rakyat miskin tahun 2008 meningkat 19,1 juta rumah tangga dari 15,78 juta pada tahun 2007. Jadi angka, data, dan argumentasi mana yang lebih masuk akal? Hal yang sama, termasuk dalam kepastian angka, menyangkut jumlah pengangguran.
Masa depan negeri ini dihadapi dengan pesimisme? Tidak, jawab Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Andreas Yewangoe. Agama harus membangun harapan. Masa depan Indonesia yang tergambar memprihatinkan harus dihadapi dengan optimistis. Caranya? "Manfaatkan kekayaan negeri ini. Kita kaya," kata Faisal Basri, ekonom dari FE UI, Jumat siang itu.
Faisal Basri menunjukkan data kekayaan negara yang belum dimanfaatkan atau sudah dimanfaatkan, tetapi tidak dipakai untuk menyejahterakan rakyat. Impor minyak mentah Indonesia lebih besar dibandingkan ekspor, jelas memprihatinkan. Kekayaan tidak terbagi merata. Besarnya jumlah orang miskin, sementara di Singapura orang Indonesia termasuk pemborong terbesar rumah-rumah real estat, merupakan bukti tidak meratanya kesejahteraan.
Pengusaha, kelompok yang perlu diberi tempat selain birokrasi dan lembaga swadaya masyarakat dalam membangun masyarakat warga—ide yang menjadi obsesi sejumlah pemikir, di antaranya Jakob Oetama—dengan lisensi mengelola kekayaan alam harus mengembalikannya kepada rakyat. Safari ke berbagai negara, apalagi persiapan untuk menyelenggarakan pertemuan tentang pemanasan global di Bali, Desember 2007, seolah-olah mencibir Indonesia tentang penggundulan hutan yang menjadi salah satu biang pemanasan global. Di antaranya, data bahwa pada tahun 2006 Indonesia mengumumkan China telah memesan 800.000 meter kubik kayu Indonesia senilai satu miliar dollar AS guna konstruksi Olimpiade 2008 (International Herald Tribune, 1 Mei 2006). Indonesia saat ini di kalangan para pengamat asing berada dalam mini-crisis (Newsweek, 19 September 2005), yang kemudian ternyata diperparah oleh kenaikan harga minyak dunia hingga 95 dollar AS per barrel hari-hari belakangan ini.
Globalisasi dunia dengan "bapak kandung" neoliberalisme, dalam pertemuan setengah hari itu tidak sempat dijabarkan. Masalahnya sudah banyak dibahas, sudah diketahui duduk soalnya, yakni Indonesia bisa tergencet kalau asyik dengan persoalan dalam negeri dan bertengkar antarsesama.
Kenyataannya, elite negeri ini terkesan gamang dan kurang antisipasi. Padahal, seharusnya satu kata, yakni sistem perekonomian negeri ini lebih sesuai dijalankan dengan sistem pasar ekonomi sosial daripada neoliberalisme. Perkembangan ekonomi tak sepenuhnya diserahkan ke pasar, sebab yang terjadi adalah yang kuat kian kuat dan memakan yang lemah. Ekonomi diserahkan pasar, tetapi perlu regulasi dari pemerintah yang berpihak pada yang kecil-lemah-masyarakat kebanyakan.
Pemimpin yang merakyat
Dalam karut-marut memprihatinkan itu, para tokoh lintas agama sepakat membangun optimisme lewat hadirnya seorang pemimpin yang tidak serakah. Mereka tidak perlu sevisioner seperti Bung Sjahrir, Bung Karno, Bung Hatta. Dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu menangani kekayaan negara ini untuk kemaslahatan rakyat, yang berani mengambil keputusan-keputusan tidak populis, yang tampil tidak melulu "jaga image" (jaim), yang bertanggung jawab atas kekuasaan yang diembannya dari rakyat. Pendeknya seorang pemimpin yang merakyat, yang perhatian dan komitmennya adalah kesejahteraan umum.
Dalam waktu dekat-dekat ini, adakah pemimpin "impian" seperti itu? Memang, menyebut nama selalu dengan reserve. Seolah-olah bangsa ini kekurangan pemimpin yang kapabel, yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak. Muncul gagasan perlunya menghadirkan—bagi media berarti memanggungkan—tokoh-tokoh pemimpin di tingkat daerah ke panggung nasional. Entah seorang bupati, seorang gubernur, atau bahkan pemimpin di luar jalur politik—yang dari sisi lain berarti perlunya diberi kesempatan calon pemimpin lewat jalur nonpartai; tidak perlu juga "menyewa seorang pemimpin nasional dari luar" seperti seloroh Buya Syafii.
Siapakah mereka?
No comments:
Post a Comment