Wednesday, August 15, 2007

Perlakuan Salah terhadap Anak

Indra Sugiarno

Tanggal 23 Juli 2007 adalah Hari Anak Nasional. Namun, tragisnya, saat peringatan Hari Anak yang diperingati di Dunia Fantasi, Jakarta, rekan saya sedang mengotopsi dua kasus anak dibunuh. Anak berumur 2 tahun dengan kekerasan dalam rumah tangga dan umur 11 tahun dengan eks korban sodomi.

Beberapa tahun terakhir ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media cetak serta elektronik tentang kasus-kasus kekerasan pada anak, dan beberapa di antaranya harus mengembuskan napasnya yang terakhir.

Sampai-sampai ada seorang ibu dalam suratnya ke redaksi salah satu media cetak menuturkan, selaku seorang ibu, ia mengaku sangat sedih membaca berita penganiayaan seorang anak oleh ayahnya sampai meninggal. Ibu itu menyatakan tidak habis pikir bagaimana mungkin orangtua bisa jadi sedemikian garangnya mendera anaknya.

Ada juga seorang ibu secara mendadak menghubungi saya lewat telepon di malam hari. Ia mengatakan dengan perasaan geram dan kekesalannya atas penayangan yang baru saja disaksikannya pada salah satu stasiun televisi yang menyajikan kasus perlakuan salah secara seksual pada seorang anak perempuan.

Media itu menyajikan proses kejadian kekerasan seksual tadi secara detail. Ia mengungkapkan, "Saya merasa jijik. Tayangan itu menampilkan korban, seorang anak perempuan sedang menjelaskan bagaimana si pelaku memperlakukan dirinya. Apa tidak ada sensor dari tim redaksinya untuk tayangan seperti itu? Sungguh tidak berperasaan."

Dari tanggapan dua ibu tadi dapat diketahui bahwa pemberitaan media terkait dengan kekerasan atau perlakuan salah terhadap anak sangat menarik perhatian masyarakat secara luas, dan respons masyarakat pun beragam tergantung dari kemasan beritanya.

Respons masyarakat bisa berempati terhadap berita yang disajikan karena dikemas dengan runut dan lugas, tetapi di pihak lain respons masyarakat bisa pula antipati karena berita dikemas terlampau vulgar. Lalu, timbul pertanyaan, bagaimana seyogianya media menyajikan berita terkait dengan perlakuan salah terhadap anak.

Perlakuan salah

Penderaan anak atau penganiayaan anak atau kekerasan pada anak atau perlakuan salah terhadap anak merupakan terjemahan bebas dari child abuse, yaitu perbuatan semena-mena orang yang seharusnya menjadi pelindung (guard) pada seorang anak (individu berusia kurang dari 18 tahun) secara fisik, seksual, dan emosi. Dari batasan di atas umumnya diakui bahwa pelakunya adalah orang dekat dengan si korban.

Angka kejadiannya secara pasti tidak diketahui, tetapi diperkirakan jumlah anak yang menjadi korban sekitar 12 persen dari seluruh populasi anak. Kasus yang muncul ke permukaan dan menjadi bahan berita di media massa hanya sebagian kecil saja dan merupakan puncak dari fenomena gunung es.

Di Pusat Krisis Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari sekitar 450 kasus kekerasan pada anak dan perempuan per tahun, 45 persen di antaranya kasus kekerasan pada anak (sebagian besar kasus kekerasan seksual).

Banyak teori berkaitan dengan kekerasan pada anak, di antaranya teori yang berkaitan dengan stres di dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orangtua, atau situasional. Stres berasal dari anak (child produced stress) misalnya anak dengan fisik, mental, atau perilaku beda; anak usia balita, serta anak dengan penyakit menahun. Stres berasal dari orang tua (parental produced stress) misalnya orangtua dengan gangguan jiwa, orang tua korban kekerasan pada masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, dan orangtua dengan disiplin tinggi.

Stres berasal dari situasi tertentu (situational produced stress) misalnya terkena PHK atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar. Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif bagi hukuman badan sebagai bagian dari pendidikan anak, maka para pelaku makin merasa sah dalam melakukan penderaan terhadap si anak.

Dengan sedikit saja faktor pemicu, biasanya berkaitan dengan tangisan tanpa henti, dan ketidakpatuhan, terjadilah penganiayaan pada anak yang membawa malapetaka bagi anak dan keluarganya. Saat perlakuan pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak sadar bahwa tindakannya akan diancam dengan pidana penjara dan denda yang tidak sedikit; bahkan jika pelaku orangtuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertiganya (Pasal 80 Undang- Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 sebagai berikut: (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan pada anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00. (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00. (3) Dalam hal anak yang dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00. (4) Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya).

Namun, ancaman denda dan hukuman ini belum banyak diketahui masyarakat karena upaya sosialisasi Undang-Undang Perlindungan Anak yang masih minimal. Kekerasan pada anak bisa terjadi di mana saja, bisa di dalam rumah, di luar rumah, di jalanan, dan di sekolah. Karena itu, diperlukan kebijakan perlindungan anak yang dapat memberikan rasa aman pada anak dari segala bentuk kekerasan yang berasal dari lingkungan.

Upaya perlindungan yang dapat dilakukan berkaitan dengan kekerasan pada anak ini dapat dilakukan dengan pendekatan kesehatan pada masyarakat (public health), yaitu melalui usaha promotif, preventif, diagnosis, kuratif, dan rehabilitatif. Dua usaha yang pertama ditujukan bagi anak yang belum menjadi korban (non-victim) melalui kegiatan pendidikan masyarakat dengan tujuan utama menyadarkan masyarakat (public awarness) bahwa kekerasan pada anak merupakan penyakit masyarakat yang akan menghambat tumbuh kembang anak yang optimal, oleh karenanya harus dihapuskan.

Sedangkan dua usaha terakhir ditujukan bagi anak yang telah menjadi korban (victim) dengan tujuan utama memberikan tata laksana korban secara menyeluruh (holistic) meliputi aspek media, psikologis, sosial, termasuk di dalamnya upaya reintegrasi korban ke dalam lingkungannya semula. Upaya perlindungan di atas dapat dilaksanakan oleh profesional di bidangnya masing-masing di satu pihak dan media di pihak lain.

Peran media

Tidak dapat dimungkiri sangat besar peran media dalam hal penyebarluasan terjadinya kasus perlakuan salah terhadap anak dan kasus kejahatan pada anak lainnya. Namun, kemasan pemberitaan media kadang masih lebih mencari sisi sensasi dan pada beberapa kasus kerap kurang berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak, baik anak sebagai korban atau pelaku.

Dengan kata lain, sampai sekarang peran media telah eksis untuk melaporkan berita tentang anak yang telah menjadi korban, sementara peran media yang ditujukan bagi anak yang belum menjadi korban melalui usaha yang promotif dan preventif belum terlihat jelas. Padahal, besarnya kelompok anak yang disebut terakhir ini meliputi hampir 90 persen dari seluruh populasi anak.

Peran media

Dengan demikian, media harus memainkan peran kunci dalam upaya pencegahan perlakuan salah terhadap anak. Sebagai kekuatan besar yang berkemampuan membentuk opini masyarakat, media seyogianya bisa membuat program dan pelaporan yang lebih bertanggung jawab dengan artian tidak menonjolkan sisi sensasionalnya, tetapi bersifat mendidik untuk upaya promotif dan preventif. Misalnya, mengajak masyarakat melakukan dekulturisasi budaya diterimanya kekerasan di masyarakat, sosialisasi ancaman pidana dan denda untuk menumbuhkan efek jera (deterrence) di masyarakat, menjelaskan cara-cara tanpa kekerasan untuk menyelesaikan masalah, mendidik masyarakat mengenai besarnya dampak kekerasan pada anak bagi tumbuh kembang anak, menyuarakan upaya-upaya alternatif yang perlu diambil pemerintah dalam memerangi kekerasan pada anak. Langkah penting lainnya dari media adalah media harus dapat menggambarkan dan menjelaskan kepada publik bahwa pengasuhan dan perawatan anak yang baik merupakan pekerjaan yang sangat bernilai dan sangat penting di dalam masyarakat kita.

Tidak hanya sekadar kewajiban sehingga pada gilirannya orangtua akan makin percaya diri, dan percaya diri ini akan sangat membantu mencegah terjadinya kekerasan pada anak. Akhirnya, kita menyadari bahwa kekerasan pada anak sudah menjadi satu masalah atau satu morbiditas di masyarakat dan keberadaannya akan berdampak negatif bagi anak, keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Kita juga menyadari sangat besar peran media dalam upaya mengatasi masalah ini, terutama dalam menggalang opini publik, mengadvokasi kebijakan, dan menjadikannya sebagai agenda politik, serta memberikan pendidikan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya masalah kekerasan pada anak dan upaya-upaya pencegahannya.

Dr Indra Sugiarno SpA Ketua Satgas Perlindungan dan Kesejahteraan Anak Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI)

No comments: