Tuesday, July 31, 2007

Klaim Membengkak, Rumah Sakit Rujukan Diaudit



Jakarta-RoL-- Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan pemerintah melakukan audit terhadap rumah sakit-rumah sakit pemberi pelayanan program Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin) menyusul adanya pembengkakan klaim biaya pelayanan Askeskin di rumah sakit dalam besaran yang tidak wajar.

"Klaim dari rumah sakit membengkak luar biasa. Masa ada rumah sakit kecil di kota kecil yang tagihannya Rp2 miliar per bulan sementara total tagihan rumah sakit sendiri hanya Rp150 juta per bulan. Kita kirim auditor ke sana karena ini sangat mengagetkan," katanya di Jakarta, Selasa.

Usai memberikan keterangan pers soal penyakit misterius di Magelang, Siti Fadilah mengatakan, pembengkakan klaim tersebut dilaporkan terjadi di beberapa rumah sakit di Jawa dan luar Jawa.

"Biaya untuk obat-obatannya melambung sampai Rp1,5 miliar per bulan. Dalam satu resep ada tujuh macam obat yang diresepkan padahal yang dibutuhkan ternyata cuma dua. Ada salah satu rumah sakit yang melakukan itu bekerja sama dengan salah satu BUMN, Kimia Farma," katanya.

Ia menambahkan pula bahwa ada beberapa rumah sakit yang mengganti jenis klaim operasi peserta Askeskin supaya bisa menglaim biaya pelayanan dalam jumlah besar. "Jumlah dan tipe operasi yang diganti supaya dapat klaim banyak," ujar Menteri Kesehatan.

Di samping itu, ia melanjutkan, kebutuhan dana pelayanan Askeskin juga membengkak karena jumlah peserta program tersebut juga meningkat tajam tahun ini. Menurut data Departemen Kesehatan jumlah peserta program Askeskin tahun 2006 hanya sekitar 60 juta jiwa namun tahun 2007 meningkat menjadi 76,4 juta jiwa.

"Banyak orang yang tidak miskin mengaku miskin dengan memalsukan Surat Keterangan Tidak Mampu atau SKTM, bahkan ada calo SKTM di depan rumah sakit," ungkapnya. Lebih lanjut Menteri Kesehatan juga mengemukakan bahwa pembengkakan kebutuhan dana Askeskin tersebut tidak akan terjadi kalau program tersebut terkelola dengan baik dan sistem verifikasi berjalan sebagaimana mestinya.

"Jumlahnya bisa membengkak sampai segitu besar karena tidak terverifikasi. Kalau sebelumnya klaim sudah diverifikasi dan verifikasinya bagus maka itu tidak akan terjadi," kata serta menambahkan pelaksanaan verifikasi klaim merupakan tanggung jawab PT Askes.

Akibat pembengkakan tersebut sebanyak Rp1,7 triliun dana Askeskin Tahun 2007 yang disalurkan ke PT Asuransi Kesehatan (Askes) untuk membayar klaim pelayanan kesehatan masyarakat sudah habis pada pertengahan tahun sehingga pemerintah harus mengusahakan tambahan dana. Menurut Siti Fadilah pemerintah membutuhkan dana Rp2,2 triliun untuk menutupi kekurangan dana Askeskin tahun 2007.

Pekan ini, kata dia, pemerintah akan mengucurkan tambahan dana Rp1,9 triliun untuk pemenuhan dana Askeskin 2007 dimana Rp900 miliarnya berasal dari APBNP dan Rp1 triliun dari realokasi anggaran di Departemen Kesehatan. "Mudah-mudahan bisa realokasi dari dana yang lain lagi supaya bisa cukup Rp2,2 triliun," demikian Menteri Kesehatan. antara
mim

Monday, July 30, 2007

Pendidikan Dasar, Kuantitas Vs Kualitas?

Davy Hendri

Salah satu konsensus dunia dalam bidang pendidikan adalah menjamin 100 persen anak bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya selambat- lambatnya tahun 2015 (MDGs 2015).

Terkait pendidikan dasar, gerakan Education For All (EFA) juga bertujuan meningkatkan keadilan mendapat pendidikan bagi anak perempuan, kelompok yang kurang beruntung, dan peningkatan kualitas hasil pendidikan.

Independent Evaluation Group (IEG), sebuah lembaga penelitian di bawah Bank Dunia, menjadikan tema kualitas hasil pendidikan dasar ini sebagai isu utama, dalam laporan From Schooling Access to Learning Outcomes: An Unfinished Agenda, 2006. Penekanan terhadap kualitas hasil pendidikan dasar dimunculkan sebagai isu utama dalam arahan pembangunan pendidikan dasar dunia ke depan. Sebab, perolehan keterampilan dan pengetahuan dasar seperti membaca dan berhitung sesuai standar merupakan aset berharga untuk membebaskan individu dari jeratan lingkaran kemiskinan yang tak berkesudahan.

Dilema kebijakan

Dalam konteks Indonesia, krisis ekonomi tahun 1997 menurunkan capaian angka partisipasi murni pendidikan dasar terutama pada keluarga miskin pedesaan, yang pada tahun 1988 mencapai 99,6 persen (BPS, 1988). Pemerintah lalu mengintervensi sisi suplai dengan membangun gedung-gedung sekolah baru yang berlokasi dekat permukiman penduduk, sekolah dua shift, dan program guru kontrak.

Adapun intervensi sisi demand dilakukan melalui program pengurangan biaya sekolah, beasiswa, dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dalam APBN 2007, jumlah anggaran pendidikan untuk semua program mencapai Rp 90,01 triliun (sekitar 11,8 persen), masih jauh dari amanat UUD 1945 Amandemen, yaitu 20 persen dari APBN.

Meski program JPS-Bidang Pendidikan berperan besar memulihkan tingkat daftaran SD, krisis yang belum sepenuhnya pulih menyisakan sejumlah angka putus SD. Penelitian terkini menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak bersekolahnya anak-anak usia pendidikan dasar adalah jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor kemiskinan rumah tangga tetap menjadi kontributor utama (Elfindri dan Davy, 2006).

Jangan lupa, program EFA juga mengamanatkan perbaikan kualitas output pendidikan (outcome learning), terutama bagi anak- anak keluarga miskin. Rendahnya kualitas pendidikan menjadi akar masalah rendahnya kualitas hasil pendidikan. Gaung pemantauan kualitas pendidikan dasar jarang diperdengarkan Pemerintah Indonesia.

Program subsidi bertarget cukup memberi kontribusi positif kepada perbaikan kualitas hasil belajar anak-anak dari kelompok warga miskin dan mengurangi gap anak miskin dengan anak- anak kelompok warga lainnya.

Selain itu, perbaikan manajemen sekolah—introduksi program peningkatan kualitas guru dan monitoring evaluasi hasil pembelajaran—kepada pimpinan sekolah juga menjadi syarat keberhasilan program. Pengawasan yang lebih ketat terhadap kemajuan hasil belajar siswa per grup karakteristik sosial ekonomi juga akan menjadi poin penting program.

Relasi komplementer

Sebenarnya, relasi kuantitas-kualitas, yang selama ini diterima sebagai relasi substitusi, dapat diubah menjadi relasi yang bersifat komplementer. Peningkatan kualitas yang menjadi program berkesinambungan dan memakan waktu tetap mengharuskan siswa hadir di sekolah. Program monitoring pembelajaran tidak akan bisa berjalan, apalagi mencapai hasil, jika siswa tiba-tiba drop-out. Syarat utama kualitas siswa akan meningkat jika siswa hadir rutin di sekolah.

Selanjutnya, hukum demand akan berlaku dengan sendirinya. Saat standar kualitas telah tercapai, dengan sendirinya diharapkan kuantitas akan terjaga. Hal inilah yang menjadi faktor penjelas, mengapa sekolah swasta favorit tidak pernah sepi peminat. Bahkan pada beberapa kasus, orangtua kaya kini harus mengantre untuk mendaftarkan anak yang masuk SD, 2-3 tahun ke depan. Hal sebaliknya, banyak orangtua kurang beruntung. Adagiumnya, anak mereka sekolah atau tidak, setelah itu nasib mereka tidak berubah.

Davy Hendri Dosen Jurusan Ekonomi Islam IAIN Imam Bonjol, Padan

Sunday, July 29, 2007

Pendidikan Nasional & Demokrasi Kita


KALLANOMICS


KEMAJUAN Indonesia tak bisa dilepaskan dari kualitas pendidikan nasional dalam menggembleng anak-anak bangsa. Oleh karena itu, kata Wakil Presiden M Jusuf Kalla, dunia pendidikan di Indonesia harus benar-benar meninggalkan standar ganda. Sistem pendidikan masa lalu, yang membolehkan siswa di luar Pulau Jawa memperoleh nilai lebih rendah untuk lulus, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Jawa, menurut Kalla, tak boleh terulang.
Sedangkan untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional, Kalla menegaskan, pemerintah akan memegang teguh komitmen untuk menaikkan kualitas pendidikan beserta anggaran pendidikan nasional secara konsisten dan semaksimal mungkin. Sekarang saja, dihadapan ribuan guru pada seminar nasional pengembangan Sumber Daya Pendidikan di Universitas Negeri Padang, Sumbar (7/7), Kalla mengungkapkan, jika gaji guru dimasukkan dalam komponen anggaran pendidikan, jumlah totalnya sudah mencapai 17,5 persen dari APBN 2007. Jadi hanya terpaut 2,5 persen dari amanat UUD 1945 yang menetapkan, bahwa anggaran pendidikan harus mencapai 20 persen dari APBN.

Data di Bappenas menunjukkan, anggaran pendidikan melesat menjadi Rp 44 triliun pada 2007, dibandingkan dengan Rp 19 triliun pada tahun lalu. Memang belum mencapai 20 persen, menurut Kalla, karena pemerintah memiliki beban yang tak terhindarkan seperti pembayaran utang, subsidi BBM, biaya kesehatan, infrastruktur dan sebagainya. Namun Kalla menolak bila masalah keterbatasan dana dijadikan alasan oleh para siswa dan mahasiswa untuk malas belajar. Di hadapan civitas akademika Universitas Andalas Padang, Wapres menunjuk Universitas Bangalore di India sebagai contoh ideal. Meski selalu dirundung masalah dana, universitas ini mampu memproduksi sarjana berkelas dunia. Ini karena para mahasiswa di sana digembleng oleh para dosen killer yang sengaja dipertahankan kampus itu.

Di Bengalore University, berlaku pepatah Profesor Shih Choon Fong (Presiden National University of Singapore), bahwa sebuah universitas yang baik adalah yang mampu mengajar dan mendidik dengan baik, dan sebuah universitas yang besar adalah universitas yang mampu melakukan transformasi sosial, edukasi dan kultural, ’’a good university teaches, a great university transforms.’’

Kita menyadari bahwa mutu pendidikan memiliki korelasi dengan kemajuan peradaban bangsa dan demokrasi. Karena itu, kata Kalla, untuk belajar demokrasi yang asasi, bangsa Indonesia tidak harus ke Amerika Serikat (AS), tetapi cukup ke Sumatera Barat (Sumbar). Di Sumbar, setiap hasil keputusan dalam musyawarah akan dilaksanakan semua pihak tanpa muncul pihak yang berlawanan di kemudian hari. “Kita bisa belajar ke Sumatera Barat bagaimana demokrasi yang sebenarnya,” kata Wapres saat menghadiri prosesi adat Batagak Tonggak Tuo, pembangunan kembali Istana Bassa Pagaruyung di Batusangkar (8/7).

Di masa lalu, demokrasi di Sumatera Barat berjalan dengan baik berkat sistem musyawarah. Dulu, publik ranah Minang bermusyawarah untuk menentukan sikap. Itulah demokrasi yang asasi. Demokrasi asasi adalah demokrasi yang tak hanya gegap oleh interupsi dan interpelasi, tapi semuanya diselesaikan dengan kearifan dan komitmen bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Di masa silam, berkat liberalisasi dan pendidikan Barat yang merambah Bukittinggi dan sejumlah kota utama lainnya di ranah Minang, lahirlah orang-orang besar founding fathers negara kita seperti M Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan seterusnya. Bahkan Mohamad Hatta, menjadi sangat dikenal atas sikapnya yang lurus dan pemikirannya tentang konsep Demokrasi Kita, sehingga mendapat sebutan sebagai “sufi” oleh cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid.

Tapi, sayangnya, dewasa ini kerap muncul keluhan bahwa demokrasi tradisional ala Sumbar telah mengalami berbagai distorsi akibat derasnya arus modernisme. Monetisasi dan kapitalisme telah mengubah nilai-nilai dan makna tradisi akibat liberalisasi sosio-kultural yang berjalan demikian cepat dan menyeluruh. Maka, kemerosotan moral dan intelektual tak terhindarkan. Bahkan sejarawan Taufik Abdullah sempat meramalkan, pascagenerasi Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, tak akan ada lagi pemimpin terkemuka dari Sumbar di pentas nasional.

Kini tokoh-toko sekaliber Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka sangat sulit ditemukan lagi di kalangan orang Minang, yang makin gandrung berdagang, dan berpikir/bertindak pragmatis. Akibatnya, di era reformasi ini, Sumatera Barat bukan lagi merupakan kawasan dimana demokrasi memiliki basis budaya yang kuat. Artinya, sistem demokrasi tradisional yang dulu pernah berjaya telah mengalami pergeseran nilai dan kerusakan tradisi, bahkan mengalami deviasi, sehingga rawan sogok dan korupsi. Martabat dan kehormatan orang Minang sungguh dalam taruhan, terbukti dengan maraknya praktek KKN di wilayah ini.

Banyak tradisi yang telah melepuh. Jika dulu di Inggris Lewis A Coser membahas peran kedai-kedai kopi di London pada abad ke XVIII sebagai tempat pertemuan kaum intelektual, di era kolonial di Sumatera Barat ada palanta lapau, sebagai pusat dialog publik dan membangun demokrasi yang berorientasi pada ‘alam terkembang jadi guru’. Tapi kini orientasi tersebut telah berubah, dan makin lengket pada ‘alam terkekang jadi layu’.

Karena itu, pembangunan ekonomi, politik dan sosial dewasa ini, dalam perspektif Kallanomics, harus berbasis budaya luhur dan pendidikan sebagai pilar peradaban untuk menopang keberadaannya. Dengan demikian, demokratisasi bisa diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan demikian, kita tidak memiliki pilihan selain meningkatkan kualitas pendidikan dan memperkuat kembali pranata-pranata sosio-kultural yang berakar pada tradisi budaya yang demokratis. Iklim yang kondusif ke arah itu harus ditegakkan.

Ingat, hari depan Indonesia terletak kepada kemajuan pendidikan bangsa, kualitas budaya, mutu demokrasi dan keputusan moral para pemimpin dan pengambil kebijakan kemarin dan hari ini.***

Herdi Sahrasad, Associate Director Media Institute dan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

Saturday, July 28, 2007

Konsumsi Pencitraan yang Butuh Teologi

Konsumsi
Pencitraan yang Butuh Teologi

Herdis Herdiansyah

Hasil penelitian Maurice Kirby dalam Business History menemukan bahwa di Inggris pada abad XVIII-XIX para Quaker yang memegang peranan dominan dalam dunia bisnis, tetapi ternyata mempraktikkan sikap ambivalen terhadap produk-produk konsumsi yang mewah.

Para pebisnis Quaker memproduksi barang-barang mewah, mulai dari jenis makanan sampai ragam alat transportasi. Namun, mereka tidak banyak memanfaatkan produk-produk itu dalam kehidupan pribadi yang memang secara ketat dikontrol oleh komunitas mereka. Maka, ketika mereka mengagungkan pola hidup sederhana, kelangsungan bisnis mereka justru sangat bergantung pada pola hidup konsumtif dari masyarakat luas.

Itulah sebabnya—sebagaimana sinyalemen sosiolog Max Weber—praktik hidup sederhana dalam tradisi masyarakat Barat yang dibarengi keteguhan kerja keras dan rasa tanggung jawab pribadi yang kuat merupakan salah satu faktor pembentuk dan penggerak masyarakat produktif, sekaligus menjadi tulang punggung kapitalisme modern. Meski demikian, seiring berjalannya waktu, masyarakat Barat yang dulu menjadi produktif karena ’etika Protestan’ ternyata ketika mereka sudah menjadi makmur, budaya kerja keras dan disiplinnya justru melemah, malah cenderung menghamba pada kesenangan dan kemudahan hidup. ’Dekadensi’ mental pun terjadi.

"Counter-culture"

Meski demikian, bagi Peter Berger (1995), dekadensi itu tidak harus disesali. Jika produktivitas meningkat dan produsen mendapatkan imbalan yang tinggi secara ekonomis, yang dibutuhkan bukan lagi etos produksi, tapi konsumsi. Karena itu, pembalikan atas etika Protestan sebenarnya tidak hanya berupa dekadensi, tetapi juga terjadi ’adaptasi kreatif’ yang dilakukan kalangan pebisnis. Itulah sebabnya sejak 1960-an dunia bisnis di Barat menghadapi apa yang disebut counter-culture, yang menggugat tak hanya penekanan kerja keras dan disiplin tinggi, juga keseluruhan sistem kapitalis modern yang dipandang eksploitatif dan tidak manusiawi.

Kalangan pebisnis kemudian merespons counter-culture ini dengan mengadaptasi nilai-nilai ’humanistik’ sebagai alat transformasi diri. Hasilnya adalah konsep-konsep semacam corporate social responsibility (CSR), program pengembangan pribadi, serta perusahaan sebagai lembaga peduli (caring institution). Secara simultan unsur-unsur counter-culture sendiri mengalami transformasi yang membuatnya lebih akuntabel dalam menjalankan aktivitas dalam berbisnis.

Sederhananya, bisnis dapat dikatakan sebagai pengaturan produksi dan konsumsi sekaligus juga upaya-upaya yang menghubungkan keduanya, seperti pemasaran dan distribusi. Karenanya, masalah konsumsi mau tak mau terkait erat dengan soal produksi. Keduanya berpegang pada prinsip keseimbangan supply-demand. Hubungan antara produksi dan konsumsi sebetulnya bersifat saling mengubah. Peningkatan produksi akan mendorong konsumsi. Begitu pula sebaliknya, naik turunnya konsumsi akan memengaruhi proses produksi.

Karena sifatnya yang saling mengubah itulah terjadi pergeseran orientasi dalam masyarakat Barat dari produksi ke perkembangan yang bersifat konsumsi. Semula konsumsi sekadar memenuhi kesenangan dan kemudahan hidup, kemudian berkembang menjadi pemenuhan konsumsi yang menuntut kondisi yang lebih adil dan manusiawi. Perubahan pola dan sifat konsumsi ini pada gilirannya mengubah pula struktur, pola, dan lembaga produksi.

Konsumsi sebagai citra

Mengingat begitu eratnya hubungan antara konsumsi dan produksi, kritik-kritik terhadap masalah konsumerisme tidaklah memadai apabila didasari oleh asumsi bahwa seolah-olah konsumerisme adalah semata-mata soal perilaku yang merupakan keputusan sadar individual. Bagi Irwan Abdullah, dalam Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (2006), masalah konsumerisme mesti dilihat juga dalam kerangka perubahan budaya masyarakat dengan segala faktor yang memengaruhi dan dipengaruhinya. Konsumerisme bagian dari perubahan gaya hidup pada sebuah kelompok masyarakat yang terdongkrak menjadi kelas menengah perkotaan.

Kelompok masyarakat ini membutuhkan alat ekspresi dan cara komunikasi yang baru, yakni berupa simbol-simbol pencitraan diri. Fungsi konsumsi bagi kalangan ini bukan lagi sekadar pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat tradisional, melainkan terutama lebih merupakan sebagai ’konsumsi citra’ yang bermakna simbolis. Dalam masyarakat baru perkotaan ini konsumsi punya makna sebagai emancipatory politics dan sekaligus sebagai life politics.

Sebagai emancipatory politics konsumsi dalam masyarakat baru perkotaan lebih bermakna membebaskan manusia dari hambatan-hambatan posisi sosial tradisional, seperti kelas, jender, usia, dan etnis. Sebagai life politics, konsumsi merupakan politik aktualisasi diri dalam lingkungan yang terorganisasi secara reflektif, di mana refleksitas menghubungkan diri dengan tubuh ke dalam sistem global.

Dalam hal ini juga simbol- simbol keagamaan pun tidak luput dari proses konsumerisasi. Pemanfaatan simbol-simbol agama mengalami pergeseran menjadi lebih bersifat estetis ketimbang etis; dan lebih merupakan pilihan pribadi ketimbang sebagai pengungkapan tradisi komunal. Salah satu contoh menarik adalah program naik haji yang sekarang semakin menjadi produk kemasan yang ditawarkan oleh pasar dalam bentuk ’haji plus’ dan seterusnya.

Teologi konsumsi

Selama ini kritik-kritik anti- konsumerisme sering kali cenderung menilai bahwa konsumerisme itu menghancurkan solidaritas sosial, merusak pemulihan lingkungan, dan mencederai keberlangsungan nilai-nilai luhur tradisi budaya. Penilaian semacam ini memang sukar untuk dibantah. Meskipun demikian, kritik semacam ini cenderung menunjukkan perspektif kalangan praglobalisasi yang kurang sensitif terhadap realitas perubahan sosial dan budaya.

Pikiran-pikiran semacam ini tampak dalam pendekatan-pendekatan teologi tradisional, sebagaimana dikembangkan Denise George (1984), yang menyerukan jalan pseudo-asketisme dalam hidup bermasyarakat di masa kini. George seolah-olah menyederhanakan masalah konsumerisme sekadar tindakan perselingkuhan dengan uang, penipuan oleh produk iklan bisnis, dan sebagai pamer diri. Semua tentu bertentangan dengan sikap hidup dan ajaran agama.

Kritik-kritik antikonsumerisme sering kali justru tak mengena jika memuat pikiran bahwa seolah-olah perubahan sosial dan budaya itu bisa dihentikan. Perkembangan ekonomi dan jangkar proses globalisasi mau tak mau akan menghasilkan perubahan semacam itu. Sedemikian rupa, menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan adalah bukan sekadar kritik antikonsumerisme, tetapi juga sebentuk ’teologi konsumsi’, di mana pemenuhan konsumsi bukan sekadar demi kesenangan semata, tetapi juga pola konsumsi yang mampu mewadahi serta menampung konsep moral sosial dalam konteks kehidupan modern.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, yang dibutuhkan dalam pendekatan etis-teologis adalah ideologi yang mampu menggugah masyarakat konsumen bukan hanya untuk meningkatkan semangat memproduksi sebagai pengimbang konsumerisme. Juga meningkatkan kualitas konsumsi menjadi bukan sekadar konsumsi demi kesenangan dan keindahan, tetapi juga konsumsi yang mendorong transformasi produksi menjadi lebih sensitif secara moral. Dengan basis teologi konsumsi, diharapkan akan lebih mampu merengkuh dan mewadahi konsep moral dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini.

Herdis Herdiansyah Pemerhati Masalah Sosial Kebudayaan, Master Filsafat UI

Friday, July 27, 2007

Nasib di Balik Angka PHK

Maria Hartiningsih

Dua gajah beradu, entah bercinta, entah bertarung, rumput di bawahnya selalu terinjak-injak. (Peribahasa Swahili)

Sudah dua bulan terakhir ini Syarifudin menganggur setelah tempat kerjanya, PT KBA di kawasan Tangerang, ditutup tanpa alasan jelas. Ia sudah tujuh tahun bekerja di situ dengan upah terakhir Rp 882.500 per bulan, sesuai standar upah minimum kota atau UMK tahun 2007. Ini adalah pemutusan hubungan kerja kelima yang ia alami dalam 15 tahun terakhir.

Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menunjukkan, pada tahun 2005, misalnya, 2,5 juta orang muda masuk angkatan kerja, sementara kasus PHK di Indonesia mencapai 300.000-400.000 tenaga kerja. Pada tahun 2006, PHK meningkat sekitar 50,2 persen dibandingkan tahun 2005. Situasi tahun 2007 diperkirakan tidak membaik.

Namun, angka-angka ini harus dibaca secara berbeda. Seperti dikemukakan Bagus Musharyo dari Serikat Perburuhan Institut Sosial, di belakang angka itu adalah deretan nasib anak dan istri, beserta serangkaian kegiatan ekonomi kecil-kecil yang semula dihidupi oleh para pekerja di kawasan industri.

Dalam PHK yang menimpa 52 pekerja di PT ES di Tangerang, misalnya, dua pekerja sedang sakit, dua istri akan melahirkan, dan satu anak sakit. "Ada yang suaminya kena PHK, sementara istrinya sakit keras," ujar Kasminah, aktivis Komite Buruh Cisadane.

Istri dan dua anak Syarifudin beberapa bulan terakhir ini kembali ke desa di rumah orangtua sang istri, di daerah Kuningan, Cirebon. Anak pertamanya sudah lebih dulu dititipkan di rumah kakeknya.

Besaran UMK sebenarnya jauh dari kebutuhan minimal satu keluarga dengan satu anak, yang menurut survei Forum Solidaritas Buruh Serang Desember tahun 2005 mencapai Rp 937.500.

"Komponen upah memang sangat kecil persentasenya," kata Bagus Musharyo.

Ia mengatakan, sepatu bermerek yang dijual eceran 80 sampai 100-an dollar AS itu dibeli oleh korporasi transnasional (TNCs) pemilik merek tersebut dengan harga 11-12 dollar AS dari perusahaan kontraktor yang membuatnya di Indonesia.

Dari 11-12 dollar itu, sekitar 6-7 dollar dipakai membeli bahan baku (impor) dari perusahaan pemasok yang ditunjuk oleh korporasi. Sisanya, sekitar 5 dollar AS, itulah yang digunakan untuk segala macam biaya, mulai dari bayar pajak, upah buruh, keuntungan perusahaan, dan lain-lain.

"Kalau ada tambahan 0,5 dollar saja untuk komponen upah buruh, dampaknya akan sangat besar bagi kesejahteraan mereka," ujarnya.

Gambar terbalik

UMK yang diterima pekerja semakin tidak mengejar laju kenaikan harga kebutuhan pokok. Ini memperlihatkan gambaran yang terbalik tentang "kemakmuran".

Kebijakan ketenagakerjaan yang memberi ruang semakin luas pada penciptaan pasar tenaga kerja yang fleksibel (labour market flexibility/LMF) membuat posisi buruh semakin rentan karena skema sistem kerja kontrak (outsourcing), yang melibatkan agen tenaga kerja, sehingga upah buruh yang sudah rendah itu masih disandera oleh berbagai persyaratan pembayaran fee untuk agen.

Akibatnya, banyak pekerja meminta kiriman uang dari desa. "Orangtua di desa memberi subsidi tak langsung pada perusahaan. Selain dititipi cucu, mereka mengirim uang kepada anaknya yang bekerja di situ. Ini bagaimana logikanya?" ujar Bagus Musharyo.

Subsidi orangtua terutama mencakup uang pondokan. Dari 53 pekerja yang kena PHK dari PT ES itu, 26 di antaranya masih tinggal bersama mertua atau orangtua, 23 orang kontrak dengan sewa antara Rp 120.000 sampai Rp 200.000 per bulan, tetapi 14 di antaranya menunggak uang sewa dua bulan terakhir.

PHK membuat kehidupan buruh yang rentan semakin rentan. "Sudah empat bulan anak saya nunggak uang sekolah," keluh Syarifudin.

Ketegangan dengan keluarga juga terjadi. Sang istri mau Syarifudin ikut pulang ke Kuningan membantu mertuanya bertani. Sementara Syarifudin masih mau berjuang menuntut pesangon sambil berjualan jamu keliling. Tetapi hasilnya jauh dari mencukupi.

"Kalau laku satu paling untung Rp 200. Sehari belum tentu laku 10," kata Syarifudin, yang terancam terusir dari kamar sewaannya. Ia ditemui di sebuah rumah di bilangan Jati Uwung, Tangerang, bersama beberapa buruh yang sedang berkumpul.

Di situ ada Helmi Chaerul (22), korban PHK dari PT ES. Sudah beberapa bulan terakhir ini Helmi terusir dari pondokannya karena tidak bisa membayar uang sewa.

"Ada tiga teman sepabrik yang bernasib sama," ujarnya.

Pembicaraan mengenai besaran upah seperti dimentahkan ketika PHK semakin masif. Inilah ujung keterseokan buruh, khususnya menyangkut martabatnya sebagai manusia.

"Biar kecil, paling tidak, masih ada pekerjaan," ujar Isdianto (37), ayah dari dua anak. Ia sudah 17 tahun bekerja di PT Koryo Internasional Indonesia dengan gaji terakhir Rp 1,2 juta sebulan. Bersama beberapa temannya ia duduk di tenda di depan gerbang pabrik yang tidak beroperasi sejak 16 Maret 2007.

Perusahaan Korea pembuat sepatu antara lain untuk merek Geox, Black Stone, Hi Tech, dulu pernah Reebok dan Fila, itu sejak 15 April 2007 tidak lagi memberi gaji sekitar 3.000 karyawan PT Koryo yang lebih dari 75 persennya perempuan.

"Saya bingung kalau di rumah anak-anak minta ini-itu saya enggak bisa ngasih, eh masih nanya kenapa bapak enggak kerja," lanjut Isdianto.

Cicilan rumah

Ia tidak tahu bagaimana cara melunasi cicilan rumah seluas 60 meter persegi sebesar Rp 300.000 per bulan, yang masih tersisa delapan tahun lagi. "Sekarang sudah tiga bulan nunggak," katanya. Bank Tabungan Negara, tempat dia mengambil kredit, katanya memberi tenggang enam bulan, tetapi ia harus melunasi tunggakannya dulu.

"Saya masih menunggu uang Jamsostek," ujarnya. Padahal, untuk mendapatkan uang itu pun ruwet. Katanya, 19 bulan terakhir ini perusahaan tidak membayar Jamsostek yang besarnya 3,7 persen dari gaji karyawan.

"Sisanya yang kami bayar, sekitar dua persen sudah dikembalikan oleh perusahaan. Saya dapat Rp 250.000, masih sisa Rp 408.735," sambung Mahfud sambil memperlihatkan sepotong kertas lusuh dari kantongnya. Ia sudah 14 tahun bekerja di situ.

Untuk mendapatkan uang Jamsostek, menurut Isdianto, harus memenuhi berbagai persyaratan, di antaranya surat pengunduran diri. "Padahal proses menuntut pesangon masih jauh dari selesai," kata Isdianto.

Menurut Ihsan Rohadi, pengurus Serikat Pekerja Nusantara (SPN) di pabrik itu, proses Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) sedang berlangsung. Namun, kata Kasminah, proses ini masih panjang dan dalam banyak kasus berujung pada keterkatung-katungan. Apalagi kalau perusahaan dinyatakan pailit.

"Koryo kayaknya akan dinyatakan begitu," kata Isdianto.

Kasminah menyebut beberapa contoh perusahaan yang dipailitkan dan prosesnya terkatung-katung. Di antaranya PT S dan PT GM yang sudah lima tahun terkatung-katung, serta SM dan PT BTR sudah empat tahun.

Data SPN menunjukkan, sekitar 49.000 buruh dari tujuh perusahaan di sekitar Tangerang-Serang, termasuk PT HASI dan PT Nasa, mengalami PHK sejak tahun 2004. Data dari Komite Buruh Cisadane menambahnya dengan sekitar 7.000 lagi.

Terlepas dari apa yang dilakukan pengusaha, entah sedang bersiasat memindahkan modalnya ke bisnis yang lebih menguntungkan, atau tengah menangguk untung besar dari kolaborasinya dengan TNCs, para buruh itu ibarat rumput yang terus saja terinjak….

buruh
Tahu Masalah, tetapi Melumpuhkan Diri

Amatlah keliru mengasumsikan pekerja semata-mata sebagai alat produksi. Mereka tahu apa yang dipertaruhkan dalam pertarungan bisnis di perusahaan tempatnya bekerja. Mereka juga tumbuh menjadi kelompok kritis meskipun kemudian seluruh strategi perjuangannya juga terendus oleh pihak pengusaha.

Bisa saja buruh menang di pengadilan, tetapi ketika sampai ke eksekusi dibiarkan terkatung-katung. Kalau sudah begitu, buruh juga tidak bisa melakukan apa-apa, selain menunggu, ujar Kasminah dari Komite Buruh Cisadane (KBC).

Ia menyebut kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh PT TDM yang sudah tiga tahun terkatung-katung. "Buruhnya menang, tetapi tuntutan tidak teralisasi," tuturnya. Hal yang sama terjadi atas buruh di PT BR, pabrik garmen, yang juga sudah tiga tahun.

"Saya heran, kok pemerintah enggak berbuat apa-apa ya dengan situasi ini," tanya Kasmiah. Hal senada juga dikemukakan Emi Roswati dari Serikat Pekerja Nusantara (SPN) di PT Koryo International Indonesia.

"Perusahaan Korea biasa seperti ini," kata Emi, "Masa operasional pabrik ini sudah 17 tahun, mesin-mesinnya sudah tua, tetapi jumlah pekerjanya telanjur membengkak dan gajinya menurut mereka mungkin sudah terlalu tinggi. Namun, kok enggak ada tindakan apa-apa, baik dari pemerintah maupun para wakil rakyat."

Suatu hari mereka mengadukan nasib ke Dewan Perwakilan Rakyat. Di situ mereka ditemui seorang anggota dari Komisi IX, yang dari pernyataan-pernyataannya terkesan membela nasib buruh. "Dia janji mau melihat kondisi kami. Namun, sampai sekarang tidak pernah datang," sambung Emi.

Mereka juga pernah meminta wali kota membebaskan uang sekolah anak-anak buruh korban PHK. "Pernah didaftar 300 anak, tetapi sampai sekarang tidak ada apa- apa. Waktu kami konfirmasi ke kepala dinas tenaga kerja, katanya yang bisa dapat hanya mereka yang berada di wilayah kotamadya. Sementara kami berada di luar wilayah itu," kata Emi.

Melumpuhkan diri

Menurut Direktur Pelaksana Econit Dr Hendri Saptarini, pemerintah sebenarnya tahu kenapa situasi ini terus terjadi, tetapi tidak melakukan apa-apa. "Jadi bukan sekadar lumpuh, tetapi melumpuhkan diri, tidak melakukan apa-apa," ujarnya.

Menurut Hendri, struktur industri di Indonesia tidak seperti di Thailand dan Malaysia. Negara-negara itu memiliki kebijakan industrial yang mendorong investor untuk membangun industri pendukung sehingga di negara-negara itu struktur industrinya dalam. "Kalau mau pindah, jadi berpikir pajang karena sudah membangun infrastruktur di negeri itu," kata Hendri.

Struktur industri di Indonesia, menurut Hendri, sangat dangkal, khususnya untuk industri manufaktur semacam garmen dan sepatu. "Lebih dari 50 persen bahan baku ataupun bahan pendukungnya didapatkan dari impor. Jadi, tidak masalah kalau hari ini investasinya mau dipindahkan ke tempat lain," ia melanjutkan, "Jadi, soalnya bukan masalah keamanan, tetapi benar-benar pertimbangan bisnis."

Lebih jauh Hendri menjelaskan, negara-negara seperti Malaysia dan Thailand memiliki kebijakan industrial sebelum menyusun Undang-Undang Penanaman Modal sehingga mereka tahu sektor mana yang perlu modal asing, sektor mana yang dicadangkan untuk usaha kecil dan mikro karena sektor ini sangat strategis dan sensitif.

Di Indonesia yang terjadi sebaliknya. UU Penanaman Modal sudah digolkan meski belum ada kebijakan industri. "Sekarang ada RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, tetapi belum dibahas. Jadi, kan kebalik-balik, karena di UU Penanaman Modal semua sudah dibuka," kata dia.

UU Penanaman Modal itu sangat terbuka, sampai-sampai investor asing bebas melakukan apa saja. Mereka tak harus mempunyai mitra lokal lagi dan tak perlu minta izin untuk mengalihkan izin ke investor lain. Kalau mau relokasi, juga tidak perlu lapor.

Seperti diungkapkan Hendri, "Sekarang ini sudah 65 persen investasi Jepang di bidang manufaktur direlokasi. Namun, pemerintah mengatakan ini bukan masalah, ini cuma pertimbangan bisnis. Kalau 65 persen pindah, pasti kan ada masalah. Bukannya di sini pasarnya besar?"

Hendri menyebut contoh China, yang begitu terbuka investasinya, tetapi negeri itu menerapkan aturannya dengan sangat ketat. Investor baru dapat mengalihkan investasi kalau sudah mendapat persetujuan dari Pemerintah.

Ia menambahkan, Pemerintah China juga membangun "benteng" yang kuat untuk melindungi diri dari gonjang-ganjing situasi di luar. Ketika hendak meliberalisasi sektor keuangan, misalnya, Pemerintah China menunggu sampai sektor industri dan perdagangannya menjadi yang terbaik di dunia.

Pemerintah China menandatangani kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk membuka sektor keuangan bagi investor asing pada tahun 2001, tetapi baru tahun 2007 bank asing boleh menjual produknya kepada warga China. "Kita sudah membuka sektor ini sejak tahun 1988," ujarnya.

Bukan satu-satunya jawaban

Hendri mengingatkan, kalau 56 persen dari angka pengangguran di Indonesia berpendidikan sekolah dasar, kondisi ini tak bisa diselesaikan dengan masuknya investasi asing. Data tahun 2006 yang diolah oleh Litbang Kompas memperlihatkan, pada tahun 2006, pengangguran terbuka mencapai 11,10 juta orang, setengah pengangguran terpaksa 14,21 orang, dan setengah pengangguran sukarela 15,71 jiwa

Ia kembali memberi contoh di negara seperti Korea dan Jepang yang menyisihkan anggaran untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja, antara lain dengan membangun berbagai institusi besar. Dananya diambil dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara serta insentif pajak.

"Perusahaan yang menyisihkan dana untuk membangun institusi riset dan pengembangan sumber daya, misalnya, pajaknya bisa dikurangi," lanjut Hendri.

Yang terjadi di Indonesia sangat berbeda. Pajak masih menjadi sumber keuangan negara sehingga pemerintah tidak berani melakukan terobosan, misalnya untuk memperkuat suprastruktur industri. "Pajak dan utang seharusnya tidak dijadikan sumber penghasilan karena implikasinya luas sekali," ujar Hendri.

Ia melihat sumber lain sebagai penghasilan negara, seperti sumber daya alam. Akan tetapi, penerimaan negara dari sektor itu sangat tidak sebanding dengan nilai dari sumber daya alam itu karena melupakan rente ekonomi.

"Ini tidak pernah diperhitungkan karena harus mengoreksi kontrak karya," tegas Hendri, "Jadi kalau dibilang melumpuhkan diri ya memang begitu situasinya karena pemerintah tahu harus melakukan apa dari sisi fiskal dan industri, tetapi diam saja."

Hal lain yang bisa dilakukan menurut Hendri adalah membuat produk unggulan di setiap kabupaten, sebagai produk ekspor atau substitusi impor. "Kita punya 500 kabupaten. Kalau tiap tahu satu saja, maka akan nada 500 produk unggulan di setiap kabupaten," tambahnya.

Memang kemudian dibutuhkan usaha keras untuk menciptakan infrastruktur dari semua ini. Yang paling penting adalah kehendak kuat dan kemauan politik untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Kontrak politik

Persoalan tenaga kerja di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang semakin muram. Beban buruh semakin berat karena kesempatan kerja juga semakin berkurang.

Litbang Kompas mencatat, kalau pada tahun 1980-an setiap pertumbuhan ekonomi satu persen mampu menyerap 200.000-an tenaga kerja, sekarang paling tinggi hanya seperempatnya. Perbedaan upah buruh di berbagai pabrik semakin lebar dibandingkan dengan di sektor pengolahan. Kesenjangan ini terjadi karena kecenderungan membangun pabrik yang padat modal dibandingkan dengan padat karya.

Mengacu pada berbagai data yang ada, Hendri juga melihat industri di Indonesia mengalami kemerosotan. Sektor manufaktur dan pertanian yang menyerap tenaga kerja seharusnya lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, atau paling tidak sama.

"Yang sekarang terjadi justru pertumbuhan sektor-sektor itu lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya, terjadi pertumbuhan ekonomi, tetapi di sektor yang bukan padat karya," ujar Hendri.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, tahun 2004 pertumbuhan ekonomi adalah 5,13 persen, pertumbuhan manufaktur 6,19 persen. Akan tetapi, pada tahun 2005-2007, situasinya terbalik. Pertumbuhan manufaktur dan pertanian lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi.

Dari sisi jumlah usaha juga menurun. Pada usaha menengah besar, yang 39 persennya adalah sub-sektor manufaktur, dari 23 sektor, sembilan (9) di antaranya mengalami penurunan jumlah unit usaha. "Ini data tahun 2005. Kalau angka tahun 2007 dikeluarkan, pasti lebih banyak lagi turunnya," ujar Hendri.

Ia mengusulkan kontrak politik dengan para politisi dan penyelenggara negara. "Harus ada ukuran keberhasilan yang jelas bagi para penyelenggara negara," ujarnya.

"Bukan hanya dalam angka anggaran, tetapi bagaimana menurunkan pengangguran, bagaimana mengatasi masalah busung lapar, kemiskinan, penyakit dan lain-lain. Jadi, ada indikator kesejahteraan yang jelas dan ada indikator kegagalan maupun keberhasilan yang jelas juga," kata Hendri. (MH)

pengajaran
Intervensi Guru dan Orangtua Dibutuhkan Siswa Sejak Awal

Jakarta, kompas - Keterampilan membaca sangat dibutuhkan dalam kehidupan modern. Untuk itu, guna meningkatkan pemahaman membaca siswa sejak di tingkat dasar, diperlukan strategi pembelajaran yang efektif di kelas dengan intervensi dari guru, teman sebaya, dan orangtua.

Demikian hal pokok yang dikemukakan Lucia Retno Mursitolaksmi (43) dalam promosi doktor dalam bidang psikologi pada Program Pascasarjana Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (UI), di Kampus UI Depok, Rabu (25/7). Bertindak sebagai promotor SC Utami Munandar dengan ko-promotor Conny Semiawan dan Sri Hartati Suradijono Reksodiputro.

Lewat disertasi berjudul "Efektivitas Intervensi Berbasis Perancah (Scaffolding) untuk Meningkatkan Strategi Metakognitif dalam Membaca: Suatu Penelitian terhadap Siswa Kelas III SD di Jakarta", Lucia lulus dengan yudisium sangat memuaskan.

Menurut Lucia, intervensi yang dilakukan untuk bisa membantu siswa saat mengalami kesulitan memahami bacaan adalah dengan melakukan pengajaran resiprokal di kelas, lalu dikombinasikan dengan tutor teman sebaya, dan kegiatan membaca di rumah, atau disebut intervensi berbasis perancah. Dari ketiga intervensi yang ideal tersebut, di Indonesia tampaknya peran guru memang yang lebih penting. Guru perlu mengembangkan pengajaran resiprokal atau mengajar yang mampu mendorong siswa aktif di dalam kelas.

Akan tetapi, kenyataannya selama ini proses belajar-mengajar di kelas lebih menyerupai penuangan materi ke kepala siswa. Interaksi dalam kelas kurang dibangkitkan karena beratnya beban kurikulum. (ELN)

Orasi Budaya
RI Harus Punya Strategi Kebudayaan

Jakarta, Kompas - Indonesia harus memiliki strategi kebudayaan dengan melihat kekuatan dan kelemahan sumber daya atau modal yang dimiliki bangsa ini. Dengan strategi kebudayaan ini, pembangunan ekonomi yang dilaksanakan harus disertai dan didukung pembangunan karakter dan bangsa sehingga Indonesia mampu menjalani era globalisasi dan pascamodernisme yang saat ini berkembang di dunia.

Itu disampaikan cendekiawan Muslim, M Dawam Rahardjo, dalam orasi budaya yang diselenggarakan Institute for Global Justice di Jakarta, Kamis (26/7).

Menurut Dawam, dewasa ini Indonesia memang memiliki sejumlah kelemahan sumber daya di bidang finansial, teknologi fisik, intelektual, dan prasarana. Namun, Indonesia memiliki sejumlah kekuatan dan keunggulan yang dapat dijadikan dasar analisis keunggulan imperatif.

"Dengan strategi budaya, pembangunan Indonesia harus diprioritaskan pada apa yang kita miliki. Bangsa ini harus memprioritaskan sumber daya alam, budaya, manusia, sosial, dan spiritual," katanya.

Untuk itu, strategi kebudayaan yang perlu Indonesia miliki itu harus bisa menjawab tantangan dalam globalisasi ekonomi, globalisasi di bidang teknologi, transportasi, dan telekomunikasi, serta globalisasi budaya dan globalisasi nilai-nilai atau etika.

Strategi kebudayaan dalam menghadapi globalisasi ekonomi adalah menekankan pada pembangunan sumber daya alam yang dapat diperbarui. Indonesia bisa mengembangkan ekonomi dari bidang pertanian, perkebunan, peternakan, kelautan, dan kehutanan. "Memanfaatkan sumber daya alam bukan dengan cara mengeksploitasi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru sampai sekarang ini," kata Dawam.

Dawam juga menyebutkan perlunya menyelamatkan Pulau Jawa dari kerusakan akibat industrialisasi dan urbanisasi. Pulau Jawa perlu dikhususkan menjadi daerah pertanian dan kehutanan mengingat pulau itu merupakan daerah tersubur di Indonesia. Sebagian industri harus dialihkan ke luar Jawa.

Berangkat dari strategi kebudayaan, pengembangan teknologi di Indonesia seyogianya disesuaikan dengan sumber daya alam dan keterampilan yang dimiliki. Misalnya, Indonesia mampu menguasai teknologi pupuk organik, bioenergi, mebel bermutu dunia, kerajinan, dan industri rumah tangga untuk pasar dunia. (ELN)

Thursday, July 26, 2007

Harga Diri
Kejujuran yang Berujung Pemecatan

Andy Riza Hidayat

Berbuat jujur memang tidak mudah karena tak selamanya kejujuran berujung manis. Kejujuran kerap membentur tembok besar yang akhirnya hanya menyisakan kepahitan.

Gambaran itu tergurat di raut wajah belasan guru dari 27 guru anggota Komunitas Air Mata Guru (KAMG) yang menghadapi pemberhentian dan pengurangan jam mengajar. Ternyata melaporkan dan menolak terlibat kecurangan justru mengantarkan mereka sebagai pecundang.

Dina Andriani Siregar (26) salah satu dari belasan guru yang mendatangi Kantor Kompas, Senin (23/7) sore. Kepedihan Dina terasa lebih dalam daripada para guru lain. Guru muda lulusan Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Medan (Unimed), Sumatera Utara, itu tak bisa mengajar untuk tahun ajaran 2007-2008.

Ia lebih muda dari guru yang lain. Maklum, baru satu setengah tahun mengajar di Yayasan Perguruan Methodist Tanjung Morawa, Deli Serdang. Pemberhentian dirinya dari kegiatan mengajar yang tanpa ada alasan itu tak bisa diterima Dina.

Sebagai guru muda, Dina sudah sekuat tenaga berusaha menjadi guru yang baik sesuai ilmu yang diperoleh di kampus. Kenyataan bicara lain. Sekolah tidak lagi memakainya sebagai tenaga pengajar. Lebih pahit lagi, pengumuman itu disampaikan menjelang tahun ajaran baru.

Perempuan lajang itu pun tak sempat melamar pekerjaan ke tempat lain. Namun, niatnya menjadi guru tetap terjaga. Dua lamaran telah dilayangkan ke lembaga pendidikan lain.

Dina dan 26 guru itu adalah yang melaporkan kecurangan dan menolak terlibat kecurangan selama ujian nasional, April lalu. Kecurangan yang diduga kuat dilakukan secara sistematis terbukti ada di Medan dan daerah lain di Sumut.

Tolak

Dina mengingat-ingat kesalahan yang mungkin pernah dibuatnya. Sambil menggeleng- gelengkan kepala, ia berkata, dirinya tidak membuat kesalahan fatal. Bahkan, sebelum dipecat, Dina mengajar 33 jam seminggu. Ia bahkan sempat dipercaya mewakili sekolah mengikuti pelatihan guru se-Sumut

Kalau bisa disebut kesalahan, Dina yang berasal dari Pangaribuan, Tapanuli Utara, itu menduga keterlibatannya dalam KAMG. Sebelum ujian nasional berlangsung, sekolah memintanya hadir saat ujian nasional. Permintaan itu dirasa aneh karena guru bidang studi yang diujikan tidak boleh hadir kala ujian berlangsung. Rupanya sekolah memintanya menjadi salah satu tim sukses. Dina menolak.

Sejak itu namanya masuk dalam "daftar hitam" guru di SMA Methodist Tanjung Morawa, Deli Serdang. Di sekolah tersebut, terdapat tujuh nama yang mendapat perlakuan tidak mengenakkan. Mereka adalah Palti, Eflina, Roida, Naina, Natalius, Rive (Rivenaun Panggabean), dan Dina. Tujuh nama itu pula yang tersebar dalam SMS orang-orang yang harus disingkirkan di Yayasan Perguruan Methodist Tanjung Morawa.

Lain lagi yang dialami Rivenaun Panggabean (32), rekan kerja Dina. Rive kini hanya dijatah 10 jam mengajar dari yang sebelumnya 30 jam.

"Status wali kelas saya juga dicabut. Saya tidak pernah menerima alasan dari sekolah mengapa ada keputusan ini," tutur Rive yang mengajar selama tujuh tahun. Sama halnya dengan Dina, pada saat ujian nasional berlangsung Rive memberanikan diri bersikap jujur. Saat itu dia menarik dua lembar jawaban yang diedarkan guru di tempatnya mengawas di SMA Desa Maju, Desa Negara, Kecamatan Tanjung Morawa. Pihak sekolah diwakili Kepala Sekolah P Silitonga mengatakan, pengurangan jam mengajar bisa terjadi pada siapa pun, sesuai dengan standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.

Dina dan Rive merasa sendiri. Beban yang menimpa mereka hanya bisa disampaikan ke teman-temannya di KAMG.

Dina, Rive, dan guru yang tergabung dalam KAMG menunggu uluran tangan pemangku keputusan. DPRD Sumut, yang pernah memediasi pertemuan antara pihak yayasan, para guru, dan dinas pendidikan, diharapkan mencarikan solusi.

Dalam pertemuan yang berlangsung 4 Juli 2007 itu disepakati, tidak akan ada sanksi bagi guru pelapor kecurangan ujian nasional. Namun, hingga hari ini mereka belum bertindak. "Wakil rakyat yang berasal dari kampung kami mencibir kami ini komunitas air mata buaya," kata Rynaldi A Gultom, guru SMP Tri Murti Medan.

Ketua Komisi E DPRD Sumut Timbas Tarigan membenarkan adanya kesepakatan perlindungan bagi guru itu. Hanya saja, DPRD secara resmi belum menerima informasi soal guru yang menerima sanksi.

Dalam konteks ini, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal menyatakan tetap memberi perlindungan kepada sejumlah guru di Medan yang mengalami tekanan pascapembongkaran kasus ujian nasional beberapa waktu lalu.

Untuk perlindungan para guru tersebut, ia mengatakan, panduannya adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. "Perlindungan itu kemudian merujuk pada aturan yang berlaku. Pegawai negeri sipil mengikuti ketentuan perundangan untuk pegawai negeri sipil. Untuk guru swasta disesuaikan dengan kontrak kerja yang mengikat hubungan kerja antara guru dan penyelenggara satuan pendidikan," ujarnya.

Fasli mengatakan, "Kami tidak akan membiarkan para guru itu sendiri. Pasti akan dilindungi. Departemen Pendidikan Nasional telah bekerja sama dengan LKBH di 33 provinsi," ujarnya. (INE)

Monday, July 23, 2007

Biaya Sekolah
Kebijakan Pendidikan yang Memiskinkan

Anton Novenanto

"Seperti biasa," begitu kata berita di sebuah stasiun televisi swasta, "menjelang tahun ajaran baru kantor pegadaian banyak didatangi orang." Diceritakan kemudian, di Banten, ibu-ibu rumah tangga mendatangi kantor pegadaian sambil membawa beberapa lembar kain yang dimilikinya. Satu lembar kain dihargai Rp 5.000.

Jika mereka membawa sepuluh lembar kain, uang Rp 50.000 sudah di tangan. Ada juga yang membawa panci/rantang untuk digadaikan. Harga barang yang terakhir ini sedikit lebih mahal dibandingkan selembar kain.

Uang hasil menggadaikan barang itu akan digunakan sebagai tambahan modal untuk mendaftarkan anak-anak mereka masuk ke sekolah. Memang sedikit hasil yang didapat, namun bagi mereka ini cukup berarti daripada tidak ada tambahan dana sama sekali.

Perihal pendanaan pendidikan masih menjadi akar dari tidak tuntasnya problem pendidikan di Indonesia. Masih banyak anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa sekolah, atau harus putus sekolah, hanya gara-gara tidak bisa membayar biaya sekolah.

Beragam usaha pun dilakukan untuk meminimalkan angka putus sekolah ini. Di beberapa daerah sudah muncul inisiatif dari pemerintah setempat untuk menekan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) di sekolah-sekolah negeri menjadi serendah mungkin. Bahkan, ada yang menggratiskan SPP untuk sekolah negeri.

Kebijakan menggratiskan SPP bisa dilihat sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap pentingnya akses atas pendidikan. Namun, rupanya kebijakan semacam ini masih belum menyentuh pada akar masalah kesulitan pendanaan pendidikan keluarga miskin, apalagi menyelesaikan masalah. Di Jakarta, meskipun sebagian besar warga miskin sudah mendengar tentang kebijakan pemerintah daerah yang menggratiskan SPP, namun mereka masih khawatir tidak bisa membiayai sekolah anak-anaknya (Kompas, 13/6).

Kebijakan menggratiskan SPP memang cukup efisien bagi pemerintah dan kepala daerah untuk menarik perhatian publik, sekaligus mendongkrak citra dan popularitasnya. Akan tetapi, SPP bukanlah komponen utama (dan terbesar) ketika berbicara tentang biaya pendidikan. Ada komponen biaya pendidikan lainnya yang menghantui warga masyarakat. Ironisnya biaya pendidikan yang menghantui ini muncul akibat kebijakan yang dibuat pemerintah sendiri.

Dari buku hingga UN

Tentang buku pelajaran, misalnya. Sekarang bukan zamannya kakak kelas bisa mewariskan buku kepada adik kelasnya. Mulai tahun ajaran 2007/2008 nanti, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sudah berganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Artinya, buku pelajaran yang digunakan pun harus ganti. Buku yang dipakai tahun ini tidak bisa dipakai untuk tahun berikutnya.

Kondisi semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. Hampir setiap tahun buku pelajaran harus ganti, seiring dengan berubahnya kurikulum yang diberlakukan pemerintah. Meskipun kurikulum tidak berganti, namun buku pelajaran harus direvisi untuk mencapai kesempurnaan, yaitu kesesuaian dengan kurikulum yang berlaku. Setelah beberapa tahun berjalan, ketika buku sudah sesuai dengan kurikulum, pemerintah pun membuat kebijakan untuk mengganti kurikulum.

Logika buku pun tak kalah dengan prinsip yang dipakai oleh produk-produk instan, "sekali pakai langsung buang". Pergantian kurikulum memang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita, namun pemerintah seperti tidak pernah jera melihat efek domino dari pergantian kurikulum itu.

Hal ini dilihat sebagai peluang proyek bagi pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan dari siswa. Tak jarang pihak sekolah pun terlibat dalam proyek pengadaan buku dengan mewajibkan siswanya untuk membeli buku pelajaran melalui sekolah. Namun, pengadaan buku kolektif oleh pihak sekolah pun tidak membuat harga buku jadi lebih murah dibandingkan harga di toko buku. Tak jarang, harga buku yang ditawarkan sekolah jauh di atas harga "normal".

Lalu, siapa yang bisa membeli buku? Ya, tentu saja, anak yang berasal dari keluarga mampu, sementara anak-anak dari keluarga miskin hanya bisa gigit jari. Buku sebagai gudang ilmu pun semakin jauh dari kelompok yang terakhir, pengetahuan pun semakin sulit terjangkau.

Kebijakan lain yang juga berdampak pada masalah membengkaknya dana pendidikan adalah ujian nasional (UN). Sistem UN telah mendorong para siswa, guru, dan orangtua untuk terikat dengan layanan jasa yang ditawarkan lembaga bimbingan belajar (baca: bimbingan tes). Peran guru sebagai pendidik pun digantikan oleh para pengajar bimbingan tes. Siswa dilatih agar terampil mengerjakan soal secara benar, tanpa perlu mengetahui substansi dari mata ajar yang dikerjakan.

Akibatnya, bisa jadi siswa yang memiliki cukup uang dan bisa ikut bimbingan tes punya kesempatan yang lebih besar untuk lulus UN karena mereka bisa menjawab soal-soal UN secara lebih cepat dan tepat. Nasib kurang beruntung dialami siswa dari keluarga pas-pasan yang tak memiliki kelebihan uang untuk ikut bimbingan tes. Akibatnya, semakin sedikit dari kelompok ini yang menjadi terampil dalam mengerjakan soal-soal UN. Kesempatan untuk lulus pun semakin jauh.

Salah satu tujuan pendidikan adalah kesempatan untuk menaikkan status sosial keluarga miskin. Akan tetapi, dari fakta kebijakan pendidikan yang ada justru mengarah pada hal yang sebaliknya. Sekolah sebagai sarana meningkatkan martabat keluarga miskin hanyalah mitos belaka. Sekolah telah menjadi sarana utama untuk mengisap modal-modal ekonomi masyarakat, berlaku juga bagi keluarga miskin. Maka benarlah yang ditulis sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu, sekolah pun hanya berfungsi untuk mereproduksi perbedaan dalam masyarakat.

Pendidikan yang berkualitas butuh biaya yang tidak murah. Kondisi ekonomi keluarga memang kerap tidak bersahabat bagi anak-anak dari keluarga miskin yang ingin mendapatkan pendidikan yang layak. Pertanyaannya, apakah biaya pendidikan itu harus ditanggung sendiri oleh anak-anak dari keluarga miskin? Tak bisakah pemerintah membuat kebijakan yang memang memerhatikan kepentingan anak-anak ini?

anton Novenanto Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Brawijaya

Friday, July 20, 2007

Nasib Guru yang Memilukan

Agus Suwignyo

Ribuan guru berunjuk rasa lagi, Kamis (19/7). Mereka antara lain menuntut perbaikan nasib dan kejelasan profesi.

Sehari sebelumnya guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) sekolah negeri mengadukan belum adanya surat keputusan pengangkatan sebagai tenaga honorer ke DPRD (Kompas Yogyakarta, 19/7/2007).

Masalah kesejahteraan guru merupakan masalah kompleks dan mendasar dalam dunia pendidikan kita. Bukan hanya status kepegawaian yang tak jelas, penghasilan guru pun amat rendah sehingga banyak guru honorer tak mampu menyekolahkan anak mereka. Nasib guru sungguh pilu.

Mengapa pemerintah tak berdaya menyelesaikan masalah kesejahteraan dan kepegawaian guru? Sejauh mana Undang- Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mampu mendorong pemerintah meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan para guru?

Kepastian

Dari waktu ke waktu, tuntutan guru masih sama, yaitu kepastian profesi dan kesejahteraan. Pertama, penghasilan guru ditingkatkan, disesuaikan dengan laju kenaikan biaya hidup.

Kedua, status kepegawaian diproyeksikan secara jelas dan definitif. Dalam unjuk rasa di Yogyakarta, GTT dan PTT hanya menuntut surat keputusan tenaga honorer agar dapat masuk daftar tunggu menjadi PNS! Amat sederhana!

Meski demikian, tampaknya pemerintah tidak pernah mau memahami hal itu. Reaksi Pemerintah Indonesia atas tuntutan guru selalu sama. Pertama, anggaran negara selalu dinyatakan belum cukup untuk menaikkan gaji guru. Kedua, proyeksi penetapan status kepegawaian terkendala tuntutan peningkatan kompetensi guru.

Zaman Belanda

Ketika jumlah sekolah desa meningkat tajam di Jawa (1907) dan Sumatera (1917), para guru pribumi di sekolah desa resmi menuntut status guru bantu. Bersamaan dengan itu, para guru berbangsa Belanda yang penghasilannya nyaris 10 kali lipat penghasilan guru pribumi menuntut kenaikan gaji.

Pemerintah kolonial Belanda menanggapi, meski siang-malam telah menjadi guru di desa-desa, para guru pribumi yang rata-rata tamatan Sekolah Kelas 2 harus lulus kursus guru bantu lebih dulu untuk dapat diangkat. Selain itu, gaji guru tidak dapat dinaikkan karena anggaran tersedot proyek transmigrasi dan perang.

Setelah Indonesia merdeka, masalah guru-guru pribumi tak banyak berubah. Banyak guru SD lulusan Sekolah Guru B-Puteri Ungaran tahun 1950-an yang dijanjikan formasi begitu menyelesaikan pendidikan, misalnya, terkatung-katung sebelum akhirnya diangkat sebagai guru pemerintah. Dengan penghasilan rata-rata Rp 280 per bulan, para guru ikatan dinas itu mengajar di pelosok-pelosok desa sebagai tulang punggung gerakan pemberantasan buta huruf.

Lebih tragis, para guru di institusi yang pada zaman Belanda disebut sekolah liar (wilde scholen), yaitu mereka yang menentang kebijakan pendidikan kolonial dan berjuang demi sistem pendidikan nasional Indonesia, tidak diprioritaskan diangkat sebagai guru negeri oleh Pemerintah Indonesia. Prioritas formasi pegawai pada tahun-tahun pertama setelah proklamasi Indonesia justru para guru yang pada masa Belanda adalah guru Pemerintah Belanda.

Kini meski komitmen dalam UU Guru dan Dosen telah amat jelas untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, realitasnya masih jauh panggang dari api.

Pertama, target sertifikasi yang terus diulur-ulur tanpa kejelasan pelaksanaan dijadikan alasan pemerintah menolak segera memberikan tunjangan profesi guru.

Kedua, upaya upgrading para guru ke S-1 sebagai syarat sertifikasi tidak mendorong pemerintah segera menetapkan model pendidikan, kurikulum, dan lembaga pelaksana. Alasannya, dana terbatas.

Ketiga, yang paling apes adalah guru honorer, GTT, dan PTT. Meski ada yang bergelar S-1, guru dengan status kepegawaian itu harus menunggu lama untuk dapat ikut sertifikasi dan menuntut tunjangan profesi. Alasan pemerintah, prioritas pemerintah adalah guru-guru S-1 dengan status kepegawaian penuh. Artinya, perjuangan guru honorer serta GTT-PTT masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru dan Dosen.

Dengan kesejahteraan yang amat minim, ketidakpastian pekerjaan, dan beban biaya hidup kian berat, mampukah para guru menjadi sumber inspirasi pengembangan diri bagi murid-murid? Realistiskah menuntut mereka mengajar dengan profesionalitas dan kesungguhan.

Langkah nyata

Tak ada pilihan, pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk menyelesaikan aneka masalah kesejahteraan guru.

Pertama, tersedianya dana untuk kesejahteraan guru adalah keharusan. Lupakan idealisme pendidikan sebagai pembangun pilar nasionalisme dan kebudayaan. Persoalan nyata kini adalah perut lapar guru dan keluarganya. Masalah kesejahteraan terkait isu kemanusiaan, bukan hanya politik kebijakan pendidikan.

Kedua, peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan dilakukan secara simultan. Tahap-tahap status kepegawaian, upgrading kualifikasi, dan pemberian tunjangan perlu dipertahankan demi kualitas. Pelaksanaannya harus bersamaan untuk memenuhi tuntutan tahapan kualifikasi, guru honorer tidak perlu menunggu proyek sertifikasi.

Ketiga, pemerintah perlu melibatkan institusi pendidikan swasta. Pemerintah tampaknya tidak cukup gesit menjabarkan amanat UU Guru dan Dosen karena birokrasi. Harus dibuat kerangka kerja sama pemerintah-swasta.

Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam, Sedang Meneliti Sejarah Pendidikan Guru

UN Hanya Mengobati Simtom

T Raka Joni

Tanpa dikehendaki, ujian nasional yang diselenggarakan dengan niat baik beberapa kali menyemai kecurangan. Yang menyedihkan, kecurangan itu dilakukan melembaga, mengubah wajah kriminal biasa menjadi kerusakan budaya yang parah.

Akibat parahnya kerusakan budaya di bidang pendidikan, peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air kian jauh dari jangkauan. Ancaman terhadap mutu pendidikan di Tanah Air hanya dijawab dengan mengkriminalkan segelintir pelaku kecurangan. Itulah yang membuat sesak mereka yang peduli terhadap masa depan putra-putri Tanah Air.

Simtom dan akar masalah

Jika digunakan metafor bidang medik, kecurangan yang meluasnya itu adalah simtom, tidak berbeda dari naiknya suhu badan. Meski untuk memulihkan rasa nyaman, hal itu bisa diatasi dengan kompres dingin, bahkan dengan minum obat. Namun, pemulihan kesehatan hanya bisa dilakukan dengan menetralkan faktor pemicu naiknya suhu badan, misalnya mengatasi mikroba patogen yang masuk tubuh. Tanpa pembasmian akar masalah, pemulihan kesehatan tidak akan pernah tercapai.

Lalu, apakah akar merebaknya kecurangan sebagai simtom yang menyertai ujian nasional (UN) pada masa lalu?

Faktor yang menjadi penyebab simtom yang menyertai UN tidak sederhana. Susahnya lagi, faktor-faktor tersebut ternyata berpengaruh secara bertemali. Meski demikian, akar dari berbagai permasalahan itu harus ditemukan sehingga faktor-faktor penyebab tersebut secara sistematis bisa diatasi. Dua dari sekian akar persoalan itu ialah pilihan kebijakan yang agaknya kurang tepat dan peraturan yang tampaknya kurang cerdas.

Pilihan kebijakan

Dalam kaitan dengan UN, ada tiga standar yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu Penilaian Hasil Belajar oleh (a) pendidik, (b) satuan pendidikan, dan (c) pemerintah. Apabila akan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, arah pilihan sebenarnya sudah jelas, yaitu penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Namun, pilihan caranya yang kurang tepat. Alih-alih menggunakan pendekatan yang mengaitkan hasil UN peserta didik dengan aneka indikator kualitas pembelajaran di sekolah asal peserta UN bersangkutan sehingga menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kelemahan penyelenggaraan pembelajaran di tingkat satuan pendidikan yang dapat diagregasikan ke tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi, Pemerintah memilih untuk melaksanakan apa yang lebih tepat dinamakan ebtanas.

Karena itu, peluncuran UN dari tahun ke tahun tidak menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kelemahan penyelenggaraan pembelajaran dalam satuan dan wilayah pendidikan di Tanah Air.

Penulis pernah mengusulkan pilihan ketiga ini dengan mengadaptasi pendekatan yang digunakan Departemen Pendidikan Pemerintah Federal AS yang dinamakan National Assessment of Educational Progress (NAEP) (Kompas, akhir 2005).

Di negara asalnya, prakarsa perbaikan berdasarkan informasi diagnostik yang dikumpulkan melalui NAEP itu sebagian besar ada di tangan pemda.

Kurang cerdas

Dengan diterbitkannya PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pendidikan di Tanah Air ini dikepung oleh standar nasional dari delapan penjuru angin. Namun, perbaikan tampaknya sulit diharapkan karena peraturan yang kurang cerdas.

Meski ada banyak contoh, dua contoh perlu disebutkan. Implementasi Sertifikasi Guru, yang sebenarnya amat menjanjikan, kenyataannya terseok-seok, antara lain karena ketentuannya bertabrakan dengan ketentuan tentang otonomi daerah. Belum lagi cacat-cacat lain yang bersifat akademis. Peran sekolah sebagai lembaga yang potensial menyemaikan nilai-nilai penopang integrasi bangsa juga akan terseok-seok langkahnya karena standar kompetensi lulusan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara dalam Peraturan Mendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan menyatakan, target penguasaan kompetensi di jenjang SD/MI ialah "Mengenal Keragaman", di jenjang SMP/MTs adalah "Memahami Keragaman", dan di jenjang SMA/MA ditetapkan target "Menghargai Keragaman". Mau ke mana, pendidikan Indonesia?

T Raka Joni Guru Besar Psikologi Pendidikan UM Malang

Thursday, July 19, 2007


Pendidikan Beraroma Pasar

Oleh : Emat S Elfarakani

Guru PKn SMA Negeri 9 Bogor dan SMK Taruna Andigha Bogor

Setelah beberapa bulan yang lalu orangtua direpotkan dengan Ujian Nasional (UN), sekarang orang tua dipusingkan lagi dengan berbagai kebutuhan untuk memulai tahun ajaranbaru. Sepertinya, beban yang bertubi-tubi itu memang harus dipikul oleh para orangtua sendiri. Animo masyarakat yang begitu besar untuk mencerdaskan purta-putrinya ternyata belum sebanding lurus dengan kebijakan pemerintah. Lalu di mana sebetulnya peran negara, yang katanya tidak bersistem kapitalis ataupun sosialis komunis, tapi bertumpu pada sistem keadilan sosial ini?

Kita setuju bahwa pendidikan berkualitas memang memerlukan biaya yang mahal, namun haruskan semua itu dibebankan kepada rakyat? Haruskan masalah pendidikan juga diserahkan kepada mekanisme pasar, sedangkan kemampuan setiap individu untuk mendapatkan hak dasarnya pasti berbeda?

Sejak awal bangsa ini berdiri, sepertinya bidang pendidikan termasuk yang paling tertinggal, sehingga tidak aneh kualitas pendidikan kita jalan di tempat, bahkan cenderung mundur. Karena pendidikan merupakan sistem rekayasa sosial, maka kenyataan ini bukanlah terjadi karena siklus alamiah, melainkan lebih disebabkan oleh sistem pendidikan yang tidak jelas arahnya.

Bisnis sekolah
Satu yang tampak jelas dari sistem pendidikan kita adalah menjadikan sekolah sebagai coorporate education yang kental nuansa bisnisnya, baik di sekolah negeri apalagi swasta. Lalu siapakah yang diuntungkan? Jelas yang sangat diuntungkan oleh situasi ini adalah pemerintah. Semakin besar peran dan tanggung jawab masyarakat dalam dunia pendidikan, semakin kecil peran dan tanggung jawab pemerintah dan semakin kecil pula subsidi yang bakal dikeluarkan. Bahkan ini akan menjadi alasan pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab, karena rakyat sudah diangap mampu.

Situasi ini diperjelas lagi dengan akan disahkannya RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Singkatnya, RUU ini akan melegalkan badan hukum atau semacam badan usaha yang berhak 'menjual' jasa pendidikan kepada rakyat. Atau dengan kata lain, RUU ini akan menjadikan sektor pendidikan sebagai komoditas yang layak dijual sesuai mekanisme pasar.

Semakin tinggi permintaan, maka akan semakin mahal daya tawarnya. SD sampai perguruan tinggi yang dianggap 'favorit' semakin tak terjangkau oleh rakyat banyak. Padahal, tidak sedikit putra-putri bangsa ini yang berotak encer yang tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya (lihat Pasal 5 UU No 20 Tahun 2003). Betul, memang ada beasiswa, tapi dalam sistem pendidikan yang cenderung kapitalis beasiswa tidak lebih dari sekadar basa-basi. Bisnis jasa pendidikan di lembaga-lembaga swasta mungkin masih bisa dipahami, namun yang menyesakkan dada, ternyata ini juga terjadi di lembaga milik pemerintah. UI, ITB, IPB, UGM yang lebih dulu diprivatisasi menjadi BHMN atau plesetan dari BUMN di sektor jasa pendidikan, menjadikan lembaga ini harus memutar otak untuk mencari dana operasional pendidikan agar tetap survive.

IPB menkonversi aset-asetnya menjadi Botani Squer, Plaza Ekalokasari, jasa konsultan pertanian. Selain membuka jalur khusus, UI harus membuka PT Daya Makara yang bergerak di bidang perdagangan, komunikasi dan pendidikan. UGM harus membuka Gama Wisata, PT Gama Techno, Gama Book Store, dan lain sebagainya (Bisnis Indonesia, 22/06/06).

Ada hal yang patut dipertanyakan dengan kasus-kasus tersebut. Jika usaha-usaha itu tidak bisa menutup biaya operasional pendidikan, kepada siapakah PT tersebut meminta biaya tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut? Lagi-lagi rakyat mejadi taruhan. Kemudian kalau para akademisi kita disibukkan dengan mengelola pundi-pundi bisnisnya, kapan mereka menyempatkan waktu untuk meningkatkan kualitas intelektualnya? Kapan mereka melakukan penelitian? Ternyata kualitas pendidikan menjadi taruhan.

Lalu, kalau RUU BHP ini jadi disahkan, bagaimana nasib SMA, SMP, SD terutama negeri? Sepertinya nasibnya tidak akan jauh dengan PT negeri, harus menjadi semacam Badan Hukum Milik Daerah (BHMD) atau istilah lainya BUMD di bidang pendidikan. Sebenarnya ada peluang bagi bangsa ini untuk mewujudkan pendidikan gratis bagi rakyatnya di semua jenjang, andai pemerintah komitmen dengan amanat UUD Negara 1945 Pasal 31 ayat 4, bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen APBN.

Namun, sepertinya peluang itu semakin tertutup. Andai di tahun 2009 anggaran pendidikan mencapai 20 persen APBN, pendidikan tidak akan lantas menjadi gratis. Pemerintah telah menyiapkan aturan seperti UU dan PP, yang memberikan peluang kepada satuan pendidikan untuk mengelola diri sendiri (manajemen berbasis sekolah) dengan dalih otonomi sekolah. Sehingga tidak aneh jika ada sekolah yang menolak BOS atau walau mendapatkan BOS tetap sekolah diperbolehkan mengutip iuran dari masyarakat dengan berbagai alasan. Jika kondisinya seperti ini, harapan sekolah gratis di semua jenjang tinggalah impian.

Sekolah bisnis
Setelah para orangtua dibebani kebijakan pemerintah yang sangat memberatkan, ternyata masalahnya tidak sampai di situ. Orangtua juga ingin anaknya setelah lulus sekolah mendapat pekerjaan yang layak. Sudah mendarahdagingnya paham materialisme di kalangan masyarakat kita, membuat dunia pendidikan pun diukur dengan materi. Gejala ini terlihat dengan semakin banyaknya orangtua yang mencari sekolah yang menjamin anaknya bisa langsung kerja. Program atau jurusan berbau bisnis yang prosfektif selalu menjadi incaran orangtua.

Kondisi ini diperparah dengan kurikulum kita yang cenderung sekuler, memisahkan pendidikan agama dan pendidikan umum (pasal 15 UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003). Sudah sejak lama pendidikan kita kering, hampa, dan jauh dari nilai-nilai spiritual. Konsep yang diajarkan kepada peserta didik lebih menekankan kepada bagaimana anak pintar, bagaimana anak sukses dalam berbisnis, kompeten dalam teknologi dan akhirnya sukses mendapatkan pekerjaan.

Pelajaran yang sifatnya normatif seperti agama dan Pkn menjadi sesuatu yang absurd. Etika dan moral atau budi pekerti hanya sebagai pelajaran pelengkap. Akibatnya, kita sering mendengar pelajar atau mahasiswa tawuran, terlibat narkoba, nyambi jadi PSK, aborsi, dan juga tindakan kriminal lainnya.

Benar, tujuan pendidikan nasional kita memang membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa seperti diamanatkan UU No 20 Tahun 2003. Namun iman dan takwa dalam perspektif sekuler, artinya iman dan takwa dalam urusan pribadi dan tidak dalam urusan publik, sehingga tidak aneh ada profesor doktor yang terlibat korupsi.

Di tengah kondisi sekolah yang mahal, kualitas pendidikan yang masih mengkhawatirkan, tidak maching-nya antara dunia pendiddikan dengan dunia kerja, maka sudah saatnya negara mengambil solusi yang tepat. Mari kita belajar dari Jerman yang bisa menggratiskan pendidikan di semua jenjang untuk warganya, bahkan warga negara asing. Jerman paham betul jika pendidikan kepada mekanisme pasar, maka kualitas rakyatnya menjadi taruhan. Sebagai bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya alam, kita yakin bahwa Indonesia bisa mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan gratis.

Ikhtisar - Komersialisasi pendidikan bergerak semakin parah dan kian memberatkan para orangtua.
- Kondisi ini membuat mimpi tentang berjalannya pendidikan gratis secara massal di negeri ini menjadi semakin sulit untuk diwujudkan.
- Dampak yang juga serius dari komersialisasi pendidikan ini adalah diukurnya hasil pendidikan hanya dari hal-hal yang bersifat materi.
- Negara semestinya bertanggung jawab untuk menjalankan pendidikan yang membuat rakyatnya beriman dan bertakwa dalam semua area.

Reforestasi Global

William Chang

Kamu akan kehilangan hakmu, yang akan dirampas oleh orang-orang asing dan para spekulan, yang pada gilirannya akan menjadi tuan dan pemilik; sedangkan kamu, hai anak-anak negeri, akan terusir dan tidak akan menjadi apa-apa.
(C Brooke, 1915)

Kebenaran puisi Nubuat Raja Putih karya Charles Brooke (1829-1917) penguasa Sarawak sejak 3 Agustus 1868 mulai terkuak.

Nubuat itu antara lain mengingatkan masyarakat Dayak (sekitar empat juta jiwa) akan digusur oleh "tamu-tamu" yang menebar senyum dan kelemahlembutan. Tanah sebagai sumber hidup dan rezeki akan dikuasai.

Ramalan Brooke tergenapi. Kawasan Asia Tenggara dan Kutub Utara sedang diincar tim eksplorer karena cadangan minyak dan gas dunia mulai menipis. Kecerobohan proses eksplorasi menimbulkan rangkaian masalah sosial baru yang kompleks. Rencana eksplorasi di Sidoarjo, misalnya, mendatangkan lumpur panas. Ternyata, yang dieksploitasi bukan hanya isi perut bumi, tetapi juga hutan yang masih rimbun (bandingkan Earthnet Online).

Setiap manajer eksplorasi perlu menimbang efek ekologi agar kerusakan alam dan perbenturan sosial tidak berkepanjangan. Kompensasi yang diterima masyarakat lokal, sitir Brooke, tidak seimbang dengan kekayaan dalam perut bumi. Tampaknya fenomena deforestasi tidak akan terjadi di Indonesia jika peringatan Brooke diperhatikan.

Derita global

Terlepas dari aneka keuntungan partial, deforestasi sejak pertengahan tahun 1800-an mendatangkan derita sosial. Hasil pemantauan cuaca Inggris sejak 1861 menunjukkan, iklim dunia meningkat sekitar 0,2 derajat Celsius setiap dekade. Pemanasan global termasuk dampak deforetasi mondial. Biaya hidup manusia menjadi lebih mahal karena manusia modern harus menggunakan kipas angin, ventilator, atau AC.

Derita ini tidak hanya dialami manusia. Hewan dan dua pertiga batu karang di laut mulai rusak akibat kekurangan sinar matahari. Tidak sedikit plankton mikroskopik hancur akibat pemanasan global. Kadar udara terpolusi. Mutu air tercemar. Banjir bandang melanda kota-kota besar dan desa-desa kecil di pedalaman. Rumah penduduk dan sawah hancur. Status kosmos berubah menjadi chaos.

Eksploitasi alam berupa deforestasi tidak dengan sendirinya menyejahterakan rakyat kecil. Bahkan, kadang eksplorasi kekayaan alam memiskinkan rakyat sekitarnya. Konflik sosial kerap meletus di kawasan penambangan. Simak kasus penambangan emas di Papua dan gas di Nanggroe Aceh Darussalam. Yang menjadi kaya umumnya karyawan luar negeri, tenaga ahli, dan pemegang saham. Usaha meringankan derita masyarakat seputar daerah penambangan belum signifikan.

Reforestasi

Fenomena deforestasi perlu diimbangi dengan program reforestasi yang melibatkan segenap anasir masyarakat. Kesadaran akan pentingnya peran hutan sebagai napas dunia disosialisasi melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Penghijauan diri sendiri dan lingkungan terdekat menjadi agenda pokok. Daerah-daerah gersang dan gundul direforestasi.

Program ini didukung sejumlah negara pencinta lingkungan hidup, seperti Uni Eropa dan Australia, yang prihatin melihat dampak negatif eksploitasi kekayaan alam di Tanah Air. Sejumlah gerakan LSM berusaha memperbaiki kerusakan alam. Bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Malcolm Turnbull akan menggulirkan isu reforestasi ke ruang pertemuan The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Ke-13 di Bali, Desember 2007.

Tanggung jawab pemerintah dan politisi atas program reforestasi tak bisa disingkirkan karena kasus-kasus illegal logging yang semarak di seluruh Tanah Air tak luput dari pengetahuan oknum-oknum pemerintah. Berbagai kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan perlu disertai sistem kontrol yang transparan dan saksama. Kini dicari para pejabat pemerintah yang benar-benar ingin mereforestasi.

Yang menyedihkan, asap kembali menyelimuti Riau dan beberapa kawasan di Tanah Air. Kawasan hutan terus berkurang. Manusia sering lupa, pembakaran lahan dan penebangan sebatang pohon akan meniadakan tempat tinggal 20-an mikroba. Habitat hewan rusak dan keseimbangan alam terancam. Kesehatan manusia dan makhluk hidup terganggu asap hampa oksigen. Bagaimanakah proses reforestasi bisa berjalan jika hutan masih dibakar dan pepohonan masih ditebang tanpa aturan main?

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus; Mantan Pengajar Moral Lingkungan Hidup