Pahlawan Tanpa Penghargaan
Devisa yang masuk dari sekitar 2,7 juta tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri pada akhir tahun 2006 diperkirakan mencapai 3,4 miliar dollar AS atau setara Rp 30,6 triliun. Jumlah ini masih kalah jauh dibandingkan dengan sumbangan 8 juta buruh migran Filipina bagi negaranya yang berkisar 14 miliar dollar AS-21 miliar dollar AS per tahun.
Kendati demikian, kontribusi tenaga kerja Indonesia (TKI) terhadap perekonomian nasional tak kalah dengan sektor migas yang selama ini menjadi andalan utama. Anehnya, sumbangan itu terkesan terabaikan oleh penyelenggara negara sehingga tidak pernah serius membenahi masalah yang dihadapi TKI. Padahal, jika masalah tersebut diminimalkan, pendapatan yang diperoleh TKI lebih besar lagi dan nilai devisa yang disumbangkan otomatis meningkat tajam.
Salah satu masalah adalah ketiadaan biaya untuk mengongkosi seluruh perjalanan mereka mulai dari tempat asal hingga ke negara tujuan. Akibatnya, calon TKI terpaksa berutang, menjual, atau menggadaikan aset miliknya guna mendapatkan biaya.
Berdasarkan hasil penelitian Center for Policy and Development Studies (Clients) tahun 2003 di Kabupaten Pacitan, Ponorogo, dan Trenggalek di Provinsi Jawa Timur, dana untuk keberangkatan TKI bersumber, antara lain, dari menggadaikan aset produktif seperti tanah dan sawah (37 persen), menjual aset (21 persen), meminjam kepada sanak keluarga (17 persen), sisanya 25 persen meminjam dari calo atau PJTKI.
Uang yang dipinjam berbunga 100 persen. Jika dipinjam sebesar Rp 5 juta, harus dikembalikan sebanyak Rp 10 juta.
Untuk mengatasi masalah tersebut, sejak tahun 2006, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) telah menggalang kerja dengan sejumlah bank pemerintah, seperti Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia. Kredit tersebut khusus untuk program penempatan, perlindungan dan pemberdayaan TKI.
Pada tahun 2006, Bank Mandiri mengalokasikan dana kredit sebesar Rp 200 miliar. Jumlah kredit yang dikucurkan berkisar Rp 15 juta-Rp 20 juta per orang dengan bunga komersial. Kredit ini diberikan melalui perusahaan pengerah jasa TKI sebab lembaga itu bertindak sebagai penjamin.
"Kami memprediksikan kebutuhan dana bagi program penempatan TKI mencapai Rp 80 triliun pada tahun 2009 yang diberikan kepada 4 juta orang," kata Menakertrans Erman Suparno.
Fenomena Jawa Timur
Khusus di Jawa Timur, pemerintah setempat mengalokasikan dana APBD tahun 2006 sebesar Rp 20 miliar guna membantu 5.000 calon TKI asal wilayah tersebut. Pengucuran dana itu melalui program kredit lunak sebesar Rp 4 juta per orang. Dana itu dipakai untuk biaya pembuatan paspor, fiskal, dan tiket pesawat ke negara tujuan.
Dana tersebut dikelola Bank Jatim dan pengucuran kreditnya melalui PJTKI agar benar-benar digunakan untuk keberangkatan calon TKI. Bunga pinjaman dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur besarnya 6 persen setahun dan dibayar dengan mekanisme potong gaji 15 persen per bulan.
Biaya keberangkatan TKI sangat bervariasi sesuai negara tujuan. Ke Malaysia menghabiskan biaya berkisar Rp 6 juta-Rp 10 juta, termasuk biaya pelatihan, pembuatan paspor, fiskal, dan tiket pesawat.
"Selama ini banyak TKI asal Jatim terlilit utang karena meminjam kepada rentenir untuk biaya keberangkatan ke luar negeri.
Akibatnya, banyak TKI pulang dengan tangan hampa karena penghasilan mereka selama bekerja di luar negeri habis untuk membayar bunga utang," ungkap Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Timur Sudjono.
Jumlah TKI yang sudah dibiayai melalui dana APBD mencapai 2.362 orang. Mereka diberangkatkan oleh lima PJTKI yang berlokasi di Surabaya, Sidoarjo, dan Ponorogo.
Dalam waktu dekat, Bank Jatim kembali mendapat tambahan dana APBD sebesar Rp 5 miliar untuk membiayai pemberangkatan 470 TKI asal provinsi itu. (ETA/JAN)
No comments:
Post a Comment