Wednesday, April 16, 2008

Kaya karena Bisnis atau Warisan


M Fajar Marta / Joice Tauris Tanti

Ada pepatah yang mengatakan, ada tiga cara menjadi kaya, yaitu memperoleh warisan, menikah dengan orang kaya, dan bekerja lebih keras.

Menurut laporan Asia Pacific Wealth Report 2007 yang dikeluarkan oleh Capgemini dan Merrill Lynch, Maret 2007, wilayah Asia Pasifik memiliki 2,6 juta orang kaya dengan dana sebesar 1 juta dollar AS atas aset-aset finansial, tidak termasuk rumah utama. Kelompok ini disebut sebagai high net worth individual (HNWI). Jumlah HNWI di Asia Pasifik ini naik 8,6 persen dari 2005 dan lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan global yang 8,3 persen pada 2006.

Indonesia merupakan negara yang memiliki pertumbuhan orang kaya tercepat ketiga di dunia, sebesar 16 persen pada tahun 2006. Singapura dan India menempati urutan pertama dan kedua, masing-masing dengan pertumbuhan sebesar 21,2 persen dan 20,5 persen tahun 2006.

Pertumbuhan ekonomi yang cukup baik mendorong pula pertumbuhan orang kaya di kawasan Asia Pasifik. Pertumbuhan ditopang oleh konsumsi pemerintah dan swasta serta investasi dan produktivitas di kawasan. Selain itu, pasar modal juga berkembang dengan pesat di tengah merebaknya isu flu burung dan tingginya harga minyak.

Kinerja indeks di Bursa Efek Jakarta, sekarang Bursa Efek Indonesia (BEI), juga membantu Indonesia menjadi tanah air bagi salah satu pertumbuhan populasi HNWI tercepat di dunia. Kapitalisasi pasar BEI naik 70,6 persen dan indeks naik 55,3 persen tahun 2006 sehingga BEI menjadi bursa berkinerja terbaik di antara sembilan bursa terbaik di dunia pada tahun itu. Faktor tersebut membantu perkembangan populasi hingga 16 persen tahun 2006. Kekayaan kelompok ini mencapai 71,2 miliar dollar AS pada akhir 2006.

Secara umum, memiliki bisnis atau menjual sebuah bisnis merupakan sumber utama akumulasi kekayaan. Data dari laporan itu menunjukkan, HNWI di Indonesia 51 persen mendapatkan kekayaannya dari bisnis dan 15 persen dari pendapatan. Sebaliknya di Jepang, 30 persen HNWI mendapatkan kekayaan dari warisan dan 28 persen dari bisnis. Warisan juga menjadi sumber kekayaan terbesar di tempat kedua di Hongkong, India, dan Singapura. Sedangkan di Jepang, Indonesia, Korea Selatan, dan Taiwan pendapatan merupakan sumber kedua kekayaan. Di Australia dan China, opsi saham merupakan sumber kekayaan kedua.

Terlihat bahwa menjadi pebisnis lebih besar peluangnya dalam mengumpulkan kekayaan dibandingkan dengan mengandalkan pendapatan atau warisan. Semangat wiraswasta, menciptakan lapangan pekerjaan, dan tidak mengandalkan pihak lain untuk mencarikan lapangan kerja merupakan etos yang seharusnya dikembangkan. Belakangan ini banyak muncul ungkapan ”Jangan lama-lama jadi karyawan kalau ingin kaya”. Mungkin ada benarnya juga. Tentu saja semangat ini harus pula didukung oleh kemampuan berwiraswasta yang tahan banting.

Selanjutnya pendapatan merupakan sumber kekayaan kedua. Selain pendapatan aktif yang didapat dari bekerja, ada pula pendapatan pasif yang didapatkan tanpa bekerja secara fisik. Istilahnya, biarkan uang yang bekerja untuk Anda. Melalui investasi, misalnya. Dana yang ditanamkan dalam deposito, saham, reksa dana, obligasi, dan penyewaan properti memberikan penghasilan tambahan yang dapat diputar lalu diakumulasikan menjadi kekayaan. Asal saja tetap tenang menghadapi situasi seperti sekarang ini dan memiliki pandangan investasi jangka panjang, investasi akan menghasilkan. HNWI di Indonesia mengalokasikan investasinya 34 persen pada properti dan 29 persen saham.

Jadi, mau masuk kelompok HNWI melalui cara yang mana, sepenuhnya terserah Anda.

Diincar

Kelompok nasabah semacam inilah yang diincar bank, diservis sepenuhnya ke mana pun pergi dan apa pun keinginannya. Pendeknya, mereka sangat dimanjakan oleh bank. Pelayanan khusus inilah yang disebut wealth management semakin populer di bank-bank belakangan ini.

Vice President Head Investment Service Bank Permata Karma P Siregar mengatakan, terdapat sejumlah faktor yang membuat bisnis wealth management marak di Indonesia.

Pertama, mengikuti perkembangan pasar keuangan global, mulai terjadi konvergensi dan penjualan silang (cross selling) produk-produk keuangan, seperti asuransi, multifinance, pasar modal, dan perbankan.

Karena pasar keuangan di Indonesia masih didominasi perbankan, maka perbankanlah yang menjadi pusat dari konvergensi tersebut. Perusahaan asuransi, multifinance, dan manajer investasi beramai-ramai menggandeng bank, mulai dari memanfaatkan jaringan bank yang luas sebagai agen pemasaran hingga kerja sama membuat produk hibrida, yakni campuran produk tradisional bank, seperti tabungan dan deposito dengan produk pasar modal seperti obligasi.

Dari konvergensi inilah muncul juga istilah bancassurance atau produk bank yang diproteksi dengan asuransi.

Akibat tren ini, bank otomatis muncul menjadi lembaga dengan layanan satu atap (one stop service) karena mampu menyediakan seluruh produk dari berbagai lembaga keuangan. Potensi inilah yang membuat bank leluasa menjadi perencana keuangan nasabah, bagian terpenting dari wealth management.

Jenis bisnis bank ini jelas mutlak memerlukan aneka produk keuangan mengingat bisnis ini mengusung konsep untuk melindungi, mengembangkan, dan mewariskan secara bijak kekayaan yang telah ada. Tujuannya melestarikan kekayaan sekaligus membuat kekayaan tersebut benar-benar dapat meningkatkan kualitas hidup dan kebahagiaan pemiliknya.

Kedua, seiring penurunan suku bunga, nasabah tak bisa lagi mengandalkan produk tradisional bank, seperti deposito, untuk mendapatkan imbal hasil yang optimum. Alih-alih mengembangkan kekayaan, nilai riil uang yang ditaruh di deposito sesungguhnya justru turun mengingat bunga deposito neto sudah di bawah inflasi.

Karena itulah, nasabah bank membutuhkan pula produk pasar modal, seperti saham dan obligasi, yang biasanya memberikan imbal hasil yang lebih besar ketimbang deposito berjangka. Untuk mempertahankan nasabahnya, mau tidak mau bank harus menyediakan produk pasar modal yang pengelolaannya bekerja sama dengan manajer investasi. Nasabah yang memiliki banyak uang sehingga bisa mendiversifikasi portofolionya otomatis memerlukan asisten yang senantiasa memberikan informasi tentang segala hal yang terkait dengan keuangannya dan membantunya mengambil keputusan dalam pengelolaan uangnya. Nasabah dengan perlakuan khusus inilah yang dikelompokkan sebagai nasabah wealth management.

Ketiga, persaingan yang kian ketat membuat bank berpikir keras bagaimana mempertahankan nasabahnya tetap loyal. Dulu, pelayanan adalah segala-galanya. Bank yang bisa melayani dengan bagus pasti akan punya banyak nasabah. Namun, kini tidak lagi. Bank yang mampu menyediakan produk beragam dan mampu mengikat nasabahnya pada banyak produklah yang akan memenangi persaingan.

Keloyalan nasabah berbanding lurus dengan seberapa banyak jenis produk yang ia gunakan di satu bank. Jika nasabah hanya memiliki deposito, maka ia memiliki potensi keloyalan yang rendah. Ketika ada bank yang menawarkan suku bunga yang lebih tinggi, potensi ia pindah ke bank tersebut juga tinggi.

Namun, ini akan berbeda dengan nasabah yang selain memiliki deposito juga menggunakan jasa lain seperti kartu kredit, pembayaran telepon, listrik, TV berlangganan, dan telepon seluler di bank yang sama. Terlebih bila ia juga mengambil KPR. Penawaran suku bunga yang lebih menarik di bank lain tidak akan berarti apa-apa dibandingkan betapa repotnya ia memindahkan semua fasilitasnya ke bank lain.

Puisi Chairil Anwar Perkaya Bahasa Indonesia

Rabu, 16 April 2008 | 01:33 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Puisi-puisi karya Chairil Anwar tidak hanya membangkitkan semangat kebangsaan, tetapi juga memperkaya bahasa Indonesia. Lewat puisi-puisinya, Chairil Anwar telah mencengkeramkan pengaruhnya dalam dunia pendidikan, yang menjadikan anak-anak sekolah senang berpuisi, mencintai puisi, mencintai sastra, mencintai Indonesia.

Demikian benang merah yang mengemuka dalam diskusi Seri Tokoh Sejarah Berbicara dengan tema ”Mengusung Semangat Kebangsaan dengan Puisi-puisi Chairil Anwar”, Selasa (15/4) di Gedung The Habibie Center, Jakarta. Tampil sebagai pembicara adalah dosen sastra dari Universitas Indonesia Maman S Mahayana, budayawan Taufiq Ismail, dan anak Chairil Anwar, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Maman mengatakan, Chairil Anwar dalam perjalanan hidupnya yang pendek (26 Juli 1922-28 April 1949) berhasil menanamkan pohon kreativitas yang hingga kini masih terus berkembang-berbuah. Pohon kreativitas berupa sejumlah puisi dan esainya itu sampai sekarang masih terus berbunga-berbuah, sangat mungkin lantaran Chairil Anwar sendiri menanamnya sebagai sikap hidup.

Taufiq Ismail yang mengaku mengenal Chairil Anwar melalui orang-orang terdekatnya, seperti Gadis Rasyid, Dian Tamaela, dan HB Jassin, mengaku sejak SMA sudah membaca semua karya Chairil Anwar (ada 74 puisi).

Evawani, anak tunggal Chairil Anwar, bercerita tentang Chairil Anwar yang cenderung unik. Ia memanggil Evawani sebagai Iip dan meninggalkan pesan kepada ibu untuk tidak memanggil ayah, tetapi cukup dengan memanggil Chairil saja. ”Ini karena almarhum ingin menjadi seperti berteman dengan saya sebagai putrinya,” ungkapnya. (NAL)

Pemerintah Akan Kasasi Putusan PT tentang UN

Disarankan Pemerintah Bersikap "Legowo"
Rabu, 16 April 2008 | 01:35 WIB

Terkait dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tentang ujian nasional, pemerintah akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hal ini dilakukan karena ujian nasional sudah menjadi kebijakan nasional yang dinilai mampu meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional.

”Saya belum menerima putusannya secara resmi. Saya baru membaca dari media massa. Saya akan mempertimbangkan untuk mengajukan kasasi jika sudah membaca putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta itu,” kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo di Jakarta, Selasa (15/4), ketika dimintai tanggapannya atas keputusan pengadilan tinggi tersebut.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan warga negara atau citizen lawsuit, yang dilayangkan masyarakat yang dirugikan akibat ujian nasional (UN). Para tergugat, yakni Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban UN.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memerintahkan pemerintah agar meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah Indonesia sebelum melaksanakan UN.

Kurang pantas

Secara terpisah, Direktur Institute of Education Reform Universitas Paramadina Utomo Dananjaya mengatakan, dari sisi prosedur hukum sah saja jika pemerintah hendak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, secara moral, pemerintah jelas kurang pantas karena gugatan tersebut merupakan aspirasi rakyat, sedangkan pemerintah semestinya mendengarkan aspirasi rakyat, bukan malah menggugatnya.

”Pemerintah baiknya berlapang dada saja,” katanya.

Di Bandung, Wakil Koordinator Education Forum Yanti Sri Yulianti selaku salah satu pihak penggugat mengatakan puas atas putusan itu. Sejak lama putusan itu dinanti-nanti. Hanya, ia mempermasalahkan kenapa pemberitahuan itu baru muncul, padahal telah diputuskan sejak akhir Desember 2007. Ia curiga hal itu dilakukan agar hasil putusan tidak memengaruhi pelaksanaan ujian nasional yang kian dekat.

”Padahal, 18 Desember lalu kami sempat demo di Pengadilan Tinggi Jakarta sebab kok lama sekali putusannya keluar. Namun, tak ada penjelasan apa-apa dari pengadilan tinggi soal gugatan kami,” ujar Yanti Sri.

Pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Prof Said Hamid Hasan, berpendapat keputusan pengadilan tinggi menunjukkan ada kewajiban yang harus diselesaikan pemerintah sebelum melaksanakan ujian nasional.

”Meski tidak dibatalkan, seharusnya pemerintah menunda pelaksanaan ujian nasional sampai syarat yang diajukan untuk mencapai pendidikan sesuai standar dilaksanakan,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Iwan Hermawan mengatakan, pemerintah semestinya bijaksana dan legowo dengan putusan pengadilan tinggi tersebut. ”Tak perlu mengajukan kasasi karena putusan tersebut untuk kebaikan masyarakat,” ujarnya. (ELN/INE/JON/YNT)

Tuesday, April 15, 2008

Pemerintah Kalah di PT

Diperintahkan Tingkatkan Kualitas Guru
Sebelum Selenggarakan Ujian Nasional
Selasa, 15 April 2008 | 00:58 WIB

Jakarta, Kompas - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang ujian nasional. Pengadilan memerintahkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru serta kelengkapan sarana dan prasarana sekolah sebelum melaksanakan ujian nasional.

Hal itu terungkap dalam jumpa pers yang digelar para pengurus Education Forum terkait dengan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta soal ujian nasional tersebut, Senin (14/4).

Sebagai latar belakang, gugatan warga negara atau citizen lawsuit dilayangkan 58 orangtua siswa, aktivis, dan pemerhati pendidikan—mewakili ratusan ribu warga negara lain—yang dirugikan akibat ujian nasional. Tercatat 398.049 siswa (SMP-SMA sederajat) yang tidak lulus UN 2006.

Mereka kemudian menggugat Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) atas dilaksanakannya kebijakan ujian nasional yang menjadi salah satu syarat kelulusan siswa.

Sidang gugatan dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan diputuskan tanggal 21 Mei 2007 bahwa para tergugat, yaitu Presiden, Wapres, Mendiknas, dan BSNP, telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negara yang menjadi korban ujian nasional.

Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia sebelum melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN.

Setelah putusan dijatuhkan, tergugat melakukan banding. Melalui putusan nomor 377/PDT/2007 pada 6 Desember 2007, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Hargai keputusan PT

Wakil Koordinator Education Forum yang aktif mendampingi para korban ujian nasional dalam menggugat pemerintah, Yanti Sriyulianti, mengatakan, pemerintah sebaiknya menghargai keputusan dan melaksanakan kewajibannya meningkatkan kualitas pendidikan sebelum menjalankan ujian nasional. Sebelum kewajiban itu terlaksana, seharusnya ujian nasional dihentikan.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Federasi Guru Independen Indonesia Suparman mengatakan, ujian nasional tidak memenuhi rasa keadilan karena diterapkannya hasil ujian itu sebagai standar nasional dan penentu kelulusan di tengah ketimpangan kualitas pendidikan. Selain itu, hak guru untuk mengevaluasi murid, seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, juga berpindah ke tangan birokrat melalui ujian nasional.

”Secara pedagogis maupun hukum, ujian nasional tidak dapat dibenarkan,” ujarnya.

Pemberitahuan lambat

Yanti menambahkan, mereka kecewa karena pemberitahuan keputusan banding kepada pihak terkait sangat lambat. Dalam surat panggilan atau relaas pemberitahuan keputusan tersebut dicantumkan tanggal 6 Desember 2007. Namun, relaas pemberitahuan keputusan itu baru Senin 14 April 2008.

Kuasa hukum para korban yang tergabung dalam Tim Advokasi Korban Ujian Nasional, Gatot, berharap pemerintah tidak mengajukan kasasi karena yang dilawan sesungguhnya adalah warga negara. ”Warga negara seharusnya mendapatkan pengayoman dari negara,” ujarnya. (INE/JON/YNT/MDN)

Monday, April 14, 2008

Pertemuan Baru Islam dan Cinta

Jumat, 4 April 2008 | 01:29 WIB

Oleh ERIC SASONO

”Ayat-ayat Cinta” sedikit banyak memperlihatkan tanda perubahan wacana Islam di Indonesia belakangan ini. Masuknya diskusi mengenai cinta dalam Islam ke arus utama budaya populer menandai meluasnya rambahan wacana Islam.

Film ”Ayat-ayat Cinta” (AAC) karya terbaru sutradara Hanung Bramantyo bisa jadi merupakan sebuah fenomena baru dalam film Indonesia. Biasanya film bersuasana Islam tidak mengambil cinta sebagai tema utama. Tema cinta tunduk pada soal lain yang dianggap lebih substansial dalam pandangan Islam. Lihat misalnya film ”Titian Serambut Dibelah Tujuh”, ”Nada dan Dakwah”, atau ”Fatahillah”. Film-film pra-1998 ini menempatkan kisah cinta tokoh-tokohnya sebagai persoalan sampingan.

Pertemuan cinta dengan Islam memang tidak sama sekali baru mengingat film-film Rhoma Irama sudah melakukannya. Namun, harus diakui bahwa film Rhoma Irama masih lebih banyak memakan porsi petualangan dan cinta serta menempatkan wacana Islam sebagai sampiran semata.

AAC sedikit banyak punya sisi lain, yaitu sebagai tanda perubahan wacana Islam di Indonesia belakangan ini. Masuknya diskusi mengenai cinta dalam Islam ke arus utama budaya populer menandai meluasnya rambahan wacana Islam. Sebenarnya sejak awal 1990-an ketika ICMI didirikan, umat Islam sudah memasuki perdebatan wacana teknokratis dan menginisiasi pembentukan institusi ekonomi dan sosial serta tak lagi berpusat pada ideologi dan politik. Pada masa itu budaya populer Islam juga mulai masuk ke arus utama dengan salah satu contohnya rambahan kelompok nasyid ke TV swasta pertengahan dekade 1990-an serta kemunculan sinetron yang menggunakan suasana keagamaan di dalamnya yang menyusul kemudian, hingga sukses pemusik seperti Opick dan Hadad Alwi.

Kepolitikan Islam setelah 1998

Kepolitikan Islam setelah 1998 ditandai dengan berdirinya partai politik dengan asas Islam. Namun, hal itu tak berarti aspirasi politik umat Islam sepenuhnya terwakili. Yang terjadi adalah fragmentasi aspirasi politik yang berjalan seiring dengan garis partai. Bahkan, situasi ini tak lebih baik ketimbang masa Orde Lama ketika partai-partai politik berjalan menurut garis aliran. Garis-garis aliran yang dikenal dan direpresentasikan oleh partai politik, seperti yang ditelaah oleh Herbert Feith, pada kepolitikan setelah 1998 terpecah-pecah ke garis kepentingan yang lebih pragmatis dan tak bersambungan satu sama lain. Asas Islam yang dibawa oleh partai-partai itu tertinggal di atas kertas.

Di sisi lain pertumbuhan kelas menengah Islam semakin menguat. Lapisan ini tumbuh dari dua arah: pertumbuhan kelas menengah Islam lama dan dakwah Islam yang makin merambah ke bentuk-bentuk nonkonvensional. Pemanfaatan sumber daya ekonomi, saluran komunikasi mainstream, dan produk budaya populer telah membuat penetrasi ajaran Islam menjadi semakin jauh ke wilayah-wilayah baru.

Rambahan ini membuat muatan dakwah menjadi lebih cair di sana-sini. Kebutuhan untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan ”kebutuhan pasar” tak terhindarkan, paling tidak pada bentuk-bentuk kemasan. Jika pada awal pertumbuhannya nasyid Islami menolak nyaris segala bentuk alat musik, maka pada tahun 2000-an kelompok nasyid membawa alat musik dan bukan hanya tetabuhan. Ini adalah salah satu contoh bagaimana penyesuaian itu terjadi.

Dalam situasi seperti inilah film ”Ayat-ayat Cinta” menjadi sebuah karya yang memiliki nilai jual yang besar. Film ini menjadi titik temu dari berbagai gejala yang memperlihatkan fenomena mainstreaming dalam diskusi mengenai budaya populer Islam. Bentuk sinema menjadi sesuatu yang bukan kebetulan. Film ini sudah lebih dulu muncul dalam bentuk novel dan juga laris. Namun, hanya dalam bentuk filmlah diskusi wacana budaya populer Islam ini menjadi demikian luas dan masif. Kekuatan media film sebagai pembentuk mitos sebuah bangsa (Susan Hayworth, 1996) ternyata benar adanya; dan usaha mainstreaming budaya populer Islam telah memasuki sebuah fase baru dengan film ini.

Fase ini akan segera tampak dengan membanjirnya film-film bersuasana Islam ke bioskop pada tahun-tahun mendatang. Pembanjiran itu datang dari dua arah. Pertama tentu adalah para pelaku industri film yang memang kebanyakan merupakan Pak Turut. Sukses satu film secara massal seperti ini akan melahirkan deretan epigon. Kedua, terbukanya pasar penonton Islam akan merangsang para pelaku baru dalam dunia film. Mereka akan percaya bahwa ada pasar yang bernama penonton Muslim yang siap untuk diberi sajian film-film ”Islami”. Maka, bersiaplah untuk menyambut film-film dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, atau organisasi Islam lainnya.

Apa yang sedang dirayakan?

Para pekerja kreatif yang mengubah novel AAC menjadi film sebelumnya relatif tak dikenal sebagai para pekerja kreatif yang bekerja mengarusutamakan budaya populer Islam. Produser Manoj Punjabi dari MD Production dikenal memproduksi berbagai jenis sinetron, atau film macam ”Kala” dan ”Suster Ngesot” yang tak berhubungan sama sekali dengan nilai Islami.

Sutradara Hanung Bramantyo dikenal sebagai seorang sutradara sibuk yang membuat berbagai genre film seperti percintaan remaja, horor, komedi, dan menyampaikan bermacam muatan di dalamnya. Jika ada obsesi Hanung selama ini yang ia nyatakan terbuka, itu adalah obsesinya untuk menguak misteri peristiwa Gerakan 30 September 1965. Memang Hanung sempat menyatakan di blog pribadinya dan banyak wawancara bahwa pembuatan AAC adalah dakwah, jihad baginya. Namun, di sisi lain Hanung mengakui bahwa banyaknya keharusan kompromi membuat tak semuanya berjalan seperti yang ia bayangkan. Sedangkan bagi pasangan suami istri penulis skenario yang mengadaptasi novel ini, Salman Aristo (”Catatan Akhir Sekolah”, ”Jomblo”, ”Cinta Silver”) dan Ginatri S Noer (”Foto, Kotak dan Jendela”, ”Lentera Merah”) persoalannya serupa belaka.

Maka, AAC tak berhubungan secara langsung dengan usaha pengarusutamaan diskusi budaya populer Islam. Muatan dan penuturan AAC bisa jadi merupakan tanda bahwa produk yang diniatkan tidak semata-mata untuk berdakwah ini ternyata disambut pasar dengan luar biasa. Sentimen (ghirah) keislaman terbangkitkan di satu sisi dan massa yang lebih luas juga masih bisa menangkap melodrama di dalamnya. Ketika saya menonton film ini, tak kebetulan saya satu bioskop dengan serombongan ibu berkerudung yang berasal dari pengajian yang sama dan serombongan lain anak perempuan usia SMA yang menonton film itu dengan bercelana short pants. Beberapa orang dari kedua kelompok itu sama-sama keluar dengan mata sembab akibat menangis.

Maka, jika ada sesuatu yang ”dirayakan” oleh film ini, bisa jadi ia seperti membebaskan sebuah sekat yang selama ini memisahkan antara ”percintaan” dan ”Islam”. Ternyata keduanya bisa berdampingan dengan aman dengan pemecahan-pemecahan yang diusulkan oleh AAC seperti taaruf dan poligami. Sentimen keislaman muncul dalam AAC karena beririsan langsung dengan melodrama film ini. Film ini jelas sekali mengusung tema cinta, ketika kehidupan tokoh utamanya, Fahri, semata-mata berurusan dengan cinta. Beberapa peristiwa penting dalam film ini memperlihatkan hal tersebut. Kita lihat di beberapa hal berikut.

Fahri berkuliah di Universitas Al Azhar, tetapi sebagaimana film Hanung Bramantyo lainnya, ”Jomblo”, sepanjang film nyaris tak tampak kegiatan Fahri menjalankan kegiatan perkuliahan. Memang ada tokoh syaikh (guru) ditampilkan di film ini, tapi ia berperan menjadi semacam konsultan bagi persoalan percintaan Fahri yang tak henti-hentinya dikirimi surat cinta oleh para perempuan.

Kemudian dalam sebuah adegan, Fahri digambarkan membela seorang perempuan bule di kereta dari kekasaran seorang Arab Mesir, yang kemudian berlanjut ke perdebatan soal agama di kereta itu. Namun, peristiwa yang penuh kata-kata mirip khotbah itu juga merupakan sebuah pintu masuk bagi peristiwa pertemuan Fahri dengan Aisha, perempuan yang kemudian menjadi istrinya. Pertemuan ini menimbulkan simpati Aisha yang ujungnya berkembang menjadi rasa cinta.

Pertemanan Fahri dengan Maria Girgis, seorang perempuan Kristen Koptik (Kristen yang berkembang di Mesir pra-Islam), juga berurusan dengan soal cinta antara mereka. Bagai mengikuti ”When Harry Met Sally”, AAC juga tak percaya bahwa laki-laki dan perempuan bisa berteman tanpa seks (baca: cinta) di antara mereka. Ketertarikan Maria terhadap Islam tak bisa dilepaskan dari ketertarikannya terhadap Fahri. Maria tak akan pernah memilih untuk menjadi seorang Muslimah apabila ia tak diimami oleh Fahri, orang yang dicintainya.

Irisan terbesar antara melodrama dan nilai Islam justru adalah pada pilihan terhadap poligami. Cerita asli dalam novel AAC tak menggambarkan Fahri-Aisha-Maria hidup satu rumah. Dalam film ini justru bagian itulah yang terpenting untuk menguras air mata penonton (tearjerker). Apabila pernikahan antara Fahri dan Maria hanya terjadi dalam gagasan, maka penonton tak akan diberikan kesempatan untuk merasakan ”pengorbanan” yang dibuat oleh Aisha. Maka, dengan penggambaran bahwa mereka hidup bertiga, penderitaan Aisha menjadi nyata dan menarik empati penonton, atau malahan justru kemarahan penonton, tergantung dari sudut mana mereka memandang poligami dan ”pengorbanan perempuan”.

Fahri itu Si Boy baru?

”Pengorbanan” Aisha menjadi sesuatu yang sangat menarik dibandingkan dengan karakter Fahri yang sangat pasif. Kepasifan Fahri bahkan sebenarnya agak fatalistis ketika lingkungannya mendefinisikan hidup Fahri sepenuhnya. Definisi fatalistis yang ditawarkan oleh lingkungan itu adalah Fahri harus berpoligami, tak ada pilihan lain. Segala peristiwa berhubungan satu sama lain secara tertutup dan tak menyediakan ruang bagi alternatif. Maka, ketika Fahri akhirnya harus menjalani poligami, pilihan itu sudah niscaya sejak semula.

Manipulasi lingkungan ini ternyata menghasilkan sosok Fahri yang tidak ideal. Alih-alih mendefinisikan lingkungan (atau bahkan mengubahnya), Fahri menjalani kebingungan ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya. Pada titik inilah Fahri sama sekaligus berbeda dengan tokoh Si Boy, karakter arketipal remaja Indonesia sejak pertengahan dekade 1980-an sampai awal dekade 1990-an. Persamaan Fahri dan Si Boy dalam konteks penceritaan adalah hidup keduanya dikendalikan semata-mata oleh persoalan percintaan mereka. Persamaan lain adalah mereka bersekolah di luar negeri; Fahri di Mesir dan Si Boy di Amerika.

Lokasi tempat sekolah mereka ini bisa jadi mewakili perbedaan orientasi luar negeri bagi dua generasi berbeda ini. Orientasi bagi pemuda kelas menengah + tampan + pintar + Muslim yang soleh di dekade 1980-an adalah Amerika, sedangkan untuk kategori nyaris serupa (Fahri bersekolah karena beasiswa, bukan uang orangtuanya seperti Si Boy) pada paruh kedua dekade 2000-an adalah Mesir, tepatnya di sebuah universitas Islam dan belajar ilmu-ilmu keislaman. Persamaan lain antara Fahri dan Si Boy adalah mereka dicintai oleh lebih dari satu perempuan (yang cantik dan kaya).

Perbedaan antara mereka adalah keaktifan Boy yang tak ada pada Fahri. Si Boy relatif aktif dalam urusan percintaan, sedangkan Fahri sama sekali tidak aktif. Perempuan-perempuan di sekitar Fahri mengirimkan surat menyatakan cinta mereka (yang implikasi satu-satunya dari tindakan ini adalah pernikahan) dan Fahri tak pernah membalas mereka. Dalam urusan pernikahan, Aishalah yang aktif melakukan perkenalan pertama kali (taaruf) dan bahkan Aisha pula yang memaksa Fahri untuk berpoligami.

Keaktifan Fahri dalam film ini ada pada dua peristiwa, yaitu ketika ia menolong Noura dan menolong perempuan bule di kereta dari serangan seorang Arab Mesir. Kedua peristiwa ini merupakan semacam pajangan bagi karakter Fahri yang menegaskan kualitas keislamannya; yang dalam konteks dekade 1980-an (pada ”Catatan Si Boy”) mungkin bentuknya adalah memajang tasbih dan sajadah di mobil atau memaksa keluar seorang perempuan yang sudah mulai membuka kancing bajunya.

Persamaan paling penting dari kedua karakter ini adalah sikap pasif mereka terhadap persoalan sosial dan politik dalam konteks mereka. Si Boy lahir dari sandiwara radio bersambung di Radio Prambors, radio yang menjadi barometer bagi gaya hidup remaja dekade 1980-an, sedangkan Fahri lahir dari cerita bersambung di harian Republika, harian yang relatif membawa suara umat Islam. Keduanya lahir dari sebuah kultur tepian yang kemudian masuk ke arus utama wacana tentang karakter arketipal anak muda Indonesia ketika mereka bertransformasi di layar lebar.

Si Boy pada tahun 1980-an adalah representasi dari represi politik Orde Baru yang sedang giat melakukan upaya penyeragaman ideologi dan korporatisasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial kemasyarakatan. Ia juga lahir beriring dengan penjinakan kehidupan politik mahasiswa yang terwujud dalam NKK/ BKK. Maka, keterasingan Si Boy dari kehidupan politik adalah semacam sebuah katarsis bagi situasi yang tak memungkinkan ekspresi aspirasi politik yang bersifat kritis. Pengamat film dari Australia, Krisna Sen, menyatakan bahwa karakter Si Boy adalah sebuah bentuk akomodasi luar biasa dari dunia kreatif Indonesia terhadap usaha pembangunan harmoni dan domestikasi yang dilakukan oleh Orde Baru.

Fahri sebenarnya tak mengalami masalah seperti yang dihadapi oleh Si Boy. Ia lahir dalam lingkungan yang bebas dalam mengartikulasikan kepentingan politik dan ideologi. Namun, ia tetap tak terlibat dalam masalah apa pun di negerinya. Mesir merupakan sebuah sanctuary guna menghindar dari kenyataan terlalu banyaknya problem sosial politik yang harus dihadapi jika Fahri, tokoh arketipal Muslim ini, harus berada di Indonesia.

Akhirnya bisa jadi persamaan terbesar Fahri dengan Si Boy adalah kesamaan mereka dalam menghela ilusi tentang kehidupan cinta lewat tokoh serba ideal. Namun, idealisasi itu berbeda. Pada Si Boy, yang dibutuhkan adalah kesempurnaan karakter. Sedangkan pada Fahri, kesempurnaan itu dicabut dan Fahri dibuat menjadi lebih rapuh dan bimbang. Dengan kerapuhan dan kebimbangan ini, pilihan Fahri terhadap nilai Islam (baca: taaruf dan poligami) menjadi kurang ideologis dan lebih bisa diterima oleh penonton, oleh pasar yang lebih luas.

Konformitas

AAC memperlihatkan bahwa film Indonesia masih harus mengalami konformitas yang besar. Jika pada masa Orde Baru, kompromi terjadi karena kekuatan politik yang berusaha mengendalikan muatan film, maka kini kekuatan pasar demikian mendominasi. Hal ini beriringan dengan mencairnya agenda keberislaman ketika harus memasuki arus utama budaya populer. Maka, penerimaan terhadap AAC bisa sedemikian luas.

AAC merupakan sesuatu yang memang sudah waktunya, timely, sebagaimana ”Jelangkung”, ”Petualangan Sherina”, ”Ada Apa dengan Cinta?”, dan box office lainnya. Ia akan menggairahkan pasar sejenak dan menggeret gerbong produksi film-film sejenis. Momentum sudah tercipta, tetapi perfilman Indonesia masih berada di tahap yang sama. Nilai AAC sebagai politik kebudayaan bisa jadi besar, tetapi secara sinematik, ia adalah pengulangan kekalahan serupa terhadap lawan yang berbeda.

ERIC SASONO Kritikus Film

Tuesday, April 8, 2008

malaysia

PM Badawi Sebut Najib Razak sebagai Pengganti

EPA/AHMAD YUSNI / Kompas Images
Perdana Menteri Malaysia yang juga Presiden Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) Abdullah Ahmad Badawi (kanan) bersama deputinya, Najib Razak, di Kuala Lumpur, Minggu (6/4). Badawi memastikan Najib Razak sebagai penggantinya.

Selasa, 8 April 2008 | 00:54 WIB

kuala lumpur, senin - Untuk pertama kalinya, Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi menyebut kemungkinan penggantinya, Wakil Perdana Menteri Najib Razak. Namun, Badawi menegaskan dia tidak akan segera mundur.

Badawi, Minggu, menyebut Najib sebagai pengganti seiring dengan pergantian kepemimpinan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO). Najib, Senin (7/4), menyatakan berterima kasih atas dukungan Badawi.

Tindakan kedua pemimpin UMNO, yang memimpin koalisi berkuasa Barisan Nasional (BN), cukup menghapus ketidakpastian kepemimpinan UMNO di masa mendatang. Kebanyakan anggota senior menyatakan kesetiaan terhadap Badawi, tetapi beberapa anggota secara terbuka meminta Badawi mundur.

Meskipun Najib kini menjabat sebagai Wakil Presiden UMNO, tidak menutup kemungkinan adanya politisi lain yang akan menggantikan Badawi. Muncul spekulasi bahwa Menteri Perdagangan Internasional Muhyiddin Yassin bisa mengambil alih posisi tersebut.

Kepada wartawan, Minggu, Badawi menyatakan tidak keberatan dengan Najib. Badawi mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan kerja yang baik.

Badawi tidak menyebut kapan akan meletakkan jabatan. ”Saya tahu kapan harus pergi, tetapi berilah saya kesempatan untuk menepati apa yang telah saya janjikan,” ujarnya.

Badawi menghadapi seruan mundur yang semakin gencar menyusul hilangnya mayoritas dua pertiga kursi di parlemen dari tangan BN pada pemilu 8 Maret. Dia disalahkan atas kehilangan yang dialami BN untuk pertama kalinya sejak berkuasa tahun 1957.

Badawi juga menghadapi tantangan dari oposisi tiga partai yang telah merebut 82 kursi parlemen. Tokoh-tokoh oposisi telah menyatakan sejumlah anggota BN mungkin membelot.

Di Selangor, aktivis etnis India, M Manoharan, meminta pembebasan dari penjara, Senin. Manoharan terpilih sebagai anggota Dewan Undangan Negeri (setara dengan DPRD) mewakili Partai Aksi Demokratik (DAP) dalam pemilu lalu saat masih meringkuk di penjara.

Dia minta dibebaskan agar bisa dilantik pada 22 April. Namun, Jaksa Agung Abdul Gani Patail mengatakan para aktivis tidak mungkin dibebaskan karena masih dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Lima aktivis etnis India ditangkap karena mengorganisasi protes ribuan warga etnis India di Malaysia tahun lalu. (ap/afp/fro)

Guru Kesulitan Selesaikan S-1 Sesuai Kualifikasi

Selasa, 8 April 2008 | 01:26 WIB

Sukabumi, Kompas - Perkuliahan yang diikuti guru-guru di daerah untuk bisa memiliki kualifikasi S-1 banyak yang tidak sesuai dengan kondisi mereka saat ini. Kendala ini diakibatkan perguruan tinggi keguruan dan ilmu pendidikan di daerah memiliki program studi terbatas.

Ade Rakhmat, pengelola kelas lanjutan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sukabumi, Jawa Barat, Senin (7/4), menjelaskan, meskipun di kampus ini program studi PPKN dan Akuntansi yang ada untuk guru SMA sederajat, banyak juga guru TK, SD, dan SMP yang terdaftar demi meraih kualifikasi S-1 atau akta IV.

”Guru semakin banyak yang kuliah karena ada ketentuan untuk sertifikasi harus selesai S-1. Karena program di sini yang ada PPKN dan Akuntansi, guru-guru tetap daftar. Yang penting kan S-1 keguruan dan pendidikan,” ujar Ade.

Harun, guru Olahraga di SDN Cipetir II, Kabupaten Sukabumi, mengatakan, saat ini dia melanjutkan kuliah untuk meraih S-1 di program studi PPKN di STKIP PGRI Sukabumi. Pasalnya, untuk bisa kuliah di bidang pendidikan jasmani, Harun harus kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

”Dengan keuangan yang terbatas, saya harus pandai mengatur strategi karena kuliah ini saya tanggung sendiri. Saya pilih yang di Sukabumi saja. Pilihan yang ada terbatas, saya pilih PPKN. Di SD kan ada pelajaran PPKN,” kata Harun yang sudah delapan tahun menjadi guru Olahraga.

Sutarman, guru kelas IV SDN Lewipendeuy, Jampang Tengah, Kabupaten Sukabumi, juga mengambil S-1 program studi PPKN. Pasalnya, jurusan Pendidikan Guru SD tidak tersedia di kampus ini.

”Setahu saya, syarat untuk ikut sertifikasi itu harus lulus S-1 dan punya akta IV. Mudah-mudahan saya enggak ada masalah jika sudah dapat jatah sertifikasi nanti,” kata Sutarman yang sudah 20 tahun menjadi guru.

Sementara itu, guru-guru TK umumnya memilih melanjutkan jenjang S-1 yang juga tidak sesuai dengan kondisi mereka saat ini. Pasalnya, guru TK dinilai sebagai batu loncatan untuk menjadi guru SD.

Elizabeth, guru sukarelawan TK Tunas Harapan, Desa Curuk Kembar, Kabupaten Sukabumi, mengatakan, melanjutkan kuliah S-1 memang sudah direncanakan karena persyaratan saat ini memang mengharuskan demikian. Meski gaji guru sukarelawan TK yang diperolehnya Rp 200.000 per bulan, Elizabeth bisa melanjutkan kuliah dengan dukungan dana dari orangtuanya.

Secara terpisah, dari Pontianak, Kalimantan Barat, dilaporkan, dari sekitar 55.000 guru SD hingga SMU di Kalbar, baru sekitar 30 persen atau 16.500 guru yang mencapai jenjang S-1. ”Pada tahun 2008 Pemerintah Provinsi Kalbar akan menyekolahkan sekitar 4.000 guru yang hingga kini belum berpendidikan sarjana atau strata-1,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kalbar Ngatman.

Ia mengatakan, dalam kurun waktu 2006-2007 sudah 3.000 guru yang disekolahkan untuk mencapai jenjang strata-1. Anggaran yang dialokasikan untuk menyekolahkan guru itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Setiap guru mendapatkan bantuan Rp 2 juta per tahun. (ELN/WHY)

"Rumah Iklan" Warisan Ken Sudarto untuk Bangsa


Selasa, 8 April 2008 | 01:26 WIB

Jakarta, Kompas - Pergulatan bisnis periklanan Ken T Sudarto (almarhum) semestinya menjadi simbol kekuatan keutamaan dalam membangun rasa kebangsaan atau nation building. Keprofesionalan dan keteladanan hidup pendiri Matari Advertising itu menjadi warisan yang tidak akan pernah rapuh.

Warisan Ken T Sudarto itu terungkap dalam bedah buku berjudul Rumah Iklan terbitan Penerbit Buku Kompas di Jakarta, Senin (7/4). Peluncuran buku setebal 268 halaman yang ditulis oleh Bondan Winarno itu dihadiri Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, praktisi senior periklanan Baty Subakti, dan guru besar komunikasi Universitas Indonesia, Alwi Dahlan.

Presiden Direktur Matari Advertising Aswan Soendojo mengatakan, peluncuran buku ini bertepatan dengan perjalanan 37 tahun perusahaan periklanan Matari Advertising yang didirikan Ken T Sudarto.

”Banyak orang mudah membicarakan idealisme membangun bangsa, tetapi belum tentu pengabdiannya menunjukkan kegiatan yang memiliki kerangka membangun bangsa,” ujarnya.

Menurut Aswan, Ken Sudarto merupakan sosok yang memiliki integritas dan kecintaan kepada profesi.

Jakob Oetama dalam sambutannya mengatakan, Ken Sudarto bukan hanya sosok periklanan yang memiliki ketekunan, tetapi juga memiliki rasa tanggung jawab sebagai warga negara. Ken memiliki kesadaran dalam berbagi keprofesionalan dan keteladanan.

”Inilah warisan yang patut dipelihara,” ujarnya.

Jakob menekankan pula pentingnya membuka kesempatan untuk mengembangkan nation building yang lebih intens dan adil. Masuk akallah bahwa mereka yang bekerja dalam bidang komunikasi, termasuk periklanan, mau tidak mau harus mempunyai frame referensi.

”Komunikasi apa pun saluran atau ekspresinya tidak akan berarti apa-apa jika tidak mempunyai kerangka atau frame acuan berpikir, bersikap, dan berpandangan hidup yang komprehensif. Dengan semangat inilah kita membangun nasionalisme, karakter, kebersamaan, dan sikap saling percaya,” ujar Jakob.

Penulis Bondan Winarno mengatakan, pengabdian Ken dalam bekerja adalah mengembangkan semangat con amore atau dengan cinta.

Emil Salim mengatakan, nasionalisme Ken terlihat ketika ia memiliki kepedulian terhadap lingkungan di daerah perbukitan karst di Kabupaten Kebumen, Jateng. Bagi Ken, bukit kapur ini semacam busa yang bisa menyelamatkan air tanah. (OSA/NAL)

Dana Dipotong Rp 4,9 Triliun

Program Pemberantasan Buta Huruf Terganggu
Selasa, 8 April 2008 | 01:27 WIB

Jakarta, Kompas - Anggaran Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008 yang semula pagunya Rp 49 triliun dipotong Rp 4,918 triliun sehingga menjadi sekitar Rp 44 triliun. Pemotongan anggaran sebesar 10 persen itu merupakan hasil kesepakatan pemerintah dan Komisi X DPR dalam rangka penghematan anggaran.

Kesepakatan tersebut dicapai dalam rapat kerja yang berlangsung Senin (7/4). Hasil kesepakatan tersebut selanjutnya akan dibawa ke Panitia Anggaran.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, dengan pemotongan anggaran ini, sejumlah program pendidikan pasti akan terganggu, misalnya pemberantasan buta aksara yang anggarannya terpotong Rp 100 miliar. Padahal, program tersebut berpengaruh kepada peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index).

”Proses pemotongan ini sangat berat dan sulit. Kita sama sekali tidak ingin memotong anggaran pemberantasan buta aksara, tetapi sulit untuk menghindar. Target pemberantasan buta aksara kemungkinan sedikit terganggu,” ujar Bambang Sudibyo. Padahal, untuk tahun anggaran ini ditargetkan pemberantasan buta huruf dengan sasaran 1,072 juta orang. Dengan pemotongan itu, pencapaian target akan jauh dari angka tersebut.

Selain itu, anggaran program Paket A, B, dan C masing-masing dipotong 10 persen. Penyelenggaraan Paket A setara SD yang tadinya Rp 60,6 miliar dipotong Rp 6,069 miliar dan penyelenggaraan Paket B setara SMP yang semula Rp 67,5 miliar juga dipotong 10 persen atau hilang sekitar Rp 6,7 miliar.

Laboratorium komputer

Sejumlah program di Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Menengah yang terkait mutu wajib belajar juga terpotong. Target untuk pengadaan laboratorium komputer dan Ilmu Pengetahuan Alam menurun.

”Wajib belajar dari sisi kuantitatif atau jumlah tidak akan terpengaruh banyak, tetapi dari segi kualitatif harus dikurangi,” ujarnya.

Akan tetapi, Bambang Sudibyo mengatakan, sejumlah anggaran yang menyentuh langsung masyarakat seperti bantuan operasional sekolah (BOS) serta pembayaran tunjangan-tunjangan kepada guru tidak akan dipotong.

Anggaran untuk BOS, misalnya, tetap akan berjalan seperti biasanya selama satu tahun anggaran ini. Bambang Sudibyo mengatakan sudah sulit mencari pos-pos manajerial yang akan dipotong karena besarnya anggaran yang harus dihilangkan.

Dalam kesempatan yang sama, pemimpin sidang dalam rapat kerja ini, Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno, mengatakan, pemotongan anggaran pendidikan sebesar 10 persen tersebut merupakan instruksi Panitia Anggaran. Semula Menteri Keuangan menginstruksikan agar anggaran dipotong sebesar 15 persen. ”Namun, Panitia Anggaran sepakat pemotongan menjadi 10 persen,” ujar Irwan.

Anggaran Departemen Pendidikan Nasional yang dikurangi terutama dari pos-pos yang bersifat manajerial. ”Sudah diupayakan ada batas-batas toleransi agar pengurangan tersebut tidak akan terlalu mengganggu kinerja pemerintah,” ujar Irwan yang berasal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Damai Sejahtera, Ruth Nina Kedang, mengatakan pemotongan anggaran tersebut sangat disayangkan. Hal ini disebabkan pendidikan merupakan prioritas sehingga perlu ada kompensasi agar pemotongan tidak disamakan besarannya dengan departemen lain. Terlebih lagi, belum tentu pemerintah daerah mau berkomitmen terhadap pendidikan dan mengalokasikan dana lebih besar untuk sektor itu.

”Di tengah negara yang sedang membangun, mestinya pendidikan diprioritaskan. Dengan pemotongan ini, target pembangunan pendidikan terganggu,” ujarnya.

Secara terpisah, anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Wayan Koster, mengatakan, 10 persen anggaran yang terpotong tersebut mau tidak mau diambil dari anggaran program lantaran pos belanja yang mengikat seperti gaji, honor, dan pemeliharaan tak bisa dipotong. ”Pendidikan itu sektor yang strategis dan prioritas sehingga seharusnya tak boleh dipotong. Masyarakat yang akan menjadi korban,” ujarnya. (INE)

Monday, April 7, 2008

Menertibkan Tubuh Perempuan

Senin, 7 April 2008 | 02:12 WIB

Tubuh perempuan sampai kini masih menjadi ajang pertarungan berbagai kepentingan. Yang terbaru adalah imbauan Pemerintah Kota Batu, Malang, Jawa Timur.

Imbauan itu meminta agar para perempuan pemijat di panti-panti pijat mengunci dan menggembok rok dan celana dalamnya. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Batu Imam Suryono seperti ditulis Warta Kota, Jumat (4/4), mengatakan, sejauh ini aturan tersebut baru imbauan kepada sembilan panti pijat di kota itu dan sudah dua panti pijat yang mematuhinya.

Ke depan, Kepala Satpol PP Kota Batu itu mengatakan, kebijakan yang masih berupa anjuran itu akan dilegalkan menjadi kebijakan pemerintah kota melalui peraturan wali kota.

Alasan pemberlakuan aturan imbauan itu adalah agar di kota tersebut tidak terjadi bisnis seks berselubung panti pijat kesehatan. Sejauh ini, demikian Warta Kota, ketentuan tersebut belum mengatur sanksi karena baru sebatas imbauan.

Ketua Umum Fatayat dan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Maria Ulfah Anshor, menyebut aturan itu sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan bias jender. ”Seolah-olah hubungan seks pemicunya hanya perempuan,” tandas Maria Ulfah yang dihubungi Kompas. Dia berjanji akan berkoordinasi dengan anggota Fatayat Kota Batu untuk memprotes aturan tersebut.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Eva Sundari, menyebut untuk membuat aturan itu harus ada undang-undang yang membolehkan negara mengurus sampai ke ruang yang sangat pribadi. ”Undang-Undang Dasar masih menjamin hak orang untuk bekerja dan menjamin ruang privat warganya,” tandas Eva.

Aturan itu kembali memperlihatkan bagaimana kontrol tubuh dan perilaku perempuan digunakan untuk kepentingan pemegang kekuasaan. Imbauan itu mengingatkan praktik yang pernah dilakukan di Jawa dan Eropa berabad-abad lalu. Di Jawa, misalnya, di antara benda bersejarah milik Mangkunegaran terdapat bhadong, yaitu alat penutup kelamin wanita terbuat dari emas. Alat ini harus dikenakan perempuan dari keluarga bangsawan yang akan bepergian atau ditinggalkan suaminya beberapa waktu.

Maria Ulfah menyebut imbauan tersebut sangat tidak rasional. ”Kalau memang ingin agar tidak terjadi prostitusi, yang harus dilakukan adalah mengawasi panti-panti pijat tersebut. Kalau ada pelanggaran, langsung dikenai sanksi. Bukan memojokkan perempuan dengan aturan yang diskriminatif tersebut,” kata Maria.

Sementara secara terpisah Eva melihat imbauan itu dapat merugikan perempuan miskin. ”Kesempatan kerja saat ini menciut dan pemerintah tidak bisa memberi lapangan pekerjaan sementara kemiskinan meluas. Ketidakberhasilan menyejahterakan rakyat jangan dikompensasi dengan memviktimisasi perempuan,” ujar Eva.

Masalah otonomi daerah

Imbauan di atas bukan satu-satunya aturan daerah yang diskriminatif dengan mengontrol tubuh dan perilaku perempuan.

Reformasi tahun 1998 juga membawa perubahan pada tata pemerintahan. Perubahan pada Undang-Undang Dasar mengatur bahwa pemerintahan daerah dijalankan dengan asas otonomi.

Dalam praktiknya, banyak aturan yang dikeluarkan pemerintah daerah bertentangan dengan undang-undang di atasnya, bahkan melanggar Undang-Undang Dasar.

Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan dalam Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2007 yang dikeluarkan pada 7 Maret 2008 mencatat, terdapat 27 peraturan daerah (perda) dan kebijakan lain yang secara eksplisit mengontrol tubuh dan perilaku perempuan.

Dari 27 perda yang termasuk kategori diskriminatif, pelarangan pelacuran atau antimaksiat jumlahnya adalah yang terbanyak, yaitu 17 perda. Perda-perda tersebut mengandung kerancuan normatif yang memosisikan perempuan sebagai penyebab ketidakteraturan sosial.

Peraturan Pemkot Batu belum termasuk di dalam daftar aturan yang sudah diidentifikasi Komnas Perempuan, tetapi aturan tersebut juga memosisikan perempuan sebagai pihak yang menyebabkan ketidakteraturan sosial sehingga harus diatur perilakunya dengan memberi gembok pada rok dan celana dalamnya.

Komnas Perempuan juga mencatat, ke-17 perda yang berhubungan dengan pelacuran itu menggunakan ketertiban umum sebagai konsideran dan dibangun dengan perspektif yang tidak adil jender serta multitafsir.

Perda Kota Tengerang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Larangan Pelacuran Pasal 4 (1), misalnya, menggunakan rumusan multitafsir yang mendefinisikan seseorang sebagai pelacur melalui sikap atau perilakunya yang mencurigakan. Perda ini menurut Komnas Perempuan telah diadopsi oleh daerah-daerah lain.

Seperti telah terjadi, perda seperti ini menyebabkan perempuan menjadi korban penertiban karena berada di luar rumah pada malam hari, dan yang paling rentan terkena aturan yang diskriminatif ini adalah perempuan miskin. (Ninuk Mardiana Pambudy)

SERTIFIKASI

Guru Tergiring Jadi Kolektor Sertifikat
Senin, 7 April 2008 | 01:21 WIB

Makassar, Kompas - Sertifikasi guru cenderung menjebak guru pada kultur formalistik. Dalam upaya memenuhi persyaratan penilaian portofolio, guru lebih suka memburu dan mengoleksi lembar-lembar sertifikat dan piagam forum ilmiah ketimbang memahami esensi profesionalisme sebagai pendidik.

Demikian terungkap dalam seminar ”Guru Menggugat Sertifikasi” di Makassar, Minggu (6/4). Seminar yang digelar oleh Forum Komunikasi Pengkajian Aspirasi Guru Indonesia (FK-PAGI) tersebut menampilkan Suparman (Ketua Federasi Guru Independen), Prof Dr Arismunandar (Rektor terpilih Universitas Negeri Makassar), dan Sriyanti (aktivis lembaga swadaya pendidikan Kerlip).

Di hadapan sekitar 500 guru, Suparman mengingatkan, pelaksanaan sertifikasi cenderung melenceng dari niat semula mewujudkan sosok guru profesional. Sekarang di kalangan guru muncul kultur dan kegemaran baru, yakni sebagai kolektor piagam dan sertifikat dari forum ilmiah dan pelatihan.

Terkait dengan ”kesemuan” predikat profesional, Rektor terpilih Universitas Negeri Makassar Arismunandar menegaskan, guru yang demikian janganlah cepat bangga. Apalah arti sebuah predikat profesional yang hanya didasarkan pada lembaran formalistik tanpa memahami esensinya.

Secara terpisah dari Semarang, Jawa Tengah, dilaporkan, sebanyak 1.317 guru di wilayah rayon XII Jawa Tengah tidak lulus dalam ujian sertifikasi guru melalui portofolio kuota tambahan tahun 2007. Mereka tidak lulus karena penilaian portofolio guru lebih memprioritaskan aspek senioritas dan hasil karya ilmiah.(NAR/A09)

Friday, April 4, 2008

Pertemuan Baru Islam dan Cinta

Jumat, 4 April 2008 | 01:29 WIB

Oleh ERIC SASONO

”Ayat-ayat Cinta” sedikit banyak memperlihatkan tanda perubahan wacana Islam di Indonesia belakangan ini. Masuknya diskusi mengenai cinta dalam Islam ke arus utama budaya populer menandai meluasnya rambahan wacana Islam.

Film ”Ayat-ayat Cinta” (AAC) karya terbaru sutradara Hanung Bramantyo bisa jadi merupakan sebuah fenomena baru dalam film Indonesia. Biasanya film bersuasana Islam tidak mengambil cinta sebagai tema utama. Tema cinta tunduk pada soal lain yang dianggap lebih substansial dalam pandangan Islam. Lihat misalnya film ”Titian Serambut Dibelah Tujuh”, ”Nada dan Dakwah”, atau ”Fatahillah”. Film-film pra-1998 ini menempatkan kisah cinta tokoh-tokohnya sebagai persoalan sampingan.

Pertemuan cinta dengan Islam memang tidak sama sekali baru mengingat film-film Rhoma Irama sudah melakukannya. Namun, harus diakui bahwa film Rhoma Irama masih lebih banyak memakan porsi petualangan dan cinta serta menempatkan wacana Islam sebagai sampiran semata.

AAC sedikit banyak punya sisi lain, yaitu sebagai tanda perubahan wacana Islam di Indonesia belakangan ini. Masuknya diskusi mengenai cinta dalam Islam ke arus utama budaya populer menandai meluasnya rambahan wacana Islam. Sebenarnya sejak awal 1990-an ketika ICMI didirikan, umat Islam sudah memasuki perdebatan wacana teknokratis dan menginisiasi pembentukan institusi ekonomi dan sosial serta tak lagi berpusat pada ideologi dan politik. Pada masa itu budaya populer Islam juga mulai masuk ke arus utama dengan salah satu contohnya rambahan kelompok nasyid ke TV swasta pertengahan dekade 1990-an serta kemunculan sinetron yang menggunakan suasana keagamaan di dalamnya yang menyusul kemudian, hingga sukses pemusik seperti Opick dan Hadad Alwi.

Kepolitikan Islam setelah 1998

Kepolitikan Islam setelah 1998 ditandai dengan berdirinya partai politik dengan asas Islam. Namun, hal itu tak berarti aspirasi politik umat Islam sepenuhnya terwakili. Yang terjadi adalah fragmentasi aspirasi politik yang berjalan seiring dengan garis partai. Bahkan, situasi ini tak lebih baik ketimbang masa Orde Lama ketika partai-partai politik berjalan menurut garis aliran. Garis-garis aliran yang dikenal dan direpresentasikan oleh partai politik, seperti yang ditelaah oleh Herbert Feith, pada kepolitikan setelah 1998 terpecah-pecah ke garis kepentingan yang lebih pragmatis dan tak bersambungan satu sama lain. Asas Islam yang dibawa oleh partai-partai itu tertinggal di atas kertas.

Di sisi lain pertumbuhan kelas menengah Islam semakin menguat. Lapisan ini tumbuh dari dua arah: pertumbuhan kelas menengah Islam lama dan dakwah Islam yang makin merambah ke bentuk-bentuk nonkonvensional. Pemanfaatan sumber daya ekonomi, saluran komunikasi mainstream, dan produk budaya populer telah membuat penetrasi ajaran Islam menjadi semakin jauh ke wilayah-wilayah baru.

Rambahan ini membuat muatan dakwah menjadi lebih cair di sana-sini. Kebutuhan untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan ”kebutuhan pasar” tak terhindarkan, paling tidak pada bentuk-bentuk kemasan. Jika pada awal pertumbuhannya nasyid Islami menolak nyaris segala bentuk alat musik, maka pada tahun 2000-an kelompok nasyid membawa alat musik dan bukan hanya tetabuhan. Ini adalah salah satu contoh bagaimana penyesuaian itu terjadi.

Dalam situasi seperti inilah film ”Ayat-ayat Cinta” menjadi sebuah karya yang memiliki nilai jual yang besar. Film ini menjadi titik temu dari berbagai gejala yang memperlihatkan fenomena mainstreaming dalam diskusi mengenai budaya populer Islam. Bentuk sinema menjadi sesuatu yang bukan kebetulan. Film ini sudah lebih dulu muncul dalam bentuk novel dan juga laris. Namun, hanya dalam bentuk filmlah diskusi wacana budaya populer Islam ini menjadi demikian luas dan masif. Kekuatan media film sebagai pembentuk mitos sebuah bangsa (Susan Hayworth, 1996) ternyata benar adanya; dan usaha mainstreaming budaya populer Islam telah memasuki sebuah fase baru dengan film ini.

Fase ini akan segera tampak dengan membanjirnya film-film bersuasana Islam ke bioskop pada tahun-tahun mendatang. Pembanjiran itu datang dari dua arah. Pertama tentu adalah para pelaku industri film yang memang kebanyakan merupakan Pak Turut. Sukses satu film secara massal seperti ini akan melahirkan deretan epigon. Kedua, terbukanya pasar penonton Islam akan merangsang para pelaku baru dalam dunia film. Mereka akan percaya bahwa ada pasar yang bernama penonton Muslim yang siap untuk diberi sajian film-film ”Islami”. Maka, bersiaplah untuk menyambut film-film dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, atau organisasi Islam lainnya.

Apa yang sedang dirayakan?

Para pekerja kreatif yang mengubah novel AAC menjadi film sebelumnya relatif tak dikenal sebagai para pekerja kreatif yang bekerja mengarusutamakan budaya populer Islam. Produser Manoj Punjabi dari MD Production dikenal memproduksi berbagai jenis sinetron, atau film macam ”Kala” dan ”Suster Ngesot” yang tak berhubungan sama sekali dengan nilai Islami.

Sutradara Hanung Bramantyo dikenal sebagai seorang sutradara sibuk yang membuat berbagai genre film seperti percintaan remaja, horor, komedi, dan menyampaikan bermacam muatan di dalamnya. Jika ada obsesi Hanung selama ini yang ia nyatakan terbuka, itu adalah obsesinya untuk menguak misteri peristiwa Gerakan 30 September 1965. Memang Hanung sempat menyatakan di blog pribadinya dan banyak wawancara bahwa pembuatan AAC adalah dakwah, jihad baginya. Namun, di sisi lain Hanung mengakui bahwa banyaknya keharusan kompromi membuat tak semuanya berjalan seperti yang ia bayangkan. Sedangkan bagi pasangan suami istri penulis skenario yang mengadaptasi novel ini, Salman Aristo (”Catatan Akhir Sekolah”, ”Jomblo”, ”Cinta Silver”) dan Ginatri S Noer (”Foto, Kotak dan Jendela”, ”Lentera Merah”) persoalannya serupa belaka.

Maka, AAC tak berhubungan secara langsung dengan usaha pengarusutamaan diskusi budaya populer Islam. Muatan dan penuturan AAC bisa jadi merupakan tanda bahwa produk yang diniatkan tidak semata-mata untuk berdakwah ini ternyata disambut pasar dengan luar biasa. Sentimen (ghirah) keislaman terbangkitkan di satu sisi dan massa yang lebih luas juga masih bisa menangkap melodrama di dalamnya. Ketika saya menonton film ini, tak kebetulan saya satu bioskop dengan serombongan ibu berkerudung yang berasal dari pengajian yang sama dan serombongan lain anak perempuan usia SMA yang menonton film itu dengan bercelana short pants. Beberapa orang dari kedua kelompok itu sama-sama keluar dengan mata sembab akibat menangis.

Maka, jika ada sesuatu yang ”dirayakan” oleh film ini, bisa jadi ia seperti membebaskan sebuah sekat yang selama ini memisahkan antara ”percintaan” dan ”Islam”. Ternyata keduanya bisa berdampingan dengan aman dengan pemecahan-pemecahan yang diusulkan oleh AAC seperti taaruf dan poligami. Sentimen keislaman muncul dalam AAC karena beririsan langsung dengan melodrama film ini. Film ini jelas sekali mengusung tema cinta, ketika kehidupan tokoh utamanya, Fahri, semata-mata berurusan dengan cinta. Beberapa peristiwa penting dalam film ini memperlihatkan hal tersebut. Kita lihat di beberapa hal berikut.

Fahri berkuliah di Universitas Al Azhar, tetapi sebagaimana film Hanung Bramantyo lainnya, ”Jomblo”, sepanjang film nyaris tak tampak kegiatan Fahri menjalankan kegiatan perkuliahan. Memang ada tokoh syaikh (guru) ditampilkan di film ini, tapi ia berperan menjadi semacam konsultan bagi persoalan percintaan Fahri yang tak henti-hentinya dikirimi surat cinta oleh para perempuan.

Kemudian dalam sebuah adegan, Fahri digambarkan membela seorang perempuan bule di kereta dari kekasaran seorang Arab Mesir, yang kemudian berlanjut ke perdebatan soal agama di kereta itu. Namun, peristiwa yang penuh kata-kata mirip khotbah itu juga merupakan sebuah pintu masuk bagi peristiwa pertemuan Fahri dengan Aisha, perempuan yang kemudian menjadi istrinya. Pertemuan ini menimbulkan simpati Aisha yang ujungnya berkembang menjadi rasa cinta.

Pertemanan Fahri dengan Maria Girgis, seorang perempuan Kristen Koptik (Kristen yang berkembang di Mesir pra-Islam), juga berurusan dengan soal cinta antara mereka. Bagai mengikuti ”When Harry Met Sally”, AAC juga tak percaya bahwa laki-laki dan perempuan bisa berteman tanpa seks (baca: cinta) di antara mereka. Ketertarikan Maria terhadap Islam tak bisa dilepaskan dari ketertarikannya terhadap Fahri. Maria tak akan pernah memilih untuk menjadi seorang Muslimah apabila ia tak diimami oleh Fahri, orang yang dicintainya.

Irisan terbesar antara melodrama dan nilai Islam justru adalah pada pilihan terhadap poligami. Cerita asli dalam novel AAC tak menggambarkan Fahri-Aisha-Maria hidup satu rumah. Dalam film ini justru bagian itulah yang terpenting untuk menguras air mata penonton (tearjerker). Apabila pernikahan antara Fahri dan Maria hanya terjadi dalam gagasan, maka penonton tak akan diberikan kesempatan untuk merasakan ”pengorbanan” yang dibuat oleh Aisha. Maka, dengan penggambaran bahwa mereka hidup bertiga, penderitaan Aisha menjadi nyata dan menarik empati penonton, atau malahan justru kemarahan penonton, tergantung dari sudut mana mereka memandang poligami dan ”pengorbanan perempuan”.

Fahri itu Si Boy baru?

”Pengorbanan” Aisha menjadi sesuatu yang sangat menarik dibandingkan dengan karakter Fahri yang sangat pasif. Kepasifan Fahri bahkan sebenarnya agak fatalistis ketika lingkungannya mendefinisikan hidup Fahri sepenuhnya. Definisi fatalistis yang ditawarkan oleh lingkungan itu adalah Fahri harus berpoligami, tak ada pilihan lain. Segala peristiwa berhubungan satu sama lain secara tertutup dan tak menyediakan ruang bagi alternatif. Maka, ketika Fahri akhirnya harus menjalani poligami, pilihan itu sudah niscaya sejak semula.

Manipulasi lingkungan ini ternyata menghasilkan sosok Fahri yang tidak ideal. Alih-alih mendefinisikan lingkungan (atau bahkan mengubahnya), Fahri menjalani kebingungan ketika dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam hidupnya. Pada titik inilah Fahri sama sekaligus berbeda dengan tokoh Si Boy, karakter arketipal remaja Indonesia sejak pertengahan dekade 1980-an sampai awal dekade 1990-an. Persamaan Fahri dan Si Boy dalam konteks penceritaan adalah hidup keduanya dikendalikan semata-mata oleh persoalan percintaan mereka. Persamaan lain adalah mereka bersekolah di luar negeri; Fahri di Mesir dan Si Boy di Amerika.

Lokasi tempat sekolah mereka ini bisa jadi mewakili perbedaan orientasi luar negeri bagi dua generasi berbeda ini. Orientasi bagi pemuda kelas menengah + tampan + pintar + Muslim yang soleh di dekade 1980-an adalah Amerika, sedangkan untuk kategori nyaris serupa (Fahri bersekolah karena beasiswa, bukan uang orangtuanya seperti Si Boy) pada paruh kedua dekade 2000-an adalah Mesir, tepatnya di sebuah universitas Islam dan belajar ilmu-ilmu keislaman. Persamaan lain antara Fahri dan Si Boy adalah mereka dicintai oleh lebih dari satu perempuan (yang cantik dan kaya).

Perbedaan antara mereka adalah keaktifan Boy yang tak ada pada Fahri. Si Boy relatif aktif dalam urusan percintaan, sedangkan Fahri sama sekali tidak aktif. Perempuan-perempuan di sekitar Fahri mengirimkan surat menyatakan cinta mereka (yang implikasi satu-satunya dari tindakan ini adalah pernikahan) dan Fahri tak pernah membalas mereka. Dalam urusan pernikahan, Aishalah yang aktif melakukan perkenalan pertama kali (taaruf) dan bahkan Aisha pula yang memaksa Fahri untuk berpoligami.

Keaktifan Fahri dalam film ini ada pada dua peristiwa, yaitu ketika ia menolong Noura dan menolong perempuan bule di kereta dari serangan seorang Arab Mesir. Kedua peristiwa ini merupakan semacam pajangan bagi karakter Fahri yang menegaskan kualitas keislamannya; yang dalam konteks dekade 1980-an (pada ”Catatan Si Boy”) mungkin bentuknya adalah memajang tasbih dan sajadah di mobil atau memaksa keluar seorang perempuan yang sudah mulai membuka kancing bajunya.

Persamaan paling penting dari kedua karakter ini adalah sikap pasif mereka terhadap persoalan sosial dan politik dalam konteks mereka. Si Boy lahir dari sandiwara radio bersambung di Radio Prambors, radio yang menjadi barometer bagi gaya hidup remaja dekade 1980-an, sedangkan Fahri lahir dari cerita bersambung di harian Republika, harian yang relatif membawa suara umat Islam. Keduanya lahir dari sebuah kultur tepian yang kemudian masuk ke arus utama wacana tentang karakter arketipal anak muda Indonesia ketika mereka bertransformasi di layar lebar.

Si Boy pada tahun 1980-an adalah representasi dari represi politik Orde Baru yang sedang giat melakukan upaya penyeragaman ideologi dan korporatisasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial kemasyarakatan. Ia juga lahir beriring dengan penjinakan kehidupan politik mahasiswa yang terwujud dalam NKK/ BKK. Maka, keterasingan Si Boy dari kehidupan politik adalah semacam sebuah katarsis bagi situasi yang tak memungkinkan ekspresi aspirasi politik yang bersifat kritis. Pengamat film dari Australia, Krisna Sen, menyatakan bahwa karakter Si Boy adalah sebuah bentuk akomodasi luar biasa dari dunia kreatif Indonesia terhadap usaha pembangunan harmoni dan domestikasi yang dilakukan oleh Orde Baru.

Fahri sebenarnya tak mengalami masalah seperti yang dihadapi oleh Si Boy. Ia lahir dalam lingkungan yang bebas dalam mengartikulasikan kepentingan politik dan ideologi. Namun, ia tetap tak terlibat dalam masalah apa pun di negerinya. Mesir merupakan sebuah sanctuary guna menghindar dari kenyataan terlalu banyaknya problem sosial politik yang harus dihadapi jika Fahri, tokoh arketipal Muslim ini, harus berada di Indonesia.

Akhirnya bisa jadi persamaan terbesar Fahri dengan Si Boy adalah kesamaan mereka dalam menghela ilusi tentang kehidupan cinta lewat tokoh serba ideal. Namun, idealisasi itu berbeda. Pada Si Boy, yang dibutuhkan adalah kesempurnaan karakter. Sedangkan pada Fahri, kesempurnaan itu dicabut dan Fahri dibuat menjadi lebih rapuh dan bimbang. Dengan kerapuhan dan kebimbangan ini, pilihan Fahri terhadap nilai Islam (baca: taaruf dan poligami) menjadi kurang ideologis dan lebih bisa diterima oleh penonton, oleh pasar yang lebih luas.

Konformitas

AAC memperlihatkan bahwa film Indonesia masih harus mengalami konformitas yang besar. Jika pada masa Orde Baru, kompromi terjadi karena kekuatan politik yang berusaha mengendalikan muatan film, maka kini kekuatan pasar demikian mendominasi. Hal ini beriringan dengan mencairnya agenda keberislaman ketika harus memasuki arus utama budaya populer. Maka, penerimaan terhadap AAC bisa sedemikian luas.

AAC merupakan sesuatu yang memang sudah waktunya, timely, sebagaimana ”Jelangkung”, ”Petualangan Sherina”, ”Ada Apa dengan Cinta?”, dan box office lainnya. Ia akan menggairahkan pasar sejenak dan menggeret gerbong produksi film-film sejenis. Momentum sudah tercipta, tetapi perfilman Indonesia masih berada di tahap yang sama. Nilai AAC sebagai politik kebudayaan bisa jadi besar, tetapi secara sinematik, ia adalah pengulangan kekalahan serupa terhadap lawan yang berbeda.

ERIC SASONO Kritikus Film

Batik, Enggak Cuma Seragam Sekolah


KOMPAS/DWI AS SETIANINGSIH / Kompas Images
Jumat, 4 April 2008 | 02:35 WIB

Sewaktu negeri tetangga mengklaim batik sebagai busana khas bangsa itu, sebagian dari kita meradang. Kita enggak rela batik diambil alih ”kepemilikannya” oleh bangsa lain. Tetapi, jujur saja, selama ini sudahkah batik menjadi bagian dari busana kita sehari-hari? Adakah batik cuma berhenti sebagai salah satu seragam yang (karena peraturan sekolah) harus dipakai sekali seminggu?

Belakangan ini batik lagi booming. Tengoklah dari mal sampai pasar tradisional, batik dalam berbagai desain baju dipakai banyak orang, dari anak-anak sampai orang tua. Berbagai kegiatan sekolah pun sering mencantumkan batik sebagai salah satu baju ”wajib”.

Kalau biasanya hanya toko tertentu yang menjual batik, sekarang nyaris di setiap mal, pasar, bahkan di emperan pedagang kaki lima batik ”merajai”. Sepotong baju batik di pusat perbelanjaan seperti ITC di Jakarta bisa didapat dengan harga mulai Rp 50.000.

Penikmat batik tinggal menyesuaikan model baju, bahan, dan corak yang diinginkan, dengan kemampuan kocek. Batik enggak lagi (semoga bukan cuma musiman ya) sekadar baju yang dipakai buat kondangan atau demi Hari Kartini setiap tanggal 21 April itu. Batik jadi fashion yang kudu lu ikutin, biar enggak ketinggalan mode gitu…

Sekalian juga, biar semua orang tahu kalau kita doyan batik! Kita enggak cuma bisa cuap-cuap atau ngamuk kala batik diklaim milik bangsa lain. Sebab, kita memang menghargai, menggunakannya, dan udah menjadikan batik sebagai gaya hidup sehari-hari.

Selembar kain

Memang sih selama ini sebagian dari abu-abuers juga suka pakai batik untuk pesta atau buat acara tertentu. Misalnya nih, enggak jarang kan abu-abuers pakai kebaya model encim dipadu dengan kain batik. Biar baju model itu udah dikenal dari zaman dulu kala, tetapi enggak ngerasa mendadak jadi tua atau jadul banget kan waktu lu makai?

Apalagi sekarang, duh duh duh… batik tuh enggak lagi sekadar selembar kain buat dipakai bareng kebaya. Mau batik yang berkesan klasik, lusuh, atau justru berwarna-warni dengan banyak tebaran motif bunga seperti batik pesisiran, juga ada.

Modelnya? Hmm, kalau lu rajin jalan-jalan ke mal aja, pasti bisa lihat betapa beragam batik itu, dan betapa batik bisa menyesuaikan diri dengan tren masa kini.

Batik memang fleksibel, enggak hanya karena motifnya terbuka buat segala desain, tetapi bahan ini pun cocok buat segala bentuk baju. Batik yang dijajakan dalam bentuk blus atau rok yang cenderung mini asyik dan matching aja buat model empire, baby doll, blus, atau rok balon dan berlengan balon sekalipun. Paduannya juga gampang, bisa pakai celana skinny, legging, atau stocking.

Buat kerahnya? Ini pun banyak banget variasinya, dari bentuk bulat, kotak, sampai peter-pan biasa maupun diberi kerut-merut sekalipun, bisa masuk dengan batik. Bahkan, biar pun sekarang lagi musim busana yang bervolume, kalau kamu masih pengin pakai baju pas badan pun tetap oke dengan batik.

Dine Evantara, pemilik batik berlabel Kenes, bercerita, masih banyak kok abu-abuers yang suka model baju sackdress, berlengan setali, atau backless. Dia memadukan batik dengan bordir sebagai aksen. Untuk baju produknya Dine memasang harga Rp 300.000-Rp 900.000 per potong.

Sementara Josephine yang produknya bernama Josephine juga memilih batik bercorak dan berwarna ”asli” seperti coklat muda dan coklat tua. Model bajunya dia pilih yang ”tahan segala cuaca”, seperti semi-blazer atau model kimono lengkap dengan obinya. Harganya? Berkisar dari Rp 500.000 sampai Rp 1,5 juta.

Keabisan stok

Ujiek Mudhofar, pemilik batik berlabel Rima, berkisah, stok baju bermodel rimpel di atas perut (seperti baju hamil), atau yang bertali di dada maupun di pinggang laris manis. Dia sering kali sampai keabisan stok.

”Penjahit saya kewalahan membuat stok. Sekarang, kami fokus dulu pada pesanan jahitan dari pelanggan,” ujarnya.

Ujiek memang menyediakan bermacam-macam kain batik yang bisa dipilih. Pembeli pun bebas memilih model baju untuk dijahitkan di tempatnya. Batik yang banyak dipilih orang untuk baju berharga sekitar Rp 125.000-Rp 250.000 per lembar.

”Alhamdulillah, satu orang bisa beli 8 sampai 12 kain batik buat dijahit. Biasanya, baju itu ya buat anak-anak dan orangtuanya,” tambah Ujiek yang menjanjikan baju selesai dijahit minimal tiga hari dan maksimal 14 hari itu.

Hmm, buat meyakinkan kalau batik itu lagi ngetren, bisa dilihat antara lain dari omzetnya. Dalam sebulan, Josephine misalnya, bisa meraup pendapatan sekitar Rp 40 juta. Sementara pemilik label batik lain bercerita, kalau biasanya sebulan omzetnya Rp 50 juta-Rp 60 juta, sejak sekitar awal 2008 ini naik sampai Rp 100 jutaan.

Hmm, terbukti kan kalau batik itu memang bisa jadi ”gue banget”. Makanya, jangan sampai enggak ada batik di lemari baju lu duung. Batik yang bukan cuma baju seragam sekola

Riwayat Batik


Jumat, 4 April 2008 | 02:33 WIB

”Batik pada awalnya bukan kain yang diperdagangkan. Batik itu dibuat lebih untuk memenuhi upacara adat di keraton-keraton Jawa. Pada abad pertengahan, seiring kedatangan agama Islam, terjadi perubahan tata masyarakat di Jawa. Ini pun berimbas pada batik yang tak lagi menjadi ”monopoli” busana keluarga besar keraton.

”Kedatangan bangsa India, Arab, China, dan Eropa (terutama Belanda) memengaruhi perkembangan batik. Corak batik yang semula bersumber pada budaya keraton semata, berkembang sesuai lokasi dan kreativitas perajinnya. Pekalongan, Demak, Kudus, Cirebon, Indramayu, Tegal, Madura, Gresik, Lasem, Rembang, Banyumas, Garut, dan Tasikmalaya adalah daerah pembuat Batik Pesisiran.

”Pada masa penjajahan, Belanda memberi pengaruh pada corak batik, misalnya dengan motif buket bunga, pita, gambar ilustrasi buku atau dongeng (seperti cerita Si Tudung Merah, Hans Kecil dan Ikan), buah anggur, bunga anyelir, lili, burung layang-layang, kipas, payung, malaikat, dan angsa. Batik juga lebih berwarna, ada berbagai gradasi warna hijau, merah, biru, kuning, sampai oranye. Batik pun tak hanya dibuat untuk busana, tetapi juga pajangan, taplak, sampai gorden.

”Masa kekuasaan Jepang di Indonesia pada 1942-1945 memengaruhi corak batik. Batik masa itu bertambah dengan corak kupu-kupu, burung merak, sampai bunga sakura. Corak batik yang dipengaruhi Jepang disebut Batik Jawa Hokokai. Mungkin karena masa ini juga dikenal sebagai zaman susah, maka batiknya disebut pagi-sore, artinya dalam satu lembar kain ada dua motif dan warna yang berbeda. Jadi, meski hanya satu kain, orang lain bisa menduga dia punya dua kain batik.

Corak batik itu sangat fleksibel, makanya ada yang disebut batik Trikora (tahun 1960-an) sampai batik Korpri atau Batik Golkar pada masa Orde Baru.

Perkembangan batik seakan tak pernah berhenti, beberapa nama yang lekat dengan batik sebut misalnya almarhum Ibu Bintang Sudibjo, Iwan Tirta, Josephine Komara, dan Carmanita.

Biarpun sesama batik, tetapi bahan baku, proses produksi, dan kualitasnya sangat beragam. Bahan baku batik mulai dari katun, serat nanas, sampai sutra. Prosesnya antara lain disebut tulis, cap, atau gabungan keduanya. Nah, sesuai dengan kualitas batik yang rentangnya amat lebar itu, maka harganya pun mulai dari puluhan ribu rupiah sampai puluhan juta rupiah. (DOE/CP)

Wednesday, April 2, 2008

Dilema Pulau Jawa

Perubahan Iklim
Rabu, 2 April 2008 | 00:47 WIB

Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara (lihat gambar). Luas Pulau Jawa 6,9 persen luas daratan seluruh Indonesia. Namun, jumlah penduduknya 60 persen dari penduduk Indonesia. Jacub Rais

Menurut data resmi Bakosurtanal, luas Pulau Jawa adalah 132.187 km persegi dan luas total daratan Indonesia adalah 1.919.443 km persegi.

Jumlah penduduk di Pulau Jawa pada tahun 1990, menurut Agenda 21 Indonesia yang diterbitkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup 1997, adalah 107.515.322 jiwa dari jumlah total penduduk Indonesia pada tahun tersebut sebanyak 179.243.375 jiwa, atau 60 persen penduduk Indonesia hidup di Pulau Jawa. Ini berarti kepadatan penduduk di Jawa adalah 813 orang per km persegi. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa ini sebenarnya juga sudah terjadi sejak Gubernur Jenderal Thomas Raffles (1820-1830) dalam tulisannya pada 1826, The History of Java, Volume I, halaman 68-72, yang mengatakan bahwa 60 persen penduduk Indonesia hidup di Pulau Jawa yang merupakan 6,95 persen dari luas daratan Indonesia. Rasio ini tidak berubah sejak tahun 1920 ketika penduduk Pulau Jawa hanya 34,4 juta, yang kemudian berkembang menjadi 41,7 juta (1930), 48,4 juta (1940), dan 60 juta (1950).

Prediksi dalam Agenda 21 Indonesia, pada tahun 2020 penduduk Indonesia akan mencapai 254.214.909 jiwa dan penduduk Pulau Jawa akan berkembang menjadi 144.214.909 jiwa atau kepadatan penduduk menjadi 1091 orang per km persegi. Ini berarti 57,7 persen penduduk Indonesia hidup di 6,9 persen lahan daratan. Kita juga tahu bahwa tidak semua daratan dapat digunakan karena berupa gunung dan bukit yang ditutupi hutan lindung, atau topografi terjal yang tidak dapat dimanfaatkan, bahkan sebagian besar harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan hidrologis.

Masalah kota Jakarta dengan jumlah penduduk pada siang hari katanya sekitar 11,4 juta pada tahun 2001 telah makin membuat kesemrawutan lalu lintas, penduduk yang mendiami bantaran sungai, kolong jembatan, masalah jalur hijau, pedagang kaki lima, masalah banjir yang kronis, masalah kesehatan, dan lain-lain. Menurut prediksi, kota Jakarta yang berpenduduk lebih dari 10 juta ini pada tahun 2015 akan mencapai 17,3 juta penduduknya. Bagaimana mengatasinya?

Dari rasio penduduk terhadap ketersediaan lahan yang makin kecil, Pulau Jawa sampai tahun 2020 akan terus-menerus menghadapi degradasi lingkungan, seperti ketidakseimbangan hidrologis (keterbatasan tersedianya air, banjir, longsor), lingkungan hidup makin kumuh di bantaran-bantaran sungai, pantai, dan urbanisasi semakin meningkat karena kehidupan di tanah-tanah pertanian tidak memberi harapan yang baik, meningkatnya konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian (perumahan, industri, pusat-pusat jasa), meningkatnya konsumsi beras dengan bertambahnya penduduk—sedangkan luas lahan pertanian tidak berubah, malah berkurang—juga meningkatnya aspek sampingan dari kepadatan dan kemiskinan penduduk, seperti kesehatan, kriminalitas, dan pengangguran.

Dalam prediksi Agenda 21 Indonesia, kebutuhan beras akan meningkat dari 27,2 juta ton pada 1992 menjadi 45,1 juta ton pada 2018. Ini memerlukan pembukaan lahan sawah baru sebesar 11,2 juta hektar (di luar Jawa) pada 2018 jika ingin mempertahankan swasembada beras.

Perambahan hutan telah terjadi dengan laju yang menakutkan akibat kebutuhan lahan bagi penduduk setempat maupun pendatang untuk tempat hidup dan berladang. Keadaan ini mempunyai dampak terhadap meningkatnya laju erosi dan tingkat sedimentasi yang ditranspor melalui sungai-sungai sehingga hampir semua sungai besar di Pulau Jawa tercemar oleh sedimen, ditambah dengan sisa-sisa nutrien dan polutan dari sumber-sumber point and non-point sources yang berada di sekitar sungai (permukiman, industri, pertanian, peternakan, dan sebagainya). Sedimen, polutan, dan nutrien yang mengalir di sungai akan menurunkan kualitas air sehingga menurunkan pula daya dukungnya terhadap biota laut di daerah-daerah estuaria, lahan basah, delta di daerah hilir.

Ada ancaman lain yang datangnya dari luar (di luar kehendak manusia), seperti proses-proses endogenetik (dari dalam tubuh Bumi) dan eksogenetik (dari luar tubuh Bumi, seperti dari atmosfer dan hidrosfer), antara lain:

(1) Bencana kebumian, karena Pulau Jawa sebagai pulau vulkanik dan seismik aktif, dan berada pada tepian lempeng tektonik Eurasia yang ditunjam oleh lempeng tektonik Australia dari selatan, sehingga gempa, tsunami, dan letusan gunung api sudah menjadi bagian dari ritme fisik Indonesia, termasuk pulau di Jawa.

(2) Naiknya muka laut akibat pemanasan global. Kalau prediksi IPCC (1992) menjadi kenyataan bahwa secara global muka laut akan naik pada akhir abad ini sampai 1 meter, jika tidak ada usaha-usaha manusia di planet ini (business as usual) meredam emisi karbondioksida pada 2025. Jikapun ada usaha-usaha tersebut, muka air laut masih akan naik dengan prediksi 60 cm pada akhir abad ke-21 ini (WCC 1993). Kedua angka tersebut, 1 m atau 60 cm, akan membuat sebagian dataran rendah Indonesia hilang (tergenang, inundated), termasuk pantura Pulau Jawa. Bagi pantura Jawa, banjir akan menjadi fenomena yang kronis, yang dapat menyengsarakan rakyat, tanpa manusia dapat berbuat sesuatu secara signifikan.

Ada dua hal yang harus dilakukan di Pulau Jawa dalam jangka menengah, yaitu:

1. Masalah sampah

a. Sampah adalah produk dari kehidupan dan pembangunan.

b. Memerlukan pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.

c. Menjadikan sampah dari gangguan (nuisance) menjadi potential resources. Perlu program nasional untuk itu.

2. Masalah Penataan Ruang

a. Penataan ruang Pulau Jawa secara sinergis antara provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan provinsi-provinsi luar Jawa. Terapkan Penataan Ruang Darat-Laut Terpadu.

b. Jadikan Agenda 21 Indonesia sebagai acuan pembangunan nasional/daerah/kota (kalau perlu ada revisi agenda tersebut)

c. Strategi Pengembangan Wilayah (untuk meningkatkan daya dukung daratan dan lautan) bagi meningkatkan kemakmuran dengan memperhitungkan dinamika atmosfer.

Sebagai catatan, tidak ada satu provinsi pun di Pulau Jawa yang boleh menata ruangnya secara sendiri-sendiri. Butuh keterpaduan antara provinsi-provinsi yang berbatasan langsung maupun tidak langsung.

Pulau Jawa memerlukan satu strategi terpadu dalam menata ruangnya, yaitu bagaimana menangani penduduk yang padat dan bagaimana mendistribusikan penduduk secara merata ke seluruh Indonesia.

Untuk dapat mengurangi penduduk Pulau Jawa minimal 2 juta per tahun, diperlukan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan di pulau-pulau besar dan kecil di luar Pulau Jawa, berbasis industri agromaritim. Rencana strategis ini perlu didukung oleh tata ruang terpadu antara pusat dan daerah serta antara darat dan laut untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan di Pulau Jawa. Jika penduduk Jakarta mencapai 17,3 juta pada tahun 1015, bagaimana bentuk penataan Jakarta? Tentang supermegapolitan?

Pengembangan sumber daya energi bersih lingkungan perlu dikembangkan dan diterapkan secara konsekuen, seperti tenaga energi listrik dari surya dan angin.

Lihat saja, Amerika Serikat sendiri telah memutuskan energi pada 2050 akan seluruhnya bertumpu pada energi surya (solar energy) dan energi udara (Zweibel et al. 2008).

JACUB RAIS Guru Besar Emeritus ITB; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

Dilema Pulau Jawa

Perubahan Iklim
Rabu, 2 April 2008 | 00:47 WIB

Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara (lihat gambar). Luas Pulau Jawa 6,9 persen luas daratan seluruh Indonesia. Namun, jumlah penduduknya 60 persen dari penduduk Indonesia. Jacub Rais

Menurut data resmi Bakosurtanal, luas Pulau Jawa adalah 132.187 km persegi dan luas total daratan Indonesia adalah 1.919.443 km persegi.

Jumlah penduduk di Pulau Jawa pada tahun 1990, menurut Agenda 21 Indonesia yang diterbitkan Kementerian Negara Lingkungan Hidup 1997, adalah 107.515.322 jiwa dari jumlah total penduduk Indonesia pada tahun tersebut sebanyak 179.243.375 jiwa, atau 60 persen penduduk Indonesia hidup di Pulau Jawa. Ini berarti kepadatan penduduk di Jawa adalah 813 orang per km persegi. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa ini sebenarnya juga sudah terjadi sejak Gubernur Jenderal Thomas Raffles (1820-1830) dalam tulisannya pada 1826, The History of Java, Volume I, halaman 68-72, yang mengatakan bahwa 60 persen penduduk Indonesia hidup di Pulau Jawa yang merupakan 6,95 persen dari luas daratan Indonesia. Rasio ini tidak berubah sejak tahun 1920 ketika penduduk Pulau Jawa hanya 34,4 juta, yang kemudian berkembang menjadi 41,7 juta (1930), 48,4 juta (1940), dan 60 juta (1950).

Prediksi dalam Agenda 21 Indonesia, pada tahun 2020 penduduk Indonesia akan mencapai 254.214.909 jiwa dan penduduk Pulau Jawa akan berkembang menjadi 144.214.909 jiwa atau kepadatan penduduk menjadi 1091 orang per km persegi. Ini berarti 57,7 persen penduduk Indonesia hidup di 6,9 persen lahan daratan. Kita juga tahu bahwa tidak semua daratan dapat digunakan karena berupa gunung dan bukit yang ditutupi hutan lindung, atau topografi terjal yang tidak dapat dimanfaatkan, bahkan sebagian besar harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan hidrologis.

Masalah kota Jakarta dengan jumlah penduduk pada siang hari katanya sekitar 11,4 juta pada tahun 2001 telah makin membuat kesemrawutan lalu lintas, penduduk yang mendiami bantaran sungai, kolong jembatan, masalah jalur hijau, pedagang kaki lima, masalah banjir yang kronis, masalah kesehatan, dan lain-lain. Menurut prediksi, kota Jakarta yang berpenduduk lebih dari 10 juta ini pada tahun 2015 akan mencapai 17,3 juta penduduknya. Bagaimana mengatasinya?

Dari rasio penduduk terhadap ketersediaan lahan yang makin kecil, Pulau Jawa sampai tahun 2020 akan terus-menerus menghadapi degradasi lingkungan, seperti ketidakseimbangan hidrologis (keterbatasan tersedianya air, banjir, longsor), lingkungan hidup makin kumuh di bantaran-bantaran sungai, pantai, dan urbanisasi semakin meningkat karena kehidupan di tanah-tanah pertanian tidak memberi harapan yang baik, meningkatnya konversi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian (perumahan, industri, pusat-pusat jasa), meningkatnya konsumsi beras dengan bertambahnya penduduk—sedangkan luas lahan pertanian tidak berubah, malah berkurang—juga meningkatnya aspek sampingan dari kepadatan dan kemiskinan penduduk, seperti kesehatan, kriminalitas, dan pengangguran.

Dalam prediksi Agenda 21 Indonesia, kebutuhan beras akan meningkat dari 27,2 juta ton pada 1992 menjadi 45,1 juta ton pada 2018. Ini memerlukan pembukaan lahan sawah baru sebesar 11,2 juta hektar (di luar Jawa) pada 2018 jika ingin mempertahankan swasembada beras.

Perambahan hutan telah terjadi dengan laju yang menakutkan akibat kebutuhan lahan bagi penduduk setempat maupun pendatang untuk tempat hidup dan berladang. Keadaan ini mempunyai dampak terhadap meningkatnya laju erosi dan tingkat sedimentasi yang ditranspor melalui sungai-sungai sehingga hampir semua sungai besar di Pulau Jawa tercemar oleh sedimen, ditambah dengan sisa-sisa nutrien dan polutan dari sumber-sumber point and non-point sources yang berada di sekitar sungai (permukiman, industri, pertanian, peternakan, dan sebagainya). Sedimen, polutan, dan nutrien yang mengalir di sungai akan menurunkan kualitas air sehingga menurunkan pula daya dukungnya terhadap biota laut di daerah-daerah estuaria, lahan basah, delta di daerah hilir.

Ada ancaman lain yang datangnya dari luar (di luar kehendak manusia), seperti proses-proses endogenetik (dari dalam tubuh Bumi) dan eksogenetik (dari luar tubuh Bumi, seperti dari atmosfer dan hidrosfer), antara lain:

(1) Bencana kebumian, karena Pulau Jawa sebagai pulau vulkanik dan seismik aktif, dan berada pada tepian lempeng tektonik Eurasia yang ditunjam oleh lempeng tektonik Australia dari selatan, sehingga gempa, tsunami, dan letusan gunung api sudah menjadi bagian dari ritme fisik Indonesia, termasuk pulau di Jawa.

(2) Naiknya muka laut akibat pemanasan global. Kalau prediksi IPCC (1992) menjadi kenyataan bahwa secara global muka laut akan naik pada akhir abad ini sampai 1 meter, jika tidak ada usaha-usaha manusia di planet ini (business as usual) meredam emisi karbondioksida pada 2025. Jikapun ada usaha-usaha tersebut, muka air laut masih akan naik dengan prediksi 60 cm pada akhir abad ke-21 ini (WCC 1993). Kedua angka tersebut, 1 m atau 60 cm, akan membuat sebagian dataran rendah Indonesia hilang (tergenang, inundated), termasuk pantura Pulau Jawa. Bagi pantura Jawa, banjir akan menjadi fenomena yang kronis, yang dapat menyengsarakan rakyat, tanpa manusia dapat berbuat sesuatu secara signifikan.

Ada dua hal yang harus dilakukan di Pulau Jawa dalam jangka menengah, yaitu:

1. Masalah sampah

a. Sampah adalah produk dari kehidupan dan pembangunan.

b. Memerlukan pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.

c. Menjadikan sampah dari gangguan (nuisance) menjadi potential resources. Perlu program nasional untuk itu.

2. Masalah Penataan Ruang

a. Penataan ruang Pulau Jawa secara sinergis antara provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan provinsi-provinsi luar Jawa. Terapkan Penataan Ruang Darat-Laut Terpadu.

b. Jadikan Agenda 21 Indonesia sebagai acuan pembangunan nasional/daerah/kota (kalau perlu ada revisi agenda tersebut)

c. Strategi Pengembangan Wilayah (untuk meningkatkan daya dukung daratan dan lautan) bagi meningkatkan kemakmuran dengan memperhitungkan dinamika atmosfer.

Sebagai catatan, tidak ada satu provinsi pun di Pulau Jawa yang boleh menata ruangnya secara sendiri-sendiri. Butuh keterpaduan antara provinsi-provinsi yang berbatasan langsung maupun tidak langsung.

Pulau Jawa memerlukan satu strategi terpadu dalam menata ruangnya, yaitu bagaimana menangani penduduk yang padat dan bagaimana mendistribusikan penduduk secara merata ke seluruh Indonesia.

Untuk dapat mengurangi penduduk Pulau Jawa minimal 2 juta per tahun, diperlukan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan di pulau-pulau besar dan kecil di luar Pulau Jawa, berbasis industri agromaritim. Rencana strategis ini perlu didukung oleh tata ruang terpadu antara pusat dan daerah serta antara darat dan laut untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan di Pulau Jawa. Jika penduduk Jakarta mencapai 17,3 juta pada tahun 1015, bagaimana bentuk penataan Jakarta? Tentang supermegapolitan?

Pengembangan sumber daya energi bersih lingkungan perlu dikembangkan dan diterapkan secara konsekuen, seperti tenaga energi listrik dari surya dan angin.

Lihat saja, Amerika Serikat sendiri telah memutuskan energi pada 2050 akan seluruhnya bertumpu pada energi surya (solar energy) dan energi udara (Zweibel et al. 2008).

JACUB RAIS Guru Besar Emeritus ITB; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

Sekolah Tersaingi Bimbingan Belajar

Jasa Pelayanan Lebih Kreatif dan Variatif
Rabu, 2 April 2008 | 00:51 WIB

Jakarta, Kompas - Peran sekolah, walaupun belum tergantikan, kian tersaingi oleh maraknya lembaga bimbingan belajar. Lembaga bimbingan belajar kini semakin kreatif dan variatif dalam memberikan pelayanan kepada siswa serta memahami kebutuhan siswa.

Aspek yang belakangan semakin terlupakan di sekolah formal, seperti relasi antara guru dan siswa, bahkan mulai terpenuhi di lembaga bimbingan belajar.

Kian variatifnya pelayanan yang diberikan bimbingan belajar tak lepas dari kebijakan ujian nasional untuk SMP dan SMA serta ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) untuk sekolah dasar. Pihak bimbingan belajar mengambil peluang itu untuk memberikan jasa pelayanan membantu anak lulus ujian nasional dan UASBN serta kemudian mendapatkan sekolah favorit.

Selain layanan pendalaman materi dan pelatihan mengerjakan soal, Bimbingan Belajar Bintang Pelajar cabang Ahmad Dahlan, Jakarta, misalnya, menyediakan pula layanan bimbingan konseling. Siswa dapat bertemu guru konseling yang berlatar belakang pendidikan psikologi untuk membicarakan kesulitan belajarnya.

Sebelum masuk ke bimbingan belajar itu, siswa wajib mengikuti tes psikologi guna melihat minat dan bakat. Guru konseling di Bintang Pelajar, Hilman Budiawan, lulusan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Selasa (1/4), mengatakan, tes psikologi tersebut dilakukan untuk melihat minat dan kecenderungan gaya belajar anak.

”Setiap anak punya gaya belajar yang berbeda. Kita juga harus memahaminya,” ujarnya. Relasi guru dan murid baik dan dekat karena satu kelas maksimal berisi lima anak dengan satu guru. Guru mengenal kebiasaan dan karakter peserta bimbingan belajar.

Peserta bimbingan belajar mendapatkan training motivasi, seminar pola asuh anak yang melibatkan orangtua peserta, fasilitas call to home atau laporan dari pihak bimbingan belajar ke orangtua satu bulan sekali, dan pengiriman pesan harian lewat telepon seluler bagi anak yang tidak datang atau sering telat masuk kelas. Ada pula Kegiatan Belajar Mengajar Shalat, yakni 15 menit untuk shalat secara bergantian.

Tidak cukup di sekolah

Satu paket bimbingan tiga mata pelajaran sebanyak tiga kali per minggu tingkat SD dan SMP selama satu tahun harganya sekitar Rp 6 juta. Sebagian besar dari mereka mendaftar saat tahun ajaran baru dimulai tahun lalu.

”Orangtua merasa tidak cukup dengan mengandalkan sekolah. Di sekolah, umumnya satu kelas berisi 25-45 anak sehingga dikhawatirkan persiapan anak tidak maksimal, terutama untuk menghadapi UASBN,” ujar Hilman.

Bimbingan Belajar Cendikia College di Jakarta juga mengadakan program persiapan ujian nasional bagi murid SMP, SMA, dan SMK. Di lembaga itu, jumlah murid dibatasi hanya 10 orang dalam satu kelas. Untuk persiapan ujian nasional, programnya tiga kali selama satu minggu, masing-masing berdurasi tiga jam. ”Biasanya ada pemberian materi dan pelatihan soal,” ujar tenaga staf administrasi Cendikia College, Novi Pawawanti.

Di samping itu, terdapat pelayanan Guru Jaga setiap hari yang dapat dimanfaatkan murid untuk bertanya, klinik belajar, konsultasi kesulitan belajar, dan laporan perkembangan akademik. Bimbingan belajar itu juga memberikan modul lengkap yang sistematis, kuis, tes formatif, dan evaluasi secara berkala. Biaya bimbingan selama enam bulan Rp 2 juta hingga Rp 3 juta, sedangkan program setahun tarifnya Rp 4 juta hingga Rp 6 juta.

Bimbingan Belajar Primagama cabang Bendungan Hilir sejak tahun 2002 telah mempunyai program untuk murid SD, SMP, dan SMA. ”Umumnya orangtua memasukkan anaknya karena kesulitan menghadapi perubahan kurikulum dan mengantisipasi berbagai ujian yang dihadapi anak,” ujar tentor (semacam guru) Matematika yang tengah berjaga siang itu, Amni Herlina.

Dia mengatakan, bimbingan belajar mempunyai kelebihan karena ada pembatasan murid. Untuk program reguler, murid maksimal hanya boleh 20 anak satu kelas dan di program excellent hanya boleh 10 murid per kelas. ”Kalau kelebihan satu murid pun pasti akan dipecah kelas,” ujarnya.

Hubungan antara guru dan murid cukup dekat. Jumlah murid yang sedikit membuat guru mengenali para muridnya. Selain itu, terdapat program problem solving, tempat murid bertanya dengan leluasa seputar kesulitan belajarnya. (INE)

Tuesday, April 1, 2008

Ketika Ibu Tega Membunuh Anaknya

Selasa, 1 April 2008 | 00:39 WIB

Oleh Nalini Muhdi

Tega nian si ibu. Induk macan saja tidak mau memakan anak sendiri. Lha, manusia kok malah lebih keji dari binatang. Begitulah, fenomena ibu yang membunuh anak kandung sendiri menjadi berita utama baru-baru ini (Kompas, 27-28/3/2008) membuat kita prihatin, sekaligus menyisakan segumpal pertanyaan.

Ada apa dengan ibu? Semudah itukah menggadaikan cinta kasih seorang ibu hanya lantaran derita finansial? Seulas dua ulas keterangan diberikan pakar. Mulai dari cengkeraman gurita ekonomi yang memang kian menyesakkan benak, si ibu yang dilanda depresi, sampai kebijaksanaan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat miskin.

Semuanya bisa jadi benar. Tapi, penyebab masalah ini memang kompleks, mengekor pada kehidupan yang kian rumit.

Gangguan ”mood” pascamelahirkan

Coba kita cermati. Hampir semua ibu yang tega membunuh anaknya tersebut mempunyai bayi yang belum berusia setahun. Kemungkinan besar si ibu menderita gangguan mood pascamelahirkan tak dapat dinafikan, membuat kita memberi garis bawah tebal pada setiap peristiwa ibu melahirkan. Kondisi fisik serta mental-emosional mereka yang rentan memang perlu perhatian secara simultan.

Di Indonesia, kesadaran tentang bahaya kesehatan mental pascamelahirkan masih amat kurang. Peristiwa sesudah melahirkan hanya dipandang sebagai masa yang menyenangkan dan pasti bisa dilalui dengan baik. Persepsi seperti itu pulalah yang menggiring banyak ibu tak berani menyuarakan keluhan bila dalam proses merawat bayinya mendapat kesulitan. Mereka takut dipandang tak becus menjadi ibu dan akan mendapat stigma sebagai ’ibu yang gagal’ dan mengundang rasa bersalah, kian membuat mereka enggan menyuarakan penderitaannya.

Ditengarai, satu di antara lima sampai tujuh perempuan yang melahirkan menderita depresi pascamelahirkan (post-natal depression). Lainnya bahkan menderita yang lebih berat, psikosis pascamelahirkan, kendati persentasenya lebih kecil. Gangguan obsesi kompulsi pascamelahirkan, meskipun lebih ringan, dampaknya sama membahayakan bagi ibu dan anak-anak yang masih bergantung pada emaknya tersebut. Kondisi ini tak sama dengan apa yang disebut sebagai baby blues atau perasaan mengharu biru dan sensitif yang normal melanda sebagian besar ibu seusai melahirkan lantaran adanya perubahan hormonal yang drastis saat melahirkan.

Penyebab gangguan mood pascamelahirkan (postnatal mood disorders) cukup kompleks. Ramuan faktor biologis, psikologis, dan sosial-ekonomi saling berbaur. Faktor biologis menjadi potensi awal, lantas akan manifest bila ada faktor lain yang mencetuskan. Semisal faktor kepribadian, cara mengatasi masalah, self-esteem, riwayat kekerasan pada masa kecil dan saat sekarang, masalah perkawinan, kehidupan yang sulit, kondisi bayi, kurangnya dukungan sosial, atau tekanan ekonomi. Faktor terakhir inilah yang akhir-akhir ini makin menggulung orang miskin menjadi lebih miskin di negeri ini. Dan bisa menjadi faktor menonjol yang mencetuskan maraknya fenomena ini. Tapi, sekali lagi, itu hanya salah satu faktor, tetapi bukan berarti dapat diabaikan.

”Suicide” dan ”Infanticide”

Gangguan mood pascamelahirkan bukan persoalan sepele. Dampaknya bisa memorakporandakan kehidupan si ibu, keluarganya, bayi, serta anak-anak lainnya. Gangguan ini mulai muncul dalam setahun setelah melahirkan, belum tentu segera setelah melahirkan. Bahkan, ada negara yang memperpanjang fokus perhatiannya menjadi dua tahun seusai ibu melahirkan.

Jane Fisher, seorang peneliti dari Melbourne University, menjumpai tingginya angka kematian ibu di Vietnam dalam setahun seusai melahirkan. Usut punya usut, ditengarai banyaknya ibu yang tampak meninggal karena kecelakaan ternyata melakukan bunuh diri tersamar. Kerap mereka tewas bersama anaknya.

Gangguan ini melanda seluruh lapisan masyarakat dan negara, dengan faktor pencetus dominannya yang beragam. Yang mengkhawatirkan, si ibu akan mengalami kesulitan dalam mengasuh serta menjalin ikatan emosional yang memadai terhadap bayi maupun anaknya yang lain. Dampaknya, anak-anak mereka bisa mengalami gangguan emosional dan perilaku, keterlambatan berbahasa dan gangguan kognitif, sebagai korban kekerasan yang dilakukan ibu, serta gangguan lainnya.

Bagi si ibu sendiri, kondisi yang sangat sulit tersebut bisa kian runyam bila tak direspons oleh lingkungan sosialnya. Dalam kondisi berat bisa memunculkan keinginan untuk mengakhiri penderitaan lewat jalan yang membahayakan diri maupun anaknya. Bunuh diri (suicide) dan membunuh bayi sendiri (infanticide) pun terjadi dan membuat masyarakat terpana, tak paham betul apa yang tengah terjadi. Seperti terjadi baru-baru ini. Ini masalah kondisi medik dan kejiwaan yang dipicu masalah sosial-ekonomi.

Program nasional

Sudah saatnya pemerintah bekerja keras meningkatkan taraf kualitas hidup bangsa ini, secara fisik, sosial, sekaligus mental- emosional. Tak ada yang lebih diutamakan karena dampaknya berkaitan. Kualitas anak ditentukan kualitas sang bunda. Berarti penanganan gangguan mood pada ibu pascamelahirkan saatnya dilakukan. Bahkan, di negara-negara maju, penanganan gangguan depresi pascamelahirkan sudah menjadi program nasional. Mungkin setara dengan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia.

Di Australia, bahkan skrining untuk mendeteksi gangguan tersebut dilakukan secara apik dan sistematis, mulai dari tingkat setara posyandu. Ada baiknya kita tiru, menggalakkan posyandu sebagai pelayanan yang lebih komprehensif sehingga kita bisa melakukan deteksi awal adanya gangguan kesehatan fisik pada anak balita, semisal gizi buruk, gangguan perkembangan, tanda-tanda kekerasan dalam keluarga, sampai gangguan mood seusai melahirkan. Sembari pemerintah dan masyarakat bersama-sama menanggulangi masalah keterpurukan ekonomi yang diyakini akan berlanjut. Ataukah kita harus menunggu korban lebih banyak lagi?

Nalini Muhdi Psikiater dan Konsultan ”Women Mental Health”; Bekerja di RSU Dr Soetomo/Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya