Wednesday, March 12, 2008

Kepeminpinan Yang Melayani




Penulis: Donald Crestofel Lantu, Peneliti, Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB
  • CARA pandang baru dalam memahami arti kepemimpinan, berbeda dari yang selama ini kita alami dan amati, yang ternyata sesuai dan memiliki akar pada ajaran beberapa agama besar dan nilai-nilai luhur bangsa.

Rakyat telah jenuh dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. THR yang belum kunjung tiba diiringi dengan kepastian inflasi menjelang hari raya. Saat Ramadan yang seharusnya penuh dengan kemurnian justru terlihat para (calon) penguasa berlomba-lomba mendaftarkan diri menjadi calon Presiden RI 2009. Seorang anggota Komisi Yudisial, yang seharusnya bertugas memberantas mafia peradilan tertangkap basah ketika menerima suap dalam kasus pengadaan tanah untuk gedung baru KY. Sangat jarang ditemukan sosok yang tidak mementingkan egonya. Mereka (sengaja) lupa akan amanah yang harus dipenuhi dalam memangku jabatan. Sehingga, proses pencarian sang ratu adil serasa mencari air di hamparan luasnya padang pasir yang tidak berujung.

Pertanyaan akan hadirnya ratu adil berusaha dijawab lewat paradoks dalam kepemimpinan. Paradoks itu adalah kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Jadi kepemimpinan bukanlah alat kekuasaan, sarana memperkaya diri atau menambah istri. Kepemimpinan adalah amanah yang harus dipenuhi untuk mendatangkan kebaikan serta kesejahteraan bagi pihak lain.

Danah Zohar (pakar spiritual capital) menyatakan bahwa kepemimpinan yang melayani adalah the ultimate leadership. Pemimpin besar yang pernah ada adalah individu-individu yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi. Mereka adalah pemimpin pelayan bagi umatnya.

Mohandas Gandhi melayani bangsanya dengan perjuangan tanpa kekerasan. Ia akan terus berpuasa jika sesama rakyat (pihak Muslim dan Hindu) masih berselisih. Ia tidak akan berhenti dan rela mati selama mereka bertikai. Gandhi juga menganjurkan gaya hidup sederhana secara langsung.

Nelson Mandela berjuang memberantas politik apartheid di Afsel secara konsisten. Ia rela membayar perjuangannya dengan menghabiskan waktu yang lama di penjara. Pemimpin besar Islam, Imam Khomeini, lebih suka dipanggil sebagai pelayan daripada pemimpin. Ia berusaha menjadi pelayan selama hidupnya bagi semua lapisan masyarakat Iran serta pihak yang tertindas. Demikian pula Bunda Teressa yang melayani orang termiskin dari yang miskin di Calcutta. Ia rela tinggal bersama mereka, memeluk penderita sakit kusta, dan memberikan hidupnya secara utuh.

Kepemimpinan lintas agama

Kepemimpinan yang melayani bukanlah filosofi baru bagi bangsa kita yang dikenal memegang teguh nilai-nilai spiritualisme dan agama. Sebenarnya, konsep itu telah tertanam dalam tiap ajaran agama. Bahkan pakar sosial-budaya Jakob Sumardjo menyebut kepemimpinan pelayan sebagai hasil kearifan postmodernisme--pertemuan budaya Barat dengan Timur.

Di agama Islam, hampir semua ulama sepakat bahwa pemimpin sebenarnya abdi dari rakyat (pengikutnya). Ibnu Taimiyah menegaskan sebenarnya nabi telah memerintahkan untuk mengangkat seorang abdi umat untuk menjadi pemimpin organisasi. Perintah itu diwajibkan karena Allah telah memerintahkan kaumnya untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar. Melalui jalan kepemimpinanlah hal itu akan dapat berjalan dengan baik dan sempurna.

Islam secara tegas menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia diciptakan Tuhan di dunia ini dengan misi untuk mengabdi atau beribadah dan menjadi khalifah. Alquran Surat Al Anbiya ayat 107 menyerukan agar Nabi Muhammad SAW dan seluruh umat manusia diutus ke dunia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Hadis yang diriwayatkan dari Abu Na'im yang menyerukan sabda Rasulullah SAW, ''Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka''. Adalah sebagian dari dalil yang menjelaskan kepemimpinan pelayan dalam ajaran Islam.

Dalam agama Kristen, kepemimpinan yang melayani ditunjukkan secara langsung dalam peristiwa Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya. Di Alkitab (Matius 20: 26-28) juga tertulis, 'Tidaklah demikian di antara kamu. Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.'

Dhammacaro Andrianto menyatakan bahwa mungkin saja Buddha tidak dikenal saat ini kalau saja Siddharta lebih memilih menjadi raja ketimbang menjadi pertapa untuk mencari 'obat' yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Ajarannya pun banyak diikuti orang sampai sekarang.

Beliau rela berkorban untuk meninggalkan kesenangan duniawi demi tujuan mulia mencapai kebuddhaan. Kekuasaan akan memberikan makna bagi kehidupan bila digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Buddha juga mengajarkan dharma kepada para raja yang berkuasa di masa itu untuk memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya itu demi kesejahteraan rakyat. Buddha telah memberikan pengabdian kepada umat manusia, bagi dunia, bahkan seluruh alam semesta. Itulah contoh keteladanan nyata seorang pemimpin yang telah berkuasa dalam arti sesungguhnya.

Selain kesesuaian dengan ajaran agama, kepemimpinan yang melayani sesuai dengan ajaran/nilai luhur bangsa. Ki Hajar Dewantara, soko guru pendidikan, menyebutkan sebaiknya seorang pemimpin memegang tiga prinsip mendasar, yakni ing ngarso sung tulodo (pemimpin harus memberikan teladan dan wawasan mengenai masa depan kepada pengikutnya), ing madyo mangun karso (pemimpin harus dapat mampu membangun kebersamaan yang kuat dengan pengikutnya), dan tut wuri handayani (seorang pemimpin harus dapat mendorong, mendukung, dan memberikan kesempatan kepada para pengikutnya untuk terus berkembang).

Dari terjemahan secara bebas itu terlihat bahwa falsafah kepemimpinan yang secara agung disampaikan Bapak Pendidikan kita agaknya selaras dengan prinsip kepemimpinan yang melayani yang bertujuan mengembangkan dan menyejahterakan para pengikutnya.

Rakyat Indonesia yang menggemari wayang kulit tentu tidak asing dengan Semar. Ia dan anak-anaknya selalu menjadi pelayan kesatria yang baik. Selain menghamba, Semar disebut Ismaya, yang berasal dari Manik dan Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar. Jadi Semar adalah seorang mahadewa.

Meskipun ia hamba dan buruk rupa, di balik itu tersimpan sifat-sifat mulia yakni mengayomi, sabar, bijaksana, dan penuh humor. Kulitnya kasar, tapi hatinya halus. Jakob Sumardjo mengatakan bahwa Semar ialah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni manunggaling kawula-Gusti (kesatuan hamba-Raja).

Seorang pemimpin harusnya menganut filsafat Semar. Pemimpin harus memadukan antara atas dan bawah, yaitu pemimpin dan yang dipimpin. Yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan. Kepentingan hukum negara dan kepentingan objek hukum. Kebijakan pemerintah dari atas belum tentu berakibat baik kalau yang dari atas itu tidak disinkronkan dengan kepentingan dan kondisi rakyat.

Indonesia yang berkonteks multibudaya dan agama penting untuk menggali potensi kepemimpinan yang memiliki akar yang mengarah kepada ajaran berbagai agama, budaya, dan nilai-nilai luhur yang dianut. Tidak salah jika kepemimpinan yang melayani yang berakar kuat pada hal-hal tersebut dapat merekatkan tali silaturahmi antarberbagai elemen bangsa, dan kemudian menghadirkan kedamaian dan kesejahteraan bagi warganya.

Sehingga, bolehlah kiranya banyak ratu adil diharapkan muncul jika konsep ini mulai diterapkan individu-individu yang mau mengambil langkah berani memenuhi amanah dan panggilan hidupnya.

No comments: