Thursday, August 23, 2007

Sulit Menagih atau Memang Tak Ditagih.

Uang Pengganti (2-HABIS)

Vincentia Hanni S

Awal Januari 2007, Kejaksaan Agung berencana meminta fatwa ke Mahkamah Agung terkait dengan banyaknya uang pengganti yang belum dilunasi para koruptor. Kejaksaan Agung juga akan menghapusbukukan pembayaran uang pengganti bagi terpidana yang tak mampu bayar karena tak lagi punya harta.

Solusi ini dikemukakan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengaku "kerepotan" menagih uang pengganti kerugian negara. Ide ini muncul dalam Rapat Koordinasi Kejaksaan Seluruh Indonesia di Bandung, Desember 2006.

Kejagung mengaku memang kerepotan menagih uang pengganti, terutama terhadap para koruptor yang dijerat dengan menggunakan Undang-Undang (UU) Korupsi Nomor 3 Tahun 1971.

Argumen Kejagung, jika seorang koruptor dijerat dengan UU Korupsi No 3/1971, UU tersebut tidak mencantumkan adanya hukuman subsider yang dikenakan kepada para terdakwa jika tidak membayar uang pengganti. Artinya, UU ini tidak mengatur sanksi tegas bagi para koruptor yang menunggak.

Namun anehnya, pihak kejaksaan belum memiliki data, berapa sebenarnya uang pengganti yang bisa dihapusbukukan bersyarat dan berapa yang harus dimintakan fatwa ke Mahkamah Agung (MA).

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Salman Maryadi saat diwawancarai wartawan pada 27 Desember 2006 mengatakan, kejaksaan tengah mengumpulkan data perkara korupsi yang sudah berkekuatan hukum tetap, tetapi terpidana belum membayar uang pengganti.

Tidak dikejar?

Berdasarkan dokumen Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diperoleh Kompas, uang pengganti yang ada pada 25 kejaksaan tinggi (kejati) di seluruh Indonesia yang belum tertagih mencapai Rp 6,667 triliun.

Rinciannya, jumlah uang pengganti yang ditangani kejaksaan bernilai total Rp 5,314 triliun dengan jumlah perkara sebanyak 227 perkara. Paling banyak uang pengganti yang tertunggak ditangani oleh Kejati Jawa Tengah 45 perkara dengan nilai Rp 5,408 miliar dan yang ditangani Nusa Tenggara Barat sebanyak 36 perkara dengan nilai Rp 1,662 miliar.

Atau, dari sisi nominal, seperti DKI Jakarta Rp 5,049 triliun dari 21 perkara dan Kalimantan Barat bernilai Rp 235,536 miliar.

Sedangkan uang pengganti yang dilimpahkan ke jaksa agung muda perdata dan tata usaha negara (jamdatun) sebesar Rp 1,353 triliun dari 107 perkara yang dilimpahkan.

Anggota BPK, Baharuddin Aritonang, menyinyalir kejaksaan tidak menagihkan tunggakan uang pengganti hasil korupsi ini kepada para koruptor.

"Mungkin memang tidak dikejar kejaksaan, terkatung-katung mengambang tidak jelas karena tidak dicantumkan dalam neraca kejaksaan. Jangan diambangkan dong, harus jelas. Kalau piutang, ada berapa?"

Tak patuh

BPK menilai Kejagung tidak patuh terhadap ketentuan undang-undang dalam soal pengelolaan uang pengganti.

Pendapat Baharuddin bisa jadi benar. Sebab, Mahkamah Agung sudah memberikan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 4 Tahun 1988 tentang Eksekusi Uang Pengganti.

Surat edaran itu keluar menanggapi permintaan kejaksaan ketika itu yang mengaku sulit menagih uang pengganti.

SEMA No 4/1988 mengatur, apabila dalam pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti jumlah barang yang dimiliki terpidana tidak mencukupi lagi, harus diajukan melalui gugatan perdata di pengadilan. Namun, SEMA itu nyaris tak pernah digunakan kejaksaan. Begitu banyak koruptor yang belum membayar uang pengganti, tetapi hampir tidak ada yang digugat perdata.

Setelah masalah uang pengganti ini diributkan di media, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Darmono mengatakan, kejaksaan akan segera mengeksekusi agar koruptor segera mengganti uang kerugian negara itu atau menggugat perdata koruptor yang belum membayar.

Tagihan koruptor

Dari penelusuran Kompas di Departemen Keuangan (Depkeu), baru sedikit terpidana korupsi yang membayar uang pengganti, yaitu 17 orang.

Dari sedikit tersebut, tak semua terpidana membayar seluruh uang pengganti yang harus dibayar. Bahkan, di antara mereka, pembayaran yang sudah dilakukan hanya sebagian kecil dari jumlah yang harus dibayarkan.

Misalnya, Mohamad Bob Hasan yang divonis Mahkamah Agung empat tahun, uang pengganti yang harus dibayarkan adalah 243 juta dollar AS dan denda Rp 15 juta. Namun, dari bukti setor ke Depkeu, Bob Hasan baru membayar uang pengganti Rp 14,126 miliar dan denda Rp 15 juta.

Ricardo Gelael yang seharusnya tanggung renteng bersama Tommy Soeharto membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 96,6 miliar, ternyata berdasarkan bukti setor ke Depkeu telah membayar Rp 2,950 miliar. Adapun berdasarkan dokumen BPK, Ricardo Gelael masih memiliki tunggakan uang pengganti Rp 5,219 miliar.

Yang cukup menarik adalah uang pengganti Beddu Amang. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung I Wayan Pasek Suartha pada awal Agustus 2006, Beddu Amang sudah membayar uang pengganti Rp 5 miliar secara berangsur dan dilunasi pada 16 Juni 2006.

Namun, berdasarkan hasil pemeriksaan BPK, Beddu Amang masih memiliki tunggakan uang pengganti sebesar Rp 5 miliar.

Dari data di Departemen Keuangan, Beddu Amang baru disebutkan membayar uang denda Rp 5 juta, sementara uang pengganti Rp 5 miliar tidak tercantum dalam data rekapitulasi bukti setor uang pengganti dan denda yang telah disetorkan ke kas negara.

Terpidana Bambang Sutrisno dan Kiki Ariawan sudah membayarkan uang pengganti. Namun, uang pengganti tersebut dibayarkan oleh Sudwikatmono sebesar Rp 1,515 triliun.

Data uang pengganti terpidana Thamrin Tanjung juga menarik dicermati. Berdasarkan bahan rapat dengar pendapat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh ke Komisi III DPR tanggal 28 November 2005, uang pengganti kerugian negara yang sudah dieksekusi dari Thamrin Tanjung sebesar Rp 28 miliar.

Namun, saat dicek ke Departemen Keuangan, ternyata Thamrin Tanjung baru membayar Rp 8 miliar. Yang aneh lagi, berdasarkan dokumen BPK tentang data sisa uang pengganti yang belum dibayar Thamrin Tanjung Rp 8 miliar. Dokumen tentang sisa uang pengganti yang dilaporkan ke BPK ini disusun oleh Direktur Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi Kejaksaan Agung Tarwo Hadi Sadjuri.

Emerson Yuntho dari Indonesia Corruption Watch mengungkapkan kecurigaan kalau pihak kejaksaan memang tidak mengejar para koruptor untuk membayar uang pengganti itu.

"Saya melihat ada modus negosiasi dalam pembayaran itu. Misalnya, daripada memberikan Rp 1,7 triliun, lebih baik membayar berapa miliar dan beberapa ratus juta atau miliar kepada jaksa. Bisa saja terjadi negosiasi seperti itu, siapa yang mengawasi?" kata Emerson.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman menegaskan, kejaksaan tak pernah menyimpan uang pengganti di rekening kejaksaan.

"Kalau belum ditagih, belum ada di kejaksaan," ungkapnya sambil mempersilakan pihak yang berkompeten untuk memeriksa dan mengaudit kejaksaan.

Depkeu bereaksi

Setelah media massa mengungkap soal ketidakjelasan uang pengganti hasil korupsi ini, tak cuma Kejagung yang "kelabakan", Depkeu juga mulai bereaksi. Untuk mendapatkan kejelasan, Depkeu mengagendakan pertemuan tingkat teknis dengan Kejagung.

Menurut Dirjen Perbendaharaan Negara Herry Purnomo, mereka akan mengklarifikasi keberadaan uang pengganti kasus korupsi langsung ke Jaksa Agung. Kalau perlu, mereka akan menanyakan langsung kepada pejabat bendahara di Kejagung.

Problem uang pengganti hanyalah satu dari beragam persoalan. Masalah pengelolaan uang serta barang sitaan para koruptor pun sama ruwetnya.

Kini, saatnya Jaksa Agung membenahi persoalan pengelolaan uang dan aset hasil korupsi itu. Jika tidak, hanya menjadi kesia-siaan belaka mengejar koruptor. Rakyat tetap tak bisa merasakan manfaat dari pemberantasan korupsi yang dilakukan. (OIN/HAR/IDR)

No comments: