ANUNG WENDYARTAKA
Ingin tahu banyak soal bagaimana kehidupan masyarakat Jakarta tempo dulu? Baca saja buku-buku terbitan Masup Jakarta. Itulah makna yang ingin disampaikan oleh penerbit Masup Jakarta.
Kata masup yang berarti masuk inilah yang dipakai sebagai nama penerbit kecil yang lokasinya berada di sudut Kampung Beji, Kota Depok, tepatnya bersebelahan dengan Kampus Universitas Indonesia. Penerbit ini memang mengkhususkan diri dalam penerbitan buku-buku tentang Jakarta.
Kendati usianya masih seumur jagung, saat ini penerbit Masup Jakarta sudah mulai dilirik kalangan pencinta buku. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang dan membeli buku-buku di stan Masup Jakarta dalam Pesta Buku Jakarta yang diadakan Ikapi Jaya bulan Juni lalu.
"Kami kan baru pertama kali ikut book fair. Kami hanya punya beberapa gelintir buku, tetapi dari omong-omong dengan peserta lain, pendapatan kami beda tipis dengan penerbit yang sudah mapan yang jual bukunya obral dan banyak judulnya. Buku Masup kayak kacang goreng, orang beli itu," ungkap JJ Rizal, pendiri sekaligus motor penerbit Masup Jakarta.
Penerbit Masup Jakarta lahir 14 Februari 2006, pas hari ulang tahun salah satu tokoh Jakarta paling tersohor, MH Thamrin. Buku yang pertama kali diterbitkan kala itu berjudul Gambang Jakarte karya Firman Muntaco, Juni tahun itu juga.
Keputusan Rizal untuk membuat penerbitan yang khusus menggarap buku-buku tentang Jakarta ternyata tepat dan cukup beralasan. Ada tiga alasan yang diungkap oleh Rizal mengapa memutuskan mendirikan Masup. Pertama, sebagai seorang yang punya latar belakang pendidikan sejarah dan kebetulan juga orang Betawi asli, Rizal sudah sejak lama senang menggeluti masalah-masalah tentang Jakarta.
"Aku seneng Jakarta karena masalahnya kompleks, sejarahnya unik, juga budaya, tradisi, dan masyarakatnya," ujarnya.
Kecintaan Rizal menggeluti masalah Jakarta ataupun Jakarta tempo dulu dituangkan dalam berbagai artikel dan kolom yang ditulisnya di berbagai media massa, baik di dalam maupun luar negeri.
Alasan yang kedua, pasar buku-buku tentang Jakarta saat ini ada dan sangat potensial. "Salah satu buku Komunitas Bambu (Kobam) yang paling laris adalah Batavia Awal Abad 20, buku terjemahan dari karangan HCC Clockener Brousson. Aku juga sering diundang orang untuk omong tentang Jakarta. Sekarang ini juga banyak sekali acara-acara, seperti ’Plesiran Tempo Dulu’ atau acara ’Mengenal Kota Tua’. Ternyata, kelompok ini besar dan banyak. Mereka itu rata-rata dari kelas menengah yang tergolong ekonomi mampu. Ini kan pasar yang sudah jelas," paparnya.
Kegairahan untuk mengenal Jakarta tempo dulu ini ternyata juga terjadi di negeri Belanda. Dari pengalamannya selama lebih kurang empat tahun menulis kolom mengenai Jakarta tempo dulu di majalah kaum Indo Moesson yang terbit di negeri Belanda, Rizal melihat bahwa saat ini ada kegairahan masyarakat di negeri Kincir Angin, terutama mereka yang memiliki darah keturunan Indonesia atau kaum Indo, untuk lebih mengenal berbagai hal tentang Indonesia; terutama seluk-beluk Jakarta tempo dulu.
Bagi Rizal, alasan terakhir lebih bersifat misi idealis. Menurut Rizal, selama dia meneliti mengenai masalah kota Jakarta, belum ada satu pun pemerintah daerah yang punya kesadaran seperti mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yaitu bahwa kota itu harus memiliki identitas budaya.
"Bagaimana cara kita mengenal identitas budaya Jakarta? Ya, harus banyak literatur tentang budaya dan sejarah Jakarta. Identitas budaya Jakarta itu seperti apa sih? Sekarang kan, enggak jelas," kata Rizal. Dari situ, mulailah Rizal menggarap buku-buku tentang Jakarta.
Romantisme masa lalu
Pemilihan nama Masup Jakarta sebagai nama penerbit memang sengaja dibuat agar sesuai dengan maksud dan tujuan pendiriannya. "Istilah Masup Jakarta atau ’masuk Jakarta’ memang dimaksudkan sebagai inside Jakarta atau segala hal yang ada di dalam Kota Jakarta. Kan ada Inside Marocco, Inside Phillipine. Jadi, kriteria buku Masup Jakarta itu sederhana. Kalau enggak tentang Jakarta, ya tidak masup," ucap Rizal.
Buku-buku Masup Jakarta, kendati dijual dengan harga di atas harga normal, nyatanya tetap diburu orang. Buku Gambang Jakarte, misalnya, dijual dengan harga Rp 54.000, padahal di pasaran normalnya Rp 40.000. Dicetak 4.000 kopi dan habis dalam tempo cukup singkat.
"Buku Keadaan Jakarta Tempo Dulu karya Tio Tek Hong lebih aneh lagi. Enggak pernah ada resensinya di koran, bukunya kecil, tebalnya enggak sampai 150 halaman, kami jual Rp 30.000, tetapi tiap bulan selalu repeat order," tuturnya.
Salah satu yang diyakini menjadi daya tarik buku-buku terbitan Masup Jakarta adalah penggunaan foto-foto lama pendukung teks (photographic memories). "Kami mencoba menjembatani masyarakat yang tengah berjalan di dunia membaca, tetapi masih ogah meninggalkan budaya menonton. Mungkin dengan melihat foto, selain membaca teks, orang merasa seperti memasuki lorong waktu untuk mengingat masa lalu mereka," ungkap Rizal.
Romantisme dan nostalgia inilah yang memang sengaja dibangkitkan oleh Rizal lewat buku-buku terbitan Masup. Membaca buku Gambang Jakarte, misalnya, membuat orang yang dulu pernah tinggal di Jakarta atau mereka yang pernah kenal dengan cerpen-cerpen Firman Muntaco akan merasa kenal dengan kondisi riil di Jakarta waktu itu. Saat itu cerpen-cerpen Firman bisa menjadi panduan orang sebelum pergi ke Jakarta.
"Jadi, kalau kamu mau ke Jakarta, ya, seperti inilah yang akan dihadapi. Ya, susahnya, ya persoalan KB-nya, perayaan Imleknya, sampai copetnya. Persoalan-persoalan itu mulai dari perayaan Imlek sampai copet menceritakan kehidupan riil masyarakat kelas bawah di Jakarta yang tidak ada di buku pemerintah daerah atau katalogus kota Jakarta," papar Rizal.
Adik kandung Kobam
Ditilik dari sejarahnya, kemunculan penerbit Masup Jakarta tidak terlepas dari Kobam. Bisa dikatakan, Masup Jakarta adalah adik kandung dari penerbit Kobam.
"Komunitas Bambu awalnya memang sebuah komunitas. Mulai sekitar tahun 1997, awal mulai krisis berbarengan dengan reformasi. Kami mulai diskusi di kampus (UI). Di situ ada Dony (Dony Gahral Adian), Aten (Bagus Takwin), Erita, Ikhsan, pokoknya banyaklah dari macam-macam jurusan. Kami sering diskusi, ngundang orang, terus biasanya kami rekam. Daripada hanya jadi abab atau enggak ada bentuknya, kami bikin buku-buku kecil. Jadi, penerbitan itu awalnya memang hanya sampingan," tuturnya.
Karena hanya sampingan, penerbitan buku-buku tersebut tidak pernah dikelola dengan serius sehingga peredarannya pun tidak begitu luas. "Masuk di perpustakaan kampus aja kami sudah puas. Selain itu, kami juga ditipu berkali-kali oleh pedagang Pasar Senen," ujar Rizal.
Dalam perkembangannya, sekitar empat tahun lalu manajemen Kobam mulai dibenahi dan mulai merekrut tenaga administrasi tetap. Dari situ, mulailah terbit buku-buku, seperti Soeharto karya Bagus Takwin dkk, Sumpah Pemuda karangan Keith Foulcher, dan Mengikis Batas Timur dan Barat: Gerakan Theosofi, Nasionalisme Indonesia karya Iskandar P Nugraha; dan buku Batavia Awal Abad 20 karya HCC Clockener Brousson.
Buku-buku yang diterbitkan Kobam umumnya adalah buku-buku tentang Indonesia ataupun berlatar belakang sejarah Indonesia.
Kendati Masup Jakarta hadir lebih belakangan ketimbang Kobam, sekarang justru lebih bisa diandalkan perkembangannya daripada Kobam. Dalam sebulan, buku Masup terbit rata-rata dua hingga tiga buku, sedangkan Kobam hanya menerbitkan satu buku.
"Aku pikir, memang saat ini Masup bisa jadi lokomotif ke depan agar Kobam bisa tetap hidup. Soalnya, bagaimanapun orang sudah punya image tentang Kobam. Mungkin kemunculannya agak diperjarang, sebulan cuman satu, tetapi bukunya yang pilihan," kata Rizal.
Penerbit ini memang masih tergolong gurem, tetapi keberaniannya menerbitkan buku-buku bertema khusus (Jakarta) ternyata memberi harapan untuk terus berkembang dan dicari orang. Seperti orang Betawi bilang: kagak ade matinye!
(Anung Wendyartaka/ Litbang Kompas)
manajemen
JJ Rizal Ingin Mengubah Citra Orang Betawi
Ada satu hal yang hingga kini masih menjadi ganjalan, keprihatinan, "kemarahan" sekaligus pendorong bagi seorang JJ Rizal sehingga ia begitu bersemangat dan setia menulis dan menerbitkan buku-buku tentang Jakarta. Dilahirkan dari keluarga Betawi tulen, Rizal ingin mengubah citra orang Betawi di mata masyarakat menjadi lebih baik.
"Kebetulan aku orang Betawi. Aku sebenarnya ada sedikit kemarahan, ketidaksenangan terhadap pencitraan terhadap orang Betawi selama ini. Kan, belakangan ini banyak organisasi-organisasi jago yang mengatasnamakan warga Betawi dan keributan-keributannya yang banyak diekspos media. Jadi, seolah-olah citra orang Betawi itu hanya sebatas tulang pukul, tukang kepruk, seolah-olah dalam sejarah budaya Betawi tidak pernah lahir tokoh intelek," ungkap Rizal.
Hal inilah yang menurut Rizal seharusnya perlu dikoreksi dan diperbaiki. Salah satu caranya dengan memperkenalkan ke masyarakat bahwa dalam sejarah budaya Betawi juga dilahirkan tokoh-tokoh intelek, seperti Firman Muntaco, SM Ardan, dan Abdul Chaer. "Nah, kami juga baru dapat naskah dari Belanda tentang biografi Si Pitung. Dia adalah tokoh riil yang menarik untuk diperkenalkan karena tidak sekadar sebagai tokoh lokal Jakarta, tetapi juga dalam kaitannya dengan pergerakan nasional," kata Rizal.
Pria lajang kelahiran Tanjung Duren, Jakarta Barat, 12 Februari 1975 ini ternyata baru bisa membaca sewaktu di kelas III SD. "Aku dulu umur dua bulan sudah diambil oleh kakekku yang seorang bandar ikan. Nenekku seorang penjahit terkenal karena bisa menjahit baju tanpa mengukur. Nah, karena terlalu dimanja, aku sampai kelas III SD belum bisa baca," urai Rizal.
Ia mulai bisa membaca berbarengan dengan mulai sulitnya mencari daun jati untuk bungkus ikan. Sebagai pengganti daun jati, kakeknya terpaksa mencari koran atau majalah-majalah bekas. Koran-koran lama dan majalah-majalah bekas yang dikumpulkan kakeknya itulah yang menjadi bacaan sehari-hari Rizal. "Belakangan aku baru sadar, bacaan itu yang bikin aku senang pada sejarah," ungkap Rizal.
Oleh karena itulah, setamat SMA ia kemudian memutuskan untuk mengambil kuliah di Jurusan Sejarah Universitas Indonesia. Selepas kuliah ia sempat berkeinginan menjadi wartawan, tetapi niatnya itu diurungkan karena ia merasa fisiknya tidak cukup kuat. Ia kemudian mulai menulis artikel tentang Jakarta tempo dulu dan hubungannya dengan kekinian di sebuah koran kota di Jakarta. "Sebulan sampai tiga kali dimuat," tutur Rizal.
Karena seringnya menulis artikel tentang Jakarta, akhirnya Rizal ditawari menulis kolom tentang Jakarta, baik di sebuah majalah mingguan nasional maupun majalah Moesson Het Indisch Maan Blad yang terbit di negeri Belanda.
(WEN/Litbang Kompas)
No comments:
Post a Comment