Friday, July 20, 2007

UN Hanya Mengobati Simtom

T Raka Joni

Tanpa dikehendaki, ujian nasional yang diselenggarakan dengan niat baik beberapa kali menyemai kecurangan. Yang menyedihkan, kecurangan itu dilakukan melembaga, mengubah wajah kriminal biasa menjadi kerusakan budaya yang parah.

Akibat parahnya kerusakan budaya di bidang pendidikan, peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air kian jauh dari jangkauan. Ancaman terhadap mutu pendidikan di Tanah Air hanya dijawab dengan mengkriminalkan segelintir pelaku kecurangan. Itulah yang membuat sesak mereka yang peduli terhadap masa depan putra-putri Tanah Air.

Simtom dan akar masalah

Jika digunakan metafor bidang medik, kecurangan yang meluasnya itu adalah simtom, tidak berbeda dari naiknya suhu badan. Meski untuk memulihkan rasa nyaman, hal itu bisa diatasi dengan kompres dingin, bahkan dengan minum obat. Namun, pemulihan kesehatan hanya bisa dilakukan dengan menetralkan faktor pemicu naiknya suhu badan, misalnya mengatasi mikroba patogen yang masuk tubuh. Tanpa pembasmian akar masalah, pemulihan kesehatan tidak akan pernah tercapai.

Lalu, apakah akar merebaknya kecurangan sebagai simtom yang menyertai ujian nasional (UN) pada masa lalu?

Faktor yang menjadi penyebab simtom yang menyertai UN tidak sederhana. Susahnya lagi, faktor-faktor tersebut ternyata berpengaruh secara bertemali. Meski demikian, akar dari berbagai permasalahan itu harus ditemukan sehingga faktor-faktor penyebab tersebut secara sistematis bisa diatasi. Dua dari sekian akar persoalan itu ialah pilihan kebijakan yang agaknya kurang tepat dan peraturan yang tampaknya kurang cerdas.

Pilihan kebijakan

Dalam kaitan dengan UN, ada tiga standar yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu Penilaian Hasil Belajar oleh (a) pendidik, (b) satuan pendidikan, dan (c) pemerintah. Apabila akan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, arah pilihan sebenarnya sudah jelas, yaitu penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Namun, pilihan caranya yang kurang tepat. Alih-alih menggunakan pendekatan yang mengaitkan hasil UN peserta didik dengan aneka indikator kualitas pembelajaran di sekolah asal peserta UN bersangkutan sehingga menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kelemahan penyelenggaraan pembelajaran di tingkat satuan pendidikan yang dapat diagregasikan ke tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi, Pemerintah memilih untuk melaksanakan apa yang lebih tepat dinamakan ebtanas.

Karena itu, peluncuran UN dari tahun ke tahun tidak menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kelemahan penyelenggaraan pembelajaran dalam satuan dan wilayah pendidikan di Tanah Air.

Penulis pernah mengusulkan pilihan ketiga ini dengan mengadaptasi pendekatan yang digunakan Departemen Pendidikan Pemerintah Federal AS yang dinamakan National Assessment of Educational Progress (NAEP) (Kompas, akhir 2005).

Di negara asalnya, prakarsa perbaikan berdasarkan informasi diagnostik yang dikumpulkan melalui NAEP itu sebagian besar ada di tangan pemda.

Kurang cerdas

Dengan diterbitkannya PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pendidikan di Tanah Air ini dikepung oleh standar nasional dari delapan penjuru angin. Namun, perbaikan tampaknya sulit diharapkan karena peraturan yang kurang cerdas.

Meski ada banyak contoh, dua contoh perlu disebutkan. Implementasi Sertifikasi Guru, yang sebenarnya amat menjanjikan, kenyataannya terseok-seok, antara lain karena ketentuannya bertabrakan dengan ketentuan tentang otonomi daerah. Belum lagi cacat-cacat lain yang bersifat akademis. Peran sekolah sebagai lembaga yang potensial menyemaikan nilai-nilai penopang integrasi bangsa juga akan terseok-seok langkahnya karena standar kompetensi lulusan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara dalam Peraturan Mendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan menyatakan, target penguasaan kompetensi di jenjang SD/MI ialah "Mengenal Keragaman", di jenjang SMP/MTs adalah "Memahami Keragaman", dan di jenjang SMA/MA ditetapkan target "Menghargai Keragaman". Mau ke mana, pendidikan Indonesia?

T Raka Joni Guru Besar Psikologi Pendidikan UM Malang

No comments: