Pendidikan (Tanpa) Kebudayaan
Yonky Karman
Kita memiliki Hari Pendidikan Nasional, Hari Guru, dan Hari Anak. Ada kementerian yang membawahkan pendidikan. Dalam konstitusi tercantum anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari anggaran belanja pemerintah. Namun, angka siswa putus sekolah meningkat. Biaya sekolah tetap mahal.
Kesempatan bersekolah bagi anak dari keluarga sederhana kian sempit. Kian tertutup kesempatan memasuki pendidikan tinggi setelah swastanisasi universitas negeri. Peredaran psikotropika di kalangan pelajar meningkat. Budaya kekerasan masuk hingga ke sekolah dasar.
Maraknya jual beli gelar akademis adalah cermin banalitas pendidikan dalam masyarakat yang baru bisa menghargai gelar sebagai sarana mobilitas sosial. Sebuah iklan di harian nasional mencari tenaga terdidik dari beberapa perguruan tinggi swasta yang disebut eksplisit. Itu juga cermin banalitas pendidikan ketika kualitas alumnus dikaitkan dengan institusinya.
Megaproyek bernama ujian nasional hingga kini tetap menjadi bahan kontroversi. Pelajar menjadi lebih berkonsentrasi untuk menghadapi jenis soal dari beberapa mata pelajaran yang diuji daripada mempelajari semua mata pelajaran secara mendalam dan menyeluruh. Minat dan apresiasi terhadap humaniora kian rendah. Apakah dari karut-marut pendidikan nasional seperti ini kita bisa berharap kebangkitan dan kejayaan bangsa?
Kebangkitan bangsa pada awal abad ke-20 dipicu kesadaran para pemimpin pergerakan untuk melihat rakyat menjadi bangsa modern. Hanya dengan penyebarluasan pendidikan, rakyat tercerahkan dan terbebas dari keterbelakangan. Untuk itu, pemerintah kolonial diminta mendirikan sekolah dengan sistem beasiswa bagi pribumi berbakat. Kebangkitan bangsa lewat pendidikan.
Namun, sejauh ini hak dasar rakyat untuk memperoleh pendidikan yang layak belum terpenuhi. Pendidikan anak bangsa diabaikan. Elite politik setengah hati mencerdaskan rakyat. Mereka lebih tertarik dengan kekuasaan dan proyek. Banyak anggaran dialokasikan untuk menyejahterakan para wakil rakyat, sementara rakyat tetap lemah dan tak terdidik. Kaum muda tak terdidik masuk ke dalam barisan penganggur. Sebagian terjerumus dalam kriminalitas.
Kebudayaan di awan
Visi pendidikan nasional tanpa orientasi kultural. Pendidikan dikeluarkan dari rumah kebudayaan. Semula departemen yang membidangi pendidikan bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, nama itu berganti menjadi Departemen Pendidikan Nasional. Pendidikan dipisahkan dari kebudayaan.
Ketidakjelasan posisi pendidikan terkait kebudayaan bisa dipahami. Meski cukup lama soal pendidikan dan kebudayaan bernaung di bawah satu departemen, kebudayaan dalam praktiknya direduksi menjadi dunia pariwisata. Reduksi itu menjadi sempurna saat kebudayaan dibuat terpisah di bawah satu kementerian. Kebudayaan identik dengan warisan budaya berupa tradisi dan obyek wisata. Kebudayaan dipariwisatakan.
Kebudayaan tidak dilihat sebagai sesuatu yang dinamis, penggerak kemajuan bangsa. Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang sudah jadi, adiluhung, dibanggakan, dielus-elus, dipelihara, dijadikan rujukan, diteruskan lintas generasi. Kebudayaan diperlakukan sebagai kata benda. Padahal, kebudayaan adalah hasil kreativitas manusia dan konstruksi sosial, buah kerja keras suatu bangsa untuk bergerak maju sesuai konstelasi zaman.
Kebudayaan tidak diperlakukan sebagai kata kerja. Akibatnya, pendidikan tidak diagendakan untuk mengubah mentalitas bangsa. Penguasa dan elite politik tidak merasa ada yang salah meski mentalitas feodal menghambat pembangunan. Maka, pelaku sejarah di Tanah Air merupakan produk budaya feodal daripada produk pendidikan yang mencerdaskan dan membebaskan.
Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah produk kebudayaan. Lewat penguasaannya, suatu bangsa memasuki peradaban modern. Tetapi, kita ingin menguasai iptek tanpa perangkat lunak kebudayaan ilmiah. Akibatnya, negara yang lebih miskin dari kita sudah menghasilkan Nobel. Kita baru pada tahap nominasi. Sastrawan yang beberapa kali dinominasikan pun tidak didukung pemerintah karena kecamannya sering membuat telinga merah.
Mulai dari kebudayaan
Relasi pendidikan dan kebudayaan relevan untuk dibicarakan. Esensi Polemik Kebudayaan (1948) bukan kebudayaan an sich, tetapi relasi pendidikan dan kebudayaan. Dua pendapat berhadapan meski keduanya sama dalam cita-cita Indonesia merdeka yang jaya dan berdiri sama tinggi dengan bangsa maju. Cara mencapai cita-cita itu berbeda.
Yang satu menekankan ketimuran dan pendidikan akhlak. Kekurangan Barat dalam mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi dikecam habis-habisan. Manusia Indonesia tidak boleh meniru kemerosotan akhlak di Barat. Model pendidikan yang cocok bagi Indonesia berbasis harmoni sosial.
Yang lain melihat masalah besar justru dalam diri manusia Indonesia. Indonesia tidak memiliki tradisi intelektual karena kultur selalu mencari harmoni. Kesopanan kepada guru lebih diutamakan daripada kerajinan dan inovasi. Padahal, manusia Indonesia perlu memiliki kegelisahan seperti di Barat, yang ingin melepas diri dari kungkungan alam dan setelah berjarak, menguasai alam dan mengeksplorasinya.
Untuk membangun tradisi intelektual seperti di Barat, manusia Indonesia menjadi lebih individualistis, egoistis, dan materialistis. Mustahil manusia Indonesia menjadi manusia Barat. Barat adalah Barat. Timur adalah Timur. Tetapi, otak Indonesia harus seperti otak Barat. Jepang adalah rujukan ideal untuk bangsa maju dan tetap tradisional.
Daripada mengharap alih iptek, senjata Barat itu harus direbut. Haus ilmu adalah kunci kemajuan dan kemandirian bangsa. Untuk itu, sistem pendidikan nasional harus memikirkan kekurangan di Indonesia, bukan kekurangan di Barat. Kemerosotan akhlak di Barat adalah urusan di sana. Urusan orang Indonesia adalah mengejar pengetahuan.
Kita tidak menutup mata dengan realitas kemerosotan akhlak di negeri sendiri, tetapi janganlah Barat dijadikan kambing hitam kekurangan kita. Kemerosotan akhlak sudah lama ada. Kebobrokan bersumber di hati. Juga jangan sampai pendidikan nasional dibebankan tanggung jawab berlebihan dalam soal akhlak yang semestinya menjadi tanggung jawab keluarga.
Atmosfer pendidikan nasional kental dengan suasana feodal. Pemerintah merasa tahu yang terbaik. Guru merasa tahu yang terbaik. Namun, gairah dan apresiasi pelajar kita untuk menuntut ilmu masih rendah. Kita jauh dari substansi polemik kebudayaan.
Yonky Karman Rohaniwan
No comments:
Post a Comment