Tuesday, July 3, 2007

Semakin Luas Penolakan UN SD di DPR

Jakarta-RoL-- Rencana pemerintah menyelenggakan Ujian Nasional (UN) untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) mulai tahun 2008 semakin mendapat penolakan dari DPR dan kini dinyatakan Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR RI.

Sikap PKB disampaikan Wakil Ketua FKB DPR Drs Masduki Baidlowi dan Wakil Sekretaris FKB DPR Anisah Mahfudz di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa. Sehari sebelumnya, Partai Golkar menyatakan sikap serupa.

Masduki menegaskan, UN untuk SD dikhawatirkan akan mengakibatkan siswa depresi. Bukan tidak mungkin, akan terjadi kasus bunuh diri bila anak-anak SD tidak lulus sekolah. Apalagi bila UN itu diselenggarakan secara nasional dengan standar kelulusan yang sama. "Untuk UN tingkat SMP dan SMU saja, kami menolak karena pelaksanaa UN berdasarkan PP No.19/2005 bertentangan dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)," kata Masduki.

Dia mengemukakan, hampir seluruh fraksi di DPR pernah menolak UN untuk SMP dan SMU, walaupun akhirnya hanya FKB dan PDIP yang tetap menolak. "Untuk UN tingkat SD juga seluruh fraksi di DPR menolak dan PKB akan tetap konsisten dengan sikap ini," kata Masduki.

Sikap FKB itu akan diwujudkan dengan tidak ikut membahas anggaran sebesar Rp452 miliar untuk membiayai UN tingkat SD. Anggaran sebesar itu terlalu boros dan menghamburkan APBN. "Lebih baik anggaran sebesar Rp452 miliar itu digunakan untuk membiayai perbaikan gedung SD yang banyak rusak, daripada untuk membiayai UN yang berpotensi menimbulkan depresi bagi murid SD," kata Masduki yang juga Wakil Ketua Komsi X (bidang pendidikan) DPR RI.

Jika pemerintah tetap menyelenggarakan UN untuk SD, FKB menyatakan tidak ikut bertanggung jawab atas munculnya kasus depresi siswa SD. Selain tidak akan ikut membahas anggaran untuk UN SD, FKB juga akan menyampaikan "minderheitz nota" kepada pemerintah.

FKB menyatakan, keputusan Depdiknas memberlakukan UN untuk SD mulai tahun 2008 merupakan sejarah kelam bagi dunia pendidikan nasional. Keputusan itu menunjukkan pemerintah semakin tidak memiliki rasa empati dan peduli dengan kondisi yang sedang dihadapi masyarakat, terutama peserta didik yang menolak UN, bahkan melakukan gugatan di pengadilan.

"Pemerintah berjalan atas dasar kemauan dan keinginan sendiri tanpa peduli aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat. Kebijakan pemerintah lebih didasarkan kepada orentasi proyek dan hasil, tidak ditekankan pada orentasi proses," kata Anisah.

Sikap FKB didasarkan pada pertimbangan bahwa memberlakukan UN SD bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1) UU Sisdiknas yang menyebutkan "Evaluasi akhir belaar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan".

"Dengan demikian UN telah merampas hak guru dalam melakukan penilaian dan mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, yang dinilai dalam UN hanya satu aspek, yaitu kemampuan (kognitif), sedangkan aspek lain (keterampilan/psikomotorik dan sikap/afekif) tidak diujikan sebagai penentu kelulusan," katanya. Karena itu, kata Anisah, pemerintah harus segera mencabut PP No.19/2005 sebagai dasar melaksanakan UN.

Dia menyatakan, SD di seluruh Indonesia memiliki kondisi sangat beragam dan berbeda-beda terutama yang berada di daerah pelosok, terpencil dan daerah tertinggal. Sarana dan prasarana, infrastruktur dan fasilitas pendidikan yang dimiliki sekolah dan siswa juga sangat beragam sehingga kemampuan siswa dalam menyerap mata pelajaran juga tidak sama. Untuk itu, kata Anisah, dengan diberlakukan UN SD maka sangat tidak tepat dan bertentangan dengan hak anak. UN semestinya hanya untuk mengetahui mutu pendidikan, bukan dijadikan satu-satunya untuk menentukan kelulusan.

Pemerintah telah menetapkan target penyelesaian Wajib Belajar (Wajar) Sembilan Tahun pada tahun 2008, namun dengan diberlakukan UN, dkhawatirkan akan mengganggu program Wajar Sembilan Tahun yang sebagian besar berada di daerah pelosok, pedesaan dan terpencil. Karena itu, agar program wajar tidak terganggu dan berjalan sesuai dengan target, pemerintah harus menghapus dan membatalkan UN untuk SD.

Dia menyatakan, pemerintah seharusnya dapat belajar dari pengalaman UN tigkat SMP dan SMU yang menyiksakan banyak persoalan dan mendapat protes keras dari masyarakat. Banyak anak depresi sebelum dan sesudah UN dan terjadi praktik jual-beli jawaban soal. "UN tidak memberi dampak signifikan terhadap peningkatan mutu pendidikan dan berakibat pada arah pendidikan di sekolah saat ini yang cenderung berkonsentrasi pada mata pelajaran tertentu dan mengabaikan pelajaran lainnya," kata Anisah.

mim

No comments: