Monday, November 19, 2007

Anak di Tengah Imperialisme Kultural


William Chang

Immaturitas anak memerlukan perlindungan dan perhatian, terutama di bidang hukum dan kebudayaan, baik sebelum maupun sesudah kelahiran. Hormat kepada anak adalah hormat kepada kemanusiaan (Silvano Tomasi CS).

Tak terbendung dampak informasi dan teknologi (IT) dalam dunia anak-anak. Beberapa anak sekolah, misalnya, men-smack down temannya hingga terluka, bahkan meninggal. Beberapa sekolah di negara maju berusaha mendidik anak sekolah menonton televisi secara lebih kritis. Menanggapi "melek media", muncul kurikulum "Anak- anak dan Televisi: Mengajar Anak- anak Bijaksana Menonton" (Claudine Goller dari Scarborough Alternative School di Ontario).

Tanpa bimbingan orangtua dan pendidik, anak akan mengalami disorientasi hidup. Produk media berupa tayangan sensasional dan eksentrik cepat merebut minat anak. Sementara itu, proses pendidikan nilai merangkak lamban sebab anak-anak terkepung budaya konsumtif dan hedonis. Talenta individual tidak digarap maksimal.

Sajian media tidak identik vitamin yang selalu "sehat" bagi anak-anak. Daya sensor anak perlu dipertajam sehingga tidak mudah terjerembab ke dalam kegelapan. Nilai-nilai dalam kearifan lokal dibangkitkan kembali dalam dunia pendidikan. Kemajuan IT acap membuat anak-anak memasuki dunia baru tanpa pembekalan kultural.

Imperialisme kultural

Imperialisme ini sebenarnya menggelora sejak pertengahan tahun 1960-an-1980-an terkait teori-teori populer tentang ketergantungan ekonomi dan sistem dunia. Imperialisme ini menyentuh kesadaran pelaku ekonomi dan sosiolog akan dominasi AS atas hidup ekonomi dan masyarakat di Amerika Latin.

Berbagai kekuatan ekonomi dan kebudayaan kalangan penguasa metropolitan memiskinkan negara, daerah, atau masyarakat di negara berkembang.

Produk-produk kultural, seperti program televisi, film, dan komik sering diserap anak-anak tanpa saringan kritis. Rasa superioritas kultural dalam program media akan melahirkan imperialisme kultural. Berbagai kebudayaan tertentu, misalnya AS dan Eropa Barat, memiliki daya tarik khusus bagi anak-anak zaman sekarang. Mereka lebih cenderung menyesuaikan diri dengan "budaya impor" daripada menjunjung "budaya tradisional".

Kini konsep imperialisme kultural mulai diganti gagasan tentang globalisasi. Imperialisme kultural ini, menurut Ali Rattansi (City University, London), merupakan konsekuensi otomatis dari kekuasaan ekonomi dunia. Anak-anak dalam setiap keluarga perlu dibekali dan dilatih agar sanggup menghargai nilai-nilai leluhur bangsa, meski dalam era global baru ini diperlukan transformasi atas kebudayaan kita.

Tanggung jawab komunitarian

Di tengah era imperialisme kultural pembentukan watak dan perilaku anak menjadi agenda penting dalam pembinaan kepribadian. Perilaku yang amat mewarnai dunia anak-anak kini adalah agresif, bermusuhan, dan bandel. Biasanya perilaku negatif ini muncul sebagai mismanajemen emosi, pengaruh lingkungan dan tontonan audio-visual. Rasa takut dan cemas yang berlebihan dapat menimbulkan perilaku negatif dalam hidup sehari-hari (bdk. Melinda J Hill).

Pembentukan dan perkembangan watak anak-anak merupakan tanggung jawab segenap komunitas lokal. Oleh karena itu, pendidikan nilai yang dimotori sekolah perlu melibatkan segenap anasir masyarakat. Berbagai sumbangan yang dapat disalurkan komunitas, antara lain, mencakup (1) dukungan dalam proses penanaman nilai-nilai dalam pribadi anak; (2) keterlibatan langsung dengan membina anak; (3) kerja sama dengan dunia pendidikan formal untuk memerangi minuman keras, rokok, dan narkoba (T Lickona, Educating for Character, 1992, 414-417).

Bagaimanakah kita bisa membantu anak-anak kita sehingga tidak menjadi "korban" di tengah imperialisme kultural? Kesanggupan anak-anak untuk memilih yang terbaik perlu diasah terus dengan mengandalkan kecerdasan majemuk. Berbagai kearifan lokal warisan nenek moyang kita diinternalkan dalam hidup bersama sebagai sebuah masyarakat warna-warni. Mengingat imperialisme berwajah globalisasi ini telah menyusup ke hampir semua segmen hidup, program pembenahan anak-anak perlu diprioritaskan dalam mewujudkan kesejahteraan umum.

Kini tiba saatnya untuk lebih memerhatikan dan mengurus anak-anak dalam kandungan ibu, keluarga, sekolah, perempatan jalan, kolong jembatan, dan yang di-"obyek"-kan sebagai sumber rezeki. Keseriusan mengurus anak-anak berarti keseriusan memerangi imperialisme kultural dan keseriusan menyiapkan masa depan bangsa. Kemungkinan besar anak-anak kita akan tergulung ombak imperialisme kultural jika tak dibekali nilai-nilai kultural yang membangun kepribadian.

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus

No comments: