Laporan ILO Tak Menyentuh Gambaran Riil
Maria Hartiningsih
Laporan tahunan Organisasi Buruh Internasional atau ILO tahun 2007 yang baru saja diluncurkan mengupas situasi diskriminasi di tempat kerja di berbagai negara. Akan tetapi, laporan global bertema Equality at Work: Tackling the Challenges itu belum menyentuh gambaran riil pekerja di Indonesia dan mungkin di berbagai tempat lain di dunia.
Kesimpulan laporan yang antara lain menyatakan bahwa masih ada berbagai bentuk diskriminasi, boleh dikatakan merupakan kesimpulan "abadi".
Apalagi kalau penindasan itu mengepung dari segenap penjuru, struktural dan kultural, maupun kelindan keduanya sekaligus, kalau menyangkut soal kasta.
Diskriminasi rasial, xenophobia dan intoleransi, bentuk-bentuk kontemporer rasisme, tampaknya juga akan menjadi masalah "abadi", apalagi kalau situasi pekerja warga negara tak mengalami perbaikan, bahkan memburuk akibat mekanisme pasar bebas.
Laporan itu tidak menghubungkan diskriminasi dengan mekanisme yang dilahirkan atau didukung mazhab pasar bebas. Di luar upaya memberikan pengertian tentang afirmasi, pengertian diskriminasi dan kapan perlakuan berbeda tidak dianggap sebagai tindakan diskriminasi pun bermasalah, karena ukurannya hanya tingkat produktivitas. Kondisi dan situasi kerja tak menjadi pertimbangan.
Banyak hal lolos dari perhatian media, menyangkut pekerja di tingkat menengah. Seperti dialami Ratna (23). Gadis yang baru saja lulus dari sebuah universitas di Australia itu diterima bekerja di kantor multinasional akuntan terkemuka di Jakarta. Namun, gambaran ideal tentang kerja dihancurkan tuntutan bekerja tanpa jam kerja yang jelas.
"Ia bisa lembur sampai tengah malam, bahkan dini hari," ujar Ratri, tentang keponakannya itu.
"Uang lemburnya Rp 125.000 sekali lembur tanpa hitungan jam. Dia tak tahu itu melanggar hak-haknya sebagai pekerja karena menganggap semua itu wajar di perusahaan asing yang basisnya kompetisi," sambungnya.
Gaji Ratna Rp 2 jutaan per bulan. Kalau tidak masuk kerja, gajinya dipotong. "Apa yang seperti itu namanya standar internasional?" tanya Ratri.
Setelah merasakan capai luar biasa, Ratna paham mengapa banyak pekerja muda, khususnya yang baru lulus kuliah, keluar-masuk dalam hitungan bulan. Ia akhirnya juga memutuskan berhenti.
Barangkali begitu modusnya. Turn over yang tinggi tak lagi jadi soal ketika ukuran kemajuan perusahaan disempitkan para eksekutifnya sebagai besar keuntungan sehingga pemenuhan hak pegawai (tetap) dianggap beban. Pekerja profesional pun dianggap tak lebih dari sekrup kecil mesin produksi.
Barangkali juga itu jawaban mengapa semakin banyak firma atau perusahaan besar di bidang jasa menggunakan tenaga profesional dengan sistem kontrak berjangka tanpa jaminan dan upah yang layak seperti di negara-negara maju yang memiliki mekanisme terpadu untuk sistem ini.
"Banyak orang bicara soal corporate social responsibilities (CSR, tanggung jawab sosial perusahaan), tetapi tak begitu paham maksudnya," ujar Wiena, Direktur Eksekutif Program Leadership on Environment and Development (LEAD), yang menaruh CSR sebagai salah satu tema pelatihan program itu.
"CSR pertama-tama harus menyangkut kesejahteraan pekerja di dalam perusahaan. Global Compact-nya Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut hal itu. Jadi CSR tak hanya menyangkut community development," sambungnya.
Situasi di bawah
Laporan ILO itu menyatakan, perempuan tetap menjadi kelompok terbesar yang mengalami diskriminasi dalam hal peluang kerja dan upah. Namun, laporan itu masih menggunakan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan sebagai tolok ukur kemajuan dan tidak terlalu memerhatikan situasi yang membuat beban perempuan berganda-ganda.
"Buruh makin kehilangan harapan dan tidak aman bekerja karena bisa sewaktu-waktu di-PHK akibat meluasnya sistem kontrak," ujar Kasminah (37), buruh sebuah pabrik di kawasan Tangerang. Banyaknya suami yang di-PHK membuat seluruh beban jatuh ke istri. Mereka harus bekerja rangkap, di pabrik dan di rumah sebagai buruh cuci supaya anak-anak bisa sekolah dan dapur terasapi. Belum lagi tuntutan suami terhadap "kerja istri" lainnya.
Mekanisme Fleksibilitas Pasar Kerja (LMF) yang mewujud dalam sistem outsourcing yang diterapkan semakin banyak perusahaan beberapa tahun terakhir ini adalah persoalan besar bagi buruh, karena tak ada aturan yang melindungi buruh kontrak.
Hasil riset Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) tahun 2005-2006 di wilayah Tengerang dan Bekasi mengungkapkan, dari 92 perusahaan yang diteliti, 62 persen di antaranya menggunakan tenaga buruh kontrak dan lebih dari 50 persennya adalah perempuan.
"Proporsinya beragam," lanjut Bagus Musharyo dari FPBN. Ada yang sepersepuluh buruhnya kontrak, ada yang 25 persen, tetapi ada yang hampir 90 persen. Basis kontraknya bulanan. Akan tetapi, ada perusahaan di Bogor, yang, menurut Bagus, "Basis kontraknya mingguan, tetapi sekarang perusahaan itu sudah tutup."
Penelitian itu juga mengungkapkan, buruh yang mendapat pekerjaan melalui agen pemasok tenaga kerja dikenai fee Rp 300.000-Rp 600.000 untuk kontrak tiga bulan dan sampai Rp 900.000 untuk kontrak kerja enam bulan.
Padahal, kata Ari Sunaryati dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, banyak kasus buruh kontrak yang upahnya di bawah standar upah minum regional atau daerah.
"Saya sedang melakukan investigasi kecil untuk mengetahui pemilik perusahaan outsourcing itu," ujar Ari.
"Kalau pemiliknya si empunya pabrik, artinya pengusaha untung dua kali. Buruhnya di-PHK tanpa pesangon karena sistem kontrak, sementara perusahaan pemasoknya me- mungut fee dari upah buruh, ada yang sampai 25 persen. Itu kan pengisapan namanya," lanjut Ari. Fakta-fakta tersebut memperlihatkan, Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip Fundamental dan Hak-hak di Tempat Kerja tak lebih dari macan ompong. Begitulah!
No comments:
Post a Comment