Saturday, July 28, 2007

Konsumsi Pencitraan yang Butuh Teologi

Konsumsi
Pencitraan yang Butuh Teologi

Herdis Herdiansyah

Hasil penelitian Maurice Kirby dalam Business History menemukan bahwa di Inggris pada abad XVIII-XIX para Quaker yang memegang peranan dominan dalam dunia bisnis, tetapi ternyata mempraktikkan sikap ambivalen terhadap produk-produk konsumsi yang mewah.

Para pebisnis Quaker memproduksi barang-barang mewah, mulai dari jenis makanan sampai ragam alat transportasi. Namun, mereka tidak banyak memanfaatkan produk-produk itu dalam kehidupan pribadi yang memang secara ketat dikontrol oleh komunitas mereka. Maka, ketika mereka mengagungkan pola hidup sederhana, kelangsungan bisnis mereka justru sangat bergantung pada pola hidup konsumtif dari masyarakat luas.

Itulah sebabnya—sebagaimana sinyalemen sosiolog Max Weber—praktik hidup sederhana dalam tradisi masyarakat Barat yang dibarengi keteguhan kerja keras dan rasa tanggung jawab pribadi yang kuat merupakan salah satu faktor pembentuk dan penggerak masyarakat produktif, sekaligus menjadi tulang punggung kapitalisme modern. Meski demikian, seiring berjalannya waktu, masyarakat Barat yang dulu menjadi produktif karena ’etika Protestan’ ternyata ketika mereka sudah menjadi makmur, budaya kerja keras dan disiplinnya justru melemah, malah cenderung menghamba pada kesenangan dan kemudahan hidup. ’Dekadensi’ mental pun terjadi.

"Counter-culture"

Meski demikian, bagi Peter Berger (1995), dekadensi itu tidak harus disesali. Jika produktivitas meningkat dan produsen mendapatkan imbalan yang tinggi secara ekonomis, yang dibutuhkan bukan lagi etos produksi, tapi konsumsi. Karena itu, pembalikan atas etika Protestan sebenarnya tidak hanya berupa dekadensi, tetapi juga terjadi ’adaptasi kreatif’ yang dilakukan kalangan pebisnis. Itulah sebabnya sejak 1960-an dunia bisnis di Barat menghadapi apa yang disebut counter-culture, yang menggugat tak hanya penekanan kerja keras dan disiplin tinggi, juga keseluruhan sistem kapitalis modern yang dipandang eksploitatif dan tidak manusiawi.

Kalangan pebisnis kemudian merespons counter-culture ini dengan mengadaptasi nilai-nilai ’humanistik’ sebagai alat transformasi diri. Hasilnya adalah konsep-konsep semacam corporate social responsibility (CSR), program pengembangan pribadi, serta perusahaan sebagai lembaga peduli (caring institution). Secara simultan unsur-unsur counter-culture sendiri mengalami transformasi yang membuatnya lebih akuntabel dalam menjalankan aktivitas dalam berbisnis.

Sederhananya, bisnis dapat dikatakan sebagai pengaturan produksi dan konsumsi sekaligus juga upaya-upaya yang menghubungkan keduanya, seperti pemasaran dan distribusi. Karenanya, masalah konsumsi mau tak mau terkait erat dengan soal produksi. Keduanya berpegang pada prinsip keseimbangan supply-demand. Hubungan antara produksi dan konsumsi sebetulnya bersifat saling mengubah. Peningkatan produksi akan mendorong konsumsi. Begitu pula sebaliknya, naik turunnya konsumsi akan memengaruhi proses produksi.

Karena sifatnya yang saling mengubah itulah terjadi pergeseran orientasi dalam masyarakat Barat dari produksi ke perkembangan yang bersifat konsumsi. Semula konsumsi sekadar memenuhi kesenangan dan kemudahan hidup, kemudian berkembang menjadi pemenuhan konsumsi yang menuntut kondisi yang lebih adil dan manusiawi. Perubahan pola dan sifat konsumsi ini pada gilirannya mengubah pula struktur, pola, dan lembaga produksi.

Konsumsi sebagai citra

Mengingat begitu eratnya hubungan antara konsumsi dan produksi, kritik-kritik terhadap masalah konsumerisme tidaklah memadai apabila didasari oleh asumsi bahwa seolah-olah konsumerisme adalah semata-mata soal perilaku yang merupakan keputusan sadar individual. Bagi Irwan Abdullah, dalam Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (2006), masalah konsumerisme mesti dilihat juga dalam kerangka perubahan budaya masyarakat dengan segala faktor yang memengaruhi dan dipengaruhinya. Konsumerisme bagian dari perubahan gaya hidup pada sebuah kelompok masyarakat yang terdongkrak menjadi kelas menengah perkotaan.

Kelompok masyarakat ini membutuhkan alat ekspresi dan cara komunikasi yang baru, yakni berupa simbol-simbol pencitraan diri. Fungsi konsumsi bagi kalangan ini bukan lagi sekadar pemenuhan kebutuhan dasar sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat tradisional, melainkan terutama lebih merupakan sebagai ’konsumsi citra’ yang bermakna simbolis. Dalam masyarakat baru perkotaan ini konsumsi punya makna sebagai emancipatory politics dan sekaligus sebagai life politics.

Sebagai emancipatory politics konsumsi dalam masyarakat baru perkotaan lebih bermakna membebaskan manusia dari hambatan-hambatan posisi sosial tradisional, seperti kelas, jender, usia, dan etnis. Sebagai life politics, konsumsi merupakan politik aktualisasi diri dalam lingkungan yang terorganisasi secara reflektif, di mana refleksitas menghubungkan diri dengan tubuh ke dalam sistem global.

Dalam hal ini juga simbol- simbol keagamaan pun tidak luput dari proses konsumerisasi. Pemanfaatan simbol-simbol agama mengalami pergeseran menjadi lebih bersifat estetis ketimbang etis; dan lebih merupakan pilihan pribadi ketimbang sebagai pengungkapan tradisi komunal. Salah satu contoh menarik adalah program naik haji yang sekarang semakin menjadi produk kemasan yang ditawarkan oleh pasar dalam bentuk ’haji plus’ dan seterusnya.

Teologi konsumsi

Selama ini kritik-kritik anti- konsumerisme sering kali cenderung menilai bahwa konsumerisme itu menghancurkan solidaritas sosial, merusak pemulihan lingkungan, dan mencederai keberlangsungan nilai-nilai luhur tradisi budaya. Penilaian semacam ini memang sukar untuk dibantah. Meskipun demikian, kritik semacam ini cenderung menunjukkan perspektif kalangan praglobalisasi yang kurang sensitif terhadap realitas perubahan sosial dan budaya.

Pikiran-pikiran semacam ini tampak dalam pendekatan-pendekatan teologi tradisional, sebagaimana dikembangkan Denise George (1984), yang menyerukan jalan pseudo-asketisme dalam hidup bermasyarakat di masa kini. George seolah-olah menyederhanakan masalah konsumerisme sekadar tindakan perselingkuhan dengan uang, penipuan oleh produk iklan bisnis, dan sebagai pamer diri. Semua tentu bertentangan dengan sikap hidup dan ajaran agama.

Kritik-kritik antikonsumerisme sering kali justru tak mengena jika memuat pikiran bahwa seolah-olah perubahan sosial dan budaya itu bisa dihentikan. Perkembangan ekonomi dan jangkar proses globalisasi mau tak mau akan menghasilkan perubahan semacam itu. Sedemikian rupa, menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan adalah bukan sekadar kritik antikonsumerisme, tetapi juga sebentuk ’teologi konsumsi’, di mana pemenuhan konsumsi bukan sekadar demi kesenangan semata, tetapi juga pola konsumsi yang mampu mewadahi serta menampung konsep moral sosial dalam konteks kehidupan modern.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, yang dibutuhkan dalam pendekatan etis-teologis adalah ideologi yang mampu menggugah masyarakat konsumen bukan hanya untuk meningkatkan semangat memproduksi sebagai pengimbang konsumerisme. Juga meningkatkan kualitas konsumsi menjadi bukan sekadar konsumsi demi kesenangan dan keindahan, tetapi juga konsumsi yang mendorong transformasi produksi menjadi lebih sensitif secara moral. Dengan basis teologi konsumsi, diharapkan akan lebih mampu merengkuh dan mewadahi konsep moral dalam kehidupan bermasyarakat dewasa ini.

Herdis Herdiansyah Pemerhati Masalah Sosial Kebudayaan, Master Filsafat UI

No comments: