Monday, March 31, 2008

Pemanasan Globa

Kamis, 27 Maret 2008 | 01:03 WIB

Washington, Rabu - Sebongkah es dari Antartika yang besarnya setara dengan tujuh kali luas Manhattan tiba-tiba longsor. Kejadian ini membuat sisa es yang lebih besar akan berisiko longsor pula. Demikian disampaikan para ilmuwan di Washington, Amerika Serikat, Rabu (26/3).

Citra dari satelit menunjukkan bongkahan yang terlepas berukuran 160 mil persegi atau 414,4 kilometer persegi dan sudah mulai runtuh pada 28 Februari lalu. Bongkahan itu merupakan tepian dari beting es Wilkins yang telah ada di sana sejak ribuan tahun, mungkin 1.500 tahun yang lalu. Beting es Wilkins merupakan hamparan es yang secara permanen terapung. Jaraknya sekitar 1.609 kilometer sebelah selatan Amerika utara, di barat daya Semenanjung Antartika.

”Peristiwa ini jelas merupakan dampak dari pemanasan global,” ujar David Vaughan dari British Antarctic Survey.

Karena para ilmuwan menerima citra dari satelit itu dalam hitungan jam, mereka segera mengalihkan kamera satelit, bahkan tidak sedikit yang segera terbang ke atas bongkahan yang longsor untuk mengambil gambar foto dan video.

Akibat longsor ini, sebagian besar beting yang luasnya sekitar 12.950 kilometer persegi kemudian hanya ditopang oleh bentangan es kecil yang panjangnya hanya 5,6 kilometer. Es penopang ini berada di antara dua pulau.

”Ini merupakan peristiwa yang tidak sering terjadi,” ujar Ted Scambos, ilmuwan yang memimpin tim riset dari National Snow and Ice Data Center di Boulder, Colorado.

”Jika ada sedikit saja guncangan, penopang ini akan longsor juga dan tampaknya kita akan kehilangan separuh dari total area es dalam waktu beberapa tahun saja,” ujar Scambos.

Scambos mengatakan, beting es telah berada di tempatnya selama ratusan tahun, tetapi udara yang hangat dan paparan ombak membuatnya terbelah-belah.

Selama setengah abad ini, Semenanjung Atlantik telah menjadi hangat lebih cepat dibandingkan dengan bagian lain di muka bumi ini.

”Pemanasan yang terjadi di semenanjung itu sangatlah jelas terkait dengan kenaikan gas rumah kaca serta perubahan yang terjadi di sekitar kawasan Antartika,” ujar Scambos.

Seperti dibom

Walaupun gunung es secara alamiah kadang memang longsor dari gunung utama, kejadian longsor semacam ini sangat tidak biasa, tetapi terjadi lebih sering dalam dekade belakangan ini, jelas Vaughan. Longsornya bongkahan es itu sama seperti yang terjadi ketika sebuah gelas kaca dihantam palu dengan keras, katanya lagi.

Jim Elliot yang turut di pesawat Twin Otter yang membawa tim British Antarctic Survey menggambarkan, keadaan setelah longsor sangat berantakan seperti habis dibom.

”Saya tidak pernah melihat kerusakan seperti ini, sangat menakutkan. Kami terbang di atas pecahan utama dan memerhatikan pergerakan pecahan terjal akibat dari longsoran itu. Bongkahan es ada yang setara dengan rumah kecil, tampak terlihat telah terlempar. Seperti telah terjadi ledakan bom,” katanya.

Sisa beting es Wilkins yang kira-kira sama besarnya dengan Connecticut masih bertahan pada lapisan es yang tipis. Para ilmuwan khawatir kelak akan lebih banyak lagi bongkahan es yang akan longsor.

Vaughan memperkirakan beting es Wilkins akan longsor semuanya dalam waktu 15 tahun dari sekarang. Bongkahan yang baru saja longsor sekitar 4 persen dari seluruh beting yang ada. Bagian itu merupakan bagian yang penting karena dapat menyebabkan bagian lain ikut longsor.

Masih ada kesempatan bagi sisa bongkahan agar dapat tetap selamat hingga tahun depan karena saat ini merupakan akhir dari musim panas di Antartika. Udara dingin akan segera datang dan menyelamatkan sisa bongkahan es, kata Vaughan.

Para ilmuwan itu tidak mengkhawatirkan kenaikan permukaan laut akibat kejadian ini, tetapi mengatakan bahwa kejadian itu merupakan pertanda pemanasan global semakin menjadi-jadi.

Perubahan iklim

Vaughan mengatakan, beting es Wilkins terpecah dan tidak akan memengaruhi permukaan air laut ketika longsor.

Selama setengah abad ini Semenanjung Antartika di sebelah barat telah mengalami perubahan temperatur yang paling tinggi. sekitar 0,5 derajat Celsius per dekade. Iklim di Antartika saat ini sangat rumit dan lebih terisolasi dari bagian lain di bumi ini.

Menurut perhitungan para ahli, kenaikan permukaan laut per meter sekitar 3 milimeter per tahun dan pada akhir abad ini permukaan air laut akan naik hingga 1,4 meter.

Kejadian longsor es itu merupakan indikasi akan penyebab adanya perubahan dalam sistem iklim, kata Sarah Das, ilmuwan dari Woods Hole Oceanographic Institute.

”Sekali meleleh, bongkahan es itu akan lenyap untuk selamanya,” ujar Das. (AP/AFP/REUTERS/JOE)


 

Tuesday, March 25, 2008

FLU BURUNG


Kerugian Mencapai Rp 4,1 Triliun
Selasa, 25 Maret 2008 | 01:16 WIB

Jakarta, Kompas - Tingginya angka kasus penularan flu burung di Indonesia menimbulkan kerugian ekonomi besar. Nilai kerugian tahun 2004-2007 diperkirakan Rp 4,1 triliun. Pemerintah akan makin mengintensifkan penanganan flu burung.

”Implementasi intensifikasi penanganan flu burung di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi terus disinkronkan,” kata Ketua Pelaksana Harian Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI) Bayu Krisnamurthi, Senin (24/3) di Jakarta.

Berdasarkan data Komnas FBPI per 27 Februari, kasus flu burung pada manusia 129 penderita, 105 di antaranya meninggal dunia (81,4 persen). Kasus berulang di Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

Kerugian itu belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan akibat berkurangnya konsumsi protein masyarakat. Peternak dan pedagang unggas paling merasakan dampaknya.

Kerugian itu disebabkan oleh pemusnahan ayam kalau ada kasus di suatu tempat, menurunnya permintaan ayam dan telur, berkurangnya konsumsi ayam dan telur di restoran. Untuk setiap unggas yang dimusnahkan, warga diberi kompensasi Rp 12.500 per ekor oleh pemerintah.

Juga biaya peternak dan pemerintah untuk penanganan flu burung dan dampak ke sektor lain, terutama pariwisata. ”Pada situasi pandemi, kerugian jauh lebih besar. Kegiatan ekonomi tak berfungsi karena orang sakit dan khawatir tertular,” kata Bayu.

Simulasi pandemi dari data 2006 menunjukkan, kerugian langsung jangka pendek Rp 14 triliun-Rp 48 triliun.

Jajaran pemda, khususnya di Jabodetabek, berkomitmen serius menangani flu burung, terutama restrukturisasi bisnis unggas. ”Pemprov DKI berencana tak ada lagi unggas hidup di wilayahnya tahun 2010,” kata Kepala Dinas Peternakan, Perikanan, dan Kelautan DKI Edi Setiarto. (EVY)

Saturday, March 22, 2008

Budaya Baca dan Kemajuan Bangsa

Oleh :Rokhmin Dahuri

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan

Fakta sejarah membuktikan bangsa yang maju mampu menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Terlebih pada era globalisasi ini, dengan perekonomian dunia semakin terintegrasi dan perdagangan antarnegara kian liberal.

Hanya bangsa yang dapat menghasilkan barang dan jasa kompetitif bisa eksis, maju, dan makmur. Cirinya berkualitas unggul, harga relatif murah, dan kuantitas produksi (supply) dapat memenuhi kebutuhan pasar, baik pasar domestik maupun internasional. Menghasilkan barang dan jasa semacam ini tidak mungkin dikerjakan secara tradisional tanpa menggunakan teknologi atau dengan manajemen asal-asalan.

Wajar bila negara-negara industri maju yang tergabung dalam OECD (seperti AS, Kanada, Uni Eropa, Jepang, dan Australia) menguasai 70 persen perdagangan dunia dan menjadi kaya raya. Merekalah yang menguasai teknologi serta mengaplikasikannya dalam industri dan ekonomi.

Dengan pola serupa, Singapura, RRC, India, Malaysia, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Cile berhasil mengikuti jejak negara-negara OECD. Lalu, apa hubungannya antara budaya baca dan penguasaan iptek dan kemajuan bangsa?

Jelas budaya baca berkorelasi positif dengan penguasaan iptek suatu bangsa. Semakin tinggi budaya baca, semakin maju bangsa tersebut.

Mahasiswa di negara industri maju rata-rata membaca delapan jam per hari, sedangkan di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap hari (UNESCO, 2005). Ayat Alquran yang pertama kali turun pun berupa perintah membaca (iqra).

Tentu ini bukan kebetulan, tetapi sunatullah bahwa kalau ingin maju dan hidup bahagia dunia-akhirat, kita harus menguasai dan menggunakan ilmu. Gerbang utamanya dengan membaca serta memahami ayat-ayat Allah, baik yang qauliyah (Alquran dan Hadis) maupun qauniyah berupa alam semesta beserta segenap isi dan dinamikanya.

Kendala kemajuan
Tantangannya adalah bagaimana kita mentransformasi budaya baca masyarakat yang terendah di dunia menjadi gemar membaca. Rendahnya minat baca terutama karena kurangnya kesadaran publik akan arti penting membaca bagi peningkatan kemampuan dan kesejahteraan diri maupun bangsa.

Daya beli mayoritas rakyat kita masih lemah sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok sehari-hari saja sudah kewalahan, apalagi beli koran, buku, atau bacaan lainnya. Komitmen pemerintah menyediakan buku dan bahan bacaan yang berkualitas dan murah, perpustakaan umum, juga masih rendah. Serbuan media elektronik (televisi, bioskop, dan internet) yang kebanyakan berisi tayangan hiburan, pornografi, iklan komersial, dan hal-hal hedonistis lainnya menjauhkan masyarakat dari budaya membaca dan menulis.

Masyarakat lebih senang menonton dan berbudaya verbal. Apresiasi pemerintah dan masyarakat terhadap kaum cerdik-pandai, ilmuwan, peneliti, akademisi, guru, dan profesional sangat tidak memadai.

Sistem pendidikan dan metode belajar-mengajar dari tingkat TK sampai perguruan tinggi (PT) pun kurang menumbuhkembangkan minat baca, berpikir logis, kreatif, inovatif, entrepreneurship, dan moralitas peserta didik. Akibatnya, sebagian besar lulusan pendidikan menengah dan PT hanya ingin menjadi pegawai negeri, politisi, atau bekerja pada orang lain, bukan menciptakan pekerjaan sendiri, berwirausaha.

Jumlah pengusaha nasional hanya 0,08 persen dari total penduduk Indonesia. Padahal, salah satu syarat utama agar sebuah bangsa menjadi maju dan makmur adalah jumlah pengusahanya minimal dua persen dari total penduduk (Ciputra, 2007).

Para sarjana lulusan PT umumnya tidak siap pakai, etos kerjanya rendah, dan kurang peduli dengan nasib bangsanya. Pengangguran terdidik membludak. Daya saing Indonesia menempati posisi kedua terbawah dari 55 negara yang disurvei (World Competitiveness Yearbook, 2007).

Jalan keluar
Kalau ingin menjadi bangsa maju, makmur, dan bermartabat, tak ada pilihan lain, kecuali melakukan gerakan nasional secara cerdas, sistematis, dan kontinu untuk mencintai, menguasai, dan menerapkan iptek di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama yang harus kita lakukan adalah membuka selebar-lebarnya akses masyarakat kepada semua jenis bahan bacaan yang berguna.

Kita bisa meneladani India dengan mencetak berbagai buku teks dalam kertas koran sehingga harganya jauh lebih murah ketimbang aslinya. Seperti Jepang, kita juga harus menggalakkan penerjemahan buku-buku dan jurnal ilmiah sehingga lebih banyak lagi rakyat dapat memahami dan menguasai iptek mutakhir.

Setiap kabupaten/kota dan provinsi minimal harus mempunyai satu perpustakaan umum. Masing-masing desa di seluruh Tanah Air selayaknya dilengkapi dengan satu taman bacaan.

Kedua, sistem pendidikan harus kita benahi agar bisa menghasilkan lulusan SDM yang mampu berpikir jernih dan logis, kreatif, inovatif, mampu berkomunikasi dengan baik, melek teknologi informasi (computer literacy), berjiwa wirausaha, memiliki etos kerja tinggi, dan berakhlak mulia. Lulusan sekolah tingkat menengah kejuruan, diploma, S1, S2, dan S3 tentu harus menguasai keahlian yang menjadi bidang studinya.

Untuk mengatasi pengangguran terdidik, jumlah dan kualitas lulusan dari program studi mestinya disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja, semacam program link and match. Depnakertrans sebagai leading sector menghimpun dan menyusun data base kebutuhan tenaga kerja nasional.

Data ini menjadi dasar perencanaan pembangunan sistem pendidikan oleh Departemen Pendidikan Nasional, perguruan tinggi, dan pencetak tenaga kerja lainnya. Balai latihan kerja harus lebih ditingkatkan lagi fungsinya.

Sudah saatnya kita mendukung perguruan tinggi secara lebih serius agar menjadi research-based universities yang mampu menghasilkan iptek yang berguna bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa. Kurikulum dan metode pendidikan harus terus disempurnakan sesuai kebutuhan pembangunan dan perkembangan zaman.

Di seluruh dunia, temuan teknologi dari aktivitas penelitian di PT hampir semuanya baru mencapai skala laboratorium. Untuk menjadikannya sebagai teknologi yang bermanfaat perlu upaya scaling-up (komersialisasi). Pemerintah dan swasta dituntut bekerja sama dengan PT. Sebagai bagian dari proses alih teknologi, Singapura, Malaysia, RRC, dan emerging economies lainnya mewajibkan perusahaan multinasional melibatkan para dosen dan peneliti dalam kegiatan research and development.

Seharusnya biaya pendidikan dibuat murah sehingga terjangkau keluarga termiskin. Di negara-negara maju dan emerging economies, pendidikan dari TK sampai SLTA bahkan gratis. Oleh sebab itu, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, di luar gaji guru, sesuai amanat UUD 1945 Amandemen, mestinya segera direalisasikan. Pasalnya, anggaran pendidikan di negara maju rata-rata mencapai 30 persen dari APBN. Sebagai contoh, Malaysia 25 persen, Thailand 30 persen, dan Myanmar 18 persen (UNDP, 2004).

Sumber dana lain juga bisa digali dari lima persen keuntungan BUMN, program CSR perusahaan asing, zakat mal, infak, shodaqoh, dan aktivitas filantropi lain.

Ikhtisar
- Minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. - Minat baca akan membuat daya saing bangsa meningkat.

Wednesday, March 19, 2008

Sistem Kesehatan

Rakyat Sehat, Urusan Siapa?

Handrawan Nadesul

Kelompok The Oxford Health Alliance resah. Pada pertemuan puncak di Sydney, 25-27 Februari, kelompok itu memanggil dunia untuk melakukan sesuatu.

Sepuluh tahun ke depan, wabah penyakit menahun dunia diproyeksikan bakal membunuh 388 juta jiwa. Ini adalah dampak yang lebih bengis dari ulah teroris. Tetapi, dunia politik tidak meliriknya karena lebih fokus menumpas peneror dunia.

Penyakit jantung, paru-paru, kencing manis, dan kanker sudah mengisi tiga perlima kematian yang sebetulnya tak perlu terjadi. Kegemukan membunuh jutaan jiwa hanya karena rakyat salah pilih menu, keliru bergaya hidup. Apa yang perlu dilakukan?

”Sydney Resolution”

Di Sydney telah dicetuskan resolusi memanggil dunia untuk menaruh perhatian lebih pada urusan kesehatan. Profesional, pemerintah, masyarakat, kalangan akademisi, dan pekerja sosial diimbau bersama-sama membangun hari depan lebih sehat (building a healthy future).

Konsepnya, apa pun pembangunannya, wajib menaruh hormat pada faktor kesehatan. Di sini dikenal sebagai pembangunan berwawasan kesehatan.

Target jangka panjang Sistem Kesehatan Nasional (SKN) kita sejak awal meletakkan konsep bagus itu. Bagaimana kota sehat, rumah sehat, jajanan sehat, selain lingkungan dan masyarakat sehat, eloknya dibangun. Namun, implikasinya menempatkan kita pada deretan kualitas manusia peringkat 118 dunia (human development index/HDI).

Resolusi Sydney menagih perlunya dipikir ulang bagaimana kita seeloknya hidup. Bagaimana lingkungan dan menu ditata. Kota didesain ulang karena menjadi tempat bagi lebih dari separuh populasi dunia bermukim.

Hanya dengan mengubah itu semua, penyakit menahun yang banyak mematikan itu tak perlu hadir melebihi ganasnya teroris.

Bagi kita, ketika kondisi rata-rata masyarakat masih mengenaskan begini, teriakan bagaimana hidup lebih sehat itu perlu kita simak demi melakukan sesuatu (a global call to action). Sudahkah kita melakukan sesuatu?

Kita tak boleh diam, misalnya jika zat warna, pengawet, dan pemanis buatan untuk jajanan anak sekolah masih tidak sehat. Kita juga tak boleh diam jika jelantah tak sehat ada pada gorengan.

Jangan abaikan cemaran formalin, penyedap, perenyah, borosnya garam, gula jajanan dan menu restoran, serta ”racun” dalam makanan dan minuman olahan (dioxan, nitrosamine, jamur, parasit, kuman, virus). Tak boleh ada formaldehyde dalam cat misalnya, karena masih ada pada alat rumah. Mengapa?

Karena semua itu cemaran radikal bebas (free radicals) yang merusak tubuh dan membuat tak sehat. Sepertiga kasus kanker dan penyakit degeneratif menahun bermusabab dari situ.

Tak mampu berjalan sendiri

Untuk menyehatkan masyarakat diperlukan dua langkah. Masyarakat dicerdaskan agar pilihan hidupnya lebih menyehatkan, dan kebijakan pemerintah tak boleh membiarkan masyarakat berisiko sakit. Sekadar membiarkan anak-anak tumbuh gemuk dan tetap mengimpor penganan berbahaya, misalnya sudah sebuah petaka nasional.

Pemerintah Singapura masih mengurusi soal anak gemuk. Sangat hirau pada anak-anak sekolah kalau masih gemuk. Ada kebijakan anak wajib ekstra lari sampai berat badannya ideal.

Mengapa sampai sejauh itu? Karena gemuk waktu kecil, bom waktu penyakit setelah dewasa. Para eksekutif perlu ditatar hidup sehat karena mereka sumber daya yang produktivitasnya tak boleh dirongrong risiko penyakit. Singapura sadar betul, lebih separuh penyakit orang sekarang sejatinya bisa dicegah.

Kebijakan restoran di Singapura yang patuh serba kurang asin. Kultur doyan asin yang selama ini menambah deretan panjang pengidap darah tinggi (salty sensitive person) orang kita.

Rata-rata budaya makan kita mengonsumsi garam dapur lima kali lebih banyak dari yang tubuh butuhkan. Kelebihan garam mencetuskan hipertensi buatan.

Masyarakat yang salah memilih menu jahat, rutin minum jamu nakal, mencari pengobatan sesat, tak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Mereka harus dituntun.

Ketika tidak semua masyarakat kita melek media, sementara informasi hidup sehat di radio dan televisi minim, mereka tak kunjung cerdas hidup sehat. Jangan salahkan masyarakat kalau dampak kekayaan orang kota mengancam kesehatan rakyat papa. Hal seperti itu sedang terjadi pada sebagian besar masyarakat kita. Burger, hotdog, dan ayam goreng sudah menjadi menu desa juga. Padahal, kini, agar tubuh sehat kita justru harus memilih menu moyang kita.

Masyarakat kota menjadi tidak sehat akibat kelebihan menu, mengonsumsi yang serba tak menyehatkan, perilaku tak sehat yang tak berubah, dan ketika iming-iming merokok kian centil. Yang papa jatuh sakit karena kekurangannya, selain sebab ketidaktahuan hidup sehat. Faktor lingkungan sosial sama berdampak buruk pada keduanya.

Supaya sehat teraih, masyarakat kita harus diurus. Kalau pilihan konsepnya berwawasan kesehatan, kolaborasi lintas sektor diperlukan. Tak cukup mengandalkan sektor kesehatan. Pembangunan sektor pendidikan, perindustrian, perdagangan, pertanian, dan pekerjaan umum pun perlu sama-sama berkomitmen berwawasan kesehatan.

Sekadar memberantas flu burung saja perlu keterlibatan semua sektor ini.

HANDRAWAN NADESUL Dokter, pengasuh rubrik kesehatan, penulis buku

Afonso de Albuquerque dan Jejak Portugis di Indonesia

Subur Tjahjono

Rasa ingin tahu tak tertahankan saat Margaritha Pareira, pemandu wisata di rombongan wisata kota Lisabon itu, menunjuk patung yang menghadap Sungai Tagus, Lisabon, Portugal, akhir 2007 lalu. Keesokan harinya pemandu lain, Teresa, juga bercerita hal yang sama ketika melewati patung itu.

Patung di tengah taman yang asri adalah patung Afonso (kadang juga ditulis Alfonso) de Albuquerque. Karena tokoh inilah, barangkali yang membuat kawasan Nusantara waktu itu dikenal oleh orang Eropa dan menjadi saat dimulainya kolonisasi berabad-abad oleh Portugis bersama bangsa Eropa lain, terutama Inggris dan Belanda.

Dari Sungai Tagus yang bermuara ke Samudra Atlantik itulah armada Portugis mengarungi Samudra Atlantik, mungkin makan waktu sebulan hingga tiga bulan, melewati Tanjung Harapan Afrika, menuju Selat Malaka. Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.

Tidak jauh dari patung Albuquerque itu terdapat bangunan bekas Biara Santo Jeronimos. Biara yang kini dijadikan Museum Arkeologi dan Museum Maritim tersebut dulunya adalah kapel. ”Pada abad 16 saat petualangan itu dimulai biasanya para pelaut negeri Katolik itu diberkati oleh pastor dan raja sebelum berlayar melalui Sungai Tagus,” kata Teresa. Biara St Jeronimus atau Biara Dos Jeronimos dalam bahasa Portugis itu didirikan oleh Raja Manuel pada tahun 1502 di tempat saat Vasco da Gama memulai petualangan ke timur.

Untuk mengobati rasa ingin tahu, dua hari kemudian, di sela-sela sempitnya waktu dan banyaknya acara, kesempatan tak disia-siakan untuk mengunjungi Museum Maritim dengan taksi, untuk menyaksikan barangkali masih ada tersisa peninggalan Afonso de Albuquerque tersebut. Museum Maritim atau orang Portugis menyebut Museu de Marinha itu didirikan oleh Raja Luis pada 22 Juli 1863 untuk menghormati sejarah maritim Portugis.

Selain patung di taman, lukisan Afonso de Albuquerque juga menjadi koleksi museum itu. Di bawah lukisan itu tertulis, ”Gubernur India 1509-1515. Peletak dasar Kerajaan Portugis di India yang berbasis di Ormuz, Goa, dan Malaka. Pionir kebijakan kekuatan laut sebagai kekuatan sentral kerajaan”. Berbagai barang perdagangan Portugis juga dipamerkan di museum itu, bahkan gundukan lada atau merica.

Ada sejumlah motivasi mengapa Kerajaan Portugis memulai petualangan ke timur. Ahli sejarah dan arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam buku Indonesia-Portugal: Five Hundred Years of Historical Relationship (Cepesa, 2002), mengutip sejumlah ahli sejarah, menyebutkan tidak hanya ada satu motivasi Kerajaan Portugis datang ke Asia. Ekspansi itu mungkin dapat diringkas dalam tiga kata bahasa Portugis, yakni feitoria, fortaleza, dan igreja. Arti harfiahnya adalah emas, kejayaan, dan gereja atau perdagangan, dominasi militer, dan penyebaran agama Katolik.

Menurut Uka, Albuquerque, Gubernur Portugis Kedua dari Estado da India, Kerajaan Portugis di Asia, merupakan arsitek utama ekspansi Portugis ke Asia. Dari Goa, ia memimpin langsung ekspedisi ke Malaka dan tiba di sana awal Juli 1511 membawa 15 kapal besar dan kecil serta 600 tentara. Ia dan pasukannya mengalahkan Malaka 10 Agustus 1511. Sejak itu Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah dari Asia ke Eropa. Setelah menguasai Malaka, ekspedisi Portugis yang dipimpin Antonio de Abreu mencapai Maluku, pusat rempah-rempah.

Rui Manuel Loureiro, peneliti dari Pusat Studi Asia Tenggara (Cepesa) Portugal, dalam buku di atas juga menyebutkan, pada periode 1511-1526, selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi Kerajaan Portugis, yang secara reguler menjadi rute maritim untuk menuju Pulau Sumatera, Jawa, Banda, dan Maluku.

Kolonisasi hampir 500 tahun itu sekarang masih berjejak, bahkan mungkin tidak dirasakan. Seperti telah disebut di atas, salah satu yang paling mudah diingat adalah kata ”gereja” di Indonesia yang berasal dari bahasa Portugis igreja. Puluhan gereja di Lisabon—orang Portugis menyebutnya Lisboa—sekarang juga disebut igreja. Misalnya sejumlah gereja terkenal di Lisabon, yaitu Igreja de Santa Engracia, Igreja de Sao Roque, atau Igreja de Santo Antonio de Lisboa.

Bekas diplomat Portugal di Indonesia, Antonio Pinto da Franca, dalam bukunya Portuguese Influence in Indonesia (Gunung Agung, 1970), menginventarisasi paling tidak ada 75 kata Indonesia berasal dari Portugis. Beberapa kata mungkin terasa asli Indonesia. Sebut misalnya, sisa dari sisa, terigu dari terigo, tempo dari tempo. Kata lain, misalnya, bangku dari banco, beranda dari varanda, boneka dari boneca, kaldu dari caldo, meja dari mesa, pesta dari festa. Ada juga sekolah dari escola, pigura dari figura, dan sepatu dari sapato.

Selain bahasa, da Franca yang tampaknya sudah berkeliling Indonesia itu mencatat berbagai peninggalan Portugis di berbagai tempat di Tanah Air, mulai dari Aceh, Maluku, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, hingga ke Flores. Beberapa yang masih ada adalah Gereja Tugu di Jakarta Utara, beberapa benteng di Makassar atau Jepara. Bahkan Taman Sari di Yogyakarta dianggap sebagai sisa arsitektur Portugis.

HARI AIR SEDUNIA

Indonesia dan Jamban Terpanjang di Dunia

Kompas/Priyombodo / Kompas Images
Aktivitas mandi dan cuci warga di Kali ciliwung di Kawasan Bukit Duri, Jakarta akhir Oktober 2007. Dari segi kesehatan, pemanfaatan air sungai yang penuh kotoran ini dinilai kurang baik.
Rabu, 19 Maret 2008 | 00:58 WIB

Sri Hartati Samhadi

Jika India dengan Mumbai dan Kalkuta-nya dikenal di seantero dunia sebagai ibu kota permukiman kumuh dunia (global slum capital), maka Indonesia bisa dikatakan adalah mal jamban terpanjang di dunia.

Bayangkan, di Jakarta saja ada lebih dari satu juta septic tank. Sekitar 60 persen rumah di Ibu Kota memiliki sumur yang berjarak kurang dari 10 meter dari septic tank. Melimpahnya populasi septic tank yang terus bertambah tanpa adanya regulasi yang baik ini mengakibatkan pencemaran air tanah dan membahayakan jutaan penduduknya.

Yang membuat orang geleng-geleng kepala, setelah 63 tahun merdeka, ternyata 72,5 juta penduduk Indonesia masih buang air besar (BAB) di luar rumah (Laporan Pemerintah RI ke Millennium Development Goals/MDGs). Versi Departemen Kesehatan bahkan lebih besar lagi, 100 juta orang!

Angka itu menjadi lebih menyeramkan lagi manakala dikaitkan dengan kenyataan masih sangat rendahnya akses masyarakat ke air minum yang bersih.

Di Jakarta saja, contohnya, lebih dari 60 persen penduduk (24 persen melalui sistem pompa dan 37 persen sistem sumur) masih mengandalkan air tanah yang diambil langsung melalui sumur ataupun pompa untuk konsumsi minum dan makanan mereka serta untuk kebutuhan lainnya.

Dari penelitian yang dikutip Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDO), 70 persen air tanah di Jakarta ini terkontaminasi tinja atau bakteri lain seperti E coli. Padahal, separuh lebih pedagang makanan di perkotaan masih mengandalkan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari.

Gambaran kota-kota besar lain di Indonesia tidak jauh berbeda. Dilihat dari akses ke air bersih dan sanitasi yang layak, angka di pedesaan bahkan jauh lebih buruk. Untuk air minum, masyarakat pedesaan yang terlayani fasilitas air bersih hanya 8 persen.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004, hanya 41 persen penduduk perkotaan yang terlayani air bersih lewat perpipaan. Ini tidak mengherankan karena lebih dari separuh (164 dari 318) Perusahaan Air Minum (PAM) atau Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dalam kondisi ”sakit”, dengan beban utang Rp 5,4 triliun.

Untuk sanitasi, data Bank Pembangunan Asia tahun 2005 juga memperlihatkan, hanya 69 persen penduduk perkotaan dan 46 persen penduduk pedesaan (atau rata-rata 55,43 persen secara keseluruhan) terlayani fasilitas sanitasi yang layak. Bandingkan dengan Singapura (100 persen), Thailand (96 persen), Filipina (83,06 persen), Malaysia 74,70 persen) dan Myanmar (64,48 persen).

Buruknya kualitas sanitasi juga tercermin dari rendahnya persentase penduduk yang terkoneksi dengan sistem pembuangan limbah (sewerage system). Di Jakarta, hanya 1 persen penduduk terhubung dengan sistem pembuangan limbah.

Sebagai perbandingan, di Manila (Filipina) 7 persen, Ho Chi Minh (Vietnam) 12 persen, Dhaka (Banglades) 30 persen, Phnom Penh (Vietnam) 51 persen, New Delhi (India) 60 persen, dan Kuala Lumpur (Malaysia) 80 persen.

Karena itu, menjadi tidak mengherankan ketika kondisi ini dikaitkan dengan tingginya angka kematian bayi dan prevalensi penyakit yang bersumber dari kondisi sanitasi yang buruk di Indonesia. Angka kematian bayi Indonesia, yakni 50 per 1.000 kelahiran, hidup sekarang ini adalah yang tertinggi kedua di Asia setelah Kamboja. Dari 200.000 anak balita yang meninggal karena diare setiap tahun di Asia, separuh di antaranya adalah di Indonesia.

Yang dimaksud sanitasi sendiri adalah bagaimana masyarakat tidak membuang air besar/air kecil (limbah manusia) atau limbah lain seperti limbah rumah tangga (sampah), limbah industri, limbah lain, dan limbah berbahaya secara sembarangan. Selain itu, sanitasi juga berarti cara mengelola, memanfaatkan, dan mendaur ulang limbah-limbah tersebut sehingga tidak membahayakan kehidupan.

Berbagai kendala

Laporan MDGs tahun 2007 mencatat ada beberapa kendala yang menyebabkan masih tingginya jumlah jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Di antaranya adalah cakupan pembangunan yang sangat besar, sebaran penduduk yang tak merata dan beragamnya wilayah Indonesia, keterbatasan sumber pendanaan. Pemerintah selama ini belum menempatkan perbaikan fasilitas sanitasi sebagai prioritas dalam pembangunan.

Faktor lain yang juga menjadi kendala adalah kualitas dan kuantitas sumber air baku sendiri terus menurun akibat perubahan tata guna lahan (termasuk hutan) yang mengganggu sistem siklus air. Selain itu, meningkatnya kepadatan dan jumlah penduduk di perkotaan akibat urbanisasi.

Masalah kemiskinan juga ikut menjadi penyebab rendahnya kemampuan penduduk mengakses air minum yang layak. Terakhir adalah buruknya kemampuan manajerial operator air minum itu sendiri.

Dari sisi sanitasi, selain masih rendahnya kesadaran penduduk tentang lingkungan, kendala lain untuk terjadinya perbaikan adalah karena belum adanya kebijakan komprehensif yang sifatnya lintas sektoral, rendahnya kualitas bangunan septic tank, dan masih buruknya sistem pembuangan limbah.

Pendekatan holistik

Selama ini, membahas masalah kebiasaan masyarakat yang membuang kotoran secara sembarangan dianggap sebagai hal aneh dan tak sedikit yang menganggap itu semata urusan domestik. Dari sisi pemerintah sendiri, belum menjadi prioritas.

Menurut Departemen Kesehatan, selama 30 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan sanitasi hanya sekitar 820 juta dollar AS atau setara Rp 200/orang/tahun. Padahal, kebutuhannya mencapai Rp 470/rupiah/tahun. Versi Bank Pembangunan Asia, perlu Rp 50 triliun untuk mencapai target MDGs 2015, dengan 72,5 persen penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.

Dalam APBN tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu, menurut seorang narasumber, hanya 1/214 dari anggaran subsidi BBM. Selain lemahnya visi menyangkut pentingnya sanitasi, terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi ini sebagai investasi, tetapi mereka masih melihatnya sebagai biaya (cost).

Padahal, menurut perhitungan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah lembaga lain, setiap 1 dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan manfaat ekonomi sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian.

Selain itu, keberhasilan memperbaiki akses air minum dan sanitasi juga memengaruhi dan terkait dengan pencapaian target MDGs lainnya seperti pengurangan angka kemiskinan, akses ke pendidikan, kesehatan masyarakat, dan kesetaraan gender, dipulihkannya kerusakan lingkungan, dan dikuranginya permukiman kumuh.

Karena itu, yang diperlukan, menurut salah seorang panelis, adalah pendekatan menyeluruh (holistik) yang terpadu yang sifatnya lintas sektor, terdesentralisasi dan berbasis masyarakat, dengan melihat keterkaitan antar-aspek tersebut di atas. Di sini peran pemimpin di daerah sangat menentukan karena akhirnya mereka yang harus lebih banyak terlibat langsung.

Misalnya, pada tahun 1980-an, ibu-ibu PKK sudah turun hingga ke masyarakat untuk mengampanyekan pembuatan WC hingga di pelosok kampung.

Tahun 1980 ada yang disebut Lomba Rumah Sehat PKK dan Arisan Jamban juga sudah diperkenalkan oleh Yayasan Indonesia Sejahtera pada tahun 1980-an. Konsep Indonesia yang terbukti sukses ini juga sudah banyak diadopsi oleh negara-negara lain seperti India. Sayangnya, di Indonesia semua program dan jaringan tersebut ikut buyar dengan runtuhnya Orde Baru dan baru sekarang program-program seperti itu dilakukan lagi.

Pengalaman Dusun Ciseke, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi menunjukkan sebenarnya kita bisa membuat lompatan besar dalam pencapaian target MDGs menyangkut akses air minum bersih dan sanitasi dasar jika kita mau.

Wilayah Cidahu ini pernah sangat terkenal tahun 2005 karena merebaknya wabah polio. Sebelumnya sebagian besar warga di daerah ini terbiasa membuang kotoran secara sembarangan, baik di kolam, sungai, maupun kebun.

Melalui pendekatan program pembangunan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) yang dilancarkan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, dalam tempo empat bulan, semua 134 keluarga yang tinggal di 121 rumah berhasil membebaskan diri dari BAB sembarangan.

Minyak Mahal, dan Akan Habiskah?

NINOK LEKSONO

“Puncak minyak bumi telah dicapai… dan tahun 2025 kita kembali ke zaman batu”. (Kenneth Deffeyes, guru besar emeritus Universitas Princeton/ ”Popular Mechanics”, 4/8)

Berita Selasa kemarin menyebutkan, di pasar Asia harga minyak tinggal selangkah lagi ke posisi 112 dollar AS per barrel (Kompas, 18/3). Mungkin saja setelah ”rutin” membaca kenaikan harga minyak, berita semacam itu sudah semakin terdengar biasa. Namun, sesungguhnya, dampaknya harus tidak dilihat sebagai hal biasa karena ia berkaitan dengan kehidupan ratusan juta orang.

Pertanyaan yang wajar muncul seiring dengan terus membubungnya harga minyak adalah, ”Menjadi barang yang demikian langkakah minyak bumi?” Selain itu, ”Sampai kapan dunia akan terpenjara dalam ketergantungan minyak?”

Apakah minyak akan terus ada?

Ketika membahas ”Masa depan minyak”, majalah Popular Mechanics edisi April 2008 menegaskan bahwa minyak memang tidak akan ada selamanya. Namun, dengan eksplorasi lebih jauh, ditambah dengan konservasi dan pemanfaatan energi alternatif lebih baik, ladang minyak tak akan serta-merta jadi kering.

Pemahaman orang terhadap minyak dewasa ini memang terbelah. Di satu sisi, minyak dicap sebagai biang dari perubahan iklim karena pembakarannya menghasilkan miliaran ton karbon dioksida. Ia juga dilihat sebagai biang kekacauan ekonomi.

Namun, jangan salah, dewasa ini kita masih membutuhkan minyak, malah dalam jumlah banyak. Bukan hanya Amerika yang membutuhkan makin banyak minyak–tahun 2008 ini kebutuhannya akan menjadi 21 juta barrel per hari—melainkan juga negara yang tengah menanjak seperti India dan China.

Masalahnya, pasokannya bukan tidak terbatas. Penganut teori Puncak Minyak (Peak Oil) mengatakan, produksi minyak dewasa ini sudah mencapai taraf maksimal, yang berarti tidak lama lagi akan datang kelangkaan dan kenaikan harga lebih tajam.

Akan tetapi, pakar yang optimistis punya argumen lain bahwa Puncak Minyak masih 20-30 tahun lagi. Namun, kedua kubu sepakat bahwa tugas yang ada sekarang ini adalah dua tahap: mengembangkan pasokan baru sambil belajar untuk merentang cadangan yang ada sekarang ini.

Terus eksplorasi

Negara-negara yang mengklaim punya cadangan minyak kini terus melakukan eksplorasi untuk menemukan sumber baru. Di AS memang dilaporkan tidak ada temuan besar baru semenjak penemuan Prudhoe Bay tahun 1968. Dengan itu, eksplorasi harus lebih diarahkan ke Teluk Meksiko, di mana pengeboran dan produksi sulit dan mahal.

Meski mahal dan sulit, dengan upaya itu AS memang lalu menemukan sumber-sumber baru. Tahun lalu survei yang dipimpin Chevron menemukan ladang Jack, sekitar 400 km dari Louisiana, yang mengandung sekitar 15 miliar barrel. Tahun 2008 AS juga menemukan cadangan gas besar di Marcellus Shale. Negara lain seperti Brasil juga menemukan ladang Tupi yang menyimpan 8 miliar barrel, di Kazakhstan tahun 2000 ditemukan ladang Kashagan dengan cadangan 13 miliar barrel, dan di China tahun 2007 ditemukan ladang Jidong Nanbao dengan 7 miliar barrel.

Selain terus giat mencari ladang baru, industri minyak juga terus mengefisienkan cara pemompaan. Kemarin, selama berpuluh-puluh tahun perusahaan minyak mengandalkan pada teknik yang hanya mampu menaikkan sepertiga cadangan ladang. Kini dengan teknik yang diperbarui, perusahaan bisa menaikkan sampai tiga-perempat cadangan sehingga umur ladang pun bisa ditingkatkan secara dramatik.

Meski demikian, energi alternatif tetap perlu dikembangkan.

Kilas balik

Semenjak era minyak lahir tahun 1859, produsen dunia telah memompa sekitar 1 triliun barrel dari bumi. Dengan tingkat produksi yang ada sekarang ini, mereka bisa memompa triliun kedua pada tahun 2030.

Pertanyaannya, dengan eksploitasi yang ada sekarang ini, kapan kita akan mencapai produksi puncak yang disebut Puncak Minyak? Guru besar emeritus Kenneth Deffeyes berpendapat, Puncak Minyak telah dicapai sehingga yang akan terjadi kemudian adalah kekacauan sosial dan politik. Ia menulis, seperti dikutip di bagian awal tulisan ini, tahun 2025 kita akan kembali ke zaman batu.

Memang ada pihak yag lebih optimistis, seperti Michael Lynch dari Strategic Energy & Economic Research di Amherst, Massachusetts, yang meneliti kaitan antara suplai dan kebutuhan.

Namun, untuk sementara ini, pandangan Deffeyes—di tengah terus membubungnya harga minyak—terasa menggentarkan. Diharapkan, ketika masih ada kesempatan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian di berbagai hal, masih bisa dilakukan ikhtiar untuk memperbanyak suplai dan juga pengembangan energi baru, selain kesadaran manusia untuk mengurangi konsumsi minyak itu sendiri.

Tuesday, March 18, 2008

SPMB Tunggu SK Dirjen Dikti

Departemen Keuangan Segera Keluarkan Aturan


Jakarta, Kompas - Kepanitiaan bersama seleksi masuk perguruan tinggi negeri akan diatur Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang surat keputusannya akan terbit dua pekan lagi. Selain itu, akan dikeluarkan pula surat keputusan dari Departemen Keuangan yang mengatur tata cara pembiayaan seleksi bersama.

Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengatakan hal itu di sela-sela acara Lokakarya Forum Rektor Indonesia, Senin (17/3) di Bandung.

”Semuanya akan dijelaskan di dalam surat keputusan Dirjen Dikti dan surat keputusan Departemen Keuangan itu. Di dalam kepanitiaan bersama, semua rektor terlibat,” ujarnya.

Menurut Fasli, pembentukan kepanitiaan bersama itu merupakan kesepakatan semua pihak, termasuk Perhimpunan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan Paguyuban Rektor. ”Nama atau istilah resmi seleksi bersama nasional ini masih sedang dirumuskan,” ujarnya.

Fasli menjelaskan, pada prinsipnya mekanisme seleksi bersama ini tidaklah berbeda dengan SPMB. Para calon mahasiswa tetap dimungkinkan melamar dari wilayah masing-masing untuk tujuan program studi di perguruan tinggi negeri mana pun secara nasional.

Pilihannya pun luas, mencakup Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), atau Campuran (IPC). Ia meminta media massa menyosialisasikan tidak ada perbedaan mekanisme seleksi dari segi calon pendaftar.

Ia menjelaskan, perubahan itu hanya pada struktur kepanitiaan, khususnya tentang pengelolaan administrasi keuangan. Strukturnya merupakan kombinasi SPMB dan usulan ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). ”Sehingga, segala metodologi, pengalaman, jaringan, dan keketatan yang telah dikembangkan SPMB tetap bisa dilaksanakan dan dijaga,” tuturnya.

Melalui mekanisme ini, perguruan tinggi negeri yang tidak termasuk badan hukum milik negara (BHMN) wajib menyetorkan uang pendaftaran sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Solusi terbaik

Ketua Forum Rektor Indonesia Djoko Santoso menilai kepanitiaan bersama itu merupakan solusi terbaik. Keputusan ini pula yang diinginkan pimpinan perguruan tinggi. ”Berarti persoalannya sudah selesai. Tinggal Pak Dirjen yang mengoordinasinya nanti,” ucapnya.

Secara terpisah, para pengurus Perhimpunan SPMB menegaskan, kepentingan masyarakat perlu dikedepankan. Ketua Perhimpunan SPMB Nusantara Asman Budi Santoso mengungkapkan, perhimpunan berharap sebaiknya sistem SPMB yang digunakan para calon mahasiswa selama bertahun-tahun tetap berlangsung sehingga tetap ada satu sistem nasional.

Urusan PNBP juga sebetulnya sudah lama selesai. Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga pengurus bidang hukum di Perhimpunan SPMB, Hikmahanto Juwana, mengatakan, pembentukan perhimpunan tersebut justru untuk menyelesaikan persoalan PNBP.

Menurut dia, dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No 115/KMK.06/2001 tentang Tata Cara Penggunaan PNBP pada PTN, uang seleksi masuk dari perguruan tinggi non-BHMN harus masuk ke kas negara lewat mekanisme PNBP, kecuali bagi perguruan tinggi yang berstatus BHMN.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 2001 mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 0173/2001 yang intinya memberikan kewenangan kepada rektor untuk melakukan seleksi bersama-sama.

Panitia SPMB kemudian membentuk perhimpunan yang merupakan badan hukum mandiri dengan nama Perhimpunan SPMB Nusantara. Perannya lebih seperti penyedia jasa testing profesional mirip dengan penyelenggara tes bahasa Inggris. Perhimpunan hanya mengadakan tes tertulis dan menyerahkan skor keseluruhan ke perguruan tinggi negeri untuk diseleksi bersama.

”Perhimpunan SPMB bukan outsourcing. Uang dari calon mahasiswa tidak masuk ke perguruan tinggi. Kalaupun menggunakan infrastruktur kampus, perhimpunan harus membayar dan bagi perguruan tinggi merupakan penerimaan negara bukan pajak,” ujar Hikmahanto.

Asman menambahkan, sistem SPMB telah mapan dan teruji. Sistem itu dijalankan dengan prinsip keadilan, yakni agar anak bangsa, untuk mendapatkan pendidikan tinggi berkualitas, memiliki kemudahan, akses, dan kesempatan sama tanpa memandang letak geografis. (JON/INE)

Problema Besar Madrasah





Selasa, 18 Maret 2008
Prof Dr H Ki Supriyoko, MPd

Pembina SMP dan SMA Unggulan Insan Cendekia Yogyakarta dan Pengasuh Pesantren Ar-Raudhah Yogyakarta

Salah satu kekeliruan kebijakan pendidikan yang berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap rendahnya kinerja pendidikan (educational performance) Indonesia adalah kurang diperhitungkannya madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Kalau kita berbicara mengenai peningkatan mutu pendidikan dan masalah-masalah kependidikan lainnya seolah-olah semuanya ditentukan oleh sekolah.

Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Muhammad Nuh, dalam salah satu acara pada sebuah pondok pesantren di Jawa Timur bahkan sempat menyatakan bahwa sekarang ini pemerintah hanya mengurusi sekolah negeri. Sudah saatnya sekolah negeri dan sekolah dalam pondok pesantren (notabene madrasah) disejajarkan dalam hal bantuan yang diberikan. Pada sisi lain Pak Menteri juga memuji bahwa madrasah dalam pondok pesantren dapat dijadikan contoh pendidikan yang tidak mengandalkan bantuan dari APBN maupun APBD.

Adanya pandangan yang tidak memperhitungkan potensi madrasah dalam penentuan kinerja pendidikan nasional jelas tidak tepat, bahkan keliru sama sekali. Di samping eksistensinya sudah sangat mapan maka jumlahnya pun sangat signifikan dalam belantara pendidikan di Indonesia.

Berapa jumlah madrasah di Indonesia? Menurut catatan Departemen Agama (2007), jumlah Madrasah Ibtidaiyah (MI) mencapai 23.517 lembaga, 93 persen di antaranya swasta. Total Madrasah Tsanawiyah (MTs) ada 12.054 lembaga dengan 90 persen di antaranya swasta. Lalu, Madrasah Aliyah (MA) jumlahnya 4.687 lembaga, 86 persen di antaranya swasta. Dari angka-angka ini diinterpretasi bahwa eksistensi madrasah di Indonesia sangatlah menentukan merah-putihnya pendidikan nasional.

Problema kemadrasahan
Problema besar pertama yang dihadapi madrasah di Indonesia sekarang ini adalah belum optimalnya tingkat favoritas masyarakat terhadap lembaga madrasah itu sendiri. Hal ini memang kenyataan. Jangankan madrasah menjadi pilihan utama bagi masyarakat, untuk memadrasahkan (menyekolahkan) putra-putri atau istilah menterengnya menjadi institution of choice saja belum banyak muncul, sedangkan anggota masyarakat yang sama sekali belum mengenal madrasah pun masih banyak. Ini lucu karena eksistensi madrasah di Indonesia setidaknya sudah puluhan tahun. Jadi, tidak dapat disebut ‘bayi’ kemarin sore.

Memang benar di kalangan tertentu, terutama kalangan pesantren, minat masyarakat terhadap madrasah sangat tinggi dan angka statistik pun telah menunjukkan tingginya jumlah madrasah di Indonesia. Meski demikian secara nasional tingkat favoritas masyarakat kita terhadap madrasah lebih rendah dibanding sekolah pada umumnya.

Problema besar kedua menyangkut lebih rendahnya prestasi akademis ilmu umum siswa madrasah dibanding siswa sekolah. Sependapat atau tidak, banyak warga madrasah yang membedakan pengetahuan, ilmu, dan keterampilan menjadi dua; yaitu ilmu umum (seperti matematika, kimia dan teknologi informasi (TI) serta ilmu agama (seperti membaca Alquran, memahami Hadis, dan Tarekh. Secara hipotetik lebih rendahnya prestasi akademis ilmu umum siswa madrasah dibanding siswa sekolah inilah yang menyebabkan lebih rendahnya tingkat favoritas masyarakat terhadap madrasah dibanding terhadap sekolah.

Kenapa hal itu terjadi? Ini muncul karena kurikulum madrasah hanya berisikan 70 persen ilmu umum, sedangkan kurikulum sekolah berisi 100 persen ilmu umum dengan asumsi mata pelajaran pendidikan agama dikecualikan.

Sebenarnya pencapaian nilai ujian nasional (NUN) madrasah cukup membanggakan. Ilustrasi riilnya sebagai berikut. Secara nasional pencapaian rata-rata NUN tertinggi tahun 2006 untuk SMA program IPA sebesar 28,97 oleh SMA Negeri 1 Bangil Pasuruan, untuk MA program IPA sebesar 27,57 oleh MA Ibarurrahman Stabat. Peringkat kedua sebesar 28,38 untuk SMAN Genteng dan 27,21 untuk MA Jeumala Amal. Peringkat ketiga sebesar 28,33 oleh SMA Negeri 1 Pandaan dan 27,10 oleh MA Negeri Bangkalan, dan seterusnya. Untuk SMA dan MA jurusan IPS dan bahasa petanya sama saja. Demikian pula untuk SMP dan MTs.

Pencapaian rata-rata NUN siswa madrasah memang lebih rendah daripada siswa sekolah, tetapi terpautnya relatif kecil. Sebenarnya hal ini membanggakan bagi madrasah mengingat substansi ilmu umum di dalam kurikulum madrasah hanya 70 persen. Apakah masyarakat kita dapat memahami kebanggaan tersebut? Pada umumnya tidak!

Mereka tahunya pencapaian prestasi akademis siswa madrasah lebih rendah daripada siswa sekolah. Bagi insan madrasah, memang hal ini terasa pahit, tetapi harus dapat diterima.

Solusi kreatif
Bagaimana memecahkan problema besar kemadrasahan tersebut? Ada beberapa cara yang perlu dipertimbangkan. Cara yang paling konvensional adalah menyampaikan ilmu umum yang porsinya sama dengan yang diberikan di sekolah, kemudian ditambah dengan ilmu agama. Cara ini bagus, tetapi hanya efektif dijalankan oleh madrasah dengan siswa yang diasramakan alias dipondokkan.

Madrasah yang eksistensinya di tengah pesantren biasanya mampu menjalankan cara ini secara produktif. Namun, pada madrasah nonpesantren yang siswanya tidak menginap, cara ini sangat berat untuk dijalankan.

Cara modern yang bisa dijalankan adalah membenahi metode pembelajaran (learning method), meningkatkan mutu guru (teacher quality), atau melengkapi sarana dan fasilitas belajarnya (facility). Ketiga pembenahan ini bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Tetapi, lebih produktif dijalankan secara terintegrasi. Lebih daripada itu bahkan cara konvensional dengan cara modern tersebut pun bisa dipadukan secara produktif.

Apakah ada SDM di madrasah yang dapat menjalankan cara tersebut di atas? Tentu saja ada, bahkan banyak! Masalahnya di madrasah itu sendiri banyak mutiara terpendam yang belum digali, diasah, dan dimanfaatkan potensiny

Sudah 40 Persen PTS Gulung Tikar

Selasa, 18 Mar 2008 | 04:48 WIB

TEMPO Interaktif, Bandung:Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Indonesia Wilayah Jawa Barat-Banten Didi Turmudzi mengatakan, mengungkapkan di wilayahnya ada 30 sampai 40 persen dari 432 PTS yang gulung tikar.

Kalau pun ada PTS baru yang muncul, itu merupakan PTS lama yang izinnya dibeli oleh pengelola baru yang kemudian membukanya kembali dengan menukar namanya. "Setiap tahun ada saja PTS yang collaps, gulung tikar," kata dia kepada pers, Senin (17/3).

Kondisi itu terjadi akibat tidak ada pembatasan kuota mahasiswa baru yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri. Penyebab lainnya, kata Didi, jumlah PTS yang terlalu banyak juga kemampuan ekonomi masyarakat yang tidak meningkat. Karena itu sejak dua tahun terakhir pemerintah melarang pendirian PTS baru. Kebijakan ini, menolong pengelola PTS yang ada untuk menekan pertumbuhan PTS baru yang sempat tidak terkendali.

Dia menyarankan agar pengelola PTS mengevaluasi ulang program studi yang sudah jenuh.
Solusi lainnya agar PTS yang ada bisa mempertahankan kelangsungannya bergabung dengan PTS lain. Ahmad Fikri

Saturday, March 15, 2008

Kekerasan pada Perempuan Dominasi Tayangan Media


Jumat, 14 Maret 2008 | 00:50 WIB

Jakarta, Kompas - Berbagai tayangan dalam media film dan sinetron di Tanah Air kian didominasi adegan kekerasan terhadap perempuan. Situasi ini dikhawatirkan semakin menyuburkan perilaku kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga.

”Sekarang tayangan kekerasan kian marak di media elektronik,” kata Asisten Deputi Urusan Kekerasan terhadap Perempuan Heru P Kasidi dalam diskusi yang diprakarsai Kalyanamitra, pusat komunikasi dan informasi perempuan, Kamis (13/3) di Jakarta. Acara itu juga diisi dengan pemutaran film Perempuan Punya Cerita.

Menurut hasil survei ekonomi sosial tahun 2006, prevalensi kekerasan terhadap perempuan adalah 3,1 persen atau empat hingga enam juta jiwa dan mayoritas adalah istri pelaku. Lokasi kekerasan 70 persen berada di rumah. Pencetus tindak kekerasan itu adalah kondisi ekonomi dan perilaku pelaku.

Di tengah kuatnya sistem kapitalisme industri perfilman dan sinetron, kini terjadi kompetisi antara pendidikan antikekerasan dan pendidikan kekerasan, terutama lewat media elektronik. Bentuk kekerasannya kian beragam, baik kekerasan psikis, fisik, maupun seksual. ”Padahal, media massa berpengaruh besar dalam mengubah perilaku masyarakat,” ujar Heru.

Isu sosial

Sineas Nia Dinata menyatakan, film sangat berpotensi mengangkat isu-isu sosial yang dialami suatu negara di mana penonton bisa berasosiasi dengan karakter dalam film. Sinema bisa menjadi alat efektif karena sifatnya populis, penonton tidak merasa digurui. Namun, di Indonesia, mayoritas tema film berkisar kisah percintaan, kehidupan konsumtif, dan kekerasan.

Sejauh ini pemerintah dinilai belum menjalankan fungsinya dengan memberikan kebijakan yang mendukung perkembangan film Indonesia, dari segi pendidikan teknis sinematografi film dan pentingnya pendidikan jender dalam film, ekonomi dan industri perfilman. Pemerintah juga belum menyadari pentingnya politik kebudayaan untuk melindungi film nasional.

Untuk meningkatkan mutu film yang diproduksi di Indonesia, sangat diperlukan sekolah-sekolah film yang bermutu. Padahal, sejauh ini Indonesia hanya memiliki satu sekolah film.

”Studi jender juga sangat diperlukan bagi mahasiswa film sehingga para sineas Indonesia dapat menjadi agen perubahan bagi kesetaraan jender dengan menghasilkan film-film yang lebih sensitif jender,” ujarnya. (EVY)

1,1 Juta Pelajar Korban Narkoba


Jumat, 14 Maret 2008 | 00:51 WIB

BANDUNG, KOMPAS - Dari total 3,2 juta korban penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan berbahaya atau narkoba di Indonesia, sekitar 1,1 juta di antaranya adalah pelajar. Karena itu, upaya mengatasi perkembangan peredaran narkoba di lingkungan sekolah dan kampus sangatlah mendesak.

Demikian diungkapkan Kepala Pusat Pencegahan Badan Narkotika Nasional Mudji Waluyo, Kamis (13/3) di Bandung. Menurut Mudji, berdasarkan penelitian Badan Narkotika Nasional, narkoba telah beredar di sebagian besar wilayah di Indonesia, termasuk di luar perkotaan.

”Yang paling menggelisahkan, persentase jumlah penyalahgunaan narkoba pada kelompok pelajar dan mahasiswa sebesar 3,9 persen. Dengan demikian, sekitar empat dari 100 penyalah guna narkoba adalah pelajar dan mahasiswa,” tutur Mudji.

Mudji mengatakan, melihat banyaknya korban narkoba, baik kalangan pelajar maupun mahasiswa, pencegahan peredaran narkoba di lingkungan sekolah dan kampus harus dilakukan segera dan seefektif mungkin.

”Pihak sekolah, antara lain guru dan dosen, harus turut menerapkan pola hidup sehat serta melakukan pengawasan efektif,” ujarnya.

Menurut Mudji, pola hidup sehat di lingkungan sekolah dan kampus antara lain bisa dilakukan dengan melakukan program Usaha Kesehatan Sekolah dan Unit Kegiatan Mahasiswa antinarkoba, serta parenting skills atau keterampilan pendampingan kepada para pengajar dan dosen di lingkungan perguruan tinggi. (A01)

Jangan Rugikan Calon Mahasiswa

Sabtu, 15 Maret 2008 | 00:33 WIB

Kisruhnya rencana seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri tahun kuliah 2008/2009 perlu win win solution.

Namun, win win solution itu dengan arahan tegas: tidak merugikan calon mahasiswa dalam koridor masyarakat ilmiah. Penegasan hanya bagi perguruan tinggi negeri (PTN) berstatus badan hukum milik negara (BHMN) mengelola sendiri uang pendaftaran masih berupa koma. Masih mengundang perdebatan. Sebab, pemicu keluarnya 41 PTN dari perhimpunan seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) bersangkut paut dengan masalah keuangan. Keharusan 41 PTN berstatus non-BHMN (jumlahnya tujuh) menyetorkan hasilnya ke kas negara sebagai penghasilan negara bukan pajak butuh waktu. Uang hasil pendaftaran tidak bisa segera dimanfaatkan sebagai tambahan dana segar.

Ketika lembaga pendidikan umumnya mengharapkan pemasukan dari uang pendaftaran, keinginan itu wajar. Kalau hanya satu pilihan, 100 persen dikelola PTN berstatus BHMN. Adapun kalau dua pilihan PTN, maka pilihan pertama berstatus BHMN 60 persen, pilihan kedua 40 persen. Bagi PTN di luar tujuh yang berstatus BHMN, uang itu harus disetorkan dulu ke Depkeu sebelum mereka bisa memanfaatkannya.

Seperti diakui Dirjen Dikti Fasli Jalal, karena sumber kekisruhan berpangkal pada masalah transparansi dan pembagian uang yang terkumpul, solusinya menyangkut birokrasi. Perlunya penegasan aturan SPMB sebagai solusi tampaknya belum mengadopsi keinginan 41 PTN. Mereka ingin agar cara pengelolaan uang hasil pendaftaran sama seperti dilakukan tujuh PTN berstatus BHMN. Keinginan itu ditampung lewat perubahan tujuh PTN berstatus BHMN sebagai pihak ketiga.

Inikah jalan keluar yang sama-sama menang untuk 41 PTN? Sebagai jalan keluar yang moderat, tanpa memerkosa keharusan legal, menurut kita perlu kebesaran hati pemimpin 41 PTN. Berbeda dengan swasta, biaya penyelenggaraan PTN tidak seluruhnya dari mahasiswa. Uang yang diperoleh dari pendaftaran hanya salah satu sumber. Aturan dana disetor ke negara harus dipatuhi.

Sebaliknya kesediaan 41 PTN perlu diimbangi kecepatan pelayanan pihak Departemen Keuangan. Ketika PTN mengandalkan uang pendaftaran sebagai dana segar, jangan (masih) terjadi pemenuhannya tersendatsendat. Status lembaga pendidikan bukan sebagai lembaga bisnis, tetapi lembaga pendidikan.

Kebesaran hati PTN-PTN non-BHMN harus diimbangi perbaikan kultur kerja birokrasi. Kalau terjadi kelambanan, keinginan nyebal-nya 41 PTN akan bangkit kembali. Dalam era reformasi yang menuntut serba transparan, hal itu sangat mungkin terjadi. Atau jalan keluar radikal, ubah semua PTN jadi berstatus BHMN, yang sudah pasti dampaknya tidak kalah rumit?

Jangan sampai terjadi, ketika semua persoalan sudah dirambah pertimbangan politis, praksis pendidikan yang seharusnya bebas politis ikut pula dikacauka

Pendidikan Jadi Masalah Bersama


Para Menteri Pendidikan Bertemu
Kamis, 6 Maret 2008 | 02:12 WIB

Jakarta, Kompas - Para menteri pendidikan dari sembilan negara berpenduduk besar di dunia mengadakan pertemuan E-9 Ministerial Review Meeting on Education for All ketujuh di Bali, 10-12 Maret 2008. Kesembilan negara itu adalah Banglades, Brasil, China, India, Indonesia, Meksiko, Mesir, Nigeria, dan Pakistan.

Negara-negara tersebut, dengan beratnya permasalahan pendidikan, turut memengaruhi peta global pendidikan. Karena itu, pendidikan dijadikan masalah bersama.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal kepada pers, Rabu (5/3), mengatakan, pertemuan itu untuk memperbaiki kondisi pendidikan di setiap negara. Terlebih lagi dengan adanya target Pendidikan untuk Semua atau Education for All yang telah disepakati dalam Deklarasi Dakkar tahun 2000.

Target-target itu antara lain buta aksara pada orang dewasa tuntas 50 persen pada 2015. Target lainnya, akses pendidikan anak usia dini, penuntasan wajib belajar, kesetaraan jender dalam pendidikan, serta pendidikan kecakapan hidup harus terus ditingkatkan.

”Pertemuan ini diinisiatori oleh UNESCO atau Badan PBB untuk Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1993 agar negara-negara berpenduduk besar ini dapat memecahkan masalah pendidikannya bersama-sama,” ujarnya.

Fasli mengatakan, sebetulnya telah terjadi perkembangan cukup baik sejak pertemuan tersebut pertama kali diluncurkan. Perkembangan terpesat terutama disumbangkan oleh China dalam pemberantasan buta aksara.

”Sekitar 80 persen pemberantasan buta huruf di antara sembilan negara itu disumbangkan oleh China. Angka peserta wajib belajar mereka juga meningkat pesat. China sepertinya benar-benar mengurus pendidikannya,” ujar Fasli.

Indonesia dalam hal pemberantasan buta huruf dan penuntasan wajib belajar secara kuantitas terbilang berhasil dan posisinya berada setelah China. Indonesia masih lebih baik daripada India, Pakistan, dan Banglades. Indonesia juga lebih baik dalam hal kesetaraan jender dalam pendidikan, pendidikan kecakapan hidup, dan pencapaian akses pendidikan anak usia dini.

Akan tetapi, permasalahan besar di Indonesia ialah peningkatan mutu pendidikan yang tertinggal jauh dibandingkan dengan negara lain.

Dia menambahkan, pada waktu terbentuknya pertemuan para menteri tersebut pertama kali, sembilan negara itu mewakili separuh penduduk dunia. Lebih dari 40 persen anak putus sekolah dan hampir 70 persen angka buta aksara di seluruh dunia berada di negara-negara berpenduduk besar tersebut. (INE)

 

Bangsa Harus Hargai Sejarawan


Sabtu, 15 Maret 2008 | 00:49 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Bangsa Indonesia perlu lebih menghargai para ilmuwan, termasuk sejarawan yang banyak berjasa bagi perkembangan bangsa. Mereka telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran mereka untuk membangun bangsa. Buah-buah pikiran mereka bahkan masih lestari walau tokoh-tokoh tersebut sudah meninggal dunia.

Ajakan tersebut mengemuka dalam peringatan 100 hari meninggalnya sejarawan Sartono Kartodirdjo yang digelar di Gedung UC Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (14/3). Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Akhmad Syafii Ma’arif mengungkapkan, bangsa Indonesia belum menghargai tokoh-tokoh yang sudah mengabdikan diri bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

”Saya sedih, sewaktu Pak Sartono meninggal, hanya sedikit yang datang melayat. Bangsa ini memang tidak menghargai ilmu. Coba kalau yang meninggal pejabat,” tutur Syafii. Padahal, para sejarawan banyak berperan dalam membangun peradaban. Sayang, jasa-jasa mereka seolah berlalu begitu saja.

Peluncuran buku

Dalam peringatan 100 hari meninggalnya Sartono Kartodirdjo kemarin, diluncurkan dua buku mengenai begawan sejarah Indonesia itu. Buku pertama adalah Membuka Pintu bagi Masa Depan: Biografi Sartono Kartodirdjo karya M Nursam, diterbitkan oleh Penerbit Kompas. Buku kedua, Sejarah yang Memihak: Mengenang Sartono Kartodirdjo, diedit oleh M Nursam dan diterbitkan bersama oleh Penerbit Ombak dan Rumah Budaya Tembi.

Stefanus Nindito yang mewakili keluarga Sartono Kartodirdjo mengemukakan rasa syukur dan terima kasih atas penghargaan yang diberikan dalam bentuk buku tersebut.

”Semoga buku ini mampu mendorong perkembangan ilmu sejarah selanjutnya yang lebih kritis, reflektif, pluralis, dan multiinterpretasi. Semoga sejarah tidak sekadar ilmu, tetapi dengan rendah hati juga mampu mengungkap fakta,” kata Stefanus.

Mantan Wakil Pemimpin Redaksi Kompas P Swantoro menambahkan, kedua buku yang baru saja diluncurkan itu paling tidak cukup bagi mereka yang ingin mengenal Sartono Kartodirdjo. Namun, kedua buku itu belum mampu menyelami aspek-aspek spiritualitas asketisme intelektual yang dipegang Sartono. (DYA)

Beban Jawa Amat Berat


Relokasi merupakan Solusi
Sabtu, 15 Maret 2008 | 00:45 WIB

Jakarta, Kompas - Banjir dan longsor yang kerap terjadi di berbagai wilayah di Pulau Jawa merupakan indikasi tingginya beban lingkungan di pulau terpadat di Indonesia bahkan di Asia Tenggara ini. Relokasi penduduk dan industri ke luar Jawa merupakan langkah yang perlu segera diambil.

Jacub Rais, pakar geomatika, juga mantan Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, mengatakan ini, Jumat (14/3), didasari data geospasial dan kependudukan saat ini.

Luas Pulau Jawa 132.187 km2, 6,9 persen daratan Indonesia. Namun, jumlah penduduknya sekitar 60 persen penduduk Indonesia. Berarti, kepadatan penduduk di Jawa 813 orang/km2.

Untuk dapat mengurangi penduduk Pulau Jawa minimal 2 juta per tahun, menurut Jacub—juga Guru Besar Pascasarjana Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Indonesia—diperlukan pembangunan pusat pertumbuhan di pulau-pulau besar dan kecil di luar Pulau Jawa. Pusat-pusat itu berbasis industri agro dan maritim, yang menjadi potensi terbesar di negeri ini.

”Rencana strategis itu perlu didukung tata ruang terpadu antara pusat dan daerah, serta antara darat dan laut untuk mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan di Pulau Jawa. Sebab, tidak ada provinsi di Pulau Jawa yang dapat menata ruang secara sendiri-sendiri,” ujarnya.

Keterpaduan strategi pembangunan antara provinsi yang berbatasan langsung maupun tidak langsung diperlukan untuk penataan ruang dan pendistribusian penduduk ke sejumlah daerah yang berpotensi dikembangkan di luar Jawa.

Relokasi penduduk ke luar Jawa, menurut Zuhal, mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi, perlu dikaitkan dengan rencana pengembangan zona ekonomi terpadu di luar Jawa, yang disebut Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet).

Juga perlu didorong relokasi industri ke luar Jawa. Sebaliknya, pengembangan Kapet di luar Jawa bisa berdampak pada perpindahan penduduk secara spontan dari Jawa ke Kapet. Pengembangan Kapet perlu mendapat insentif oleh pemda setempat dan pemerintah pusat.

Daerah punya peluang menumbuhkan kawasan unggulan untuk menarik investor yang berorientasi ekspor dan efisiensi. Industri akan memilih luar Jawa karena sumber bahan baku di Jawa terbatas. Penyediaan lahan, bahan baku, dan sumber daya energi di luar Jawa lebih besar. Dalam hal ini Riau dan Kaltim sekarang menjadi daya tarik.

Jacub melanjutkan, pengelolaan wilayah hendaknya berdasar ketersediaan sumber daya air, bukan berdasarkan batas administratif dan aspek politis. Harus ada subsidi silang dari daerah hilir yang memanfaatkan suplai air, diberikan ke daerah hulu yang melestarikan sumber daya air.

Ia mengambil contoh DAS Bengawan Solo. Pada zaman Orde Baru ada dana reboisasi untuk kawasan hulu Bengawan Solo. Sekarang tidak ada lagi. Padahal, kawasan Jatim sebagai daerah hilir yang mendapatkan pasokan airnya memperoleh income dari industri yang memanfaatkannya.

Dengan kepadatan tinggi, kebutuhan kawasan permukiman tinggi, yang kemudian mengancam keberadaan kawasan hutan di gunung dan perbukitan yang harus dilindungi untuk menjaga keseimbangan hidrologis. Dengan bertambah penduduk, konsumsi beras dan bahan pangan meningkat, sementara luas lahan tidak berubah, bahkan berkurang. (YUN)

Wednesday, March 12, 2008

Kepeminpinan Yang Melayani




Penulis: Donald Crestofel Lantu, Peneliti, Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB
  • CARA pandang baru dalam memahami arti kepemimpinan, berbeda dari yang selama ini kita alami dan amati, yang ternyata sesuai dan memiliki akar pada ajaran beberapa agama besar dan nilai-nilai luhur bangsa.

Rakyat telah jenuh dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. THR yang belum kunjung tiba diiringi dengan kepastian inflasi menjelang hari raya. Saat Ramadan yang seharusnya penuh dengan kemurnian justru terlihat para (calon) penguasa berlomba-lomba mendaftarkan diri menjadi calon Presiden RI 2009. Seorang anggota Komisi Yudisial, yang seharusnya bertugas memberantas mafia peradilan tertangkap basah ketika menerima suap dalam kasus pengadaan tanah untuk gedung baru KY. Sangat jarang ditemukan sosok yang tidak mementingkan egonya. Mereka (sengaja) lupa akan amanah yang harus dipenuhi dalam memangku jabatan. Sehingga, proses pencarian sang ratu adil serasa mencari air di hamparan luasnya padang pasir yang tidak berujung.

Pertanyaan akan hadirnya ratu adil berusaha dijawab lewat paradoks dalam kepemimpinan. Paradoks itu adalah kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Jadi kepemimpinan bukanlah alat kekuasaan, sarana memperkaya diri atau menambah istri. Kepemimpinan adalah amanah yang harus dipenuhi untuk mendatangkan kebaikan serta kesejahteraan bagi pihak lain.

Danah Zohar (pakar spiritual capital) menyatakan bahwa kepemimpinan yang melayani adalah the ultimate leadership. Pemimpin besar yang pernah ada adalah individu-individu yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi. Mereka adalah pemimpin pelayan bagi umatnya.

Mohandas Gandhi melayani bangsanya dengan perjuangan tanpa kekerasan. Ia akan terus berpuasa jika sesama rakyat (pihak Muslim dan Hindu) masih berselisih. Ia tidak akan berhenti dan rela mati selama mereka bertikai. Gandhi juga menganjurkan gaya hidup sederhana secara langsung.

Nelson Mandela berjuang memberantas politik apartheid di Afsel secara konsisten. Ia rela membayar perjuangannya dengan menghabiskan waktu yang lama di penjara. Pemimpin besar Islam, Imam Khomeini, lebih suka dipanggil sebagai pelayan daripada pemimpin. Ia berusaha menjadi pelayan selama hidupnya bagi semua lapisan masyarakat Iran serta pihak yang tertindas. Demikian pula Bunda Teressa yang melayani orang termiskin dari yang miskin di Calcutta. Ia rela tinggal bersama mereka, memeluk penderita sakit kusta, dan memberikan hidupnya secara utuh.

Kepemimpinan lintas agama

Kepemimpinan yang melayani bukanlah filosofi baru bagi bangsa kita yang dikenal memegang teguh nilai-nilai spiritualisme dan agama. Sebenarnya, konsep itu telah tertanam dalam tiap ajaran agama. Bahkan pakar sosial-budaya Jakob Sumardjo menyebut kepemimpinan pelayan sebagai hasil kearifan postmodernisme--pertemuan budaya Barat dengan Timur.

Di agama Islam, hampir semua ulama sepakat bahwa pemimpin sebenarnya abdi dari rakyat (pengikutnya). Ibnu Taimiyah menegaskan sebenarnya nabi telah memerintahkan untuk mengangkat seorang abdi umat untuk menjadi pemimpin organisasi. Perintah itu diwajibkan karena Allah telah memerintahkan kaumnya untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Melalui jalan kepemimpinanlah hal itu akan dapat berjalan dengan baik dan sempurna.

Islam secara tegas menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia diciptakan Tuhan di dunia ini dengan misi untuk mengabdi atau beribadah dan menjadi khalifah. Alquran Surat Al Anbiya ayat 107 menyerukan agar Nabi Muhammad SAW dan seluruh umat manusia diutus ke dunia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hadis yang diriwayatkan dari Abu Na'im yang menyerukan sabda Rasulullah SAW, ''Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka''. Adalah sebagian dari dalil yang menjelaskan kepemimpinan pelayan dalam ajaran Islam.

Dalam agama Kristen, kepemimpinan yang melayani ditunjukkan secara langsung dalam peristiwa Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Di Alkitab (Matius 20: 26-28) juga tertulis, 'Tidaklah demikian di antara kamu. Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.'

Dhammacaro Andrianto menyatakan bahwa mungkin saja Buddha tidak dikenal saat ini kalau saja Siddharta lebih memilih menjadi raja ketimbang menjadi pertapa untuk mencari 'obat' yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Ajarannya pun banyak diikuti orang sampai sekarang.

Beliau rela berkorban untuk meninggalkan kesenangan duniawi demi tujuan mulia mencapai kebuddhaan. Kekuasaan akan memberikan makna bagi kehidupan bila digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Buddha juga mengajarkan dharma kepada para raja yang berkuasa di masa itu untuk memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya itu demi kesejahteraan rakyat. Buddha telah memberikan pengabdian kepada umat manusia, bagi dunia, bahkan seluruh alam semesta. Itulah contoh keteladanan nyata seorang pemimpin yang telah berkuasa dalam arti sesungguhnya.

Selain kesesuaian dengan ajaran agama, kepemimpinan yang melayani sesuai dengan ajaran/nilai luhur bangsa. Ki Hajar Dewantara, soko guru pendidikan, menyebutkan sebaiknya seorang pemimpin memegang tiga prinsip mendasar, yakni ing ngarso sung tulodo (pemimpin harus memberikan teladan dan wawasan mengenai masa depan kepada pengikutnya), ing madyo mangun karso (pemimpin harus dapat mampu membangun kebersamaan yang kuat dengan pengikutnya), dan tut wuri handayani (seorang pemimpin harus dapat mendorong, mendukung, dan memberikan kesempatan kepada para pengikutnya untuk terus berkembang).

Dari terjemahan secara bebas itu terlihat bahwa falsafah kepemimpinan yang secara agung disampaikan Bapak Pendidikan kita agaknya selaras dengan prinsip kepemimpinan yang melayani yang bertujuan mengembangkan dan menyejahterakan para pengikutnya.

Rakyat Indonesia yang menggemari wayang kulit tentu tidak asing dengan Semar. Ia dan anak-anaknya selalu menjadi pelayan kesatria yang baik. Selain menghamba, Semar disebut Ismaya, yang berasal dari Manik dan Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar. Jadi Semar adalah seorang mahadewa.

Meskipun ia hamba dan buruk rupa, di balik itu tersimpan sifat-sifat mulia yakni mengayomi, sabar, bijaksana, dan penuh humor. Kulitnya kasar, tapi hatinya halus. Jakob Sumardjo mengatakan bahwa Semar ialah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni manunggaling kawula-Gusti (kesatuan hamba-Raja).

Seorang pemimpin harusnya menganut filsafat Semar. Pemimpin harus memadukan antara atas dan bawah, yaitu pemimpin dan yang dipimpin. Yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan. Kepentingan hukum negara dan kepentingan objek hukum. Kebijakan pemerintah dari atas belum tentu berakibat baik kalau yang dari atas itu tidak disinkronkan dengan kepentingan dan kondisi rakyat.

Indonesia yang berkonteks multibudaya dan agama penting untuk menggali potensi kepemimpinan yang memiliki akar yang mengarah kepada ajaran berbagai agama, budaya, dan nilai-nilai luhur yang dianut. Tidak salah jika kepemimpinan yang melayani yang berakar kuat pada hal-hal tersebut dapat merekatkan tali silaturahmi antarberbagai elemen bangsa, dan kemudian menghadirkan kedamaian dan kesejahteraan bagi warganya.

Sehingga, bolehlah kiranya banyak ratu adil diharapkan muncul jika konsep ini mulai diterapkan individu-individu yang mau mengambil langkah berani memenuhi amanah dan panggilan hidupnya.

Kebudayaan yang Hampir Punah...


Oleh Irma Tambunan

Hidup kami ini sekarang seperti cacing. Di mana tanah hidup, di situ kami juga bertahan hidup. Kalimat tersebut keluar dari mulut Tumenggung Sapii, Ketua Adat suku Bathin Sembilan di Desa Nebang Para, Sungai Bahar, Muaro Jambi, saat mengenang tanah adatnya yang telah berganti menjadi kebun sawit sejak 30 tahun lalu. Kalimat itu terdengar lirih, tetapi penuh makna tentang bagaimana satu kelompok suku tergusur dan hampir punah.

Menurut Tumenggung, semula hutan di desanya berlimpah dengan pohon yang menghasilkan buah untuk warga. Namun, kini sebagian besar hutan diliputi tanaman sawit, yang digarap inti maupun plasma oleh sejumlah perusahaan swasta dan BUMN.

Sejak hutan berganti menjadi kebun sawit, masyarakat resah akan nasibnya. Janji kompensasi atau tawaran kemitraan dari perusahaan sempat menggairahkan mereka. Mereka terus menanti, namun hingga awal 2008 banyak yang masih menunggu tanpa kejelasan.

Mereka sebagai penghuni pertama kawasan tersebut menyadari keberadaannya semakin terusir. Bagi yang tidak mendapat bantuan rumah dari pemerintah, membangun gubuk kecil di pinggiran kebun untuk bertahan hidup menjadi suatu pilihan.

Datuk Mustar, warga suku Bathin Sembilan di tepi Sungai Penyerukan, Sungai Bahar, juga mengenang sedihnya saat mengetahui hutan adat mereka menjadi kebun sawit. Padahal, awalnya dia ingin menolak ketika sebuah perusahaan masuk. Saat sosialisasi berlangsung, ia sempat mengingatkan kepala desa untuk mempertimbangkan dampak yang bakal mereka hadapi, mulai dari hilangnya tempat tinggal sampai habisnya tanaman-tanaman sumber pencarian.

Namun, tak butuh waktu lama hutan berganti sawit. Sampai sekarang, Mustar dan 90-an keluarga keturunan suku Bathin Sembilan di sekitar Sungai Bahar masih menunggu kabar perusahaan yang menawarkan kerja sama kemitraan tersebut.

Kaum terusir

Kisah hidup masyarakat suku Bathin Sembilan tampaknya tak lepas dari masa lalu sebagai kaum terusir dari tanah tinggalnya. Salah satu versi sejarah menceritakan bahwa nenek moyang suku ini adalah Puyang Semikat dari Palembang. Ia diusir raja karena kekayaannya dianggap telah melampaui sang raja. Pada masa itu, hasil tambang emas memang mendatangkan rezeki berlimpah.

Setelah diusir, Puyang Semikat menelusuri Sungai Lalan (Sumatera Selatan) sampai ke Sungai Bahar (Jambi). Di wilayah Sungai Bahar, Puyang Semikat bertemu dengan penguasa setempat, Depati Seneneng Ikan Tanah. Ia mengawini dua putri Depati, Bayan Riu dan Bayan Lais, dan memiliki anak-anak. Keturunannya membentuk komune-komune yang berkembang pada sembilan sungai tersier di Kabupaten Muaro Jambi sampai Sarolangun, Provinsi Jambi. Sungai-sungai ini bermuara ke Sungai Batang Tembesi dan Batanghari.

Ada versi lain mengenai cerita Puyang Semikat. Dia disebutkan hanya beristri Bayan Riu dan tidak memiliki anak. Komunitas suku Bathin Sembilan sebenarnya bertumbuh dari keturunan Bayan Lais yang kawin dengan seorang panembahan di Sungai Bahar. Dari anak merekalah, Pangeran Nagasari, lahir sembilan putra, yaitu Lalan, Bahar, Jebak, Jangga, Bulian, Kelisak, Sekamis, Semusir, dan Burung Hantu. Mereka berpencar di tepian sembilan anak sungai. Sungai-sungai tempat mereka berdiam diberi nama sesuai nama mereka.

Si anak bungsu, yaitu Burung Hantu, rupanya tidak dapat disunat. ”Dengan cara dan alat apa pun tetap tak mampu menyunat si bungsu. Orang kemudian meyakini, keturunan Bathin Sembilan yang identik dengan kubu ini adalah keturunan si Burung Hantu,” ujar Dulhadi, tokoh adat Bathin Sembilan di kawasan hutan produksi eks HPH Asialog.

Pernyataan Dulhadi senada dengan pendapat antropolog Johan Weintre yang pernah menelaah kelompok minoritas di Sumatera tahun 2003. Ia mencatat: mereka adalah keturunan dari saudara termuda yang tidak disunat sebab di sekitarnya tidak ada alat yang cukup tajam untuk melakukan penyunatan.

Pemuda itu merasa malu sehingga dia mengungsi ke hutan dan berpisah dari kelompok serta saudara-saudaranya yang sudah disunat.

Menurut Weintre, Kerajaan Sriwijaya menguasai sebagian Selat Malaka pada permulaan abad XI, serta berniaga dan berhubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India selatan. Kerajaan Chola pernah menyerang Sriwijaya sekitar tahun 1025.

Pada saat itu, sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai oleh Chola mengungsi ke hutan. Mereka disebut orang kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil.

Konservator masyarakat suku-suku terasing dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf, mengemukakan, sebutan Suku Anak Dalam (SAD) kerap dikenakan pada masyarakat suku Bathin Sembilan. Ini membuat orang pada umumnya menganggap mereka sama dengan kelompok SAD di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi.

Anggapan tersebut muncul sejak berkembangnya program permukiman kembali masyarakat terasing (PKMT) yang dilaksanakan pemerintah mulai tahun 1970-an hingga sekarang. Sebutan SAD terhadap mereka mengakibatkan pengaburan akan identitas suku Bathin Sembilan.

”Sampai sekarang generasi muda di sana mengetahui bahwa mereka adalah warga suku anak dalam. Hanya kalangan orang tua yang masih berpegangan bahwa mereka sesungguhnya keturunan Bathin Sembilan. Identitas mereka hampir punah,” ujarnya.

Suku Bathin Sembilan, lanjutnya, berbeda dengan Orang Rimba di TNBD, baik dari segi fisik maupun cara hidup. Manusia suku Bathin Sembilan memiliki tekstur tulang lebih kecil dibanding orang rimba. Tekstur wajah mereka lebih cocok dimasukkan ke dalam tipe melayu muda.

Sembilan sungai

Kelompok masyarakat dari suku Bathin Sembilan tinggal di sekitar sembilan sungai tersier di Kabupaten Sarolangun dan Batanghari, Provinsi Jambi, yang bermuara ke Sungai Batang Tembesi dan Batanghari, yaitu Pemusiran, Burung Antu, Sekamis, Telisak, Jangga, Jebak, Bulian, Bahar, dan Singoan. Mereka cenderung hidup menetap di sepanjang alur sungai ketimbang SAD atau orang rimba yang seminomaden.

Kehidupan warga suku Bathin Sembilan tak jauh beda dengan masyarakat suku pedalaman lainnya. Mereka berburu, menombak ikan, mengambil getah damar, karet, serta memanfaatkan jernang, rotan, dan manau.

Undang-undang Rimbo Dalam juga masih berlaku bagi kaum tradisional ini meski pengaruh hukum agama dan negara mulai mengikat mereka. Sesuai Undang-undang Rimbo Adat, mereka harus patuh untuk tidak sekali-kali mengganggu istri orang lain, tidak mengambil harta orang lain, dan menghormati sesama serta berlaku adil.

Menurut Rudi, pendekatan pembangunan telah mengaburkan identitas warga suku Bathin Sembilan. Orang Rimba maupun Bathin Sembilan memiliki pola hidup berbeda, namun pendekatan pembangunannya disatukan. Kegagalan pembangunan lebih banyak terjadi pada Orang Rimba karena hidup mereka yang berpindah-pindah. Banyak rumah ditinggalkan, kemudian ditempati pendatang.

Rudi yang telah mengadakan penelitian pada masyarakat suku Bathin Sembilan sejak 1998 mengatakan bahwa konflik antara masyarakat suku terasing dan perusahaan sawit mulai tampak ketika ia masuk ke sana.

Pembukaan kebun sawit telah mempersempit ruang jelajah pencarian makan bagi warga yang masih menggantungkan hidupnya pada hasil hutan ini. Mereka juga makin terimpit dan terasingkan oleh banyak masuknya pendatang dari sekitar Sumatera dan Jawa.

Ihwal Batu Bara dan Listrik


Oleh Nengah Sudja

Artikel Muhamad Reza, ABB Corporate Research, Power Technologies, Swedia, ”Angkut Batu Bara atau Alirkan Listrik?” (Kompas, 27/2) patut diberi masukan balik. ”Mengangkut batu bara dari lokasi penambangan di Sumatera menggunakan transportasi kereta api, kapal laut, atau membangun pembangkit listrik di lokasi penambangan batu bara di Sumatera, mengalirkan listrik ke Jawa dengan saluran transmisi tegangan tinggi”.

Masalah di atas dibahas pada workshop BPPT, On Sumatera-Jawa Electricity Interconnection, 15-16 Januari 1992 di Jakarta. Oleh Perum PLN (Some Economic Considerations Of Java-Sumatera Interconnection, ABB Swedia (Indonesian Mine Mouth), EdF Perancis (Experience of EdF in the Field Of HVDC, Submarine Links).

PLN menghitung untuk jalur transportasi/saluran: 350 kilometer dari Bukit Asam-Panjang (Lampung), 40 kilometer Panjang-Suralaya (Selat Sunda), dan 150 kilometer Suralaya-Jakarta, biaya investasi saluran HVDC 3.000 MW: 1.928 juta dollar AS. Biaya penyaluran dihitung 1,70 sen dollar AS per kWh. Biaya transportasi batu bara dengan kereta api/kapal antara 10-17 dollar per ton, menghasilkan biaya 0,3-0,4 sen per kWh untuk batu bara 5.000-6.000 kcal per kg. Kalau dipakai batu bara lignit 2.000 kcal per kg ( umum dipakai di Ruhr, Jerman), biaya transportasi 0,75-1,2 sen per kWh. Biaya alirkan listrik lebih mahal daripada transportasi batu bara. Apa dewasa ini investasi HVDC ABB lebih kompetitif?

Transportasi kereta api/kapal maupun saluran transmisi proyek padat modal. Teknologi transportasi batu bara lebih sederhana, bisa dibangun bertahap disesuaikan kebutuhan. Agar berfungsi efektif, saluran HVDC perlu dibangun sebagai satu kesatuan. Transportasi bisa mengangkut barang dan manusia. Saluran listrik hanya angkut elektron. Secara ekonomi-sosial, transportasi kereta api/kapal memberikan manfaat (benefit) lebih besar. Peralatan transportasi dapat diproduksi di dalam negeri. Saluran HVDC ( dengan kabel laut) diimpor pakai devisa. Saluran HVDC 3.000 MW maksimal bisa mengangkut batu bara setara dengan 10 juta ton per tahun. Dengan investasi sama, transportasi bisa mengangkut lebih banyak batu bara. Kapal mudah dipindahoperasikan ke lokasi lain.

” ...mengalirkan 1.000 MW listrik sejauh 1.000 kilometer menggunakan transmisi listrik arus searah (600 kilovolt) adalah pilihan paling ekonomis, dengan biaya pembangkitan listrik di titik beban jatuhnya sebesar 3,5 sen dollar AS”. Teknologi apa yang dipakai agar bisa semurah itu? Di mulut tambang cadangan air langka. Pendinginan PLTU perlu menara pendingin yang mahal. PLTU batu bara di Jawa dapat dibangun di pantai dengan pendingin air laut yang lebih murah.

”Kebutuhan listrik yang meningkat amat tinggi di Jawa-Bali mungkin menuntut kombinasi solusi dengan sebagian pembangkit listrik tetap dibangun di Jawa dan sebagian lagi di dekat lokasi penambangan batu bara di luar Jawa, dengan segala peluang maupun risikonya dari sisi ekonomi, teknis, lingkungan, bahkan sosial dan politik”. Tetapi jangan lupa unsur waktu (timing)-nya. Tahun 1992 ketika beban puncak listrik Jawa/Bali 6.000 MW, pembangunan saluran HVDC 3.000 MW, jelas belum waktunya ditinjau dari keandalan sistem. Ada kaitan antara besaran beban sistem dan besaran daya salur HVDC agar gonjangan frekuensi tidak menyebabkan gangguan total bila terjadi gangguan pada saluran HVDC. Gangguan HVDC/kabel laut dapat berlangsung lebih lama, berdampak lebih besar daripada gangguan pasokan transportasi batu bara. Gangguan pada Februari 2008 bukan masalah perencanaan sistem (perlu ada HVDC), tetapi masalah operasi sistem, manajemen aset (perbaikan dan pemeliharaan), serta logistik batu bara.

Menteri Negara Riset dan Teknologi (BJ Habibie) memanggil PLN serta Direktorat Jenderal Listrik dan Energi Terbarukan, mempertanyakan mengapa dipilih perluasan PLTU Suralaya, bukan penyaluran listrik HVDC dari mulut tambang ke Jawa. Setelah diskusi, disepakati pembangunan PLTU Batubara Suralaya diteruskan.

”Maka, yang terpenting, solusi harus dipilih dengan menimbang semua aspek (sistemik). Bila perlu, dilakukan penelitian yang teliti dengan melibatkan pihak publik, baik dari kalangan akademisi maupun industri, hingga keputusan terbaik dapat diambil”. Yang terpenting, profesionalisme ditegakkan. Urusan publik dipertanggungjawabkan secara transparan, partisipasi publik dilibatkan karena akhirnya masyarakatlah yang menanggung dampaknya. Di Swedia pasti begitu, kami iri, di negeri tercinta ruang publik belum dibuka sepadan, walaupun demokrasi dikumandangkan? Pembangunan 20.000 MW selesai 2009, tanpa studi kelayakan, jelas tidak berlandaskan kaidah perencanaan sistem. Tidak mengacu pada kebutuhan sistem, tapi bikin proyek.

Nengah Sudja Peneliti Energi

Tuesday, March 11, 2008

Dalam Dua Bulan 35 Orang Tewas di Jalan


Jalan Rusak di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi Meluas
Selasa, 11 Maret 2008 | 01:47 WIB

Jakarta, kompas - Dalam kurun waktu dua bulan pada tahun 2008, sedikitnya 35 orang tewas dan 283 orang luka berat dalam kecelakaan akibat jalan rusak. Kepolisian melaporkan 359 kejadian kecelakaan akibat jalan rusak itu kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi tidak juga ditanggapi secara serius.

Data Direktorat Lalu Lintas (Dirlantas) Kepolisian Daerah Metropolitan Jaya yang diperoleh Kompas, Senin (10/3), menyebutkan, 35 korban tewas kecelakaan ini terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya, termasuk Tangerang, Bekasi, dan Depok.

Total kecelakaan lalu lintas Januari-Februari 2008 adalah 1.021 kejadian, yang 30 persen (359 kejadian) di antaranya akibat jalan rusak. Total kerugian yang diderita korban kecelakaan mencapai Rp 513,2 juta.

Kepala Seksi Penyidikan Kecelakaan Lalu Lintas Dirlantas, Polda Metro Jaya Komisaris Irvan Prawira mengatakan, data itu belum menggambarkan realitas di lapangan. Bisa jadi peristiwa sesungguhnya jauh lebih banyak. Sebab, tidak semua kecelakaan dilaporkan ke kepolisian.

Kepolisian telah menginformasikan kepada pemprov soal bahaya jalan rusak. Namun, sayangnya seperti kasus separator Busway yang juga memakan ratusan korban celaka, pemrov tidak menanggapi hal itu serius.

Saat diminta pendapatnya mengenai informasi itu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo di Balaikota menegaskan, perbaikan jalan akan dilakukan menyeluruh dan tak bisa tambal sulam. ”Kerusakan jalan yang dikeluhkan warga Jakarta akan segera diperbaiki,” tandas Fauzi.

Sementara, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta menyatakan, perbaikan jalan baru bisa optimal jika dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sudah cair.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Wisnu Subagyo sudah mendata lengkap jalan rusak di Jakarta. Namun, tidak semua jalan kewenangan Pemprov DKI karena ada juga kewenangan pemerintah pusat.

Panjang jalan di Jakarta 40 juta meter persegi. Sampai Desember 2007, jalan rusak 1,06 persen. Namun Februari 2008, jalan rusak bertambah menjadi 1,17 persen akibat cuaca buruk.

Dana Rp 37 miliar

Dari hitungan Dinas PU, dibutuhkan dana Rp 274 miliar setahun untuk perbaikan jalan di Jakarta. Namun saat penyusunan APBD, dana yang diusulkan Rp 52 miliar, dan dana yang disetujui DPRD Rp 37 miliar setahun. ”Bisa Anda bayangkan, bagaimana kualitas perbaikan jalan dengan anggaran itu,” katanya.

Anggota DPRD DKI, Achmad Husin Alaydrus, mengatakan, pemprov bisa menggunakan dana cadangan, dan tak perlu tunggu APBD cair dahulu untuk memperbaiki jalan.

Kerusakan jalan di Jakarta dan sekitarnya dalam dua bulan ini kian parah. Traffic Management Center Polda Metro Jaya mencatat 120 titik jalan rusak tersebar di lima wilayah di DKI Jakarta.

Beberapa titik jalan rusak terparah antara lain, Jalan DI Panjaitan dekat kawasan Halim, Jalan Yos Sudarso, Kapten Tendean, Gatot Subroto, Sudirman depan Universitas Atmajaya, Cilincing, dan Tambora.

Kerusakan jalan parah juga ditemukan di Kota Tangerang dan Bekasi. Jalan berlubang dan bergelombang telah menewaskan dua orang sepekan terakhir.

Melanggar hukum

Prof Dr Safri Nugraha, guru besar hukum administasi negara Universitas Indonesia (UI), mengatakan, pemerintah melanggar hukum jika membiarkan jalan-jalan dalam kondisi rusak. Kalau ada jalan atau fasilitas publik lain yang kondisinya rusak, warga masyarakat berhak menyampaikan keluhan kepada pejabat yang bersangkutan, kepada atasannya, atau mengadu ke pengadilan.

Dr Lisman Manurung, pakar kebijakan publik di Departemen Admimistrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI, mengatakan, buruknya kondisi berbagai fasilitas publik di Jakarta sekarang merupakan cerminan dari aparat pemerintah yang belum memiliki paradigma pelayanan publik.

Para pejabat pemerintah harus sudah mulai menyadari dan menghargai hak-hak publik. Pemerintah harus mengubah pola pikirnya. Birokrat harus menjadi fasilitator agar masyarakat jadi sehat, bisa bekerja dengan baik, dan menghasilkan uang untuk membayar pajak.

”Warga harus menuntut haknya untuk mendapatkan pelayanan publik yang terbaik,” papar Manurung.(SF/NEL/CAL/muk/KSP)