62th
Suka Hardjana
Menurut para orang pintar yang suka mikir-mikir, konon setiap angka mengandung entitas relatif. Gampangnya, setiap angka mengandung bilangan dan bobot.
Bilangan menunjuk pada jumlah kuantitatif, bobot mencerminkan kualifikasi mutu nilai. Contoh elementarnya sederhana. Dalam hal bilangan, 10 orang dipercaya lebih banyak daripada 1 orang. Tetapi, apakah yang satu secara kualitatif kurang dari yang sepuluh?
Tak sulit menjawab pertanyaan ini. Jawabannya akan agak berbeda bila pertanyaannya menjadi lain, yaitu mana yang akan dipilih, yang sepuluh atau yang satu? Lebih lanjut, apakah yang banyak itu lebih dari yang sedikit? Yang sedikit kurang dari yang banyak?
Ternyata, dalam hal angka soal hitung-menghitung bilangan tidaklah sesederhana yang orang kira. Lebih sulit lagi menghitung (sebenarnya, menduga) angka dalam bobot. Variabelnya tak terhingga sampai ke ujung langit, kata orang pintar.
Dua hari lalu negeri ini merayakan 62 tahun kemerdekaan. Kita semua tahu, tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan. Jadi, sesungguhnya, yang dirayakan itu bilangan 62 tahun kemerdekaan atau bilangan 62 (kali) ulang tahun Hari Proklamasi Kemerdekaan?
Bila angka 62 itu—dalam konteks negara-bangsa—menunjuk pada bilangan sejarah tahun kemerdekaan, maka angka itu menjadi terlalu pendek durasinya. Banyak bangsa yang telah merdeka lebih dari seratus tahun. Tetapi, bila angka itu sekadar menunjuk ihwal Hari Proklamasi, maka angka "ritual" itu menjadi terlalu banyak.
Banyak negara dan bangsa tak pernah menghitung (ulang) hari (proklamasi) kemerdekaan mereka. Mungkin orang-orang itu justru sudah jauh lebih merdeka dari orang-orang yang gemar menghitung hari ulang tahun kemerdekaan. Pilihan dan cara orang merayakan hari-hari bersejarah memang berbeda.
Di Indonesia pilihan perayaan yang bersifat ritual politik tampak lebih menonjol. Ritual politik itu telah berlangsung lebih dari setengah abad. Sampai tahun 1950-an aksi peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia jauh lebih sederhana, tetapi lebih heroik dibanding zaman sekarang. Agenda perjuangan, kemerdekaan, politik persatuan dan keadilan jauh lebih ditonjolkan sebagai peneguhan ingatan kebangsaan daripada sekadar ritual perayaan hura-hura nasional.
Soekarno-Hatta dan para pemimpin bangsa menjadi tokoh sentral yang oleh rakyat ditunggu-tunggu tuah ajaran dan fatwanya. Tanggal 17 Agustus dipandang sebagai hari yang menggerakkan kesadaran kebangsaan. "Revolusi belum selesai," kata Bung Karno berulang-ulang. Apa yang terjadi kemudian justru berbalik arah, berubah menjadi agenda ritual alegoris sejarah dalam bentuk upacara resmi dan keramaian rakyat "revolusi sudah selesai" yang sepertinya telah ditradisikan.
Ritual bendera, baris-berbaris, karnaval budaya, lomba hura-hura permainan rakyat, hias-menghias jalanan dan kantor pemerintah, pidato resmi stereotip sejarah masa lalu, dan yang terbaru... goyang dangdut, menjadi ciri utama ulang tahun kemerdekaan RI. Semua ceria, asyik, dan menyenangkan, seolah-olah hendak membawa rakyat melupa diri masih banyak persoalan fundamental yang belum tertangani sejak negara ini diproklamasikan kemerdekaannya 62 tahun lalu.
Kalau dipikir-pikir (orang menganjurkan tak usah dipikir!), apa hubungan kemerdekaan, kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dengan lomba lari karung, panjat pinang, tarik tambang, sepak bola badutan, ganyang kerupuk, dan pekak telinga rock-dangdutan yang dilakukan di mana-mana dalam rangka peringatan "kesaktian hari suci" 17 Agustus 1945?
Menurut sedikit orang yang berpikir kritis, hura-hura peringatan pembuat lupa persoalan itu sungguh melawan daya kritis ketika hal seperti itu masih saja terus dilakukan setelah 62 tahun kedaulatan dan kemerdekaan dimiliki suatu bangsa yang mengasumsikan dirinya sebagai bangsa besar, unggul, dan berbudaya tinggi. Apa tak ada cara lain yang lebih menarik dan inspiratif untuk merayakan hari kemerdekaan yang sesungguhnya masih menyimpan lebih banyak wigati persoalan? Dalam konteks negeri ini, ternyata angka 62 harus lebih ditilik dari sudut entitas bobotnya ketimbang entitas jumlah bilangannya.
Tak usah jauh-jauh ke negeri orang jauh. Marilah kita membandingkan—dengan jujur, rendah hati dan tanpa rasa minder—apakah negeri ini lebih maju dan lebih unggul dari tetangga Singapura yang tak punya hari perayaan kemerdekaan? Atau dengan negara sahabat "seasal-usul budaya" India yang hari kedaulatan kemerdekaannya, 15 Agustus 1941, dicapai tak jauh dari Hari Proklamasi Kemerdekaan RI? Atau bandingkan dengan negara sahabat "seketurunan" yang justru meraih kedaulatan kemerdekaan negeri mereka lebih belakangan dari kita, seperti Vietnam, 21 Juli 1954, dan Malaysia, 31 Agustus 1957?
Dan memang, seharusnyalah setiap peringatan hari proklamasi kemerdekaan—utamanya bagi bangsa yang ingin maju—tidak hanya dijadikan hari retrospeksi sejarah, tetapi sekaligus hari introspeksi diri yang lebih evaluatif demi masa depan. Dengan begitu, setiap waktu yang mengandung momentum penting tidak terlewatkan begitu saja hanya untuk acara peringatan bersifat ritual politik dan hura-hura nostalgia semu.
Momentum penting itu sepatutnya lebih didekatkan untuk membangkitkan kembali ingatan dengan cara lebih cerdas, mengapa negeri ini 62 tahun lalu memproklamasikan dirinya sebagai bangsa dan negara berdaulat dan merdeka.
Angka (62) itu penting bukan karena tenggang waktunya, tetapi karena bobot nilai yang dikandungnya. Jangan lupa, setelah 62 tahun—sejatinya—negeri ini belum makmur, belum adil, belum unggul dan, belum sudah tidak tertinggal. Tak ada alasan untuk berhura ria melulu. Merdeka!
No comments:
Post a Comment