Wednesday, March 19, 2008

Minyak Mahal, dan Akan Habiskah?

NINOK LEKSONO

“Puncak minyak bumi telah dicapai… dan tahun 2025 kita kembali ke zaman batu”. (Kenneth Deffeyes, guru besar emeritus Universitas Princeton/ ”Popular Mechanics”, 4/8)

Berita Selasa kemarin menyebutkan, di pasar Asia harga minyak tinggal selangkah lagi ke posisi 112 dollar AS per barrel (Kompas, 18/3). Mungkin saja setelah ”rutin” membaca kenaikan harga minyak, berita semacam itu sudah semakin terdengar biasa. Namun, sesungguhnya, dampaknya harus tidak dilihat sebagai hal biasa karena ia berkaitan dengan kehidupan ratusan juta orang.

Pertanyaan yang wajar muncul seiring dengan terus membubungnya harga minyak adalah, ”Menjadi barang yang demikian langkakah minyak bumi?” Selain itu, ”Sampai kapan dunia akan terpenjara dalam ketergantungan minyak?”

Apakah minyak akan terus ada?

Ketika membahas ”Masa depan minyak”, majalah Popular Mechanics edisi April 2008 menegaskan bahwa minyak memang tidak akan ada selamanya. Namun, dengan eksplorasi lebih jauh, ditambah dengan konservasi dan pemanfaatan energi alternatif lebih baik, ladang minyak tak akan serta-merta jadi kering.

Pemahaman orang terhadap minyak dewasa ini memang terbelah. Di satu sisi, minyak dicap sebagai biang dari perubahan iklim karena pembakarannya menghasilkan miliaran ton karbon dioksida. Ia juga dilihat sebagai biang kekacauan ekonomi.

Namun, jangan salah, dewasa ini kita masih membutuhkan minyak, malah dalam jumlah banyak. Bukan hanya Amerika yang membutuhkan makin banyak minyak–tahun 2008 ini kebutuhannya akan menjadi 21 juta barrel per hari—melainkan juga negara yang tengah menanjak seperti India dan China.

Masalahnya, pasokannya bukan tidak terbatas. Penganut teori Puncak Minyak (Peak Oil) mengatakan, produksi minyak dewasa ini sudah mencapai taraf maksimal, yang berarti tidak lama lagi akan datang kelangkaan dan kenaikan harga lebih tajam.

Akan tetapi, pakar yang optimistis punya argumen lain bahwa Puncak Minyak masih 20-30 tahun lagi. Namun, kedua kubu sepakat bahwa tugas yang ada sekarang ini adalah dua tahap: mengembangkan pasokan baru sambil belajar untuk merentang cadangan yang ada sekarang ini.

Terus eksplorasi

Negara-negara yang mengklaim punya cadangan minyak kini terus melakukan eksplorasi untuk menemukan sumber baru. Di AS memang dilaporkan tidak ada temuan besar baru semenjak penemuan Prudhoe Bay tahun 1968. Dengan itu, eksplorasi harus lebih diarahkan ke Teluk Meksiko, di mana pengeboran dan produksi sulit dan mahal.

Meski mahal dan sulit, dengan upaya itu AS memang lalu menemukan sumber-sumber baru. Tahun lalu survei yang dipimpin Chevron menemukan ladang Jack, sekitar 400 km dari Louisiana, yang mengandung sekitar 15 miliar barrel. Tahun 2008 AS juga menemukan cadangan gas besar di Marcellus Shale. Negara lain seperti Brasil juga menemukan ladang Tupi yang menyimpan 8 miliar barrel, di Kazakhstan tahun 2000 ditemukan ladang Kashagan dengan cadangan 13 miliar barrel, dan di China tahun 2007 ditemukan ladang Jidong Nanbao dengan 7 miliar barrel.

Selain terus giat mencari ladang baru, industri minyak juga terus mengefisienkan cara pemompaan. Kemarin, selama berpuluh-puluh tahun perusahaan minyak mengandalkan pada teknik yang hanya mampu menaikkan sepertiga cadangan ladang. Kini dengan teknik yang diperbarui, perusahaan bisa menaikkan sampai tiga-perempat cadangan sehingga umur ladang pun bisa ditingkatkan secara dramatik.

Meski demikian, energi alternatif tetap perlu dikembangkan.

Kilas balik

Semenjak era minyak lahir tahun 1859, produsen dunia telah memompa sekitar 1 triliun barrel dari bumi. Dengan tingkat produksi yang ada sekarang ini, mereka bisa memompa triliun kedua pada tahun 2030.

Pertanyaannya, dengan eksploitasi yang ada sekarang ini, kapan kita akan mencapai produksi puncak yang disebut Puncak Minyak? Guru besar emeritus Kenneth Deffeyes berpendapat, Puncak Minyak telah dicapai sehingga yang akan terjadi kemudian adalah kekacauan sosial dan politik. Ia menulis, seperti dikutip di bagian awal tulisan ini, tahun 2025 kita akan kembali ke zaman batu.

Memang ada pihak yag lebih optimistis, seperti Michael Lynch dari Strategic Energy & Economic Research di Amherst, Massachusetts, yang meneliti kaitan antara suplai dan kebutuhan.

Namun, untuk sementara ini, pandangan Deffeyes—di tengah terus membubungnya harga minyak—terasa menggentarkan. Diharapkan, ketika masih ada kesempatan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian di berbagai hal, masih bisa dilakukan ikhtiar untuk memperbanyak suplai dan juga pengembangan energi baru, selain kesadaran manusia untuk mengurangi konsumsi minyak itu sendiri.

No comments: