KALLANOMICS
KEMAJUAN Indonesia tak bisa dilepaskan dari kualitas pendidikan nasional dalam menggembleng anak-anak bangsa. Oleh karena itu, kata Wakil Presiden M Jusuf Kalla, dunia pendidikan di Indonesia harus benar-benar meninggalkan standar ganda. Sistem pendidikan masa lalu, yang membolehkan siswa di luar Pulau Jawa memperoleh nilai lebih rendah untuk lulus, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Jawa, menurut Kalla, tak boleh terulang.
Sedangkan untuk memperbaiki kualitas pendidikan nasional, Kalla menegaskan, pemerintah akan memegang teguh komitmen untuk menaikkan kualitas pendidikan beserta anggaran pendidikan nasional secara konsisten dan semaksimal mungkin. Sekarang saja, dihadapan ribuan guru pada seminar nasional pengembangan Sumber Daya Pendidikan di Universitas Negeri Padang, Sumbar (7/7), Kalla mengungkapkan, jika gaji guru dimasukkan dalam komponen anggaran pendidikan, jumlah totalnya sudah mencapai 17,5 persen dari APBN 2007. Jadi hanya terpaut 2,5 persen dari amanat UUD 1945 yang menetapkan, bahwa anggaran pendidikan harus mencapai 20 persen dari APBN.
Data di Bappenas menunjukkan, anggaran pendidikan melesat menjadi Rp 44 triliun pada 2007, dibandingkan dengan Rp 19 triliun pada tahun lalu. Memang belum mencapai 20 persen, menurut Kalla, karena pemerintah memiliki beban yang tak terhindarkan seperti pembayaran utang, subsidi BBM, biaya kesehatan, infrastruktur dan sebagainya. Namun Kalla menolak bila masalah keterbatasan dana dijadikan alasan oleh para siswa dan mahasiswa untuk malas belajar. Di hadapan civitas akademika Universitas Andalas Padang, Wapres menunjuk Universitas Bangalore di India sebagai contoh ideal. Meski selalu dirundung masalah dana, universitas ini mampu memproduksi sarjana berkelas dunia. Ini karena para mahasiswa di sana digembleng oleh para dosen killer yang sengaja dipertahankan kampus itu.
Di Bengalore University, berlaku pepatah Profesor Shih Choon Fong (Presiden National University of Singapore), bahwa sebuah universitas yang baik adalah yang mampu mengajar dan mendidik dengan baik, dan sebuah universitas yang besar adalah universitas yang mampu melakukan transformasi sosial, edukasi dan kultural, ’’a good university teaches, a great university transforms.’’
Kita menyadari bahwa mutu pendidikan memiliki korelasi dengan kemajuan peradaban bangsa dan demokrasi. Karena itu, kata Kalla, untuk belajar demokrasi yang asasi, bangsa Indonesia tidak harus ke Amerika Serikat (AS), tetapi cukup ke Sumatera Barat (Sumbar). Di Sumbar, setiap hasil keputusan dalam musyawarah akan dilaksanakan semua pihak tanpa muncul pihak yang berlawanan di kemudian hari. “Kita bisa belajar ke Sumatera Barat bagaimana demokrasi yang sebenarnya,” kata Wapres saat menghadiri prosesi adat Batagak Tonggak Tuo, pembangunan kembali Istana Bassa Pagaruyung di Batusangkar (8/7).
Di masa lalu, demokrasi di Sumatera Barat berjalan dengan baik berkat sistem musyawarah. Dulu, publik ranah Minang bermusyawarah untuk menentukan sikap. Itulah demokrasi yang asasi. Demokrasi asasi adalah demokrasi yang tak hanya gegap oleh interupsi dan interpelasi, tapi semuanya diselesaikan dengan kearifan dan komitmen bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Di masa silam, berkat liberalisasi dan pendidikan Barat yang merambah Bukittinggi dan sejumlah kota utama lainnya di ranah Minang, lahirlah orang-orang besar founding fathers negara kita seperti M Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka dan seterusnya. Bahkan Mohamad Hatta, menjadi sangat dikenal atas sikapnya yang lurus dan pemikirannya tentang konsep Demokrasi Kita, sehingga mendapat sebutan sebagai “sufi” oleh cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid.
Tapi, sayangnya, dewasa ini kerap muncul keluhan bahwa demokrasi tradisional ala Sumbar telah mengalami berbagai distorsi akibat derasnya arus modernisme. Monetisasi dan kapitalisme telah mengubah nilai-nilai dan makna tradisi akibat liberalisasi sosio-kultural yang berjalan demikian cepat dan menyeluruh. Maka, kemerosotan moral dan intelektual tak terhindarkan. Bahkan sejarawan Taufik Abdullah sempat meramalkan, pascagenerasi Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, tak akan ada lagi pemimpin terkemuka dari Sumbar di pentas nasional.
Kini tokoh-toko sekaliber Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka sangat sulit ditemukan lagi di kalangan orang Minang, yang makin gandrung berdagang, dan berpikir/bertindak pragmatis. Akibatnya, di era reformasi ini, Sumatera Barat bukan lagi merupakan kawasan dimana demokrasi memiliki basis budaya yang kuat. Artinya, sistem demokrasi tradisional yang dulu pernah berjaya telah mengalami pergeseran nilai dan kerusakan tradisi, bahkan mengalami deviasi, sehingga rawan sogok dan korupsi. Martabat dan kehormatan orang Minang sungguh dalam taruhan, terbukti dengan maraknya praktek KKN di wilayah ini.
Banyak tradisi yang telah melepuh. Jika dulu di Inggris Lewis A Coser membahas peran kedai-kedai kopi di London pada abad ke XVIII sebagai tempat pertemuan kaum intelektual, di era kolonial di Sumatera Barat ada palanta lapau, sebagai pusat dialog publik dan membangun demokrasi yang berorientasi pada ‘alam terkembang jadi guru’. Tapi kini orientasi tersebut telah berubah, dan makin lengket pada ‘alam terkekang jadi layu’.
Karena itu, pembangunan ekonomi, politik dan sosial dewasa ini, dalam perspektif Kallanomics, harus berbasis budaya luhur dan pendidikan sebagai pilar peradaban untuk menopang keberadaannya. Dengan demikian, demokratisasi bisa diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan dan keadilan sosial. Dengan demikian, kita tidak memiliki pilihan selain meningkatkan kualitas pendidikan dan memperkuat kembali pranata-pranata sosio-kultural yang berakar pada tradisi budaya yang demokratis. Iklim yang kondusif ke arah itu harus ditegakkan.
Ingat, hari depan Indonesia terletak kepada kemajuan pendidikan bangsa, kualitas budaya, mutu demokrasi dan keputusan moral para pemimpin dan pengambil kebijakan kemarin dan hari ini.***
Herdi Sahrasad, Associate Director Media Institute dan Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina
No comments:
Post a Comment