Kebijakan Pendidikan
Belajar Bijak dari Kasus UN
Suparman
Silang pendapat tentang ujian nasional atau UN, yang sudah berlangsung tahunan, akhirnya diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidang perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan oleh 58 anggota masyarakat yang mewakili siswa, orangtua siswa, guru, dan para pemerhati pendidikan. Gugatan yang diajukan sejak hampir setahun yang lalu itu sebagian besar dikabulkan oleh majelis hakim.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak eksepsi para tergugat, yang terdiri atas Presiden Republik Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan bahwa para tergugat telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak.
Majelis hakim juga memerintahkan para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, dan akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia, sebelum (pemerintah) melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut. Para tergugat juga diperintahkan mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN, dan diperintahkan juga untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional.
Ada beberapa hal menarik yang patut dicermati dari putusan majelis hakim. Di antaranya terdapat persamaan pendapat antara majelis hakim dan para penggugat untuk menyebut siswa yang tidak lulus akibat kebijakan UN ini sebagai korban ujian nasional. Mengapa harus diposisikan sebagai korban?
Sebenarnya sudah sejak lama ketika kebijakan pemerintah di bidang pendidikan selalu berubah, maka yang paling merasakan dampak dari perubahan tersebut adalah siswa. Pada tahun 1979, kelulusan siswa sempat tertunda sampai enam bulan (satu semester) ketika terjadi perubahan sistem tahun pembelajaran. Sejak diberlakukan Kurikulum 1984, beban mata pelajaran pun bertambah dengan masuknya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang dinilai mengandung banyak pesan politik kekuasaan.
Ketika menjelang berakhirnya Kurikulum 1994, tiba-tiba saja muncul "Suplemen Kurikulum 1994" yang kemudian digantikan dengan Kurikulum 2004. Baru belakangan diketahui bahwa Kurikulum 2004 adalah kurikulum eksperimen, yakni ketika masyarakat dikagetkan dengan penarikan sejumlah buku sejarah yang dinilai menyimpang dari kurikulum resmi pemerintah.
Ketika masyarakat protes soal ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional), akhirnya ebtanas pun dihapuskan. Sejak itu siswa sekolah menengah sempat mengalami sistem penilaian yang "berbasis proses" dengan penilaian yang dilakukan mulai dari kelas I sampai kelas III untuk menentukan kelulusannya. Tidak lama kemudian, pada tahun pelajaran 2003/2004, sistem penilaian proses digantikan dengan sistem ujian akhir nasional (UAN). UAN inilah yang kemudian berubah nama menjadi ujian nasional (UN).
Jadi kelinci percobaan
Pendidikan sebagai sebuah proses memang perlu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tetapi, perubahan demi perubahan yang tidak dirancang dengan landasan filosofi dan konstitusi yang matang akhirnya hanya terkesan menjadikan siswa dan guru sebagai kelinci percobaan semata.
Karena itu, tepat sekali ketika majelis hakim memosisikan siswa yang tidak lulus UN sebagai korban UN. Sebab, bukan saja secara pedagogis UN dapat menghambat proses berpikir kreatif anak dan menghilangkan hak anak untuk memperoleh penilaian secara holistik, tetapi juga secara yuridis bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), sebagaimana pernah dinyatakan oleh Ketua DPR Agung Laksono (Kompas, 8 Mei 2007).
Perintah majelis hakim kepada para tergugat untuk terlebih dahulu meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum melaksanakan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut sesungguhnya sejalan dengan keinginan banyak pihak. Sudah sejak lama pemerintah diingatkan agar tidak menyelenggarakan UN terlebih dahulu sebelum memenuhi standar-standar lain yang menjadi kewajibannya sebagaimana diamanatkan dalam UU Sisdiknas.
Masih banyak guru yang tidak kompeten dan belum memenuhi kualifikasi. Belum lagi sekolah yang roboh dan belum terehabilitasi dengan baik, fasilitasi pembelajaran yang masih jauh dari harapan, serta akses informasi yang sangat terbatas di sejumlah daerah maupun di kota-kota besar.
Semua itu memperlihatkan bahwa standar-standar terpenting dalam pemenuhan hak anak atas pendidikan untuk memperoleh pendidikan yang terbaik bagi dirinya belum dipenuhi oleh pemerintah. Terasa tak adil apabila pemerintah belum sepenuhnya memberikan pelayanan yang terbaik bagi anak, tetapi telah mewajibkan anak untuk meraih standar minimal yang ditentukan oleh pemerintah.
Mencermati putusan majelis hakim yang memerintahkan para tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN, terbayang oleh kita sejumlah anak yang mengalami tekanan psikologis akibat ketidaklulusannya. Di antaranya ada yang berniat melukai diri sendiri sampai usaha untuk bunuh diri.
Gangguan psikologis pada sejumlah anak lebih banyak didorong oleh perasaan diperlakukan tidak adil oleh sistem ujian yang hanya menghakimi mereka dalam waktu 3 x 2 jam saja selama UN. Tidak tercapainya nilai minimal dalam batas yang sangat tipis pada satu mata pelajaran saja mengakibatkan mereka tidak lulus. Padahal, selama tiga tahun mengikuti pembelajaran mereka sudah berusaha keras untuk meraih prestasi dan budi pekerti yang terbaik.
Dalam kasus seperti ini pemerintah semestinya memulihkan kembali konsisi psikologis anak dengan menyediakan para psikolog untuk mengatasi gangguan psikis pada anak, selanjutnya mengembalikan kewenangan guru dengan satuan pendidikannya untuk mengevaluasi kembali penentuan kelulusannya secara komprehensif. Jika ternyata memiliki nilai komprehensif yang memadai, maka mereka berhak untuk lulus dari satuan pendidikannya.
Kembalikan hak guru
Klimaks dari putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat adalah perintah kepada para tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional. Sepintas putusan ini bermakna interpretatif. Tetapi, jika dipahami sebagai bagian yang tidak terlepas dari semua putusan sebelumnya yang terfokus pada persoalan UN, maka sebenarnya pemerintah dan DPR bersama-sama dengan masyarakat dapat memaknai putusan ini sebagai pintu masuk untuk melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Revisi terhadap PP ini seyogianya dijadikan solusi terbaik bagi semua pihak, terutama demi kepentingan terbaik anak. Kembalikanlah tugas mengevaluasi hasil belajar dan kelulusan peserta didik sepenuhnya kepada guru dan satuan pendidikannya, serta memfungsikan kembali UN hanya sebagai alat untuk pemetaan mutu pendidikan.
Palu majelis hakim telah dijatuhkan. Bagaimana semestinya para pihak menyikapi putusan majelis hakim tersebut? Kita acungkan jempol kepada Melati Murti Pertiwi, salah satu korban UN yang ikut menggugat diwakili oleh ayahnya. Dalam kesempatan dialog di sebuah televisi swasta, ia dengan bijak mengatakan bahwa putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tidak dipandangnya sebagai pertarungan menang atau kalah, tetapi akan dijadikannya sebagai momentum untuk sama-sama memperbaiki dunia pendidikan.
Sikap bijak Melati bersama dengan teman-temannya sesama korban UN akan tercatat dalam sejarah pendidikan di Indonesia. Pemerintah pun akan menorehkan tinta emas dalam sejarah yang sama, andai saja secara bijak mau mendengar suara Melati dan menyatukan hati bersama dengan anak-anak Indonesia untuk memperbaiki pendidikan. Semoga!
No comments:
Post a Comment