Pendidikan Beraroma Pasar
Oleh :
Emat S Elfarakani
Guru PKn SMA Negeri 9 Bogor dan SMK Taruna Andigha Bogor
Setelah beberapa bulan yang lalu orangtua direpotkan dengan Ujian Nasional (UN), sekarang orang tua dipusingkan lagi dengan berbagai kebutuhan untuk memulai tahun ajaranbaru. Sepertinya, beban yang bertubi-tubi itu memang harus dipikul oleh para orangtua sendiri. Animo masyarakat yang begitu besar untuk mencerdaskan purta-putrinya ternyata belum sebanding lurus dengan kebijakan pemerintah. Lalu di mana sebetulnya peran negara, yang katanya tidak bersistem kapitalis ataupun sosialis komunis, tapi bertumpu pada sistem keadilan sosial ini?
Kita setuju bahwa pendidikan berkualitas memang memerlukan biaya yang mahal, namun haruskan semua itu dibebankan kepada rakyat? Haruskan masalah pendidikan juga diserahkan kepada mekanisme pasar, sedangkan kemampuan setiap individu untuk mendapatkan hak dasarnya pasti berbeda?
Sejak awal bangsa ini berdiri, sepertinya bidang pendidikan termasuk yang paling tertinggal, sehingga tidak aneh kualitas pendidikan kita jalan di tempat, bahkan cenderung mundur. Karena pendidikan merupakan sistem rekayasa sosial, maka kenyataan ini bukanlah terjadi karena siklus alamiah, melainkan lebih disebabkan oleh sistem pendidikan yang tidak jelas arahnya.
Bisnis sekolah
Satu yang tampak jelas dari sistem pendidikan kita adalah menjadikan sekolah sebagai coorporate education yang kental nuansa bisnisnya, baik di sekolah negeri apalagi swasta. Lalu siapakah yang diuntungkan? Jelas yang sangat diuntungkan oleh situasi ini adalah pemerintah. Semakin besar peran dan tanggung jawab masyarakat dalam dunia pendidikan, semakin kecil peran dan tanggung jawab pemerintah dan semakin kecil pula subsidi yang bakal dikeluarkan. Bahkan ini akan menjadi alasan pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab, karena rakyat sudah diangap mampu.
Situasi ini diperjelas lagi dengan akan disahkannya RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Singkatnya, RUU ini akan melegalkan badan hukum atau semacam badan usaha yang berhak 'menjual' jasa pendidikan kepada rakyat. Atau dengan kata lain, RUU ini akan menjadikan sektor pendidikan sebagai komoditas yang layak dijual sesuai mekanisme pasar.
Semakin tinggi permintaan, maka akan semakin mahal daya tawarnya. SD sampai perguruan tinggi yang dianggap 'favorit' semakin tak terjangkau oleh rakyat banyak. Padahal, tidak sedikit putra-putri bangsa ini yang berotak encer yang tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya (lihat Pasal 5 UU No 20 Tahun 2003). Betul, memang ada beasiswa, tapi dalam sistem pendidikan yang cenderung kapitalis beasiswa tidak lebih dari sekadar basa-basi. Bisnis jasa pendidikan di lembaga-lembaga swasta mungkin masih bisa dipahami, namun yang menyesakkan dada, ternyata ini juga terjadi di lembaga milik pemerintah. UI, ITB, IPB, UGM yang lebih dulu diprivatisasi menjadi BHMN atau plesetan dari BUMN di sektor jasa pendidikan, menjadikan lembaga ini harus memutar otak untuk mencari dana operasional pendidikan agar tetap survive.
IPB menkonversi aset-asetnya menjadi Botani Squer, Plaza Ekalokasari, jasa konsultan pertanian. Selain membuka jalur khusus, UI harus membuka PT Daya Makara yang bergerak di bidang perdagangan, komunikasi dan pendidikan. UGM harus membuka Gama Wisata, PT Gama Techno, Gama Book Store, dan lain sebagainya (Bisnis Indonesia, 22/06/06).
Ada hal yang patut dipertanyakan dengan kasus-kasus tersebut. Jika usaha-usaha itu tidak bisa menutup biaya operasional pendidikan, kepada siapakah PT tersebut meminta biaya tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut? Lagi-lagi rakyat mejadi taruhan. Kemudian kalau para akademisi kita disibukkan dengan mengelola pundi-pundi bisnisnya, kapan mereka menyempatkan waktu untuk meningkatkan kualitas intelektualnya? Kapan mereka melakukan penelitian? Ternyata kualitas pendidikan menjadi taruhan.
Lalu, kalau RUU BHP ini jadi disahkan, bagaimana nasib SMA, SMP, SD terutama negeri? Sepertinya nasibnya tidak akan jauh dengan PT negeri, harus menjadi semacam Badan Hukum Milik Daerah (BHMD) atau istilah lainya BUMD di bidang pendidikan. Sebenarnya ada peluang bagi bangsa ini untuk mewujudkan pendidikan gratis bagi rakyatnya di semua jenjang, andai pemerintah komitmen dengan amanat UUD Negara 1945 Pasal 31 ayat 4, bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen APBN.
Namun, sepertinya peluang itu semakin tertutup. Andai di tahun 2009 anggaran pendidikan mencapai 20 persen APBN, pendidikan tidak akan lantas menjadi gratis. Pemerintah telah menyiapkan aturan seperti UU dan PP, yang memberikan peluang kepada satuan pendidikan untuk mengelola diri sendiri (manajemen berbasis sekolah) dengan dalih otonomi sekolah. Sehingga tidak aneh jika ada sekolah yang menolak BOS atau walau mendapatkan BOS tetap sekolah diperbolehkan mengutip iuran dari masyarakat dengan berbagai alasan. Jika kondisinya seperti ini, harapan sekolah gratis di semua jenjang tinggalah impian.
Sekolah bisnis
Setelah para orangtua dibebani kebijakan pemerintah yang sangat memberatkan, ternyata masalahnya tidak sampai di situ. Orangtua juga ingin anaknya setelah lulus sekolah mendapat pekerjaan yang layak. Sudah mendarahdagingnya paham materialisme di kalangan masyarakat kita, membuat dunia pendidikan pun diukur dengan materi. Gejala ini terlihat dengan semakin banyaknya orangtua yang mencari sekolah yang menjamin anaknya bisa langsung kerja. Program atau jurusan berbau bisnis yang prosfektif selalu menjadi incaran orangtua.
Kondisi ini diperparah dengan kurikulum kita yang cenderung sekuler, memisahkan pendidikan agama dan pendidikan umum (pasal 15 UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003). Sudah sejak lama pendidikan kita kering, hampa, dan jauh dari nilai-nilai spiritual. Konsep yang diajarkan kepada peserta didik lebih menekankan kepada bagaimana anak pintar, bagaimana anak sukses dalam berbisnis, kompeten dalam teknologi dan akhirnya sukses mendapatkan pekerjaan.
Pelajaran yang sifatnya normatif seperti agama dan Pkn menjadi sesuatu yang absurd. Etika dan moral atau budi pekerti hanya sebagai pelajaran pelengkap. Akibatnya, kita sering mendengar pelajar atau mahasiswa tawuran, terlibat narkoba, nyambi jadi PSK, aborsi, dan juga tindakan kriminal lainnya.
Benar, tujuan pendidikan nasional kita memang membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa seperti diamanatkan UU No 20 Tahun 2003. Namun iman dan takwa dalam perspektif sekuler, artinya iman dan takwa dalam urusan pribadi dan tidak dalam urusan publik, sehingga tidak aneh ada profesor doktor yang terlibat korupsi.
Di tengah kondisi sekolah yang mahal, kualitas pendidikan yang masih mengkhawatirkan, tidak maching-nya antara dunia pendiddikan dengan dunia kerja, maka sudah saatnya negara mengambil solusi yang tepat. Mari kita belajar dari Jerman yang bisa menggratiskan pendidikan di semua jenjang untuk warganya, bahkan warga negara asing. Jerman paham betul jika pendidikan kepada mekanisme pasar, maka kualitas rakyatnya menjadi taruhan. Sebagai bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya alam, kita yakin bahwa Indonesia bisa mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan gratis.
Ikhtisar - Komersialisasi pendidikan bergerak semakin parah dan kian memberatkan para orangtua.
- Kondisi ini membuat mimpi tentang berjalannya pendidikan gratis secara massal di negeri ini menjadi semakin sulit untuk diwujudkan.
- Dampak yang juga serius dari komersialisasi pendidikan ini adalah diukurnya hasil pendidikan hanya dari hal-hal yang bersifat materi.
- Negara semestinya bertanggung jawab untuk menjalankan pendidikan yang membuat rakyatnya beriman dan bertakwa dalam semua area.
No comments:
Post a Comment