Thursday, May 31, 2007

Visi 2030 dan Pendidikan (3-Habis)
Kurikulum Beridentitas Kerakyatan

A FERRY T INDRATNO

"Kurikulum memang bukan satu-satunya penentu mutu pendidikan. Ia juga bukan perangkat tunggal penjabaran visi pendidikan. Meskipun demikian, kurikulum menjadi perangkat yang strategis untuk menyemaikan kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu warga," kata panelis Agus Suwignyo.

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, pada rentang waktu tahun 1945-1949 dikeluarkan Kurikulum 1947. Tahun 1950-1961, ditetapkan Kurikulum 1952. Kurikulum terakhir pada masa Orde Lama adalah Kurikulum 1964.

Masa Orde Baru lahir empat kurikulum. Kurikulum 1968 ditetapkan dan berlaku sampai tahun 1975. Selanjutnya muncul Kurikulum 1975. Pada tahun 1984 dibuat kurikulum baru dengan nama Kurikulum 1975 yang Disempurnakan dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pada tahun 1994 dikeluarkan kurikulum baru, yakni Kurikulum 1994. Kurikulum itu menjadi kurikulum terakhir yang dikeluarkan oleh rezim Orde Baru.

Pada era reformasi muncul Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi (Sisko) yang memandu sekolah menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Apabila dicermati, penyusunan kurikulum yang silih berganti di Indonesia itu menunjukkan betapa kekuasaan yang berlaku menancapkan kukunya dalam penentuan isi kurikulum.

Menurut Bourdieu, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan untuk mereproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah. Kekuatan kekerasan ini berasal dari hubungan kekuasaan sesungguhnya yang disembunyikan oleh kekuatan pedagogis.

Kurikulum yang berlaku dalam suatu negara, termasuk Indonesia, sering digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan.

Umumnya para pendidik dan masyarakat luas tidak menyadari apa sebenarnya peranan kurikulum di dalam proses pembelajaran peserta didik.

Dunia pendidikan memang sering kali menganggap bahwa kurikulum adalah soal teknis belaka. Namun, sebenarnya, berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang sumber-sumber kekuasaan dalam dunia pendidikan.

Kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antargenerasi dalam suatu masyarakat.

Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antarkekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat. Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui sistem persekolahan.

Sampai sejauh ini pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum, yaitu Kurikulum Nasional yang dipakai sebagai acuan tunggal. Semua lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik di kota besar, pelosok gunung, maupun di pinggiran pantai, punya kurikulum sama.

Dengan demikian, proses pendidikan yang diterapkan adalah dalam upaya membentuk keseragaman berpikir. Melalui proses pendidikan nasional, generasi muda Indonesia dibentuk oleh sistem pendidikan yang mengacu kepada politik etatisme.

Melalui Kurikulum Nasional, pendidikan di Indonesia telah menjalani proses yang amat berlainan dengan perkembangan kebudayaan sehingga pendidikan di Indonesia bukan lagi sebagai persoalan kebudayaan, melainkan lebih sebagai kepentingan politik di satu sisi, dan kepentingan ekonomi di sisi lain.

Dengan demikian, jika orang masuk ke lorong pendidikan di Indonesia, ia tidak menemukan proses berpikir kritis, tetapi justru menjadi terasing dari lingkungan sosialnya.

Identitas kerakyatan

Munculnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tampaknya menunjukkan bahwa politik kebijakan pemerintah dalam pengembangan dan operasionalisasi kurikulum mulai desentralistis, akomodatif, dan terbuka. Meskipun demikian, efektivitas perubahan politik kebijakan tersebut dalam menjawab problem fungsional kurikulum masih harus dibuktikan.

Melalui kebijakan KTSP, sekolah-sekolah diberi kebebasan menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan konteks lokal, kemampuan siswa, dan ketersediaan sarana-prasarana. Kebebasan semacam itu tentu dilatari semangat pembaruan dalam bidang pendidikan yang selama ini dinanti.

Pemberian kebebasan kepada sekolah dan guru ini bukan tanpa persoalan. Umumnya para guru yang memang tidak dipersiapkan untuk menyusun kurikulum, tidak cukup memiliki kompetensi dan kreativitas dalam menyiapkan kurikulum dan segenap perangkat pembelajaran. Belum lagi masih ada tuntutan ujian nasional di tengah disparitas mutu, kualitas guru, dan sarana-prasarana belajar yang sangat tajam antardaerah.

Bagaimana KTSP menjadi kurikulum yang berfungsi sebagai pedoman dan sarana pencerdasan peserta didik?

Menurut seorang pakar pendidikan dari Malanag, T Raka Joni, ketersampaian pesan pada kurikulum bukan bergantung pada materi pesan yang ingin disampaikan, melainkan lebih pada cara menyampaikan pesan (the process is the content, the medium is the message).

Dia mengatakan, dampak proses penyampaian pesan itulah yang dimanfaatkan untuk menyampaikan sisi-sisi pesan pendidikan lain—humanisme, kerakyatan, nasionalisme, kebangsaan—yang juga penting dalam kerangka tujuan utuh pendidikan.

Akan tetapi, ini justru tidak tepat apabila disampaikan hanya dalam kerangka pikir content transmission model. Sebaliknya, sasaran-sasaran pembentukan seperti kebiasaan bekerja secara sistematis, kepekaan sosial, dan tanggung jawab harus diwujudkan sebagai dampak pengiring (nurturant effects) dari keterlibatan siswa dalam berbagai kegiatan dan peristiwa pembelajaran yang dialami siswa.

Berdasarkan dampaknya kepada siswa, kurikulum dibedakan menjadi lima tataran, yaitu kurikulum ideal, formal, instruksional, operasional, dan eksperiensial.

Kurikulum eksperiensial adalah makna dari pengalaman belajar yang terhayati oleh siswa sementara mereka terlibat dalam berbagai kegiatan dan peristiwa pembelajaran yang dikelola oleh guru dan sekolah. Oleh karena itu, kurikulum eksperiensiallah yang membuahkan dampak, dalam bentuk perubahan cara berpikir dan bertindak para siswa yang bersangkutan.

Oleh karena itu, dilihat dari sudut pandang keberdampakan kurikulum terhadap tingkah laku siswa, pada dasarnya yang eksis hanyalah kurikulum lokal—yang bisa dimanifestasikan dalam KTSP—yang berupa pengalaman belajar yang di- gelar oleh guru dari hari ke hari. Ini berarti, kurikulum formal "tidak banyak bicara" tanpa penerjemahan yang setia di lapangan.

KTSP sangat berpeluang untuk mewujudkan kurikulum sekolah yang beridentitas kerakyatan, artinya kurikulum yang benar-benar berpihak kepada khalayak—dalam hal ini anak didik—dalam konteks sosial-budaya dan kehidupan sehari-hari. Identitas dapat dicapai dengan penyusunan pengalaman belajar yang dikontekstualisasi dengan kebutuhan setempat.

Dalam konteks Asmat yang berawa, misalnya, tentu pelajaran yang paling berguna adalah penguasaan alam, khususnya sungai serta pengelolaan sumber daya air dan laut.

Anak-anak di Langsa, Aceh Timur, perlu belajar mengolah hasil laut, khususnya ikan dan rumput laut, yang selama ini belum tergarap, sedangkan anak-anak Halmahera sangat perlu mengembangkan kesenian tradisional dan bahasa yang beraneka ragam, penyelidikan flora dan fauna. Anak-anak di tempat lain pun mengembangkan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya dan masyarakatnya.

Di sini kreativitas dan keberpihakan guru menjadi sangat penting. Sekolah bisa menjadi arena (field) anak-anak untuk membentuk habitus (kebiasaan) baru tanpa didominasi kepentingan sentralistis yang sebenarnya secara diam-diam masih ditengarai termuat dalam standar isi, standar kompetensi, dan kompetensi dasar yang disusun secara terpusat.

Dengan demikian, kebebasan mengembangkan pengalaman belajar itu sungguh terjadi. Tujuan pendidikan yang sesuai kerangka Visi Indonesia 2030—menciptakan masyarakat maju, sejahtera, mandiri, dan berdaya saing tinggi—dapat diarahkan.

A FERRY T INDRATNO Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Wednesday, May 30, 2007

Hubungan Pasien-Dokter
Komunikasi Menjadi Kunci

Mengapa banyak tuduhan bahwa dokter melakukan malapraktik? Juga fenomena pasien berbondong- bondong berobat ke luar negeri? Apakah dokter Indonesia kurang mampu memberikan kepuasan serta rasa aman kepada pasien?

Jawabnya, karena komunikasi belum menjadi urusan utama dokter Indonesia. Di sisi lain pasien belum sadar hak dan kewajibannya sebagai pasien. Hal itu mendorong guru besar emeritus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Daldiyono Hardjodisastro menulis buku Pasien Pintar & Dokter Bijak yang dipaparkan dalam ceramah di FKUI/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, Selasa (29/5).

Menurut Daldiyono, untuk mendapat hasil maksimal dari pertemuan dengan dokter, pasien harus mempersiapkan diri. Misalnya mengenakan pakaian yang memudahkan dokter melakukan pemeriksaan. Selain itu pasien juga perlu mencatat keluhan yang hendak disampaikan ke dokter secara lengkap, kapan dirasakan, upaya yang sudah dilakukan untuk mengurangi rasa sakit. Beritahukan pula penyakit yang pernah atau sedang diderita, obat yang sedang diminum serta jika ada alergi.

Dari tanya jawab soal keluhan dan pemeriksaan fisik pasien, dokter akan menegakkan diagnosis kemudian memberikan terapi termasuk resep obat.

Pasien berhak mendapatkan informasi yang jelas mengenai hasil pemeriksaan, menanyakan bila ada yang belum jelas, mengambil keputusan untuk menerima atau menolak saran dokter tentang terapi yang akan diberikan. Jika pasien tidak menerima keputusan dokter, ia berhak mencari pendapat kedua (second opinion) dari dokter lain.

Pasien yang pintar perlu bertanya dan mengetahui obat apa yang diresepkan serta manfaatnya. Jika kondisi keuangan tidak memungkinkan, pasien perlu meminta obat generik.

Hilangkan sifat ingin cepat sembuh. Pengobatan perlu waktu, kesabaran, dan ketekunan. "Banyak dokter terbawa kemauan pasien yang ingin cepat sembuh, sehingga dokter melakukan pelbagai jenis pemeriksaan yang belum tentu diperlukan atau memberi obat berlebihan," papar konsultan gastroenterologi-hepatologi itu.

Sebaliknya, dokter yang bijak adalah yang mampu berkomunikasi secara efektif dengan pasien. Mau mendengarkan keluhan pasien, menjawab pertanyaan dan menjelaskan situasi pasien, memberi nasihat cukup tidak sekadar memberi resep sehingga pasien merasa puas.

Kemampuan berkomunikasi merupakan inti dari pekerjaan dokter. Kepandaian sebenarnya nomor dua saja. Pasalnya, 60 persen pasien sebenarnya tidak sakit, tetapi mengalami kelainan fungsional. Hanya 40 persen yang benar-benar sakit, itu pun 20 persen sembuh sendiri. "Pengobatan atau proses asuhan medik adalah usaha bersama," katanya.

Bagaimana menghadapi dokter yang tidak komunikatif? Tinggalkan saja, pindah dokter, saran Daldiyono. (atk)

Kehidupan Berbangsa
Negeri dengan Elastisitas Diri

Radhar Panca Dahana

Kampung itu hampir tak berbeda dengan kebanyakan kampung lainnya. Juga dalam soal tradisi konflik, baik dengan kampung lain, antargeng, maupun antarfamili. Belum lama terjadi perselisihan yang akhirnya membawa ratusan orang, tinju, batu, kayu, dan golok ke dalam satu bentrokan.

Perkaranya, seperti biasa, sepele. Seorang perempuan mabuk dianggap menghina karena menyebut teman mabuknya, dari kampung lain, sebagai "maling".

Yang menarik dari pertikaian tersebut adalah pesertanya. Sebagai satu wilayah urban, kedua kampung urban tersebut diisi oleh mereka yang berdatangan dari pelbagai daerah. Ada orang Jawa, Batak, Madura, Bali, Padang, dan sebagainya. Namun, ketika bertikai, asal-usul kedaerahan atau etnik itu lenyap.

Demi nama, wibawa, atau harga diri kampungnya, orang Batak bisa berhadapan dengan orang Batak, Jawa dengan Jawa, dan seterusnya. Sebuah solidaritas baru dan masyarakat baru dibentuk berdasarkan sentimen, kepentingan, dan tantangan hidup setempat yang sama, yang perlahan melenyapkan selaput- selaput etnisitas atau chauvinisme lokal yang mereka bawa dari daerah.

Seperti kelompok simpatisan atau fans dari sebuah klub sepak bola di mana saja. Betapapun klub itu bersifat "kedaerahan" karena berasal dari satu lokal/ kota tertentu, tak bisa dimungkiri ia menghimpun simpatisan sekota yang ternyata berasal dari berbagai wilayah atau etnik.

Maka, ketika dua klub bertemu, dua kelompok simpatisan bertemu, maka identitas kota tempat mereka berdiamlah yang mencuat, melunturkan identitas asal/etnik dari masing-masing anggota kelompok dan klub bersangkutan. Pendukung Persija dan PSMS bisa bersitegang walau keduanya ternyata asli Sunda.

Ilustrasi kecil ini mengabarkan realitas sosio-kultural kita dalam melakukan proses perekatan dan pada akhirnya cara mereka mengidentifikasi diri. Pada keberadaan, peran, dan apa yang dapat kita lakukan di dalam satu masyarakat yang guncang ini. Dan ternyata, betapapun baru dan mutakhirnya kondisi, masyarakat yang ada di negeri kepulauan ini tetap menggunakan satu modus yang khas dalam berekspresi dan mengaktualisasi diri.

Modus yang saya sebut sebagai mode of cultural expression ini semacam satu ekspresi kultural di mana kita secara kolektif menegakkan dan mengembangkan kualitas diri melalui satu proses osmosa dari simbol- simbol budaya yang ada di hidup keseharian kita.

Dalam modus ini, kita sesungguhnya tidak lagi mempersoalkan dari mana asal datangnya simbol kultural yang bertebaran itu. Secara pragmatis dan otomatis kita menyeleksi, menerima, dan menerapkan bagian-bagian yang berguna dari khazanah simbolik tersebut demi keperluan praktis hidup serta ekspresi mereka.

Di tingkat kolektif, modus dan prosedur pemaknaan simbolik ini pada akhirnya membentuk semacam "identitas", sebuah karakter, atau bahkan satu adab atau budaya.

Maka, dengan relaks dan alamiah, orang Jawa menerima masukan simbol-simbol baru dari berbagai sumber: Buddha, Hindu (India), Arab, China, Inggris, Belanda, hingga Melayu. Orang Betawi dengan ramah dan terbuka menerima sumbangan simbolik dari budaya Banjar, Bali, Sunda, China, Arab, hingga Portugis.

Orang Indonesia kini, menerima apa saja, yang datang dari Hollywood (Amerika Serikat), Bollywood (India), Jepang, bahkan Korea, Filipina, Thailand, hingga Venezuela. Pola dari prosedur pemaknaan inilah yang, dalam hemat saya, untuk sementara ini, membuat kita survive, bertahan sebagai sebuah Jawa, Sunda, Minang, Bugis, sebagai sebuah Indonesia.

Fakta historis itu menunjukkan bagaimana daya terima kita yang sangat kuat dan egaliter terhadap dunia atau budaya baru. Kemampuan—yang juga kekuatan—penerimaan ini mengindikasikan adanya kelenturan, elastisitas, atau fleksibelitas— tanpa kelembaman—yang secara khas kita miliki.

Bukan sekadar untuk survive, tetapi juga untuk berkembang. Kekuatan yang lentur itu memperlihatkan bagaimana kita sebagai sebuah masyarakat atau kesatuan budaya bukanlah sesuatu yang sudah fixed atau selesai. Ia adalah sebuah entitas yang selalu bergerak, memodifikasi dan memperbarui diri.

Risiko ideologis

Identifikasi eksistensial semacam ini memberi kita risiko yang tidak kecil, terutama bersangkutan dengan apa yang selama ini kita yakini secara politis, historis, atau ideologis.

Sebagai sebuah entitas yang lentur dan tidak pernah berdiam, secara konsekuen seharusnya kita tidak akan pernah bertahan atau ngeyel dengan satu bentuk identitas, satu tatanan nilai, atau satu definisi. Ia mau tak mau harus terus mengubah diri, mengubah segalanya, termasuk ekspresi eksistensialnya.

Dengan pengertian itu, satu etnik atau suku bangsa tertentu tak dapat dikatakan "tradisional" jika ia diartikan sebagai sesuatu yang fixed, old fashioned, kaku, beku, bahkan jumud.

Semua kelompok etnis—Batak, Daya, Bugis, dan sebagainya—ternyata adalah sesuatu yang terus mengubah dirinya. Selalu berada dalam posisi yang kontemporer. Jika pun ada satu faktor yang dapat disebut "tetap", dalam logika penalaran ini, adalah modus dan prosedur pemaknaan yang saya sebut di atas. Ketetapan yang menjadi ruang ketidaktetapan.

Dasar pikiran inilah yang saya jadikan proposal sebagai salah satu cara kita melihat dan menerima realitas mutakhir kita sebagai seorang manusia, sebagai kelompok atau suku bangsa, sebagai sebuah bangsa atau negara. Ini karena, mengenai satu hal inilah kita selama ini tampaknya lalai, alpa, juga malas mengurus dan merenungkannya.

Sebuah missing link (rantai terputus) dalam sejarah modern kita sebagai sebuah bangsa, menurut Daoed Joesoef dalam tulisannya terakhir di harian Kompas.

Sebagaimana kita paham bersama, kata "Indonesia" tercipta, kita terima, pahami, dan coba terapkan, adalah sebuah rumusan politis dan ideologis belaka. Abstrak, terlampau abstrak, bahkan, "Tidak membumi," tulis Daoed Joesoef lagi. Pada masanya dahulu, kata itu efektif sebagai satu moral atau ideal yang menggerakkan massa. Namun, secara substansial ia masih hampa, bahkan ilusif.

Inilah risiko logis yang saya maksud. Realitas mutakhir dari kemanusiaan kita kini berhadapan vis a vis dengan realitas historis-politis-ideologis yang sekian dekade kita yakini dan hayati.

Kenyataan bahwa kita adalah sebuah entitas yang tak tetap, selalu mencari dan menghasilkan bentuk atau jati diri baru, tidak lagi fit in dengan ide-ide tentang kesatuan, kultur dan sistem yang fixed, bahkan dasar- dasar (filosofi) negara yang ditetaskan lebih setengah abad lalu.

Konsekuensi logis berikutnya, kini tidak ada lagi sesuatu yang harus mati-matian dipertahankan—secara mental dan intelektual—karena semua harus bergulir, memperbarui diri, melakukan adjustment dengan situasi-situasi baru. Segala retorik historis-ideologis yang menunggalkan dan memastikan kini jadi beban politik yang menyulitkan.

Bagaimana, misalnya, kita masih memercayai—secara mental dan intelektual—satu frase: "Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa". Sementara semua "kesatuan" yang disebut itu hanya ilusi belaka. Sebagaimana kita membayangkan Indonesia sebagai "satu nusa" dengan 17.000 pulaunya, "satu bahasa" dengan 400-an bahasa lokal, atau "satu bangsa" dengan 600-an (suku) bangsa yang tersebar di seluruh kepulauannya.

Prosedur pemaknaan tunggal dan fixed inilah, bukan hanya menghasilkan sejarah dan identitas yang fantasional, tetapi juga pengalienasian—bahkan pembunuhan secara perlahan—harta karun kita dalam soal, nusa, bangsa, dan bahasa. Dan gugurlah pula kemungkinan kita mendapatkan kontribusi penting dari khazanah lokal tersebut. Kontribusi dalam menjalankan modus ekspresi kultural kita di atas.

Hilanglah sesungguhnya "kekuatan" dasar yang sebenarnya selama ini membuat kita survive dan mampu mengembangkan diri serta memproduksi karya- karya kultural sebagaimana peninggalan-peninggalan masa lalu memberi tahu kita.

Bila kemudian kerancuan, situasi khaotik seakan terasa menggenang dalam perihidup kita belakangan ini, dengan berbagai kasusnya yang bertebar di semua head lines, tentu dengan segera bisa kita mafhumi.

Indonesia selalu baru

Untuk itu, sebuah Indonesia saya kira, pada akhirnya, harus dimengerti sebagai semacam "kesepakatan" saja. Dalam arti yang pragmatis, secara politis dan ekonomis, misalnya.

Selebihnya adalah sebuah mozaik besar. Yang disusun oleh eksistensi kelokalan, dalam bentuk apa saja, yang dengan kekuatan "daya terima" yang khas, menciptakan sinergi kultural secara kolektif dan masif membentuk identitas dirinya yang baru. Yang tak pernah tetap, tidak bergeming.

Untuk itu tak perlu lagi kita menganggap semua produk kemerdekaan begitu sakral, bahkan menyaingi kitab suci agama. Tak ada yang permanen dan eternal di atas tanah, termasuk konstitusi, bahkan preambule- nya sekalipun.

Sungguh suatu yang mengherankan ketika kita begitu khawatir dan takutnya pada amandemen konstitusi, bahkan merasa berdosa untuk sekadar "menyentuh" pembukaannya. Sementara hidup, termasuk nilai dan filosofi dasarnya terus berubah.

Seluhur apa pun founding fathers di negeri mana pun, tak dapat ia memberi kita tuntunan abadi yang tak lekang ratusan tahun, sebagaimana kitab suci. Bagaimana mungkin, manusia yang fana, yang tidak abadi, yang mudah rapuh dan retak, dapat menciptakan sesuatu yang abadi, yang tak akan lapuk dan rusak?

Sungguhlah arif, jika kita mampu dan berani melihat dan menerima kenyataan itu, sambil belajar dengan saksama bagaimana sebenarnya masyarakat atau komunitas lokal/etnik telah memberi kita contoh-contoh konkret yang membuat mereka bertahan dan berkembang.

Bukan dengan, misalnya, mengadopsi mentah-mentah, tanpa proses akulturasi sama sekali, pola, sistem, atau cara bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dari dunia lain, yang seluruh pranata sosio-kulturalnya sungguh berbeda.

Seperti terjadi saat ini. Di mana kita seperti anak kecil gagah- gagahan dengan pedang kayu di pinggangnya, menampilkan diri pada dunia sebagai negeri modern, negeri demokratis, dan sebagainya. Lalu, kita sibuk mengisi etalase kebudayaan dengan lembaga-lembaga tetiron atau jiplakan—mulai dari parlemen, pemilihan langsung, sekian komisi, senatoriat, dan sebagainya—hanya untuk mengatakan, "kami adalah negeri modern dan demokratis, sama seperti kalian".

Kita seperti barisan toko di jalan protokol yang sibuk mengisi vitrine dengan produk-produk terbaru. Tetapi, semua bukan hasil dan milik kita sendiri. Tidak tahu bagaimana membuat bahkan mengoperasikannya.

Sebarisan elite menyatakan "demokrasi", tetapi apa makna itu bagi jutaan orang yang makan nasi aking, tak bisa bayar sekolah anak, rumah tergusur, bencana menimpa, diperas oleh tilang polisi, atau para clubbers yang berkumpul di sudut kafe mal dan plasa?

Persoalannya: mengapa kita begitu malas berpikir untuk mendapatkan cara terbaik mengelola diri kita, sebagai bangsa, sebagai negara, selain sekadar dengan mengadopsi secara brutal cara atau sistem asing, betapapun populernya ia, betapapun global dan universalnya ia?

Bukankah penerapan secara membabi buta itu bukan saja membuat kita justru menjadi beku dan kaku dalam standar- standar dan indikator hidup yang disusun pihak/orang lain?

Sementara begitu banyak pelajaran hebat dan sangat kaya, yang teruji waktu, tersedia di depan mata kita. Bahkan mungkin di dalam diri kita sendiri.

Di situlah, bisa jadi berada Indonesia kita yang sebenarnya. Sebuah peradaban Nusantara, yang bergerak lentur, lincah, tanpa bentuk, bahkan kebenaran yang pasti. Bukankah begitu sesungguhnya nasib bumi ini, karena keterbatasan ruang dan waktu, tak mampu ia menciptakan sesuatu pasti dan abadi.

Sebagaimana manusia itu sendiri.

Radhar Panca Dahana Sastrawan

Visi 2030 dan Pendidikan (2)
Kontribusi untuk Masa Depan Ekonomi

Erwin Edhi Prasetya

Manusia selalu senang bermimpi. Dalam mimpi, apa pun selalu bisa diwujudkan sesuai dengan keinginan pemimpi. Bangsa Indonesia agaknya senang bermimpi. Melalui Visi Indonesia 2030 negeri ini bermimpi.

Bermimpi menjadi negara makmur yang sedikit di bawah Uni Eropa, menurut panelis A Tony Prasetiantono, anggota tim penyusun Visi Indonesia 2030, sebenarnya amat menyadari bahwa ketika merumuskan visi itu mereka benar-benar sedang membuat "mimpi". Karena pada dasarnya, visi adalah mimpi.

"Prediksi ini masuk akal karena keempat negara itu memiliki jumlah penduduk amat besar sehingga menjadi potensi ekonomi yang amat besar. Apalagi, keempat negara itu berstatus (negara-negara yang perekonomiannya tengah menanjak tajam)," tutur Tony.

Sektor riil belum berjalan semestinya karena sekitar 39 persen dana masyarakat di perbankan menganggur. Itu berarti, aliran investasi tersendat. Karena itu, diharapkan suku bunga diturunkan dan iklim investasi diperbaiki agar aliran dana ke sektor riil lancar sehingga bisa lebih memacu perekonomian.

Rusia adalah salah satu, dengan menargetkan pertumbuhan "hanya" 8,5 persen. Tetapi, dalam kuartal pertama 2007, perekonomian China malah tumbuh lebih cepat hingga 11,1 persen.

Belajar dari sejarah

Disadari saat itu, kemajuan ekonomi tak akan bertahan lama jika pendidikan tidak ikut dimajukan. Pendidikan penting dibangun karena menjadi kunci keberlanjutan kemakmuran.

Menurut Parera, Philip Kotler dalam penelitiannya menyatakan, pendidikan formal berperan strategis dalam pembangunan ekonomi. Tanpa pendidikan, berdiri kokoh penghalang upaya pembangunan ekonomi. Melalui manusia terdidik akan diseminasikan nilai-nilai yang relevan dengan pembangunan ekonomi. Kesimpulan ini terutama diambil dari pengalaman Singapura dan Korea Selatan yang dalam permulaan pembangunannya di samping membangun infrastruktur fisik juga membangun infrastruktur sumber daya manusia, yaitu sistem persekolahan dan pelatihan.

Panelis JC Tukiman Taruna mengingatkan, sebelum muncul Visi Indonesia 2030, telah ada rumusan Tujuan Pembangunan Abad Milenium (MDGs) yang secara umum menegaskan tingkat capaian pembangunan bagi negara-negara seperti Indonesia sampai tahun 2015. Salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Targetnya menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar AS per hari menjadi setengahnya pada 1990-2015. Target kedua menurunkan proporsi penduduk yang kelaparan menjadi setengahnya pada 1990-2015. Di bidang pendidikan, pada 2015 semua anak, laki-laki maupun perempuan harus dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Sepanjang waktu, kebijakan dan praksis pendidikan seluruhnya tidak bisa dibebaskan dari politik kekuasaan.

Dalam kondisi seperti itu, komitmen untuk mengutamakan kepentingan bersama guna memajukan pendidikan adalah mutlak. Apalagi jika pendidikan diharapkan berkontribusi bagi kemajuan ekonomi. Ini agar mimpi kemakmuran itu tidak sekadar menjadi mimpi kosong.

Tuesday, May 29, 2007

Birokrasi, Reformasi, atau Recode?

Rhenald Kasali

Suara mantan Menteri Penerangan zaman Orde Baru yang biasa "mohon petunjuk dan pengarahan" atasannya sudah lama tidak terdengar. Namun, spirit ini masih sulit dihilangkan dari perilaku birokrat kita. Kurang percaya? Lihatlah memo-memo internal birokrasi kita, di sana akan ditemukan kalimat itu.

Kalimat itu mungkin sekadar basa-basi penutup agar lebih santun. Namun, tak sedikit atasan yang terperangkap, yaitu benar-benar memberi arahan. Akibatnya, struktur birokrasi yang disusun secara bertingkat yang dimaksudkan untuk membatasi wewenang hierarki telah menjadi kekuatan sentral yang membelenggu.

Ibarat rangkaian gerbong kereta api, kalau hanya mengandalkan kekuatan pada satu mesin di depan, kereta akan terantuk-antuk seperti orangtua yang kurang tenaga menarik gerbong ekonomi yang gelisah.

Ketika reformasi birokrasi dianggap sulit dan berbelit-belit, recode pikiran birokrasi dapat menjadi alternatif untuk menembus kebutuhan pemerintah yang terkesan tidak responsif dan tidak efektif. Kalimat mohon petunjuk adalah insight untuk memulainya.

Perangkap sopan santun

Dalam bahasa psikiatri, kebiasaan meminta petunjuk dapat dikategorikan sebagai penyakit mental yang sama bahayanya dengan berbagai kebiasaan buruk lainnya (The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, American Psychiatric Association).

Orang-orang ini masuk the dependent personality type dengan ciri-ciri submisif, patuh, mudah menghapus kedirian, berkata-kata manis, dan selalu butuh persetujuan orang lain. Tentu bukan karena punya gejala penyakit kejiwaan maka birokrasi kita tampak ragu, lamban, dan tidak bergerak jika tidak ada approval. Faktanya, profil demografi para pejabat birokrasi cukup bagus. Sekolahnya hebat- hebat dan mampu berpikir logis. Namun, mengapa orang-orang hebat selalu menunggu petunjuk?

Ada dua kemungkinan. Pertama, meminta petunjuk hanya merupakan bentuk ekspresi sopan santun kepada atasan yang ditujukan untuk tidak menonjolkan diri atau terkesan sok tahu.

Kedua, superioritas atasan. Bawahan "terpaksa" meminta petunjuk karena atasannya menghendaki demikian. Keduanya saling membentuk.

Sopan santun itu sama bentuknya dengan kebiasaan membawakan tas atasan, yang jika tidak dilakukan, seorang bawahan merasa tertekan karena takut dinilai tidak sopan oleh rekan-rekannya. Namun, atasan yang dimintai petunjuk sering melupakan tradisi sopan santun itu dan membiarkan dirinya terperangkap dengan memberi petunjuk sungguhan. Akhirnya berbalas-balasanlah antara minta petunjuk dan memberi petunjuk.

Padahal konsep recode menandaskan, apa yang kita pikirkan adalah baik jika kita sendiri yang mengerjakannya. Kita pikirkan sesuatu, kita mengenal medan yang kita hadapi, dan kita tahu kapasitas kita.

Setiap orang yang sehat, berpendidikan, dan telah melewati proses tertentu pasti punya ide dan tahu apa yang bisa dikerjakan. Bayangkan apa jadinya jika semua yang dikerjakan birokrat bukan hal yang mereka mengerti, mampu dilakukan, apalagi mereka sukai. Itulah yang terjadi di sini. Tidak jelas, tidak pasti, tidak realistis.

Reformasi atau "recode"

Kita semua gemas melihat wajah-wajah birokrat yang lemot dan tampak bodoh di depan kamera televisi menjelaskan bagaimana mereka merespons berbagai bencana yang belakangan ini melanda negeri. Selain takut-takut dan ragu, mereka tampak kurang sigap. Mereka kalah sigap dengan pengusaha yang membutuhkan kecepatan dan kepastian. Jajak pendapat Kompas (5/3) menunjukkan, 58 persen responden menganggap aparat birokrat "murah" sehingga gampang disuap.

Ada rasa putus asa terhadap masa depan negeri ini saat menyaksikan kualitas birokrat seperti itu. Kita beranggapan semua birokrat bodoh dan reformasi birokrasi yang efektif adalah memangkas satu generasi. Maka, setiap kali berbicara tentang reformasi birokrasi, kita menemukan kebuntuan. Semua mengeluh, tidak tahu harus mulai dari mana. Di kanan lemot, di kiri bolot. Namun, kita tak perlu pesimistis. Sekali benang kusut terurai, langkah berikut akan lebih gampang.

Membongkar gerbong-gerbong tua bukan urusan mudah karena kereta harus tetap berjalan kendati harus turun mesin. Namun seperti orang mabuk yang mencari kuncinya yang hilang di bawah lampu, reformasi birokrasi yang kita idam-idamkan masih sebatas membongkar peraturan, bukan mengubah perilaku. Ada pandangan yang memercayai semua perilaku dibentuk oleh peraturan, no matter the leadership. Cara berpikir mekanistik ini hanya cocok jika Indonesia sudah tenang, stabil, dan teratur. Kalau porak-poranda seperti ini, leadership matters.

Recode bukan membangun peraturan, tetapi membentuk nilai-nilai dengan membebaskan tiap individu dari berbagai belenggu kebiasaan, atasan, budaya memberi pengarahan, organisasi, dan cara berpikir. Jadi, sifatnya lebih manajerial dan praktis daripada kompromi politik yang kurang realistis. Tugas akhirnya adalah mengubah cara berpikir dengan mengembalikan esensi terbentuknya birokrasi, yaitu untuk melayani kepentingan rakyat.

Kita tak mengabaikan banyak peraturan membelenggu birokrasi. Semua perlu diintegrasikan untuk mewujudkan birokrat baru. Namun, pembaruan memerlukan harapan dan harapan harus dapat diberikan melalui hasil-hasil nyata yang cepat memberi hasil, sementara yang hasilnya butuh waktu (reformasi) harus terus dikerjakan.

Maka, beban itu ada di pundak para pemimpin dengan mengajak tiap birokrat kembali berpikir, bukan dengan memberi petunjuk. Petunjuk hanya dilakukan oleh seorang yang frustrasi bahwa bawahannya bodoh. Kebiasaan ini merupakan bentuk lain penyakit mental yang ada di kepala pemimpin. Misalnya, banyak ditemui pemimpin yang mengidap kepribadian obsessive-compulsive, yang cenderung mengontrol, kaku, disiplin, tetapi memaksakan. Perilaku ini mengabaikan realita, birokrasi kita sudah harus berubah menjadi birokrasi pasar, yang konsumennya menuntut kecepatan dan pelayanan. Birokrasi pasar berbeda dengan birokrasi perang dingin yang cenderung tertutup, sentralistis, dan mengabaikan peran pelanggan yang menuntut kepastian, kecepatan, dan keunggulan.

Pemimpin buatlah birokrasi kita kembali hidup dengan membiarkan mereka memakai kembali pikiran-pikirannya.

Rhenald Kasali Ketua Program Magister Manajemen UI; Dosen Fakultas Ekonomi UI

Monday, May 28, 2007

Mungkinkah Anda Belajar di Amerika?

Redaksi the WAHID Institute, Jumat (23/2/2007), mendapat kabar gembira dari Amerika Serikat. Bulan Mei 2007 yang akan datang, salah seorang aktivis muslim Indonesia Ulil Abshar Abdalla akan menyelesaikan program masternya di Boston University. Bahkan Ulil dikabarkan diterima Harvard University untuk program PhD.

Segera saja kami menyampaikan selamat kepada Ulil. Kami juga meminta Ulil untuk membagi pengalamannya selama belajar di Negeri Paman Sam. Ulil pun menjawab dalam email berjudul:

Mungkinkah Anda Belajar di Amerika?

Oleh Ulil Abshar Abdalla
Mahasiswa Program Master di Boston University, AS

Saya akan selesai dari program Master saya di Boston University bulan Mei mendatang. Saya menulis tesis tentang “Islamic Theory of Prophecy Revisited”. Saya mencoba menelaah kembali konsep kenabian dalam Islam, kemudian saya bandingkan dengan konsep serupa dalam agama Yahudi. Saya mengkaji teori kenabian dari sejumlah teolog Muslim Sunni, seperti Al-Syahrastani, Al-Ghazali, dan Fakhr al-Din al-Razi, kemudian saya bandingkan dengan seorang filosof dan ahli fikih Yahudi, Musa ibn Maimun, atau lebih dikenal sebagai Maimonides.

Saya dibimbing oleh dua profesor ahli Islam di Boston University, yaitu Prof. Diana Lobel yang ahli tentang perbandingan mistik Yahudi dan Islam, dan Prof. Merlin Swartz, murid seorang ahli Islam yang sangat kesohor, Prof. George Makdisi. Prof. Lobel baru-baru ini menerbitkan sebuah buku tentang pengaruh gagasan mistik Islam dalam perkembangan mistik Yahudi, “A Sufi-Jewish Dialogue: Philosophy and Mysticism in Bahya ibn Paquda's Duties of the Heart”.

Sementara Prof. Swartz dikenal lewat studinya tentang Ibn al-Jauzi, “A Medieval Critique of Anthropomorphism: Ibn Al-Jawzi's Kitab Akhbar As-Sifat”. Prof. Swartz baru-baru ini pensiun dari jabatannya sebagai profesor ahli Islam di Boston University, digantikan oleh profesor baru, seorang perempuan yang cantik, lulusan Duke University, yaitu Prof. Kecia Ali yang ahli dalam bidang fikih.

Teori kenabian memang tema yang sangat “antic” dan jarang disentuh oleh sarjana Muslim saat ini. Sarjana Muslim terakhir yang menulis mengenai tema ini adalah Prof. Fazlur Rahman, guru Cak Nur dan Buya Syafii Maarif, dalam bukunya yang berjudul “Prophecy in Islam: Philosphy and Orthodoxy” yang terbit pada 1958. Setelah itu, setahu saya, tak ada seorang sarjana Muslim yang menulis tentang tema ini. Setelah kekosongan dalam waktu yang lama, seorang sarjana Yahudi yang mengajar di Hebrew Univrsity, Jerusalem, Prof. Yohanan Friedman, menulis sebuah buku tentang tema ini, “Prophecy Continuous” yang terbit pada 1989.

Kajian tentang tema ini, menurut saya, menarik sekali, sebab di sanalah kita bisa menjumpai sejumlah teori menarik yang dikemukakan oleh para teolog dan filosof Muslim tentang akal, intelek, jiwa, dsb. Tema tentang hubungan antara akal dan wahyu menempati kedudukan yang penting dalam sejarah intelektual Islam, tetapi jarang yang mengkaji bagaimana konstruksi akal dalam pandangan sarjana Muslim.

Saya sengaja membandingkan antara teori kenabian dalam Islam dan Yahudi, terutama melalui filsafat Maimonides. Maimonides adalah filsuf Yahudi yang hidup pada abad ke-13, kelahiran Spanyol, tetapi kemudian menghabiskan karirnya di Kairo, Mesir. Saya mengkaji teori kenabian Maimonides seperti tertuang dalam bukunya yang terkenal, “Dalalat al-Hairin” (Petunjuk Bagi Orang Bingung). Saya melihat ada suatu pengaruh yang menarik dari teori kenabian Islam dalam lingkungan Yahudi. Hal ini tentu tak mengherankan sebab Maimonides hidup dalam lingkungan kebudayaan yang secara mendalam dibentuk oleh gagasan Islam. Tentu, Maimonides tidak sekedar mengkopi teori-teori kenabian dari lingkungan Islam. Dia menyerap teori itu kemudian dimodifikasi sesuai dengan kerangka ajaran Torah.

Melalui perbandingan itu, saya ingin melihat bagaimana fenomena kenabian dijelaskan oleh dua agama yang sama-sama mempunyai kecenderungan yang kurang lebih serupa, yaitu kecenderungan legalistik, yakni Islam dan Yahudi.

Saya beruntung sekali bisa melanjutkan studi saya untuk tingkat doktoral di Universitas Harvard mulai September mendatang. Lingkungan akademik di kota Boston ini sangat menyenangkan sekali. Di kota ini terdapat sejumlah universitas terkemuka, seperti Universitas Harvard, MIT, Universitas Boston, Boston College, Universitas Tuft, dan Universitas Brandeis. Di kawasan ini bertebaran sejumlah ahli Islam. Di Harvard sendiri ada sejumlah ahli Islam, antara lain
Ali M. Asani, William Graham, Roy Muttahedeh, dan Muhammad Shahab Ahmad. Di Universitas Boston ada Merlin Swartz, Kecia Ali dan Robert Hefner yang tentu sangat dikenal oleh publik Indonesia. Di Universitas Tuft ada Mohamed A. Mahmoud yang baru-baru ini menerbitkan sebuah buku tentang pemikiran Mahmud Muhammad Taha, “Quest for Divinity”. Di MIT, ada ahli Iran, Michael MJ Fischer, yang menulis buku cukup terkenal, “Debating Muslims”. Di Boston College ada James Morris yang ahli tentang Ibn Arabi.

Hal lain yang menyenangkan buat saya adalah adanya sejumlah perpustakaan besar yang mempunyai koleksi yang amat kaya tentang Islam. Perpustakaan yang
mengagumkan buat saya tentu adalah Widener Library di Universitas Harvard. Perpustakaan ini mempunyai koleksi sekitar 3 juta judul dalam bidang ilmu-ilmu kemanusiaan, termasuk koleksi mengenai tema Islam. Hampir semua buku yang dahulu hanya saya dengar namanya saja di pesantren dapat saya jumpai di sini. Hampir semua kitab berbahasa Arab dalam semua bidang ada di perpustakaan ini. Selain mengkoleksi buku dan kitab, Widener Library juga menyimpan manuskrip kuno yang langka. Setiap saya masuk kedalam gedung perpustakaan ini, saya seperti merasa berada dalam sebuah “sorga”. Saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca dan “mengobrak-abrik” koleksi perpustakaan ini. Saya merasa sedikit berjasa pada perpustakaan ini, sebab usulan saya agar pihak perpustakaan membeli sebuah tafsir berbahasa Jawa berjudul “Al-Ibriz” karya KH. Bisyri Mustofa, ayahanda Gus Mus, dikabulkan.

Kota Boston sangat enak dan menyenangkan sebagai tempat belajar. Kota ini sangat indah, tidak terlalu besar dan ramai seperti New York, tetapi juga tak
terlalu kecil dan sepi seperti Cornell atau Princeton. Hanya ada satu hal dari kota ini yang memberatkan bagi mahasiswa, yaitu biaya hidup yang mahal. Apartemen di kawasan Boston terkenal sangat mahal, sedikit di bawah Manhattan, New York. Harga sewa bulanan apartemen dengan dua kamar bisa mencapai US $ 1000-1300, setara dengan 9-12 juta rupiah. Dengan harga itu, saya mungkin bisa menyewa sebuah rumah utuh selama setahun di kawasan UIN Ciputat.

Kuliah di Amerika sangat unik, berbeda dengan system yang berlaku di negeri-negeri Barat yang lain. Di sini, kuliah menuntut kerja keras, sebab bahan bacaan kelas sangat banyak. Untuk satu mata kuliah, kita diharuskan untuk membaca bahan bacaan sekitar 150 hingga 300 halaman per minggu. Kadang bisa lebih dari itu. Jika kita mengambil empat mata kuliah, kita bisa “pingsan” karena harus membaca tak kurang dari 1000-1200 halaman per minggu. Tugas yang paling berat adalah menulis paper pada akhir semester. Rata-rata, paper akhir berjumlah 20-25 halaman. Tentu, yang dituntut bukan sekedar paper asal-asalan, tetapi paper yang membawa gagasan yang orisinal. Menulis paper adalah momok bagi semua mahasiswa paskasarjana di sini. Saya kadang tidak tidur selama berhari-hari hanya untuk menyelesaikan satu paper. Dengan sistem yang ketat dan beban bacaan yang berat seperti ini, kadang saya berpikir bahwa saya kekurangan waktu untuk menyerap bahan kuliah dengan baik.

Aspek positif dari kuliah model Amerika ini adalah kita dipaksa membaca banyak hal, dan ini sangat berguna untuk pendasaran teoritis bagi kerja akademis
dalam kangka panjang. Mahasiswa doktoral di sini dituntut untuk kuliah kelas (istilahnya “course work”) selama minimal dua tahun. Setelah tahap ini dilalui,
baru seorang mahasiswa dapat mulai menulis disertasi. Ini berbeda dengan sistem di sejumlah universitas Eropa di mana mahasiswa PhD bisa datang langsung dengan rencana disertasi tanpa melalui kuliah kelas yang panjang.

Mendaftar sebagai mahasiswa PhD di Amerika bukan perkara mudah. Kompetisinya sangat ketat, terutama untuk masuk ke universitas utama yang disebut dengan Ivy League seperti Harvard. Keunggulan mendaftar ke propgram PhD di universitas besar dan kaya di Amerika adalah bahwa begitu anda masuk, kemungkinan besar seluruh biaya kuliah dan kebutuhan hidup bulanan (disebut dengan “stipend”) ditanggung penuh oleh pihak universitas. Ini tidak terjadi pada universitas kecil yang tak mempunyai dana besar. Hanya saja, jika anda ingin masuk ke universitas besar tentu anda harus menghadapi persaingan yang ketat sekali.

Sistem pendaftaran untuk program PhD di sini agak unik. Di sini, faktor “hubungan” dengan professor memainkan peran yang sangat penting. Anda akan sulit diterima sebagai mahasiswa doktoral jika tak ada seorang profesor yang mengenal dengan baik kemampuan akademis anda. Ini bukan berarti unsur "nepotisme” berlaku di sini. Faktor kenalan ini sangat ditekankan karena pihak universitas tidak hendak menerima mahasiswa yang tidak mereka ketahui benar
kemampuannya. Dokumen tertulis dan hasil nilai ujian dalam ijazah tidak sepenuhnya mereka percayai.

Faktor berikutnya yang sangat penting juga rekomendasi. Surat rekomendasi dari seorang professor yang mengenal secara baik kemampuan akademis seorang pendaftar sangat menentukan. Umumnya, universitas membutuhkan empat rekomendasi. Dua dari profesor yang pernah mengajar anda secara langsung. Dua lagi profesor yang mengenal kehidupan non-akademik anda dalam masyarakat. Tidak seperti di Indonesia, di sini seorang profesor tidak bisa dengan mudah memberikan rekomendasi kepada seseorang yang tidak mereka kenal dengan baik. Sebab, saat menulis rekomendasi, mereka mempertanggungjawabkan reputasi mereka sebagai seorang profesor. Oleh karena itu, membangun hubungan yang baik dan berdiskusi dengan profesor tertentu sangat penting bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan studi ke tingkat doktoral.

Aspek lain yang juga sangat penting adalah menyangkut statemen pribadi. Setiap anda mendaftar ke program paskasarjana di sini, anda akan diharuskan menuliskan apa yang disebut sebagai “statement of purpose” yang berisi, kira-kira, rencana apa yang anda akan lakukan jika sudah diterima. Dalam statemen itu, anda diminta untuk menuliskan rencana disertasi, temanya, dan kenapa tema itu dipilih. Dalam statemen itu, aspek yang paling menentukan adalah bagaimana anda merumuskan pertanyaan dengan benar untuk suatu masalah yang akan anda tulis. Anda hanya mempunyai ruang yang sempit sekali. Sebab statemen itu kira-kira hanya sepanjang 900 kata. Dalam tulisan sependek itu anda diharuskan untuk merumuskan masalah dengan tepat dan baik, sehingga profesor yang duduk di komite penerimaan mahasiswa baru yakin betul bahwa anda layak diterima. Saya sendiri membutuhkan waktu tak kurang dari dua bulan hanya untuk menyiapkan esei pendek itu. Sebab, esei inilah yang dipakai oleh pihak komite untuk menilai siapa anda sebetulnya.

Tentu syarat-syarat administratif juga sangat penting. Anda harus mempunyai skor TOEFL minimal 600, atau jika memakai tes TOEFL yang sudah memakai sistem on-line sekarang (dikenal dengan iBT, “internet Based Test”), anda harus mencapai skor antara 100-110. Saat ini, tes TOEFL mencakup aspek kecakapan berbicara, jadi agak sedikit susah dibanding dengan tes sebelumnya. Skor TOEFL ini sangat mutlak, dan tidak bisa ditawar-tawar.

Selain itu, anda juga harus melalui tes GRE atau tes kemampuan akademik secara umum. Kebanyakan universitas Amerika menuntut skor GRE (Graduate Record Examination) antara 600-700 untuk semua aspek: kuantitaif, verbal, dan kemampuan analisis. Umumnya skor anak-anak Indonesia yang datang dari latar belakang humaniora sangat jauh di bawah standar itu. Tetapi ini tak usah membuat kita khawatir. Beberapa departemen di universitas Amerika tidak terlalu ambil pusing dengan skor yang anda peroleh. Mereka tahu, skor GRE yang rendah tidak langsung berarti bahwa mahasiswa bersangkutan tidak mempunyai kemampuan akademik yang memadai. Yang penting anda mengikuti tes GRE untuk memenuhi syarat administrasi. Meskipun demikian, ada beberapa universitas yang menerapkan syarat yang ketat untuk skor GRE, seperti Duke University, tempat Prof. Bruce Lawrence mengajar (Prof. Lawrence pasti dikenal oleh publik Jakarta, sebab beberapa waktu lalu pernah berkunjung ke Jakarta dan memberikan cermah di sejumlah tempat).

Taktik mendaftar di perguruan tinggi di Amerika juga penting dikuasai. Karena kompetisi untuk masuk universitas sangat tinggi di sini, anda harus mendaftar sekurang-kurangnya di lima universitas. Kalau tak diterima di universitas yang satu anda masih punya harapan lain. Anda bisa membuat ranking sendiri,
dimulai dari universitas yang paling top hingga ke yang menengah. Tetapi di antara kelima universitas itu, anda harus mempunyai satu universitas yang anda
berharap besar bisa diterima, entah karena mempunyai hubungan yang baik dengan seorang profesor di universitas itu atau karena faktor lain. Saya,
misalnya, kemaren mendaftar di lima departemen di empat universitas. Saya mendaftar di dua departemen di Universitas Harvard, dan masing-masing satu departemen di Universitas Princeton, Universitas Chicago dan Universitas Boston. Saya tetap mendaftar di Universitas Boston, meskipun ranking-nya di bawah tiga universitas yang lain, sebab saya kenal banyak profesor di sana dan dengan itu saya berharap besar saya bisa diterima.

Sebagaimana kata teman saya Rizal Mallarangeng, universitas terbaik di dunia saat ini umumnya ada di Amerika Serikat. Oleh karena itu, jika anda ingin mendapatkan pendidikan terbaik dalam segala bidang, sudah selayaknya anda mendaftar di Amerika. Yang sangat khas pada universitas Amerika adalah
kedermawanan universitas Amerika dalam memberikan beasiswa. Dalam aspek ini, saya kira, universitas Amerika tak ada tandingannya di manapun. Ini
dimungkinkan karena universitas Amerika umumnya kaya dan memiliki dana besar. Sebagai gambaran, Universitas Harvard memiliki dana wakaf atau “endowment” kira-kira 26 milyar dollar. Jumlah itu nyaris sama dengan cadangan devisa Indonesia sebagai sebuah negara. Oleh karena itu, tak heran jika sebagian besar mahasiswa PhD yang diterima di Harvard akan ditanggung seluruh pembiayaannya oleh universitas.

Selama ini, ada kesalahpahaman tentang seluk-beluk beasiswa untuk sekolah di Amerika. Umumnya orang mengira bahwa biaya untuk sekolah di Amerika hanya bisa diperoleh melalui Fulbright. Untuk sebagian memang benar. Fulbright adalah dana beasiswa yang diberikan oleh pemerintah Amerika untuk para mahasiswa luar negeri yang ingin sekolah di negeri Paman Sam itu. Tetapi jarang yang tahu bahwa masing-masing kampus juga memberikan beasiswa dalam jumlah yang tak kalah besar dengan yang diberikan oleh pihak Fulbright. Ribuan beasiswa berkeliaran di Amerika. Yang dibutuhkan adalah ketekunan anda untuk “memancing” beasiswa itu dengan cara tekun mencari informasi sebanyak-banyaknya.

Dan...yang sangat penting anda lakukan adalah rajin berhubungan dengan profesor di Amerika. Tidak seperti profesor di Indonesia yang suka “jaim” atau “jaga imej”, profesor di Amerika sangat senang membalas email, walaupun mereka ini sudah profesor besar. Pengalaman yang dialami oleh teman saya Sukidi, kader Muhammadiyah yang sangat cerdas itu dan sudah masuk ke Harvard setahun lebih dulu daripada saya, sangat mengesankan. Saat dia hendak mendaftar ke Harvard Divinity School (HDS) tiga tahun yang lalu, dia mengirim email ke Prof. William Graham, seorang profesor ahli kajian Islam yang cukup terpandang di Harvard dan sekaligus Dekan HDS. Sukidi berkirim email untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan keinginannya untuk mendaftar ke Harvard. Prof. Graham menjawab dengan simpatik, dan bahkan bersedia ikut mengoreksi “statement of purpose” yang telah disiapkan oleh Sukidi. Padahal Sukidi bukanlah seseorang yang dikenal oleh Prof. Graham. Apakah mungkin hal seperti ini terjadi pada profesor di Indonesia?

Tradisi akademis di Amerika memang beda dengan di negeri kita. Di sini, jika ada seorang mahasiswa yang cemerlang, pihak profesorlah yang aktif ingin menarik yang bersangkutan untuk menjadi mahasiswa dia. Di Indonesia yang terjadi kadang-kadang aneh: jika ada mahasiswa yang menonjol dan cemerlang, si dosen malah merasa tersaingi. Karena itu, kalau anda merasa diri anda mempunyai kecapakan akademis yang memadai dan mempunyai keunggulan di bidang tertentu, tulislah email ke profesor-profesor di Amerika, perkenalkan diri, dan bangunlah hubungan yang baik. Itulah modal awal untuk sekolah di Amerika. Saat ini, dengan adanya internet, anda akan dengan mudah mencari informasi seluruh universitas di Amerika. Setiap universitas akan menampilkan seluruh profesor yang mengajar di masing-masing departemen, lengkap dengan latar-belakangnya, keahliannya, dan emailnya, sehingga siapa saja bisa mengubungi.

Sekarang ini, nyaris tidak ada yang tidak bisa sekolah pada tingkat doktoral di luar negeri, asal anda berusaha dengan sungguh-sungguh. Soal dana bukanlah masalah besar, sebab sebagian besar universitas di Amerika meneyediakan dana untuk itu. Memang keuntungan seperti ini hanya untuk mahasiswa PhD. Untuk level magister, memang lain keadannya.

Sekian, semoga informasi ini bermanfaat.

Boston, 25 Februari 2007.

Laporan ILO Tak Menyentuh Gambaran Riil

Maria Hartiningsih

Laporan tahunan Organisasi Buruh Internasional atau ILO tahun 2007 yang baru saja diluncurkan mengupas situasi diskriminasi di tempat kerja di berbagai negara. Akan tetapi, laporan global bertema Equality at Work: Tackling the Challenges itu belum menyentuh gambaran riil pekerja di Indonesia dan mungkin di berbagai tempat lain di dunia.

Kesimpulan laporan yang antara lain menyatakan bahwa masih ada berbagai bentuk diskriminasi, boleh dikatakan merupakan kesimpulan "abadi".

Apalagi kalau penindasan itu mengepung dari segenap penjuru, struktural dan kultural, maupun kelindan keduanya sekaligus, kalau menyangkut soal kasta.

Diskriminasi rasial, xenophobia dan intoleransi, bentuk-bentuk kontemporer rasisme, tampaknya juga akan menjadi masalah "abadi", apalagi kalau situasi pekerja warga negara tak mengalami perbaikan, bahkan memburuk akibat mekanisme pasar bebas.

Laporan itu tidak menghubungkan diskriminasi dengan mekanisme yang dilahirkan atau didukung mazhab pasar bebas. Di luar upaya memberikan pengertian tentang afirmasi, pengertian diskriminasi dan kapan perlakuan berbeda tidak dianggap sebagai tindakan diskriminasi pun bermasalah, karena ukurannya hanya tingkat produktivitas. Kondisi dan situasi kerja tak menjadi pertimbangan.

Banyak hal lolos dari perhatian media, menyangkut pekerja di tingkat menengah. Seperti dialami Ratna (23). Gadis yang baru saja lulus dari sebuah universitas di Australia itu diterima bekerja di kantor multinasional akuntan terkemuka di Jakarta. Namun, gambaran ideal tentang kerja dihancurkan tuntutan bekerja tanpa jam kerja yang jelas.

"Ia bisa lembur sampai tengah malam, bahkan dini hari," ujar Ratri, tentang keponakannya itu.

"Uang lemburnya Rp 125.000 sekali lembur tanpa hitungan jam. Dia tak tahu itu melanggar hak-haknya sebagai pekerja karena menganggap semua itu wajar di perusahaan asing yang basisnya kompetisi," sambungnya.

Gaji Ratna Rp 2 jutaan per bulan. Kalau tidak masuk kerja, gajinya dipotong. "Apa yang seperti itu namanya standar internasional?" tanya Ratri.

Setelah merasakan capai luar biasa, Ratna paham mengapa banyak pekerja muda, khususnya yang baru lulus kuliah, keluar-masuk dalam hitungan bulan. Ia akhirnya juga memutuskan berhenti.

Barangkali begitu modusnya. Turn over yang tinggi tak lagi jadi soal ketika ukuran kemajuan perusahaan disempitkan para eksekutifnya sebagai besar keuntungan sehingga pemenuhan hak pegawai (tetap) dianggap beban. Pekerja profesional pun dianggap tak lebih dari sekrup kecil mesin produksi.

Barangkali juga itu jawaban mengapa semakin banyak firma atau perusahaan besar di bidang jasa menggunakan tenaga profesional dengan sistem kontrak berjangka tanpa jaminan dan upah yang layak seperti di negara-negara maju yang memiliki mekanisme terpadu untuk sistem ini.

"Banyak orang bicara soal corporate social responsibilities (CSR, tanggung jawab sosial perusahaan), tetapi tak begitu paham maksudnya," ujar Wiena, Direktur Eksekutif Program Leadership on Environment and Development (LEAD), yang menaruh CSR sebagai salah satu tema pelatihan program itu.

"CSR pertama-tama harus menyangkut kesejahteraan pekerja di dalam perusahaan. Global Compact-nya Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut hal itu. Jadi CSR tak hanya menyangkut community development," sambungnya.

Situasi di bawah

Laporan ILO itu menyatakan, perempuan tetap menjadi kelompok terbesar yang mengalami diskriminasi dalam hal peluang kerja dan upah. Namun, laporan itu masih menggunakan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan sebagai tolok ukur kemajuan dan tidak terlalu memerhatikan situasi yang membuat beban perempuan berganda-ganda.

"Buruh makin kehilangan harapan dan tidak aman bekerja karena bisa sewaktu-waktu di-PHK akibat meluasnya sistem kontrak," ujar Kasminah (37), buruh sebuah pabrik di kawasan Tangerang. Banyaknya suami yang di-PHK membuat seluruh beban jatuh ke istri. Mereka harus bekerja rangkap, di pabrik dan di rumah sebagai buruh cuci supaya anak-anak bisa sekolah dan dapur terasapi. Belum lagi tuntutan suami terhadap "kerja istri" lainnya.

Mekanisme Fleksibilitas Pasar Kerja (LMF) yang mewujud dalam sistem outsourcing yang diterapkan semakin banyak perusahaan beberapa tahun terakhir ini adalah persoalan besar bagi buruh, karena tak ada aturan yang melindungi buruh kontrak.

Hasil riset Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) tahun 2005-2006 di wilayah Tengerang dan Bekasi mengungkapkan, dari 92 perusahaan yang diteliti, 62 persen di antaranya menggunakan tenaga buruh kontrak dan lebih dari 50 persennya adalah perempuan.

"Proporsinya beragam," lanjut Bagus Musharyo dari FPBN. Ada yang sepersepuluh buruhnya kontrak, ada yang 25 persen, tetapi ada yang hampir 90 persen. Basis kontraknya bulanan. Akan tetapi, ada perusahaan di Bogor, yang, menurut Bagus, "Basis kontraknya mingguan, tetapi sekarang perusahaan itu sudah tutup."

Penelitian itu juga mengungkapkan, buruh yang mendapat pekerjaan melalui agen pemasok tenaga kerja dikenai fee Rp 300.000-Rp 600.000 untuk kontrak tiga bulan dan sampai Rp 900.000 untuk kontrak kerja enam bulan.

Padahal, kata Ari Sunaryati dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, banyak kasus buruh kontrak yang upahnya di bawah standar upah minum regional atau daerah.

"Saya sedang melakukan investigasi kecil untuk mengetahui pemilik perusahaan outsourcing itu," ujar Ari.

"Kalau pemiliknya si empunya pabrik, artinya pengusaha untung dua kali. Buruhnya di-PHK tanpa pesangon karena sistem kontrak, sementara perusahaan pemasoknya me- mungut fee dari upah buruh, ada yang sampai 25 persen. Itu kan pengisapan namanya," lanjut Ari. Fakta-fakta tersebut memperlihatkan, Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip Fundamental dan Hak-hak di Tempat Kerja tak lebih dari macan ompong. Begitulah!

Teknologi Informasi
Mendorong Prosesor Empat Inti ke Batas Langit

René L Pattiradjawane

Kecepatan memang menjadi kunci keberhasilan dan pendorong kemajuan teknologi komunikasi informasi. Semakin cepat kinerja yang mampu dihasilkan oleh berbagai perangkat teknologi, semakin puas kita dan semakin meningkatkan ketergantungan kita pada kemajuan teknologi. Menghadirkan kecepatan pada teknologi merupakan persoalan yang tidak ada ujungnya.

Kalau kita menyimak kembali pada perangkat dan layanan teknologi yang ada di sekitar kita, betapa menyebalkan dan tidak nyamannya menggunakan komputer yang berjalan sangat lambat dan akses internet bergerak seperti siput. Kita pun condong menjauhi perangkat yang bergerak sangat lambat untuk mengolah kata, angka, maupun data.

Sebaliknya, semakin cepat perangkat dan layanan teknologi komunikasi informasi, semakin sering kita menggunakan dan mengaksesnya. Kecepatan teknologi menjadi menyenangkan, membawa kita pada pengalaman yang berbeda dalam kehidupan yang penuh dengan digitalisasi sekarang ini.

Kecepatan dalam teknologi komunikasi informasi sepertinya memasuki sebuah era "batas langit", mendorong segenap kemampuan dan inovasi ketepian menuju era yang lebih efisien dan produktif melalui digitalisasi. Yang menarik dari seluruh kemajuan untuk mempercepat segala akses dan kecepatan komputasi teknologi adalah harganya yang semakin terjangkau.

Keseluruhan sistem

Belum lama ini, Intel Corp, perusahaan pembuat prosesor terbesar di dunia asal AS, memperkenalkan prosesor terbarunya yang disbut Intel Core 2 Extreme Processor QX6700 dengan kecepatan 2,66 GHZ dan memiliki Front Side Bus sampai kecepatan 1066 MHz, serta L2 Cache sebesar 8 MB. Prosesor terbaru ini pada dasarnya memiliki dua inti di dalamnya, tetapi memiliki kemampuan yang sebenarnya setara dengan empat buah prosesor inti.

Sekilas, Core 2 Extreme menjadi produk yang setara dengan Pentium Extreme Edition yang terdahulu, sebagai prosesor termahal yang dirancang untuk menarik minat para pengguna komputer yang melakukan pembaharuan sistemnya setiap enam bulan sebagai upaya untuk mengejar kinerja yang tidak pernah berakhir.

Ketika Kompas mencoba prosesor yang sebelumnya dikenal dengan nama sandi Kentsfield, memang terasa perbedaan kecepatan yang mampu dihasilkan oleh produk terbaru buatan Intel ini. Membuka berbagai aplikasi secara bersamaan yang terurai dalam berbagai jendela Windows XP, menjadikan pengalaman digitalisasi menjadi lebih menyenangkan.

Memang persoalan yang dihadapi oleh kehadiran Core 2 Extreme sekarang ini adalah tidak tersedianya berbagai aplikasi, baik yang menunjang produktivitas kerja maupun sarana hiburan seperti game digital, menjadikan prosesor terbaru Intel Corp ini tidak banyak artinya.

Tidak mencolok

Berdasarkan hitungan awam, ketika Kompas mencoba membandingkan Core 2 Extreme dengan prosesor yang juga belum lama diperkenalkan di pasaran seri Core 2 Duo 6600 dengan kecepatan komputasi 2,4 GHz, memang tidak ada perbedaan yang mencolok kalau diterjemahkan ke dalam angka-angka metrik.

Misalnya, dibutuhkan waktu sekitar 10 menit 34 detik bagi Core 2 Extreme untuk mengubah foto-foto digital dalam bentuk RAW sebanyak 104 buah ke format JPEG. Sedangkan jumlah foto digital yang sama dikerjakan oleh prosesor Core 2 Duo 6600 membutuhkan waktu sekitar 12 menit 33 detik.

Yang menarik adalah percobaan ini dilakukan dengan menggunakan jenis dan besaran memori yang berbeda, 4 GB untuk Core 2 Extreme dan 1 GB untuk Core 2 Duo 6600. Bagi pengguna awam, selisih dua menit untuk menyelesaikan proses pengubahan foto digital ini memang menjadi tidak signifikan.

Namun, ketika harus melakukan pekerjaan besar seperti proses rendering menggunakan aplikasi seperti Autodesk 3dsmax9, Core 2 Extreme menjadi prosesor menarik bagi mereka yang merencanakan untuk membuat film animasi pendek atau grafik tiga dimensi yang kompleks untuk presentasi.

Sisi lain yang juga menarik sebenarnya adalah Core 2 Extreme juga akan menjadi sebuah pilihan penting ketika kita mulai memasuki era multimedia definisi tinggi dengan kehadiran teknologi seperti HD-DVD dan Bluray. Tampilan yang dihasilkan oleh prosesor empat inti ini mampu menghadirkan tayangan film yang mulus seperti di bioskop serta mengurangi alunan tata suara bersih dan mengurai kompleksitas suara multimedia.

Menyenangkan

Di sisi lain, kehadiran prosesor Core 2 Extreme merupakan babakan baru untuk melakukan tugas-tugas multifungsi secara bersamaan. Core 2 Extreme pada penggunaan sistem operasi Windows Vista terbaru buatan Microsoft, misalnya, mampu menghadirkan nuansa yang berbeda ketika kita masih menggunakan prosesor Pentium 4 yang terasa lambat.

Bagi para pengguna komputer pada umumnya, Core 2 Extreme menghadirkan kinerja yang berlebihan kalau hanya digunakan untuk membuka situs web, mengetik makalah, atau memainkan permainan digital yang sederhana, seperti tetris atau freecell. Tetapi, para desainer grafik maupun multimedia perlu untuk memerhatikan secara saksama kemampuan yang dihasilkan oleh Core 2 Extreme ini.

Kecepatan dalam teknologi komunikasi informasi selalu menyenangkan. Prosesor Core 2 Extreme juga menjadi menyenangkan ketika dikombinasikan dengan Windows Vista dan akses kecepatan tinggi broadband. Tanpa sadar, berbagai pekerjaan pun menjadi mudah dan menyenangkan menggunakan prosesor terbaru ini.

PERUBAHAN IKLIM
Usia Bumi Tinggal Seabad Lagi?

YUNI IKAWATI

Ketika karbon dari muka bumi terus dilepas ke atmosfer lewat pembakaran bahan bakar fosil dan organik oleh miliaran manusia. Ketika jutaan hektar hutan sebagai pengisap karbon terus ditebang dan kian berkurang. Ketika itulah "bom waktu" mulai bekerja menghancurkan bumi ini.

Gas karbon dan gas pencemar lain, seperti sulfur dan nitrogen, yang tergabung dalam kelompok gas rumah kaca (GRK), akibat aktivitas manusia di berbagai sektor akan terlepas ke udara, terkumpul semakin tebal di atmosfer menyelimuti bumi.

GRK di lapisan udara atas itu, karena proses kimiawinya, akan memerangkap sinar matahari yang menembus atmosfer masuk ke permukaan bumi. Akibatnya, lingkungan planet biru itu menjadi kian panas.

Kondisi suhu bumi yang tak nyaman ini membuat semua sistem yang selama ini berada dalam siklus yang seimbang mulai terganggu. Salah satu yang terusik adalah sistem cuaca, yang pada dasarnya terdiri atas proses pemanasan oleh sinar matahari menjadi uap air yang terkumpul sampai terbentuk awan, lalu diembuskan angin ke daerah yang bertekanan rendah hingga jatuh menjadi hujan.

Tanpa perubahan perilaku dan pola konsumsi manusia, juga tanpa upaya mereduksi emisi GRK untuk mengatasi pemanasan bumi, para pakar yang tergabung dalam Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan usia bumi tinggal 70 tahun hingga seabad lagi.

Proyeksi itu berdasarkan tren kenaikan suhu udara hingga empat derajat Celsius (C). Tingkat itu dapat tercapai bila emisi GRK terus bertambah dalam beberapa dekade ke depan karena tidak ditegakkannya kebijakan mitigasi perubahan iklim dan pola pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Bila melihat data emisi GRK pada kurun waktu 1970 hingga 2004 yang dikeluarkan IPCC awal Mei lalu, emisi GRK naik 70 persen. Tingkat itu disumbangkan dari sektor energi yang mencapai peningkatan 145 persen.

Apa yang terjadi bila suhu rata-rata global naik 2 derajat Celsius? Yang jelas ada sekitar 30 persen spesies yang peka terhadap kenaikan suhu di muka bumi ini akan punah. Hilangnya sepertiga spesies itu berarti mengganggu keseimbangan daur hidup, termasuk mengubah pola penularan penyakit melalui serangga dan hewan. Sementara itu, perubahan pola cuaca meningkatkan kejadian badai dan curah hujan yang tinggi.

Lalu, bagaimana bila temperatur udara naik dua kali lipat menjadi 4C? Dampaknya, antara lain, hilangnya 30 persen lahan basah, naiknya kasus penyakit akibat udara panas, banjir dan kekeringan, mengakibatkan angka kematian naik drastis.

Ancaman kiamat bumi itu, menurut IPCC, dapat dicegah dengan beberapa skenario untuk menurunkan GRK hingga tahun 2030. Skenario terbaiknya adalah menahan kenaikan suhu bumi hanya 2 C-2,4 C sampai 23 tahun ke depan. Untuk mencapai itu, konsentrasi GRK harus distabilkan pada kisaran 445-490 part per million (ppm). Skenario lain menyebutkan, kenaikan dibatasi sekitar 3,2 C hingga 4 C pada kurun waktu yang sama, dengan menjaga jumlah GRK 590-710 ppm.

Saat ini tingkat GRK telah melampaui itu semua. Tahun 2005 konsentrasi GRK antara 400 dan 515 ppm. Menurut IPCC, target itu bisa dicapai jika diterapkan kebijakan mitigasi perubahan iklim di tiap negara, yang harus diambil di sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, dan manajemen limbah.

Di sektor energi, misalnya, harus dikeluarkan kebijakan pengurangan subsidi dan penetapan pajak bagi bahan bakar fosil. Sebaliknya, mewajibkan penggunaan dan penetapan harga listrik dari energi terbarukan.

Soal kebijakan yang diterapkan di Indonesia, Kuki Soejachmoen, dari Yayasan Pelangi Indonesia, menilai sudah mengikuti rekomendasi IPCC berupa penerapan energi terbarukan seperti yang tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional, dan penggunaan biofuel pada transportasi publik.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan peresmian Gedung Herbarium Bogoriense di Cibinong Science Center, Rabu (23/5) di Bogor, mengatakan, untuk menyikapi perubahan iklim dan mengantisipasi makin susutnya sumber daya alam harus ditegakkan tiga pilar, yaitu pembuatan kebijakan, perubahan gaya hidup, dan kontribusi teknologi.

Presiden meminta pencarian keuntungan ekonomi hendaknya sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup, misalnya melalui wisata yang berbasis lingkungan hidup atau ekowisata.

Dampak kesehatan

Kenaikan suhu pada dekade mendatang membuat kian banyak korban jiwa berjatuhan akibat gelombang panas, banjir, badai, kebakaran hutan, dan kekeringan. Di sisi lain juga meningkatkan kasus malnutrisi, penyakit seperti diare dan infeksi serta masalah gangguan pernapasan dan jantung.

Menurut kalkulasi yang dilakukan Tony McMichael dari Australia National University, peningkatan suhu di bumi sejak tahun 1970-an telah menimbulkan dampak berupa 166.000 kematian per tahun pada tahun 2000 akibat penyakit, termasuk diare dan malaria.

Kasus tingginya kematian ini terutama di alami negara miskin di kawasan tropis, yang memiliki kemampuan terbatas untuk mengatasinya. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk akan terus meningkat pada masa mendatang.

Penelitian yang dilakukan di Kenya, misalnya, menunjukkan korelasi yang kuat antara kenaikan suhu, hujan yang sangat berfluktuasi, dan penyebaran nyamuk malaria ke dataran tinggi, termasuk Nairobi—ibu kota Kenya—yang sebelumnya terlindung dari ancaman penyakit parasit ini.

Malnutrisi dan penyakit karena kelangkaan air bersih terutama menyerang dunia berkembang. Penelitian di Eropa yang dilakukan The European Centre for Disease Prevention and Control (ECDPC) memperkirakan setiap kenaikan suhu 1C menyebabkan kenaikan 5 C hingga 10 C kasus pencemaran salmonela pada makanan.

Dampak perubahan iklim tidak hanya dialami negara miskin. Negara kaya pun yang umumnya berada di kawasan subtropis tak luput dideranya. Gelombang panas tahun 2003, misalnya, menyebabkan lebih dari 35.000 kematian prematur di Eropa, di antaranya 14.000 terjadi di Perancis.

Suhu yang lebih hangat membuat kasus malaria kembali muncul di Eropa, di antaranya di negara perbatasan, seperti Azerbaijan, Georgia, dan Turki, yang telah dinyatakan tereradikasi penyakit ini setelah Perang Dunia II. Penelitian yang dilakukan ECDPC tahun lalu juga menyimpulkan Uni Eropa akan terancam chikungunya, infeksi akibat nyamuk yang telah menyerang India.

Kasus di Indonesia

Kondisi yang tidak jauh berbeda, seperti merebaknya penyakit parasit akibat vektor nyamuk seperti malaria, demam berdarah, dan chikungunya merebak di berbagai daerah di Indonesia, sejak beberapa tahun terakhir ini terutama pada masa peralihan musim. Kasus penyakit ini dari tahun ke tahun kian banyak menelan korban jiwa.

Pemanasan global, menurut pengamatan Vitus Dwi Yunianto, guru besar Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, juga telah berpengaruh pada merebaknya penyakit pada unggas di Indonesia belakangan ini, termasuk flu burung.

"Dengan temperatur lingkungan yang rata-rata di atas 27 C, pertumbuhan unggas terhambat dan kekebalannya terhadap penyakit berkurang," ujar Vitus saat memaparkan orasi ilmiah pengukuhannya sebagai guru besar di Semarang, Kamis (24/5).

Cekaman temperatur yang panas itu juga menurunkan metabolisme pada jaringan otot unggas yang dapat menghambat pertumbuhan ayam, menyebabkan kelainan organ dalam tubuh ayam, seperti penurunan ukuran kelenjar tiroid dan adrenalin, serta hati. "Hal ini kemungkinan karena adanya perubahan fungsi endokrin tubuh, dan sitensis protein," papar Vitus.

Untuk mengatasinya, perlu dilakukan penambahan hormonal dengan manipulasi hormonal sehingga mengembalikan ayam dalam kondisi semula. Langkah ini dapat ditempuh dengan meningkatkan daya tahan tubuh dan mengembalikan fungsi metabolisme tubuh unggas pada kondisi normal saat mengalami cekaman panas. (INU/HAN)

Lindungi Guru yang Buka Praktik Kecurangan UN

DPR Prihatin, Ekses Ujian Nasional Tidak Sehat bagi Pembelajaran

Jakarta, Kompas - Komisi X DPR prihatin atas berbagai tekanan balik yang dialami oleh sejumlah guru yang membongkar kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional atau UN beberapa waktu lalu. Untuk itu, mereka minta semua pihak melindungi para guru yang masih memiliki nurani sebagai pendidik tersebut.

Wayan Koster, anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI-P, Minggu (27/5), menyatakan pihaknya prihatin atas berbagai tekanan balik dari sekolah ataupun pemerintah yang dialami oleh para guru yang mengadukan kecurangan dalam UN. "Tekanan-tekanan tersebut, apa pun bentuknya, jelas tidak pada tempatnya," katanya.

Diwartakan sebelumnya, sejumlah guru yang tergabung dalam Kelompok Air Mata Guru di Medan dan beberapa guru di Jawa Barat yang mengadukan berbagai indikasi kecurangan dalam UN merasa mendapatkan tekanan dari sekolah ataupun pemerintah. Sejumlah guru di Medan bahkan sudah ada yang diminta mengundurkan diri oleh sekolah. Sementara di Bandung, Iwan Hermawan—guru yang ditugaskan memantau UN oleh Dewan Pendidikan Kota Bandung—terancam kena sanksi penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun (Kompas, 25/5).

Berbagai pihak, terutama pemerintah, seharusnya merespons positif dan berterima kasih kepada mereka yang melaporkan berbagai indikasi kecurangan tersebut. "Pemerintah dan berbagai pihak lainnya seharusnya menyikapi secara arif tindakan para guru tersebut. Bukankah itu semua untuk membenahi kondisi pendidikan kita. Bukannya malah memberikan tekanan-tekanan balik. Itu tidak benar dan tidak baik," kata Wayan Koster menjelaskan.

Keprihatinan serupa dikemukakan Anwar Arifin, Wakil Ketua Komisi X DPR. "UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah menyatakan tentang perlindungan terhadap guru. Tidak boleh ada intimidasi dan tekanan terhadap guru," ujarnya.

Dia mengatakan, dalam rapat kerja dengan Mendiknas Bambang Sudiyo berikutnya Komisi X akan mempertanyakan persoalan tersebut. Selain itu, Anwar meminta pemerintah daerah—seiring dengan otonomi pemerintahan juga bertanggung jawab terhadap level pendidikan menengah atas—ikut turun tangan melindungi para guru yang mendapatkan tekanan tersebut.

Tidak sehat

Terkait dengan UN itu sendiri, menurut Wayan Koster, memang harus dikaji ulang. UN yang dijadikan sebagai penentu kelulusan, sejak semula mendapatkan banyak tentangan dan keberatan dari sejumlah fraksi yang ada di Komisi X DPR. Dengan dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan, ujar Koster, berarti hak guru untuk mengevaluasi murid diambil oleh Badan Standar Nasional Pendidikan dan tentunya juga pemerintah.

Sebagai tambahan, Ketua DPR Agung Laksono juga menyatakan UN bertentangan dengan UU Sisdiknas karena itu perlu dievaluasi. Perundangan itu mengamanatkan evaluasi peserta didik diserahkan kepada pendidik.

"Apalagi ternyata pelaksanaan UN kacau-balau sehingga penyelenggaraan pendidikan di sekolah menjadi tidak sehat. Guna menghadapi UN, sekolah berubah jadi bimbingan tes dengan diterapkannya berbagai drilling cara menjawab soal.," kata Wayan.

Anwar Arifin juga minta agar UN dikaji ulang. "Persoalannya ialah pada kebijakan makro dan implementasi dari UN. Perlu diukur tingkat kesuksesannya sehingga dapat diputuskan apakah UN perlu diteruskan atau tidak," ujarnya. (INE)