Gugat-menggugat dalam Pendidikan
JC Tukiman Taruna
Kekalahan pemerintah atas gugatan warga (citizen law suit) terkait Ujian Nasional 2006 (Kompas, 22/5/2007) pasti akan diikuti proses hukum lain sehingga menjadi gugat-menggugat.
Proses gugat-menggugat itu biarlah berjalan sesuai aturan. Namun, ada dua pertanyaan amat mendesak yang harus dijawab. Benarkah ujian nasional (UN) melanggar hak asasi? Apakah gugat-menggugat dapat mendukung tercapainya Millennium Development Goals (MDGs) 2015?
Hak Anak
Konvensi Hak Anak (PBB, 1989) menyebutkan lima hak anak, yaitu (1) hak sipil dan kebebasan; (2) hak mendapatkan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; (3) hak mendapat pelayanan kesehatan; (4) hak mendapat pendidikan; dan (5) hak mendapat perlindungan khusus.
Lebih lanjut, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjabarkan hak memperoleh pendidikan dengan rumusan (8) memperoleh pendidikan dan pengajaran guna pengembangan pribadi dan kecerdasannya; (9) memperoleh pendidikan luar biasa atau pendidikan khusus bagi anak cacat dan anak yang memiliki keunggulan. (Catatan: nomor 8 dan 9 itu sesuai urutan seperti ditulis dalam: Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Membangun Potensi Bangsa Melalui UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta 2002).
Para penegak hukum yang memenangkan gugatan warga agaknya berasumsi, mereka yang tidak lulus dalam UN "terampas" pengembangan pribadi dan kecerdasannya (baca hak asasinya). Padahal, yang namanya ujian (apalagi bertaraf nasional) selalu ada yang lulus dan (mungkin) tidak lulus. Pertanyaannya, kuatkah dasar hukum atas putusan yang menyebutkan ujian nasional melanggar hak (asasi) anak? Apakah tidak lulus ujian berarti seseorang (anak) tidak berkembang kepribadian dan kecerdasannya?
Uraian itu bukan menyiratkan saya setuju ujian nasional. Justru sebaliknya. Rumusan tentang ujian nasional tidak ada dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kecuali disebutkan evaluasi pendidikan yang dimaknai sebagai "kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan". Seharusnya para penegak hukum merujuk "ketiadaan" rumusan ujian nasional itu dalam dasar hukum terpenting mengenai pendidikan, yaitu UU Sisdiknas.
Senang atau tidak atas rumusan dan tuntutan MDGs, negara kita tetap harus fokus ke target pencapaian tahun 2015. Di bidang pendidikan, MDGs mengerucutkan rumusan tujuan "Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua" dengan rumusan targetnya: memastikan pada 2015 semua anak di mana pun, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Ada enam indikator utama sebagai pengukurnya, yakni: angka partisipasi murni (APM) di SD, APM di sekolah lanjutan pertama, proporsi murid yang berhasil mencapai kelas V, proporsi murid di kelas I yang berhasil menamatkan SD, proporsi murid kelas I yang menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar, dan angka melek huruf usia 15-24 tahun.
Tuntutan MDGs
Amat jelas apa yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya hingga tahun 2015, yaitu fokus kepada anak-anak di SD dan sekolah lanjutan pertama, serta mereka yang buta huruf pada usia 14-24 tahun. Jika hak pendidikan mereka tidak terpenuhi, amat tepat jika disebut pemerintah melanggar hak asasi anak-anak.
Jika demikian, gugat-menggugat dalam pendidikan sebaiknya jangan hanya masalah ujian nasional saja karena amat tidak proporsional lagi dibandingkan tantangan dan tuntutan pencapaian MDGs yang amat mendasar. Artinya, memastikan pada tahun 2015 semua anak Indonesia usia 7-15 tahun terlayani hak pendidikannya dan mereka yang berusia 15-24 tahun terbebas dari buta huruf adalah pekerjaan yang amat substantial. Karena itu, perlu ditempuh strategi nasional agar kepastian pemenuhan itu terjadi, misalnya benar-benar ada gerakan nasional program penuntasan pendidikan dasar. Selama ini gerakan nasional itu tidak ada. Kalaupun ada, tidak konsisten dijalankan. Partisipasi masyarakat juga perlu dikembangkan guna memastikan terjadinya pemenuhan hak-hak pendidikan anak itu berlangsung, bukannya partisipasi itu "dimatikan". Banyak bukti menunjukkan betapa partisipasi masyarakat dalam pendidikan "mati" karena berbagai kebijakan sesaat.
No comments:
Post a Comment