Wednesday, August 29, 2007

Departemen Perdagangan Pendidikan


Daoed Joesoef

Dalam rangka reformasi pendidikan, pemerintah menyiapkan Rancangan Undang-Undang "Badan Hukum Pendidikan" atau BHP.

BHP adalah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan formal, pendirinya pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Dua kali saya baca dan merenungi rancangan BHP ini.

Mengubah nama

Rencana ini tidak konsekuen. Seharusnya mencantumkan pasal penyempurnaan berupa perubahan nama "Departemen Pendidikan Nasional" (Depdiknas) menjadi "Departemen Perdagangan Pendidikan" (Depdagpen). Atau, demi efisiensi, menutup Depdiknas, semua kegiatan ditransfer ke Departemen Perdagangan, menjadi "Direktorat Jenderal Perdagangan Pendidikan". Dengan demikian, pemerintah menghemat pengeluaran untuk gaji dan fasilitas menteri, dirjen, direktur, dan lainnya.

Ada pertanyaan menggelitik. Apakah saat menyusun konsep rancangan BHP, pemerintah sejak awal menyertakan (staf) Depdiknas? Jika "tidak", bunyi yang tersurat dan tersirat dari rancangan itu sungguh melecehkan eksistensi Depdiknas. Jika jawabannya "ya", (staf) Depdiknas sendiri ternyata melecehkan diri sendiri. Jika demikian, Depdiknas dibubarkan saja karena tidak menghayati lagi esensi pendidikan, mengingkari makna dan misi suci kelembagaannya bagi Negara-Bangsa Indonesia.

Pemerintah tidak menyadari dua dasar. Pertama, hasil kerja iptek memang bisa, boleh, dan pantas dijual. Namun, pendidikan ke arah penguasaan skills ke-iptek-an tak selayaknya diperdagangkan. Any scientific knowledge is public knowledge!

Kedua, demokrasi dalam pendidikan adalah mutu tinggi bagi jumlah anak didik yang semakin besar karena tidak dibatasi pada yang mampu membayar saja. Inilah gunanya kebijakan "Wajib Belajar", sebisa mungkin hingga SMA. Bukankah menurut rancangan ini pendidikan diselenggarakan secara "demokratis".

Tanpa visi, tanpa konsep

"Semangat dagang" itu jelas tercermin dalam Pasal 2, yang membenarkan pihak luar bersama BHP Indonesia mendirikan lembaga pendidikan, dengan modal sampai 49 persen.

Agar penyelenggaraan pendidikan bisa bermutu memang diperlukan dana memadai. Namun, dana ini baru menjadi positif-konstruktif setelah sebelumnya ada konsep pendidikan yang jelas. Konsep ini justru tidak ada. Dalam penjelasan atas rancangan ini, secara sumir disebutkan, sistem pendidikan nasional disusun berdasarkan visi pendidikan nasional. Mana visi ini? Angan- angan, day dream, bukan visi!

Di situlah terletak potensi bahaya. Tanpa konsep, tanpa visi nasional tentang pendidikan nasional, modal asing dibolehkan ikut. Di balik modal tentu ada pikiran konseptual, betapa pun "kecil" konsep itu. Adapun mentalitas kolonial masih melekat pada pejabat kita cenderung "menelan saja" pendapat yang diucapkan orang asing. Enggan berdebat karena tidak punya argumen yang nalariah.

Jadi keberadaan konsep jauh lebih menentukan keberhasilan pelaksanaan pendidikan "nasional". Konsep/visi yang jelas dan telah disepakati bersama amat penting sebagai acuan kerja. Mengapa? Pertama, bagi pelaksanaan semua lembaga pendidikan, konsep/visi adalah batu ujian dalam menilai ketepatan atau penyimpangannya.

Kedua, konsep/visi untuk menghadapi kompleksitas alami, liku-liku bawaan zaman iptek dan proses globalisasi.

Ketiga, konsep/visi bagi penyusunan/perubahan/penyempurnaan kurikulum sebagai respons atas kompleksitas, liku-liku dan mengombinasikannya dengan aneka potensi alami Indonesia, nasional dan lokal.

Dalam peresmian UI sebagai Taman Sains", Presiden Yudhoyono mengatakan, peran iptek diperbesar agar mampu bersaing di tingkat internasional.

Adapun dalam RUU BHP istilah ilmu pengetahuan dan teknologi tidak disebut satu kali pun. Apakah secara implisit Presiden mengkritik RUU BHP? Sebagai kepala pemerintah, kalau Presiden tahu ada cacat dalam RUU BHP, mengapa meloloskannya ke DPR? Atau, Presiden belum pernah membaca RUU BHP itu?

Dalam penjelasan RUU, poin (e) menyebutkan, "pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat". Tidak jelas apakah dengan "berhitung" dimaksudkan "hitung dagang" (hundelsrekenen). Yang jelas tidak disebut demi mengembangkan "budaya keilmuan", sejalan makna ucapan Presiden di UI.

Berbagai tindakan aneh

Tidak heran jika dalam "komunitas nasional" kita belum memiliki "subkomunitas ilmiah", lingkungan bekerja orang-orang berbudaya keilmuan, meski perguruan tinggi ada di mana-mana. Ketiadaan konsep pendidikan yang menyeluruh tercermin pada aneka tindakan yang "aneh" di bidang kegiatan kependidikan keilmuan. Ada pendirian "universitas riset", padahal tugas utama yang diemban universitas di mana pun adalah pendidikan.

Nyaris semua pemenang Nobel adalah para dosen yang risetnya terkait pengembangan ilmu yang dikuliahkan, bukan demi nilai jual hasil risetnya. Belakangan hasil-hasil itu biasanya baru menjadi bahan bisnis industrial.

Jadi yang meriset bukan universitas sebagai lembaga, tetapi dosen sebagai persona ilmuwan. Sambil meriset dia menuntun para mahasiswanya melakukan riset, science in term of process, dan melalui kegiatan ini mengembangkan scientific spirit dalam diri anak-anaknya. Mereka inilah kelak yang menjadi staf peneliti di R & D departments dari perusahaan-perusahaan industrial.

Lembaga yang seharusnya melakukan riset di negeri ini adalah LIPI, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, dan masih ada Dewan Riset Nasional.

Sementara itu, LIPI menciptakan gelar "profesor riset", padahal "profesor" adalah gelar jabatan akademis bagi persona yang mengajar di perguruan tinggi. Mungkin pertimbangannya demi kegairahan untuk meriset. Di masyarakat ada anggapan umum, "profesor" adalah orang yang serba tahu. Di sinilah "keanehan" itu. Alih-alih memperbaiki citra yang keliru dari orang-orang awam, lembaga ilmu pengetahuan malah menyesuaikan diri pada citra yang keliru.

Memang profesor adalah gelar jabatan bergengsi. Kegengsiannya itu bukan terletak pada "keserbatahuannya", tetapi pada kenyataan, dia adalah persona yang men-transform, melalui ajarannya, "informasi" (perolehan SD) menjadi "pengetahuan" (di tingkat SMP, SMA), lalu menyempurnakannya lebih lanjut, dari "pengetahuan" menjadi "pengetahuan ilmiah" (ilmu pengetahuan) di perguruan tinggi. Idealnya, guru-guru di SMP sudah pantas diberi gelar professeur.

Sebagai keseluruhan apa yang tersurat dan tersirat dari RUU BHP, jelas mencerminkan hasrat pemerintah untuk lepas tanggung jawab konstitusional dan historisnya. Tanggung jawab konstitusional berupa tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanggung jawab historis berupa menyiapkan masa depan bangsa melalui pemberian pendidikan yang layak bagi anak-anak bangsanya.

Inikah kado istimewa bagi Ibu Pertiwi?

Daoed Joesoef Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Pembangunan III, 1978-1983

Pembiayaan Pendidikan Tinggi


Agus Suwignyo

Hingga kini pemerintah baru mengalokasikan 9-10 persen APBN, dari ketentuan konstitusi 20 persen, untuk pendanaan pendidikan, di luar gaji guru/dosen.

Namun, distribusi dana yang telah dianggarkan bagi pendidikan (dasar-menengah-tinggi) itu harus ditelusuri agar jelas secara publik.

Di tengah rusaknya ribuan ruang kelas SD-SMP dan peningkatan angka buta huruf (Kompas, 13-14/8/2007), distribusi alokasi dana bagi pembiayaan pendidikan tinggi (PT) penting didiskusikan. Seberapa perlu anggaran untuk PT? Adakah proyeksi pemerintah bagi pengembangan PT?

Partisipasi

Sejak merdeka, negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami kenaikan partisipasi PT penduduk usia 17-24 tahun. Penyebabnya adalah lulusan sekolah menengah meningkat, terbuka peluang bagi wanita, meluasnya sektor swasta. Namun, selama dekade terakhir di sebagian Asia, kenaikan angka partisipasi terhambat krisis ekonomi.

Mengutip Psacharopoulos (1991), angka partisipasi PT rata-rata 7,4 persen di negara berkembang (1987), meningkat dari 2,1 persen (1960). Angka itu lebih kecil dibandingkan dengan negara maju, 34,1 persen (1987), meningkat dari 13,5 persen (1960).

Di Asia angka partisipasinya 7,3 persen (1987), berbanding 2,6 persen (1960), lebih tinggi daripada Afrika 4,3 persen (1987) dan 0,7 persen (1960).

Tahun 2002 angka partisipasi 10 persen untuk negara berkembang di Asia dan kurang dari 10 persen di Afrika, jauh di bawah negara maju yang hampir 50 persen (Mohamedbhai, 2002).

Keterbatasan dana?

Meski partisipasi penduduk meningkat, negara berkembang pascakolonial menghadapi dilema pembiayaan PT karena secara bersamaan harus meluaskan akses pendidikan dasar dan menengah. Selvaratnam (1988) mengatakan, keterbatasan dana(!) menjadi masalah utama negara berkembang memperluas akses PT bagi rakyatnya.

Dalam situasi demikian, lembaga donor mendesakkan skema pinjaman bersyarat. Pertama, pendidikan dasar dijadikan prioritas alokasi dana pinjaman. Kedua, subsidi PT dicabut.

Menurut Psacharopoulos, privatisasi PT meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketidakadilan karena kenyataannya subsidi PT lebih banyak dinikmati orang kaya. Tetapi menurut Mohamedbhai, pencabutan subsidi dan privatisasi PT di negara berkembang menurunkan partisipasi masyarakat karena tingginya biaya kuliah.

Jika partisipasi warganya berkurang, peluang negara berkembang mengatasi ketertinggalan ilmu dan teknologi dari negara maju kian kecil dan kesenjangan membesar. Masih menurut Mohamedbhai, ketertinggalan dapat diatasi jika partisipasi itu minimum 20 persen.

Singkatnya, negara berkembang menghadapi dilema antara memprioritaskan pembiayaan pendidikan dasar-menengah atau meluaskan akses PT. Pertanyaannya, benarkah dilema disebabkan keterbatasan dana?

Proyeksi pengembangan

Di negeri sekaya Indonesia, dana melimpah ruah dari sumber alam. Namun, seperti dinyatakan berbagai pihak (Kompas, 15-16/ 8/2007), lemahnya visi dan komitmen pemerintah menghalangi proyeksi pengembangan pendidikan secara integral.

Seberapa jauh pembiayaan PT diproyeksikan sebagai "lokomotif ekonomi", belum jelas terjabarkan dalam cetak biru strategi pendidikan. Selain itu, visi pembangunan ekonomi yang diterjemahkan dalam pengembangan PT masih samar-samar.

Mengingat anggaran negara, pemerintah seharusnya memiliki proyeksi pemberdayaan PT secara nasional. Diperlukan orientasi besar agar sumber daya kolektif yang dituju dan dihasilkan PT efektif memajukan perekonomian dan sektor publik.

Secara khusus, keterlibatan Kementerian Negara Riset dan Teknologi dalam pengembangan dan pembiayaan PT bersama Direktorat Pendidikan Tinggi amat diperlukan. Selain memperkuat visi pengembangan PT, sinergi ini mengurangi beban pendanaan sehingga anggaran Departemen Pendidikan Nasional dapat dialokasikan untuk pendidikan dasar-menengah.

Kerusakan infrastruktur dan pembiayaan SD-SMP harus menjadi prioritas anggaran pemerintah. Meski demikian, subsidi PT tidak boleh ditangguhkan kalau kita tidak ingin semakin tertinggal dari negara lain.

Belajar dari kasus Kabupaten Jembrana (Kompas, 16/8/2007), pemerintah harus menutup keterbatasan dana dengan kekuatan visi, komitmen, dan strategi kebijakan anggaran yang cerdas.

Agus Suwignyo Alumnus Universitas Amsterdam

Guru Inspiratif


Rhenald Kasali

Dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen guru yang saya temui.

Jumlah guru inspiratif amat terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.

Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan.

Sayang, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.

"Freedom Writers"

Karya-karya pembaruan, baik temuan spektakuler keilmuan, produk komersial, maupun gerakan sosial, akan tampak di masyarakat. Namun tak dapat dimungkiri, semua itu berawal dari sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected).

Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat pada Erin Gruwell, perempuan guru yang ditempatkan di sebuah kelas "bodoh", yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antargeng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan honors students, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum.

Erin Gruwell memulai dengan segala kesulitan. Selain katanya "bodoh" dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh.

Itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak supernakal tak boleh disekolahkan bersama distinguished scholars. Tetapi Erin Gruwell tak putus asa, ia membuat "kurikulum" sendiri yang bukan berisi aneka ajaran pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup.

Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab "ya" mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antargeng.

Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih relaks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film Freedom Writers yang dibintangi Hilary Swank.

Keluar dari belenggu

Apa yang dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar, tetapi juga pada pendidikan tinggi. Namun, entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita kian mengisolasi diri dari dunia luar dan hanya ingin menghasilkan lulusan yang terbelenggu kurikulum.

Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah ditentukan, meski pembacanya belum tentu memadai, dan rajin mengisi daftar absensi. Dengarlah protes Kazuo Murakami PhD, pemenang penghargaan Max Planck (1990) yang menulis buku Tuhan dalam Gen Kita: The Devine Message of The DNA (2007). Ia terpaksa hijrah ke AS saat menyaksikan dominasi guru- guru kurikulum di Jepang membangun benteng hierarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak peduli dengan apa yang terjadi di luar.

Meski belum menonjol di masyarakat, peran guru-guru inspiratif ini amat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih terbatas dan lulusannya banyak yang tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tetapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal.

Ada dua masalah yang harus direnungkan. Pertama, dosen kurikulum hanya membentuk kompetensi (student’s ability), hanya membentuk beberapa orang, untuk kepentingan orang itu sendiri. Guru inspiratif membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, tetapi ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat "Aku ingin jadi seperti dia" atau "Aku bisa lebih hebat lagi".

Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons aneka tekanan eksternal dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sakral. Tiap upaya yang dilakukan para guru kreatif untuk meremajakannya dianggap ancaman, bahkan sebagai perbuatan tidak bermoral

Masih teringat jelas, kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif yang saya kenal. Pada tahun 2005 ia menerima penghargaan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya di bidang pendidikan. Saat itu, penghargaan serupa dalam setiap bidang juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra. Akan tetapi, tak banyak yang tahu hari-hari itu ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar "kurikulum". Kesalahannya adalah telah memperbarui metode pengajaran agar murid-murid menjadi lebih artikulatif. Murid senang, tidak berarti guru-guru lain senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya nama dia dicoret dari daftar pengajar. Karier guru besarnya pun dipersulit oleh guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal.

Kata Jagdish N Sheth, begitu orang- orang lama menyangkal realitas baru, mereka dapat menjadi arogan, terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Perilaku internal itu adalah belenggu inertia, yang disebutnya destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak dimiliki.

Sudah saatnya benteng inertia seperti ini dihapus dengan "memanusiawikan" kurikulum dan memberi ruang lebih memadai bagi guru-guru kreatif.

Rhenald Kasali Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia

Hidup Sehat


Nah, Seberapa Sering Anda Cuci Tangan?

Cuci tangan bisa jadi merupakan hal sederhana. Namun, seberapa sering orang mencuci tangan ternyata menentukan derajat kesehatan kita.

Soal cuci tangan, bukan "cuci tangan" yang punya arti lain melepas tanggung jawab, ini penting dibahas karena setiap tahun masih terjadi kejadian luar biasa diare atau muntaber yang menelan korban jiwa.

Padahal, penyakit itu bisa dicegah dengan mencuci tangan memakai sabun, minum air bersih yang telah dipanaskan, dan biasakan buang air besar di jamban. Kebiasaan cuci tangan dengan sabun dan menjaga sanitasi lingkungan menghindarkan orang dari kolera, tifus, infeksi saluran pernapasan, dan flu burung.

Penelitian global menunjukkan, cuci tangan pakai sabun dapat menurunkan kejadian diare sebesar 47 persen.

Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan (Depkes) I Nyoman Kandun kepada pers, Senin (27/8), survei Health Service Program (2006) menunjukkan, sabun telah ada hampir di setiap rumah tangga di Indonesia. Namun, hanya sekitar 3 persen yang menggunakan sabun untuk mencuci tangan.

Dari seluruh responden, hanya 12 persen yang mencuci tangan setelah buang air besar, 9 persen mencuci tangan setelah membersihkan buang air besar bayi, 14 persen sebelum makan, 7 persen sebelum memberi makan bayi, dan 6 persen sebelum menyiapkan makanan.

"Ternyata hidup bersih dan sehat masih terbatas pada pengetahuan (knowledge) belum menjadi sikap (attitude) maupun perilaku (practice) bangsa ini," kata Kandun,

Survei global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2001 menunjukkan, diare menjadi pembunuh terbesar anak balita di dunia. Unicef melaporkan, setiap detik satu anak meninggal karena diare.

Departemen Pekerjaan Umum bisa menyediakan akses terhadap air bersih bagi penduduk pedesaan dan penduduk berpenghasilan rendah. Depkes melakukan pelayanan kesehatan dan penyuluhan perilaku hidup sehat. Sementara departemen lain dan birokrasi pemda ikut membantu.

Untuk mempertemukan pemangku kepentingan, pada 30 Oktober-1 November 2007 diselenggarakan Konferensi Sanitasi Nasional dan Handwashing Stakeholder Assembly. Semua itu demi terciptanya masyarakat sehat dan produktif. (atk)

"Penjajahan" Gaya Baru di Bidang Pendidikan


Tanpa Kontrol, Modal Asing Bisa Ancam Kebangsaan


Jakarta, Kompas - Tanpa kesiapan sumber daya manusia yang baik dan kemampuan untuk mengimbanginya, keterlibatan modal asing dalam institusi pendidikan di Tanah Air bisa berujung kepada "penjajahan" gaya baru. Penguasaan asing baik secara materi maupun nilai-nilai menjadi dominan.

"Sepanjang kita dapat mengemasnya dengan baik, dana dari pihak asing dapat digunakan. Terlebih lagi dengan kondisi perekonomian yang menyebabkan dana pendidikan sangat terbatas. Namun, jika tidak dapat memanfaatkannya, yang terjadi ialah penjajahan," ujar Ki Supriyoko, pengamat pendidikan dari Tamansiswa, Selasa (28/8).

Pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007, yang isinya antara lain terkait penanaman modal asing di bidang pendidikan. Dalam peraturan tersebut dinyatakan, pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan nonformal dapat dimasuki oleh modal asing dengan batas kepemilikan maksimal 49 persen (Kompas, 28/8).

Agar kegiatan penanaman modal asing tetap dalam koridor kepentingan bangsa, kata Ki Supriyoko, kontrol dari pemerintah harus benar-benar kuat. Dengan demikian, dunia pendidikan tidak akan hanyut dalam kontrol penanam modal asing yang tentunya menimbulkan ancaman terhadap kebangsaan.

"Kontrol dari pemerintah harus agak ketat mengingat ini terkait regulasi World Trade Organization. Harus pandai-pandai membuat aturan yang tidak melanggar, tapi juga tidak merugikan kepentingan bangsa," ujarnya.

Selain itu, agar sifatnya saling menguntungkan, maka sumber daya manusia di tingkat lokal juga harus siap untuk mengimbangi. Tanpa kesiapan tersebut, yang ada ialah hegemoni kepentingan modal asing atau berujung kepada penjajahan, terutama penjajahan nilai, bahkan ideologi.

Mohammad Abduhzen dari Education Forum mengingatkan bahwa pendidikan terkait dengan filosofis dan falsafah bangsa. Sebuah bangsa dalam menyusun sistem pendidikan nasional tentu dalam kerangka kepentingan berbangsa. Pendidikan bukan dalam konteks ekonomi belaka dan tak selalu bebas diperjualbelikan.

Bagaimanapun, sebagai penanam modal, mereka tentu mengincar keuntungan. Apa pun bentuknya. Pendidikan akan semakin menjadi komoditas dan akses pendidikan bermutu semakin terbatas bagi yang tak mampu.

"Jangan dipandang enteng kehadiran pihak asing yang mempunyai tempat kekuatan beroperasi di bidang pendidikan," kata Abduhzen. Ia meragukan kontrol pemerintah. (INE)

Monday, August 27, 2007

Mengenal Jakarta Lewat Masup Jakarta

ANUNG WENDYARTAKA

Ingin tahu banyak soal bagaimana kehidupan masyarakat Jakarta tempo dulu? Baca saja buku-buku terbitan Masup Jakarta. Itulah makna yang ingin disampaikan oleh penerbit Masup Jakarta.

Kata masup yang berarti masuk inilah yang dipakai sebagai nama penerbit kecil yang lokasinya berada di sudut Kampung Beji, Kota Depok, tepatnya bersebelahan dengan Kampus Universitas Indonesia. Penerbit ini memang mengkhususkan diri dalam penerbitan buku-buku tentang Jakarta.

Kendati usianya masih seumur jagung, saat ini penerbit Masup Jakarta sudah mulai dilirik kalangan pencinta buku. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang dan membeli buku-buku di stan Masup Jakarta dalam Pesta Buku Jakarta yang diadakan Ikapi Jaya bulan Juni lalu.

"Kami kan baru pertama kali ikut book fair. Kami hanya punya beberapa gelintir buku, tetapi dari omong-omong dengan peserta lain, pendapatan kami beda tipis dengan penerbit yang sudah mapan yang jual bukunya obral dan banyak judulnya. Buku Masup kayak kacang goreng, orang beli itu," ungkap JJ Rizal, pendiri sekaligus motor penerbit Masup Jakarta.

Penerbit Masup Jakarta lahir 14 Februari 2006, pas hari ulang tahun salah satu tokoh Jakarta paling tersohor, MH Thamrin. Buku yang pertama kali diterbitkan kala itu berjudul Gambang Jakarte karya Firman Muntaco, Juni tahun itu juga.

Keputusan Rizal untuk membuat penerbitan yang khusus menggarap buku-buku tentang Jakarta ternyata tepat dan cukup beralasan. Ada tiga alasan yang diungkap oleh Rizal mengapa memutuskan mendirikan Masup. Pertama, sebagai seorang yang punya latar belakang pendidikan sejarah dan kebetulan juga orang Betawi asli, Rizal sudah sejak lama senang menggeluti masalah-masalah tentang Jakarta.

"Aku seneng Jakarta karena masalahnya kompleks, sejarahnya unik, juga budaya, tradisi, dan masyarakatnya," ujarnya.

Kecintaan Rizal menggeluti masalah Jakarta ataupun Jakarta tempo dulu dituangkan dalam berbagai artikel dan kolom yang ditulisnya di berbagai media massa, baik di dalam maupun luar negeri.

Alasan yang kedua, pasar buku-buku tentang Jakarta saat ini ada dan sangat potensial. "Salah satu buku Komunitas Bambu (Kobam) yang paling laris adalah Batavia Awal Abad 20, buku terjemahan dari karangan HCC Clockener Brousson. Aku juga sering diundang orang untuk omong tentang Jakarta. Sekarang ini juga banyak sekali acara-acara, seperti ’Plesiran Tempo Dulu’ atau acara ’Mengenal Kota Tua’. Ternyata, kelompok ini besar dan banyak. Mereka itu rata-rata dari kelas menengah yang tergolong ekonomi mampu. Ini kan pasar yang sudah jelas," paparnya.

Kegairahan untuk mengenal Jakarta tempo dulu ini ternyata juga terjadi di negeri Belanda. Dari pengalamannya selama lebih kurang empat tahun menulis kolom mengenai Jakarta tempo dulu di majalah kaum Indo Moesson yang terbit di negeri Belanda, Rizal melihat bahwa saat ini ada kegairahan masyarakat di negeri Kincir Angin, terutama mereka yang memiliki darah keturunan Indonesia atau kaum Indo, untuk lebih mengenal berbagai hal tentang Indonesia; terutama seluk-beluk Jakarta tempo dulu.

Bagi Rizal, alasan terakhir lebih bersifat misi idealis. Menurut Rizal, selama dia meneliti mengenai masalah kota Jakarta, belum ada satu pun pemerintah daerah yang punya kesadaran seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yaitu bahwa kota itu harus memiliki identitas budaya.

"Bagaimana cara kita mengenal identitas budaya Jakarta? Ya, harus banyak literatur tentang budaya dan sejarah Jakarta. Identitas budaya Jakarta itu seperti apa sih? Sekarang kan, enggak jelas," kata Rizal. Dari situ, mulailah Rizal menggarap buku-buku tentang Jakarta.

Romantisme masa lalu

Pemilihan nama Masup Jakarta sebagai nama penerbit memang sengaja dibuat agar sesuai dengan maksud dan tujuan pendiriannya. "Istilah Masup Jakarta atau ’masuk Jakarta’ memang dimaksudkan sebagai inside Jakarta atau segala hal yang ada di dalam Kota Jakarta. Kan ada Inside Marocco, Inside Phillipine. Jadi, kriteria buku Masup Jakarta itu sederhana. Kalau enggak tentang Jakarta, ya tidak masup," ucap Rizal.

Buku-buku Masup Jakarta, kendati dijual dengan harga di atas harga normal, nyatanya tetap diburu orang. Buku Gambang Jakarte, misalnya, dijual dengan harga Rp 54.000, padahal di pasaran normalnya Rp 40.000. Dicetak 4.000 kopi dan habis dalam tempo cukup singkat.

"Buku Keadaan Jakarta Tempo Dulu karya Tio Tek Hong lebih aneh lagi. Enggak pernah ada resensinya di koran, bukunya kecil, tebalnya enggak sampai 150 halaman, kami jual Rp 30.000, tetapi tiap bulan selalu repeat order," tuturnya.

Salah satu yang diyakini menjadi daya tarik buku-buku terbitan Masup Jakarta adalah penggunaan foto-foto lama pendukung teks (photographic memories). "Kami mencoba menjembatani masyarakat yang tengah berjalan di dunia membaca, tetapi masih ogah meninggalkan budaya menonton. Mungkin dengan melihat foto, selain membaca teks, orang merasa seperti memasuki lorong waktu untuk mengingat masa lalu mereka," ungkap Rizal.

Romantisme dan nostalgia inilah yang memang sengaja dibangkitkan oleh Rizal lewat buku-buku terbitan Masup. Membaca buku Gambang Jakarte, misalnya, membuat orang yang dulu pernah tinggal di Jakarta atau mereka yang pernah kenal dengan cerpen-cerpen Firman Muntaco akan merasa kenal dengan kondisi riil di Jakarta waktu itu. Saat itu cerpen-cerpen Firman bisa menjadi panduan orang sebelum pergi ke Jakarta.

"Jadi, kalau kamu mau ke Jakarta, ya, seperti inilah yang akan dihadapi. Ya, susahnya, ya persoalan KB-nya, perayaan Imleknya, sampai copetnya. Persoalan-persoalan itu mulai dari perayaan Imlek sampai copet menceritakan kehidupan riil masyarakat kelas bawah di Jakarta yang tidak ada di buku pemerintah daerah atau katalogus kota Jakarta," papar Rizal.

Adik kandung Kobam

Ditilik dari sejarahnya, kemunculan penerbit Masup Jakarta tidak terlepas dari Kobam. Bisa dikatakan, Masup Jakarta adalah adik kandung dari penerbit Kobam.

"Komunitas Bambu awalnya memang sebuah komunitas. Mulai sekitar tahun 1997, awal mulai krisis berbarengan dengan reformasi. Kami mulai diskusi di kampus (UI). Di situ ada Dony (Dony Gahral Adian), Aten (Bagus Takwin), Erita, Ikhsan, pokoknya banyaklah dari macam-macam jurusan. Kami sering diskusi, ngundang orang, terus biasanya kami rekam. Daripada hanya jadi abab atau enggak ada bentuknya, kami bikin buku-buku kecil. Jadi, penerbitan itu awalnya memang hanya sampingan," tuturnya.

Karena hanya sampingan, penerbitan buku-buku tersebut tidak pernah dikelola dengan serius sehingga peredarannya pun tidak begitu luas. "Masuk di perpustakaan kampus aja kami sudah puas. Selain itu, kami juga ditipu berkali-kali oleh pedagang Pasar Senen," ujar Rizal.

Dalam perkembangannya, sekitar empat tahun lalu manajemen Kobam mulai dibenahi dan mulai merekrut tenaga administrasi tetap. Dari situ, mulailah terbit buku-buku, seperti Soeharto karya Bagus Takwin dkk, Sumpah Pemuda karangan Keith Foulcher, dan Mengikis Batas Timur dan Barat: Gerakan Theosofi, Nasionalisme Indonesia karya Iskandar P Nugraha; dan buku Batavia Awal Abad 20 karya HCC Clockener Brousson.

Buku-buku yang diterbitkan Kobam umumnya adalah buku-buku tentang Indonesia ataupun berlatar belakang sejarah Indonesia.

Kendati Masup Jakarta hadir lebih belakangan ketimbang Kobam, sekarang justru lebih bisa diandalkan perkembangannya daripada Kobam. Dalam sebulan, buku Masup terbit rata-rata dua hingga tiga buku, sedangkan Kobam hanya menerbitkan satu buku.

"Aku pikir, memang saat ini Masup bisa jadi lokomotif ke depan agar Kobam bisa tetap hidup. Soalnya, bagaimanapun orang sudah punya image tentang Kobam. Mungkin kemunculannya agak diperjarang, sebulan cuman satu, tetapi bukunya yang pilihan," kata Rizal.

Penerbit ini memang masih tergolong gurem, tetapi keberaniannya menerbitkan buku-buku bertema khusus (Jakarta) ternyata memberi harapan untuk terus berkembang dan dicari orang. Seperti orang Betawi bilang: kagak ade matinye!

(Anung Wendyartaka/ Litbang Kompas)

manajemen

JJ Rizal Ingin Mengubah Citra Orang Betawi

Ada satu hal yang hingga kini masih menjadi ganjalan, keprihatinan, "kemarahan" sekaligus pendorong bagi seorang JJ Rizal sehingga ia begitu bersemangat dan setia menulis dan menerbitkan buku-buku tentang Jakarta. Dilahirkan dari keluarga Betawi tulen, Rizal ingin mengubah citra orang Betawi di mata masyarakat menjadi lebih baik.

"Kebetulan aku orang Betawi. Aku sebenarnya ada sedikit kemarahan, ketidaksenangan terhadap pencitraan terhadap orang Betawi selama ini. Kan, belakangan ini banyak organisasi-organisasi jago yang mengatasnamakan warga Betawi dan keributan-keributannya yang banyak diekspos media. Jadi, seolah-olah citra orang Betawi itu hanya sebatas tulang pukul, tukang kepruk, seolah-olah dalam sejarah budaya Betawi tidak pernah lahir tokoh intelek," ungkap Rizal.

Hal inilah yang menurut Rizal seharusnya perlu dikoreksi dan diperbaiki. Salah satu caranya dengan memperkenalkan ke masyarakat bahwa dalam sejarah budaya Betawi juga dilahirkan tokoh-tokoh intelek, seperti Firman Muntaco, SM Ardan, dan Abdul Chaer. "Nah, kami juga baru dapat naskah dari Belanda tentang biografi Si Pitung. Dia adalah tokoh riil yang menarik untuk diperkenalkan karena tidak sekadar sebagai tokoh lokal Jakarta, tetapi juga dalam kaitannya dengan pergerakan nasional," kata Rizal.

Pria lajang kelahiran Tanjung Duren, Jakarta Barat, 12 Februari 1975 ini ternyata baru bisa membaca sewaktu di kelas III SD. "Aku dulu umur dua bulan sudah diambil oleh kakekku yang seorang bandar ikan. Nenekku seorang penjahit terkenal karena bisa menjahit baju tanpa mengukur. Nah, karena terlalu dimanja, aku sampai kelas III SD belum bisa baca," urai Rizal.

Ia mulai bisa membaca berbarengan dengan mulai sulitnya mencari daun jati untuk bungkus ikan. Sebagai pengganti daun jati, kakeknya terpaksa mencari koran atau majalah-majalah bekas. Koran-koran lama dan majalah-majalah bekas yang dikumpulkan kakeknya itulah yang menjadi bacaan sehari-hari Rizal. "Belakangan aku baru sadar, bacaan itu yang bikin aku senang pada sejarah," ungkap Rizal.

Oleh karena itulah, setamat SMA ia kemudian memutuskan untuk mengambil kuliah di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia. Selepas kuliah ia sempat berkeinginan menjadi wartawan, tetapi niatnya itu diurungkan karena ia merasa fisiknya tidak cukup kuat. Ia kemudian mulai menulis artikel tentang Jakarta tempo dulu dan hubungannya dengan kekinian di sebuah koran kota di Jakarta. "Sebulan sampai tiga kali dimuat," tutur Rizal.

Karena seringnya menulis artikel tentang Jakarta, akhirnya Rizal ditawari menulis kolom tentang Jakarta, baik di sebuah majalah mingguan nasional maupun majalah Moesson Het Indisch Maan Blad yang terbit di negeri Belanda.

(WEN/Litbang Kompas)

Informasi Tentang Flu Burung

KESIAPSIAGAAN TERHADAP WABAH FLU BURUNG

Diedarkan oleh International SOS, Jakarta 19 September. 2005

IDENTIFIKASI MASALAH
Para ahli berpendapat bahwa wabah influenza lainnya akan terjadi. Yang tidak diketahui adalah kapan wabah itu akan terjadi dan jenis virus flu apa yang akan menjadi penyebabnya.

Apabila virus flu burung yang sekarang ini menyebar di beberapa negara Asia Tenggara mampu dengan mudah menyebar dari manusia ke manusia, hal ini dapat menimbulkan wabah influenza berikutnya. Dunia dapat menghadapi wabah penyakit yang menghancurkan, atau bahkan bisa lebih buruk dari wabah flu yang terjadi di tahun 1917-18 yang menyebabkan 50-100 juta manusia di dunia meninggal. Kemungkinan lainnya, pandemi karena jenis influenza yg lain dapat terjadi.

Banyak negara telah melakukan kesiapsiagaan terhadap wabah tersebut, termasuk didalamnya menimbun sejumlah obat anti virus. Namun, sangat sedikit bahkan mungkin tidak ada pengarahan sama sekali, terutama bagi organisasi atau perusahaan yang ada di negara berkembang.

Tanggapan dari International SOS
International SOS melakukan penelitian yang menyeluruh terhadap implikasi wabah influenza dan akan menyediakan informasi dan program kesiapsiagaan terhadap wabah ini melalui website atau melalui konsultasi.

WABAH INFLUENZA TERDAHULU

Berdasarkan sejarah, wabah influenza terdahulu menjangkiti orang muda yang sehat. Peningkatan kematian terjadi pada mereka yang berusia antara 20-35 tahun. Padahal biasanya influenza musiman mengancam orang-orang yang menderita penyakit kronis, anak-anak dan orang-orang di atas usia 65 tahun.

Terdapat 3 macam wabah influenza di abad ke 20 ini

Tahun

Nama

Jumlah yang meninggal

1917-18

Flu Spanyol

20-40 juta

1957-58

Flu Asia

1-2 juta

1968-69

Flu Hong Kong

1 juta

Wabah "Flu Spanyol" di tahun 1917-18

  • Menyebabkan orang meninggal melebihi korban pada Perang Dunia I
  • Terjadi beberapa "gelombang" infeksi
  • Walaupun dinamakan Flu Spanyol, namun penyakit ini menjangkiti semua benua
  • Antara 25 sampai 30% dari populasi dunia terinfeksi
  • Menyebabkan 675.000 orang Amerika meninggal dunia, dimana 200.000 orang diantaranya meninggal dunia dalam bulan Oktober 1918

Wabah baru yang mungkin terjadi
Para ahli menaruh perhatian pada influenza H5H1 virus yang sekarang ini menyebar di Asia Tenggara dapat menyebar dengan mudah dari manusia ke manusia. Apabila hal ini terjadi, dunia dapat menghadapi wabah yang sama seperti wabah Flu Spanyol yang terjadi di tahun 1917-18.

Para ahli berpendapat bahwa hal ini tidak dapat dielakkan. Virus influenza yang baru dapat membahayakan populasi dunia yang tidak memiliki kekebalan.

Sekarang ini, apa bedanya?
Perjalanan Udara: Tidak diketahui bagaimana perjalanan udara dapat mempengaruhi suatu wabah. Kemudahan dari transportasi ini dapat menyebabkan cepatnya penyebaran virus di dunia.

Gizi: Di negara-negara berkembang, pada umumnya penduduk memiliki gizi yang bagus dibandingkan dengan tahun 1917. Namun, kekurangan gizi tersebut masih juga terdapat di beberapa negara sedang berkembang.

Obat-obatan: Sekarang ini obat-obatan lebih canggih. Antibiotik, anti virus dan vaksin telah diperkenalkan. Walaupun obat dapat mencegah adanya suatu wabah, namun belum ada kepastian mengenai hal ini.

LATAR BELAKANG FLU AVIAN

Wabah Flu Burung tahun 2003-2004
Pada akhir tahun 2003 dan awal 2004, virus flu burung terdapat pada unggas yang ada pada delapan negara di Asia, seperti: Kamboja, Cina, Indonesia, Jepang, Laos, Korea Selatan, Thailand dan Vietnam.

Pada saat itu, 100 juta burung mati sebagai akibat dari adanya penyakit ini dan sebagai akibat tindakan pembasmian guna pencegahan.

Pada tanggal 30 December 2003 sampai dengan tanggal 17 Maret 2004, kasus flu burung terjadi pada 12 orang di Thailand . Duapuluhtiga orang di Vietnam juga terkena penyakit ini. Pada akhirnya 23 orang meninggal karena flu burung pada saat itu.

Negara-negara yang terjangkit penyakit ini melaporkan bahwa unggas-unggas di negara mereka terinfeksi flu burung ini. Tidak ada bukti yang mendukung bahwa virus ini dapat menular dari manusia ke manusia.

Wabah itu dapat terjadi kembali
Wabah baru dan mematikan dari H5N1 mulai dilaporkan di beberapa negara di Asia pada akhir Juni 2004. Kamboja, Cina , Indonesia , Thailand dan Vietnam melihat kemungkinan munculnya penyakit ini kembali. Malaysia melaporkan adanya wabah ini untuk pertama kalinya.

Wabah ini diikuti oleh wabah selanjutnya di Vietnam dan Thailand . Gelombang infeksi ini terjadi dari bulan Juli sampai dengan bulan Oktober 2004.

Wabah berikutnya dari infeksi H5N1 terjadi dalam bulan December 2004 dan tetap menjangkiti penduduk. Pada tanggal 28 Juni 2005, secara resmi diumumkan adanya 108 kasus fluburung. Hal ini dilaporkan oleh Vietnam , Kamboja dan Thailand sejak akhir December 2003. Dari mereka yang terinfeksi, 54 orang meninggal dunia. Di Indonesia terdapat 3 kasus flu burung yang dilaporkan dalam bulan Juli 2005, dan ketiganya meninggal dunia.

Walaupun pengamatan terhadap flu burung tersebut membaik, namun tampak jumlah sebenarnya dari mereka yang terinfeksi lebih tinggi daripada yang dilaporkan.

Apakah penyakit ini dapat menjadi wabah?
Tidak ada seorangpun yang tahu apakah virus ini dapat menyebabkan wabah. Namun, kemungkinan untuk itu sangatlah mungkin terjadi. Influenza H5N1 sekarang ini merupakan wabah di Asia Tenggara. Semakin lama virus ini berada, semakin besar kemungkinan untuk menyebar pada manusia. Kalau hal ini terjadi, wabah dunia influenza dapat terjadi. Untunglah, sampai saat ini belum terbukti adanya penyebaran antar manusia.

Sampai saat ini, influenza A/H5N1 merupakan penyakit berat pada manusia dengan tingkat kematian yang tinggi. Apabila wabah dunia terjadi, hal ini dapat menyebabkan wabah yang lebih mematikan dari pada wabah dunia sebelumnya.

PENGETAHUAN DASAR FLU BURUNG

Biasanya virus flu burung hanya menjangkiti burung-burung. Virusnya terdapat pada kotoran burung yang terinfeksi. Penyakit ini gampang sekali menular dari burung ke burung. Jenis-jenis binatang lainnya, seperti macan, kucing dan babi dapat pula terinfeksi oleh flu burung ini. Sebagai contoh, suatu wabah besar dapat menyebabkan 80 macan mati di kebun binatang di Thailand .

Wabah flu burung sekarang ini sangatlah cepat, sulit untuk diatasi dan belum pernah terjadi sebelumnya. Migrasi dari unggas air dipercaya sebagai penyebar virus flu burung dari satu lokasi ke lokasi yang lainnya.

Kasus pada manusia
Virus H5N1 menjangkiti manusia di Vietnam , Thailand , Kamboja dan Indonesia . Sebagian besar dari manusia yang terinfeksi meninggal dunia. Sebagian besar kasus berjangkit pada manusia yang bekerja atau tinggal di dekat peternakan unggas. Anak-anak lebih banyak terinfeksi penyakit ini dibandingkan orang dewasa.

Penularan manusia ke manusia
Kasus penyebaran flu burung dari manusia ke manusia dicatat oleh anggota keluarga dekat di Thailand . Penyebarannya terbatas hanya dalam satu "generasi", yaitu penyebaran dari oarng A ke orang B saja, kemudian berhenti. Orang B tidak menyebarkan penyakit ini lagi. Tidak ada lagi kasus flu burung dari manusia ke manusia yang dilaporkan.

Kemungkinan terjadinya wabah
Ada kekhawatiran bahwea virus A(H5N1) mengalami perubahan genetik, atau meniru gen dari virus influenza lainnya. Perubahan ini memungkinkan H5N1 menyebar dengan mudah dari manusia ke manusia. Karena pada umumnya penduduk memiliki sedikit kekebalan atau bahkan tidak adanya kekebalan samasekali terhadap virus burung ini, penularan dan wabah dunia dapat meluas dengan cepat. Wabah dunia ini dapat menyebabkan jumlah kematian yang sangat tinggi.

NEGARA-NEGARA YANG TERJANGKITI OLEH H5N1 SEJAK DESEMBER 2003

  • Vietnam
  • Thailand
  • Indonesia
  • Kamboja
  • Cina, termasuk Hong Kong SAR
  • Jepang
  • Malaysia
  • Korea Selatan
  • Laos
  • Rusia
  • Kazakstan

Terakhir diperbaharui pada tanggal 11 Augustus 2005, pukul 04.14 GMT

PERTANYAAN YANG SERINGKALI MUNCUL

Apakah "Flu Burung" itu?
"Flu burung" adalah suatu istilah yang digunakan untuk menerangkan virus influenza yang ganas yang dapat menjangkiti unggas peliharaan dan burung liar.

Dapatkah flu burung menjangkiti manusia?
Ya. Laporan kasus pertama dari manusia yang terjangkiti flu burung ini terdapat di Hong Kong dalam tahun 1997. Kasus tersebut disebabkan oleh H5N1 dan mengakibatkan 6 orang meninggal dunia. Sejak itu, beberapa jenis lain flu burung menyerang manusia. Pada umumnya, yang bukan H5N1 hanya menyebabkan penyakit yang ringan pada manusia. Selanjutnya H5N1 dapat menjangkiti orang muda yang sehat, dan dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi.

Sejauh ini bagaimana manusia dapat terkena H5N1?
Tampaknya kontak dengan unggas yang terinfeksi adalah sumber dari infeksi yang terjadi pada manusia. Virus ini terdapat pada kotoran burung yang terinfeksi. Manusia dapat terinfeksi apabila menyentuh, memakan atau menghirup kotoran tersebut.

Beberapa kasus tidak dapat ditelusuri kembali apakah dari unggas yang terinfeksi. Beberapa orang yang terinfeksi ini dipercaya telah mengalami kontak dengan bebek yang membawa virus tersebut. Bebek dapat mengidap H5N1 tanpa menunjukkan gejala-gejala penyakit.

Sudah ada sedikitnya satu kasus penularan dari manusia ke manusia. Ada anggota keluarga dekat di Thailand diduga saling menyebarkan infeksi ini satu sama lain dalam bulan September 2004.

Kemungkinan lain penularan dari manusia ke manusia sedang diteliti. Sekelompok orang bersaudara di Vietnam mungkin telah saling menularkan virus ini satu sama lain dalam bulan Januari 2005, meskipun lebih mungkin penyakit ini tersebar dari makanan yang terbuat dari darah bebek mentah yang mereka makan bersama. Tidak terbukti adanya virus yang menyebar secara mudah dari manusia ke manusia.

Apakah virus ini sama dengan virus yang muncul di Hong Kong pada tahun 1997?
Tidak. Virus tersebut telah berubah sejak itu.

Dapatkah H5N1 berkembang sehingga mampu menginfeksi secara mudah dari manusia ke manusia lainnya?
Ya. Para ahli kesehatan international khawatir jika virus tersebut dapat berubah dan mampu menularkan secara cepat dari manusia ke manusia lainnya. Satu cara yang dapat terjadi adalah apabila virus flu manusia dan burung bertukar gen. Apabila seorang pasien secara bersamaan terinfeksi oleh flu manusia DAN flu burung, ia merupakan tempat bercampurnya pertukaran gen antara kedua virus. Virus influenza yang lengkap dan baru mungkin akan muncul yang cukup mengandung gen manusia dan dapat dengan mudah menyebar dari orang ke orang. Bila demikian, maka wabah dunia atau pandemi dapat terjadi.

Apakah aman melakukan perjalanan ke negara-negara yang terjangkiti flu avian ini?
Sampai saat ini, tidak ada resiko bagi para pengunjung dan orang asing. Sejauh ini, tidak ada larangan berkunjung ke negara-negara tertentu. Meskipun demikian, dianjurkan kepada para wisatawan untuk tidak mengunjungi tempat-tempat yang terinfeksi, seperti pasar dan peternakan unggas. Lihat Anjuran Bepergian SOS terkini untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.

Apa gejala-gejala dari flu burung?
Pada awalnya perkembangan flu burung sama dengan flu biasa. Seorang pasien tiba-tiba mengalami demam, batuk, sakit tenggorokan dan nyeri otot. Infeksi saluran napas bagian bawah yang hebat, bahkan radang paru-paru. Gejala-gejala yang berhubungan dengan perut dan usus, seperti diare mungkin saja muncul. Gejala-gejala yang berhubungan dengan syaraf, seperti sakit kepala dan kejang, telah disebutkan.

Apakah aman mengkonsumsi ayam dan telur?
Jangan mengkonsumsi daging ayam mentah atau yang dimasak setengah matang, termasuk darah bebek mentah. Beberapa kasus terjadi setelah meminum darah bebek mentah. Virus ini pernah ditemukan dalam produk unggas beku yang berasal dari negara yang terkena.

Virus influenza musnah karena panas. Produk unggas apapun harus dimasak secara benar sebelum dikonsumsi. Semua telur harus dicuci termasuk kulitnya dan dimasak secara benar sebelum dikonsumsi. Daging maupun telur mentah tidak boleh dikonsumsi.

Apakah vaksin influenza dapat melindungi kita terhadap flu burung?
Tidak, vaksin influenza musiman tidak dapat melindungi kita dari virus H5N1. Namun, mereka yang bepergian harus mendapatkan vaksin influenza musiman terbaru, karena influenza biasa mungkin saja terjadi di negara tropis. Siapapun yang terkena virus H5N1, seperti para pekerja peternakan, harus pula mendapatkan vaksin influenza musiman untuk meminimalkan resiko infeksi rangkap dari virus flu burung dan virus flu manusia.

Kapan vaksin itu diproduksi?
Pada tanggal 4 April 2004 , juru bicara Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa laboratorium telah berhasil membuat strain virus flu burung yang dapat digunakan untuk pembuatan vaksin. Penelitian tetap dilanjutkan untuk menemukan vaksin yang efektif, dan beberapa uji coba klinis telah dilakukan.

Dapatkah penyakit tersebut diatasi dengan obat-obatan?
Beberapa obat-obatan anti virus terbukti efektif apabila diberikan pada tahap-tahap awal dari infeksi tersebut.


ANJURAN TERKINI BAGI PARA WISATAWAN DAN ORANG ASING

Walaupun wabah yang disebabkan oleh virus flu avian terdapat pada unggas, terdapat sedikit sekali kasus yang terjadi pada manusia. Infeksi manusia terbesar adalah pada mereka yang bekerja atau tinggal disekitar peternakan dan tempat jual beli hewan. Meskipun terjadi satu kasus penularan manusia ke manusia di Thailand , ini hanya terbatas pada anggota keluarga dekat saja. Virus ini juga terdeteksi pada babi. Tidak terbukti bahwa virus ini dapat menyebar secara mudah dari manusia ke manusia. Tidak ada pengunjung atau orang asing yang terinfeksi oleh virus ini.

Walaupun pengawasan dan penemuan kasus ini terus saja dilakukan, mungkin saja jumlah orang yang terinfeksi dan wabah flu burung ini lebih tinggi dari apa yang dilaporkan secara resmi.

ANJURAN DARI INTERNATIONAL SOS

Tampaknya sedikit sekali resiko bagi para wisatawan dan orang asing saat ini. Umumnya manusia yang terinfeksi pernah melakukan kontak dengan unggas yang sakit.

  • Tidak perlu mengubah rencana perjalanan.
  • Hindari pasar hewan dan unggas serta peternakan babi pada negara-negara yang terinfeksi.
  • Jangan menangani burung yang sakit atau mati.
  • Hindari bersentuhan dengan permukaan yang mungkin telah terkontaminasi dengan unggas, dan jangan berenang pada air yang telah digunakan oleh burung.
  • Pertahankan selalu kebersihan diri yang tinggi. Sangatlah penting untuk mencuci tangan sesering mungkin. Cucilah tangan sebelum dan sesudah mempersiapkan makanan.
  • Virus tersebut telah ditemukan pada unggas yang telah diproses (daging bebek beku). Virus influenza akan mati karena panas. Unggas dan produk unggas yang akan dikonsumsikan, termasuk telur, harus dimasak dengan baik. Suhu yang terdapat pada daging bagian dalam harus mencapai 70°C/158° F. Cucilah telur sebelum digunakan, dan kemudian basuhlah tangan anda. Jangan sekali-kali mengkonsumsi produk unggas mentah, seperti darah bebek mentah. Masaklah juga produk babi dengan baik sebelum dikonsumsi.
  • Pertimbangkan untuk mendapatkan vaksinasi influenza musiman. Walaupun ini tidak akan melindungi anda dari flu burung, ini akan mengurangi resiko mendapatkan influenza musiman. Jadi ini akan mengurangi terjadinya infeksi rangkap dengan flu musiman dan flu burung sekaligus; infeksi rangkap semacam ini dapat terjadi dalam suatu pandemic flu.

Saturday, August 25, 2007

Bercerai Kita Runtuh

Jakob Sumardjo

Indonesia bersatu karena faktor eksternal. Namun, keruntuhannya akibat faktor internal.

Kita tak mampu menjaga kesatuan karena tak ada "musuh" bersama. Kini, zamannya lu, lu; gue, gue, bukan "kamu adalah aku", kita; tetapi "kami dan mereka".

Mengakui yang lain, yang berbeda, menghormati, dan ikut menjaga keberbedaan kini dinilai tidak waras. Yang waras adalah gua, gua; lu, lu. Kamu bukan aku. Dan karena kamu mengganggu keberadaanku, kamu harus minggir atau aku lenyapkan.

Prinsip "kamu bukan aku" ini sudah menjalar dalam hubungan negara-rakyat, milik umum-milik privat, perusahaan-buruh, kepala sekolah-murid, lurah-penduduk. Kita kaget saat rel KA digergaji agar gerbongnya terguling, saat kaca-kaca jendela KA retak dilempari batu, lampu-lampu taman dipecahi, monumen dan arkeologi dikotori grafiti, trotoar jadi kaki lima, kolong jalan layang menjadi hunian.

Itu semua hanya gejala kecil yang baru timbul. Selama ini kita menganggap waras-waras saja saat prinsip lu, lu; gue, gue, yang jauh lebih raksasa, telah berlangsung puluhan tahun. Gua pejabat, lu rakyat. Lu memotong rel KA, gua memotong anggaran perbaikan kampung dan dana bantuan bencana. Lu menyerobot lahan kosong di kota, gua menyerobot ratusan hektar hutan tropis. Lu bikin grafiti di sejumlah situs purbakala, gua telah lama membiarkan benda milik negara diperdagangkan di luar negeri. Lu bikin rumah di kolong jembatan layang, gua menggusur hunian kumuh di kota demi "kepentingan umum". Apa yang kini kau lakukan, cuma tiruan dari yang aku lakukan puluhan tahun lalu.

Zaman edan

Gajah di pelupuk mata tak tampak, kutu tanaman di halaman tetangga tampak seperti gajah. Kita buta terhadap hukum kausalitas. Kekurangajaran rakyat kecil, ketidakwarasan rakyat kecil, kenekatan rakyat kecil yang kian berani dan menonjol akhir-akhir ini adalah akibat pertunjukan teater negara yang selama ini kita mainkan. Jika para pembesar boleh menggusur paksa, membabati hutan, membiarkan banjir, lumpur, menyerbu keluarga kami, mengapa saya tidak boleh membangun rumah di lahan kosong milik mereka? Jika mereka boleh memotong anggaran miliaran rupiah sehingga jembatan runtuh, bangunan SD ambruk, dan jatuh korban, mengapa saya tidak boleh memotong rel kereta api, menggali jalan umum. Mengapa mereka yang sudah puluhan tahun melanggar hukum dibiarkan hidup mewah, sedangkan kami yang melanggar hukum demi nyawa sendiri dituduh biadab?

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ketika guru-guru (lelaki) kencing berdiri di tepi jalan, murid-murid mungkin kaget akan ketidakwarasan guru- guru ini. Namun, saat kencing berdiri itu dianggap waras-waras saja oleh para guru, para murid menirunya lebih ekstrem. Mereka kencing sambil berlari sepanjang jalan. Inilah zaman edan. Dalam zaman edan, yang waras itu edan, dan yang edan itu waras. Inilah yang terjadi pada zaman reformasi ini. Membunuh, merampok, dan mencuri milik umum itu dianggap baik, menipu publik itu baik asal semua ada hubungannya antara urusan privat dan umum. Semua ketidakwarasan itu waras belaka selama terjadi oposisi biner antara privat dan publik. Namun, ketidakwarasan itu jelas tidak waras jika menyangkut hubungan publik-publik dan privat-privat.

Mencuri milik negara atau milik umum itu wajar. Malah tidak waras kalau ada pribadi yang tidak memanfaatkan kesempatan itu. Merusak milik negara itu juga wajar-wajar belaka, baik pribadi pejabatnya maupun rakyat kecil yang terpepet. Sebaliknya, atas nama negara, atas nama publik, seorang pejabat sah-sah saja menggusur, merampas, menghancurkan milik rakyat kecil.

Yang berkuasa dan yang tak berdaya adalah pasangan kembar oposisi. Pasangan kembar ini bukan saling melengkapi, saling menghormati, saling mengakui, dan saling mengawini, melainkan pasangan perseteruan. Negara dan rakyat pasangan permusuhan, pertikaian, perceraian. Setelah bersatu pada masa revolusi, bulan madu negara-rakyat ini menjadi pasangan musuh. Rakyat mulai berani dan beringas merusak barang-barang milik negara, milik umum.

Kontradiksi etika

Rakyat adalah murid yang baik, penurut. Tetapi jika yang seharusnya dipatuhi, disegani, dituruti, diteladani malah kencing berdiri, apa boleh buat jika rakyat mengencingi guru-guru itu. Negara ini rusak oleh pemimpinnya sendiri. Para pengelola negara bersikap kontradiktif dengan etikanya sendiri. Yang seharusnya menjadi teladan, menjadi pecundang. Yang seharusnya mengayomi, ikut merusak. Yang seharusnya melayani, minta dilayani. Yang seharusnya membantu malah minta bantuan. Bukan melindungi, malah mengancam.

Bagaimana rakyat dapat tahan menonton teater negara ini. Kini saatnya rakyat memainkan teaternya sendiri. Jika dalam teater negara rakyat jadi korban, dalam teater rakyat negara jadi korban. Rakyat mulai merusak milik negara. Lambang-lambang pemerintahan dihujat. Benda-benda milik pemerintah dirusak.

Ini tanda-tanda zaman, sebuah gejala-gejala awal. Rakyat sudah tidak waras lagi menggergaji rel kereta api, merusak jalan tol, membakar gedung mewah kabupaten, mencorengi monumen-monumen negara. Jika teater negara ini tidak segera menghentikan lakon lamanya, tidak heran jika ketidakwarasan rakyat akan meningkat bukan saja pada lambang milik negara dan pemerintahan, melainkan menjurus kepada aktor-aktornya. Peradilan rakyat akan muncul. Revolusi Perancis dan revolusi Khmer Merah di Kamboja bisa terwujud di Indonesia. Kegilaan tidak akan dapat dibendung lagi.

Seuntung-untungnya yang gila, lebih untung yang tidak ikut gila, meski tak dapat bagian.

Jakob Sumardjo Esais

Kebangsaan

Budaya Unggul

Jakarta, Kompas - Jika Indonesia ingin maju, budaya unggul harus dipacu. Untuk mencapai hal tersebut, pemimpin bangsa harus memiliki visi jauh ke depan dan memberikan fasilitas pendidikan untuk anak- anak bangsa.

"Kalau kita amati, bangsa yang maju adalah bangsa yang punya mimpi dan nyali besar," kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat pada dialog "Memacu Budaya Unggul dan Prestasi Bangsa" yang diselenggarakan oleh Pro XL dan Tempo di Jakarta, Kamis (23/8).

Menurut Komaruddin, bangsa- bangsa yang besar umumnya memiliki etos. Seperti Jepang, Jerman, dan China memiliki mimpi yang besar. Pandangan yang jauh ke depan membuat mereka berkembang melewati batas etnis dan negara.

"Secara mikro sesungguhnya potensi intelektualitas manusia itu sama. Potensi intelektualitas rata-rata hanya digunakan empat persen. Masalahnya adalah bagaimana kita mendongkrak dan mengoptimalkan potensi itu," kata Komaruddin.

Menurut Komaruddin, untuk mengoptimalkan potensi intelektualitas tersebut, pertama anak- anak harus diberi konsumsi gizi yang bagus sehingga jaringan sarafnya berkembang. Kedua, harus diberi stimulasi agar anak berpikir aktif dan kreatif.

"Saya kaget saat di India di setiap kotanya ada perpustakaan umum. Hasilnya sekarang India makin maju," kata Komaruddin. Tidak hanya itu, budaya kontemplatif pun tidak terbentuk.

Presiden Direktur Tempo Group Bambang Harymurti menyatakan, budaya unggul adalah budaya jaringan. "Salah satu sebab mengapa Indonesia berada di urutan nomor 108 (HDI) karena kita tidak menumbuhkan budaya jaringan,," kata Bambang Harymurti. (lok)

Peradaban Kita di Periode Stagnasi


Budaya Menerabas Jadi Salah Satu Penghambat

Jakarta, Kompas - Perjalanan peradaban modern Indonesia cenderung mengalami stagnasi. Salah satu faktor penghambat utama adalah karena budaya menerabas masih tumbuh subur, yang ujung-ujungnya menafikan kerja keras dan kreativitas.

"Padahal, sebuah bangsa yang tidak peduli terhadap kerja dan karya kreatif anak bangsanya sendiri, dalam perjalanan waktu, akan sulit diharapkan mampu melakukan terobosan untuk mempercepat kemajuan," kata cendekiawan Ahmad Syafii Ma’arif di Jakarta, Jumat (24/8).

Dalam seminar bertajuk "Mendorong Pembukaan Cakrawala Baru Bidang Penciptaan dan Pemikiran" yang diselenggarakan Akademi Jakarta, Syafii Ma’arif mengutip pandangan Bertrand Russel, filsuf Inggris, yang membedakan stagnasi dengan kemajuan. Periode stagnasi ialah periode orang merasa tidak berdaya. Sebaliknya, periode kemajuan ditandai suasana saat orang merasa prestasi-prestasi besar menjadi mungkin dan karena itu mereka ingin menjadi bagian di dalamnya.

Di tengah kecenderungan tumbuh suburnya budaya menerabas, yang sejak tahun 1970-an sudah dilontarkan oleh antropolog Koentjaraningrat, Syafii Ma’arif mengaku masih melihat ada titik terang. Sebab, meski sedikit, masih ada manusia kreatif di Indonesia yang tidak terlalu bergantung pada negara walaupun kemudian mereka hidup serba kekurangan.

"Munculnya sejumlah kecil nama-nama baru di dunia seni (teater, sastra, tari, lukis), sejarah, ilmu dan teknologi, serta pemikiran kebudayaan setidaknya masih memberikan harapan bahwa bangsa ini belum kehilangan kehidupan," tutur Syafii Ma’arif.

Menurut dia, tugas ke depan adalah bagaimana agar geliat kreativitas di seluruh Nusantara dalam berbagai suku bangsa dijadikan sebagai sebuah gelombang besar yang dahsyat sehingga sebuah bangsa yang utuh, beradab dan kreatif, serta berdaulat menjadi kenyataan. "Bukan sekadar bayangan serta kebanggaan yang semu," ujarnya.

Sejarawan sekaligus aktivis Jaringan Kerja Budaya, Hilmar Farid, menambahkan, sebetulnya banyak orang Indonesia yang menghasilkan produk kebudayaan, mulai dari penerbitan berbagai buku, karya film yang belakangan mulai bergeliat, sastra, serta produk pemikiran.

"Hanya saja, belum ada karya yang solid dianggap mewakili zaman ini," ujarnya. Bagi Hilmar, permasalahannya bukan pada kreativitas yang tidak ada, melainkan tidak adanya kritik yang baik serta teliti. (MZW/ine)

Friday, August 24, 2007

Etnofilsafat, Obat atau "Placebo"?

Filsafat

Apakah etnofilsafat adalah obat untuk menawar racun globalisasi atau hanya placebo, bukan betul-betul obat?

Filsafat dalam tradisi Barat dipahami sebagai refleksi kritis seorang filsuf terhadap manusia dan dunianya. Di pusat-pusat studi di Barat, wilayah etnofilsafat diterangkan dalam upaya mencari semacam kaitan efektif dengan apa yang sudah menjadi tradisi di dalam filsafat konvensional.

Studi-studi lanjut tentang etnofilsafat, seperti dilakukan oleh Kwame A Appiah dari Ghana memperlihatkan, dasar nilai komunitas adalah individualitas. Kalau pendekatannya seperti itu, placebo masih memberikan rasa aman.

Di Indonesia, soal-soal ini disingkirkan, kata narasumber itu. Pendekatannya lebih merupakan sinisme terhadap tradisi Barat, dengan lebih menerima filsafat sebagai identik dengan kebudayaan suatu kelompok.

Tema paling kuat yang diajukan untuk menopang etnofilsafat seperti itu agaknya paralel dengan tema yang dituntut oleh politics of difference, yaitu cultural survival. Tema yang sama, seperti ditulis Amartya Sen (2007) digunakan secara politik untuk menolak universalisme hak-hak asasi manusia, khususnya oleh Singapura dan China, yang menekankan perbedaan regional dan memastikan adanya "keberagaman regional".

Di situ integritas mendahului otonomi individu anggotanya. Tidak ada moral yang lepas dari tuntunan komunitas budaya. Kasarnya, individu lenyap di dalam "jajahan" komunitas.

Kalau jenis etnofilsafat itu hendak dikembangkan di Indonesia, ia akan menjadi semacam jalan tol untuk memperkuat konservatisme.

Dan memang, bukan untuk itu proyek tersebut dibuat. Melainkan untuk memberikan penghargaan pada budaya lokal, sekaligus kritis terhadap kelemahannya untuk mengantisipasi kemungkinan dimanipulasi serta menyelamatkan dimensi yang selama ini didominasi oleh interpretasi reduksional.

Dengan demikian, pemilihan istilah pun harus dipertimbangkan hati-hati karena anasir anti- demokrasi ada di mana-mana dalam etnofilsafat. Itulah yang ditemukan dan kemudian diperiksa.

Kebudayaan bukan sesuatu yang statis. Perubahan terjadi akibat interpretasi individual, yang mungkin saja datang dari pertemuannya dengan individu lain dari kelompok lain. Narasumber lain mengatakan, kalau ingin berfungsi dalam masyarakat yang dibutuhkan bukan memperkuat identitas lokalnya, melainkan belajar mengikuti perkembangan agar mampu membawa diri ke dalam lingkungan yang berbeda.

Ketegangan

Ketegangan antara politics of difference dan democratic citizenship dari sudut pandang postmodernisme, memperkuat keyakinan bahwa self bukanlah sesuatu yang "cartesian". Selalu ada de-ontologisasi, terutama karena pertemuannya dengan dinamika ketidakpastian global.

Ketidakpastian itu diolah dengan memungkinkan percakapan sosial dan pertemuan-pertemuan kebudayaan di ruang publik. Dengan begitu, isolasi-isolasi yang mengonservasi local wisdom berbasis agama, kultur, etnis, dan lain-lain dikuakkan. Setiap individu memiliki kesempatan menginterpretasikan kebudayaan dalam kemajemukan democratic citizenship.

Desain toleransi harus bertumpu pada kondisi incommensurable dari kebudayaan dan pada saat yang sama juga ada jaminan politik pada terhadap tidak terjadinya ontologisasi nilai pada kehidupan publik. Itulah tugas citizenship yang paling mendasar.

Dalam kenyataannya, civil society kita sekarang ini amat menikmati civil rights, tetapi ruang civil liberties justru tersumbat. Bengawan Solo, misalnya, dalam riwayatnya menyimpan keunikan dan kearifan lokalnya sehingga kegiatan seperti Ekspedisi Bengawan Solo dapat dilihat sebagai upaya mencari kekuatan, karena jarak pandang ke depan ditentukan kemampuan melihat ke belakang.

Namun, yang unggul sekarang bukan Bengawan Solo,tapi Wong Solo, restoran yang pemiliknya punya empat istri dan mengampanyekan poligami melalui segala bentuk media. Jadi, civil rights mengalir melalui Wong Solo, bukan Bengawan Solo.

Kontekstualisasi mitos memang tergantung dari siapa yang melakukannya. Namun, kontekstualisasi mitos seperti "jagad cilik", "jagad gede" dalam cerita wayang Dewa Ruci, sebagai "micro cosmos" dan "macro cosmos" dalam pencarian jati diri manusia, atau penafsiran ulang, seperti mitos nenek sihir Calon Arang, tentu saja dibutuhkan.

Mitos yang dikatakan Roland Barthes sebagai "second order" language, menurut seorang narasumber, juga berlaku bagi mitos etnik, mitos religius, maupun mitos kontemporer. Mitos yang terakhir disebut itu mengalami aktualisasi lewat ritual maupun pola konsumsi komoditas. Pertanyaannya, sejauh mana konsumsi mitos beragam itu tidak akan bertubrukan dan mengakibatkan keretakan kepribadian.

Tetap problematik

Narasumber lain berpandangan individualitas tetap problematik karena pengaruh apa pun membuat individualitas tidak berkembang, malah terjadi pembekuan-pembekuan yang lebih parah.

Menurut dia, yang berjaya di kawasan Asia Tenggara bukan kosmopolitanisme ala Barat, bukan pula terbentuknya massa dengan kesadaran individualitasnya, melainkan terfragmentasinya manusia ke dalam budaya, agama, dan bahasa tertentu.

Ia memotret kondisi individualitas dan "kemerdekaan" sang subyek dalam jalinan suku dan agamanya melalui tiga momen kritis. Pertama adalah modernitas (ide kemajuan) dari dunia modern Barat. Pengalaman suku-suku yang dikristenkan oleh misionaris Barat tampaknya memunculkan individualitas yang mendua karena semangat misionaris (pietisme) abad ke-19 yang menekankan pertobatan individu menjadi pertobatan suku-suku bangsa.

Dengan modal "pertobatan", yang tentu dilengkapi oleh peralatan modern Barat, seperti sekolah zending, rumah sakit misi, banyak anak-anak gereja suku ini mengalami pencerahan akan sebentuk ide modernitas (baca: kemajuan).

Dari riset Penelitian Johan Hasselgren (2000) didapatkan kesimpulan sementara, individualitas tidak berkembang sebagai suatu agency yang mandiri, sebab ia cenderung diisap ke dalam lingkup komunal.

Pola perkembangan etnoreligi yang demikian menyebabkan benturan antarkelompok tak terhindari, yang mengakibatkan konflik komunal di era yang lebih mutakhir. Itulah momen kritis kedua.

Di situ soal keterwakilan politik menjadi isu penting. Ia mengutip Loraine V Arragon (dalam Indonesia, 2001) yang mengatakan, penguatan identitas komunal berkembang di Poso terjadi karena adanya elite pemerintahan yang menghendaki jabatan tertentu. Para elite inilah yang mengerahkan massa. Karena sifatnya komunal kebenciannya juga komunal.

Analisis itu menguatkan pandangan Ignas Kleden (2001) tentang komunalisme di daerah konflik di Tanah Air yang sering kali dibungkus oleh kepentingan elite lokal dan nasional dalam memperebutkan sumber daya ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.

Selain berkarakter komunal (bahkan teritorial), konflik itu juga berpola patron-client. Elite yang menjadi saluran representasi etnik pada gilirannya meminta balasan untuk mendukungnya berkelahi di tataran politik. Individualitas tak mungkin muncul di sini, katakanlah sebagai agency, pendorong perdamaian.

Ketiga adalah konsumerisme global. Gejala baru pasca-gereja-suku adalah gerakan Pentakostalisme (agama karismatik). Agama hendak dialami sebagai sesuatu yang amat individual dari orang-orang yang bergulat dengan ihwal personal: seputar healing dan perlunya pertobatan abadi di zaman yang tak pasti. Di sini agama adalah soal wealth and health.

Ungkapan yang lebih pop tentang iman telah menawan jutaan orang di Amerika Latin. Di situ individu menemukan spirit untuk mobilisasi sosial, sebab ada komunikasi rohani yang memberi motivasi ke arah sukses dan momen born again guna meninggalkan kekerasan yang merebak di Amerika Latin.

Apakah ini bentuk individualitas baru, individu pasar rohani di mana pilihan, kesenangan demi perubahan diri dan sukses pribadi menjadi cirinya?

(MARIA HARTININGSIH)

Untuk Keberwargaan yang Demokratis

Maria Hartiningsih

Harian "Kompas" bersama Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia menyelenggarakan sebuah kolokium bertema "Individuasi di Tengah Globalisasi", dengan narasumber Prof Toeti Herati Noerhadi, Rocky Gerung, dan Vincent Jolasa dari Universitas Indonesia, kemudian Franz Magnis-Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Martin Sinaga dari Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Berikut dua tulisan tentang kolokium tersebut yang dimuat di halaman ini.

Perjalanan Indonesia kontemporer ibarat melintasi jalan licin, sempit, dan terjal dengan jurang yang dalam di kanan-kiri. Itulah ikatan-ikatan primordial yang semakin menguat, yang melahirkan intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan. Bagaimana filsafat menjawab situasi ini?

Globalisasi menghasilkan kontradiksi-kontradiksi. Di satu sisi terjadi de-tradisionalisasi dan berkembangnya kosmopolitanisme. Di sisi lain menguatkan konservatisme dan memicu identitas baru yang memproduksi berbagai kemungkinan.

Situasi itu, mengutip Stuart Hall (dalam Kate Nash, 2000), mengakibatkan identitas menjadi lebih politis, terjadi penguatan identitas yang berlindung pada berbagai identitas budaya (dan agama) komunitas beserta institusi sosialnya. Hampir semua negara mengalami dampak tersebut. Akan tetapi, bagi Indonesia situasinya menjadi sangat serius.

Pertama, karena negeri ini merupakan negara kepulauan, terdiri dari sekitar 17.500 pulau besar dan kecil, sambung menyambung dari barat ke timur, dengan ratusan etnis dan kebudayaan yang sudah berkembang jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

Kedua, notion persatuan dan kesatuan yang dipaksakan dengan pendekatan keamanan pada zaman Orde Baru. Pemerintahan yang otoriter dan sentralistik menguasai sumber-sumber daya lokal selama berpuluh tahun, tetapi melupakan kesejahteraan masyarakatnya.

Ketegangan dan kekerasan merebak, dipicu oleh disparitas ekonomi dan kehancuran sumber daya alam, yang tidak seluruhnya tertampung dalam instalasi demokrasi yang sedang dibangun.

Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah seperti menjadi amunisi untuk melegitimasi segala tindakan atas nama adat, budaya, tradisi, yang bercampur baur dengan keyakinan, dan agama untuk menegaskan perbedaan satu dengan yang lain. Toleransi menjadi kata kosong di tingkat realitas sosial. Transaksi kewarganegaraan terasa sangat formal. Tak ada pendalaman kesadaran akan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pergaulan masyarakat yang multibudaya.

Merenung ulang

Perlindungan dan kemerdekaan individu di dalam komunitas menjadi persoalan di dalam perubahan-perubahan besar dalam tatanan kebudayaan akibat transmisi nilai-nilai global dan pikiran-pikiran baru tentang kemanusiaan. Ini menyangkut persepsi tentang identitas dan kemampuan mengembangkan toleransi sosial serta adaptasi ketika berhadapan dengan nilai-nilai global yang bersifat multivalensi.

Bagaimana filsafat menjawab situasi yang berkembang di dunia kontemporer ini? Kekerasan berbasis keyakinan komunal, politik identitas, toleransi bersyarat, masalah tanggung jawab bersama yang melintasi sekat-sekat primordial, keberwargaan (citizenship) global, dan kosmopolitanisme adalah persoalan yang perlu direnung dalam memikirkan filsafat di tengah lokalitas.

Ada dua modus besar dalam hubungan filsafat dan lokalitas. Pertama, filsafat yang mencoba merayakan lokalitas, artinya mengangkat lokalitas nilai-nilai adiluhung yang perlu dikembangkan pada iklim modernitas.

Kedua, filsafat yang mempertanyakan lokalitas. Sekitar 2.500 tahun lalu Socrates mempertanyakan adat karena tidak memberikan ruang bagi kebebasan berpikir yang menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk suatu perubahan.

Dalam beberapa dekade ini filsafat agak bergeser dari pemujaan terhadap singularitas kepada kemungkinan pluralitas dan fragmentaris. Dalam pergeseran ini ada dua hal yang penting dicermati. Pertama, persoalan individuasi dalam kubus-kubus kebudayaan kita. Kedua, persoalan identitas, apakah identitas dilihat sebagai sesuatu yang ketat atau longgar, memberi atau menutup kemungkinan dan menjadi esensialistik.

Komunikasi yang macet dapat didobrak kalau ditemukan embrio individualitas di dalam rahim kebudayaan kita. Artinya, lokalitas harus didefinisikan ulang. Diskusi menjadi menarik karena persis berada di dalam tarikan ketegangan itu.

Jalan licin

Polaritas dan kerumitan hubungan-hubungan di dalam masyarakat semakin menajam setelah tragedi 11 September 2001 di New York, AS. Toleransi menjadi konsep yang bersyarat. Lalu muncul konsep semacam toleransi (untuk) tidak toleran, dan pluralisme terbatas. Di Eropa terjadi di dalam urusan kaum imigran. Ini menyalahi proposal John Rawls mengenai demokrasi, yang berangkat dari sensitivitas sosial untuk melindungi mereka yang marjinal.

Sinisme karena demokrasi (baca: reformasi) di Indonesia gagal membawa perbaikan ekonomi rakyat sangat mudah tersalur ke dalam pencarian jati diri moral yang menganggap demokrasi tak mampu memberi kepastian akan kemakmuran. Muncul pandangan, hanya sistem nilai komprehensif, terutama yang berbasis agama, yang dianggap mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan. Pada titik ini ada semacam rasa aman kultural untuk mendasarkan pencarian makna itu pada tema multikulturalisme.

Etnofilsafat terkait dengan itu. Multikulturalisme menyingsing pada masa kolonial dan berkembang sejak periode pascakolonial dengan tokohnya, antara lain, Edward Said. Lokalitas dalam konteks itu terkait dengan politics of difference yang bersifat kultural dan memperjuangkan pengakuan hak.

Evaluasi filsafat terhadap fenomena politics of difference menghasilkan apresiasi terhadap kondisi incommensurable kebudayaan, yang dalam bahasa populer disebut sebagai "keunikan", "keragaman", atau "identitas" budaya. Di situ nilai suatu kelompok harus dianggap final, esensial. Artinya, ia tidak mungkin dipertukarkan dalam wilayah publik. Istilah semacam "local wisdom" atau "kearifan lokal" yang bergaung seperti mantra mengandaikan otentisitas dan otonomi suatu komunitas moral.

Perbedaan pandangan menajam antara pandangan etnofilsafat, yang merayakan keberagaman budaya, dan yang memandang politics of difference secara kritis, karena dalam konteks Indonesia, hal itu bisa menjadi alat kekuasaan.

Salah satunya adalah konsep "harmoni Jawa" yang dikentalkan Soeharto, membuat konflik dimasukkan ke dalam karpet tebal "persatuan" dan "kesatuan". Ben Anderson menjelaskan keterkaitan bahasa dengan kekuasaan dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990). Dalam Development as Freedom (1999), Amartya Sen menyebut cara berpikir orang Timur tidak kenal budaya oposisi.

Proyek identitas etnis yang merayakan politics of difference itu dalam dunia yang kontemporer berlanjut dalam bentuk gerakan kebudayaan berkarakter politics of recognition. Karakter itu mudah tergelincir menjadi politik identitas yang berbahaya karena kecenderungannya mendominasi kebenaran.

Nilai kemanusiaan kita ditantang ketika keberagaman manusia dimampatkan ke dalam satu sistem kategorisasi tunggal yang sewenang-wenang. Identitas tunggal adalah ilusi, seperti ditegaskan Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence: The Illusion of Destiny (2007).

Hakikat kebenaran, termasuk kebenaran suatu identitas, meminjam istilah Derrida, adalah to come, tak pernah tercapai. Di negara seperti Indonesia, jaminan identitas adalah sesuatu yang terus dibangun, dengan mengandaikan pembagian beban dan tanggung jawab secara adil dan setara.

Hati-hati, ada jebakan

Etnofilsafat seharusnya tidak diarahkan untuk proyek romantisasi "keaslian" suatu budaya karena cara itu pasti menuju kepada jebakan etnosentrisme. Lebih dari itu, filsafat hanya akan menjadi suaka akademis dari berbagai "ketidakarifan lokal".

Etnofilsafat harus menggali apa yang bisa dijadikan semacam resep baru dalam upaya mempertahankan keberwargaan yang demokratis (democratic citizenship). Di dalam democratic citizenship, tak ada soal mayoritas-minoritas-marjinal, karena hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya warga negara dilindungi secara sama utuhnya satu dengan yang lain. Pendekatan ini adalah tawaran karena doktrin komprehensif agama ataupun etika tak mampu meredam kekerasan atas nama politik identitas yang terus-menerus terjadi.

Tuntutan terhadap pengakuan identitas seharusnya diartikulasikan sebagai perjuangan politik untuk menjamin representasi demokratik, bukan untuk menyelenggarakan suatu local truth dengan demokrasi sekadar berfungsi sebagai lapangan pertandingan tanpa batas.