Jangan "Ndableg"
Konsumerisme sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kontemporer. Zaman sekarang, tidak mungkin seseorang tidak membeli apa-apa, tidak belanja. Sangat absurd bagi seseorang untuk menolak iklan. Tidak mungkin kita bisa memusuhi pasar.
Di situ, Dr Gadis Arivia, aktivis perempuan, pengajar di Jurusan Filsafat UI, mengingatkan peran media massa, yang disebutnya posisinya berada di tengah. "Dalam situasi seperti ini, didiklah konsumen dengan cerdas. Itulah peran media," katanya.
Soal peran media massa ini juga diingatkan oleh pengamat media massa dari UGM, Drs Ashadi Siregar. Dia mengajak, untuk memandang hubungan antara media massa dan dunia konsumsi dengan sudut pandang yang lebih santai, yakni dari segi gaya hidup masyarakat kontemporer.
Dengan cara pandang seperti itu, kadang menjadi lumrah saat sebuah berita sulit dibedakan dengan usaha promosi atau iklan. "Nah, kalau kita berbicara dalam wilayah etik, maka pilihannya terletak pada masing-masing person atau individual. Inilah yang akan selalu terjadi pada para pekerja budaya dan media massa," ungkap Ashadi.
Sebagai seorang yang menggantungkan hajat hidupnya dari korporasi tempat dia bekerja, seorang pekerja budaya atau media akan selalu menghadapi dilema dan pertentangan antara mengikuti orientasi imperatif korporasinya, atau pilihan etik personalnya. "Dalam setiap bidang, pertentangan ini akan selalu terjadi. Dua hal itu tidak akan pernah bisa berjalan paralel. Kalau bisa paralel, artinya kita sudah hidup di surga," katanya.
Secara ideal, menurut Ashadi, sebuah korporasi media harus kembali ke akar, yakni visi dan misi yang sudah ditetapkan. Sementara bagi pekerja media massa, bagi Ashadi masih bagus kalau seseorang masih menghadapi pertentangan-pertentangan antara visi dan misi korporasi yang kadang hanya menjadi rangkaian kata indah saja, dengan yang disebutnya pilihan etik personal tadi. Paling tidak, seseorang yang masih menghadapi pertentangan-pertentangan tersebut menunjukkan bahwa orang itu bukan termasuk kategori ndableg (bahasa Jawa, maksudnya kurang lebih orang yang jalan terus dengan kesalahannya, meski sudah diingatkan sejuta kali. Gampangnya, "anjing menggonggong kafilah berlalu").
"Ada juga orang yang ndableg. Dia hidup tenang-tenang saja karena bagi dia pertentangan itu tidak ada," ucap Ashadi.
Sementara Prof Dr Mudji Sutrisno SJ dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menengarai, ada sikap ingin meniru-niru atau imitasi itu dalam dunia konsumsi. Mereka belum merasa berharga kalau belum meniru arus besar yang ada, dengan menggunakan barang-barang bermerek. "Saat itu produk iklan benar-benar dihayati dalam sikap imitasi yang mengikuti gaya hidup tanpa sikap seleksi yang cerdas," kata Mudji.
Menurut Mudji, masyarakat harus lebih cerdas dari bahasa iklan. "Hanya ketika akal budi cerdas memilih tertanam dalam pendidikan, dorongan-dorongan nafsu asal meniru dan asal membeli itu bisa dihadapi," katanya. (DHF/XAR)
No comments:
Post a Comment