Budaya Urban Tidak Selalu Warisan
Jakarta, Kompas - Keterbukaan tidak perlu dihindari lagi dalam proses terbentuknya peradaban. Tembok yang memisahkan budaya luar dan tradisional harus segera dirobohkan dan masa depan peradaban terus dalam kendali anak muda.
Demikian rangkuman gagasan Jimi Multhazam "The Upstairs", budayawan dan Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Sardono W Kusumo, CEO Taman Impian Jaya Ancol Budi Karya Sumadi, Ketua Panitia UrbanFest 2007 Nugroho F Yudho, dan penyiar Radio Prambors Marwan, menyambut kegiatan Urbanfest 2007 di Pantai Karnaval Ancol, kepada pers di Jakarta, Rabu (22/8).
"Yang terjadi adalah persilangan budaya, dan ini sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Kita mengadaptasi budaya dari luar, tetapi banyak juga orang-orang di luar negeri dipengaruhi budaya dari sini," ujar Jimi.
Jauh sebelum Rolling Stones mengangkat tren rock’n roll mendunia sudah ada Tielman Brothers, band asal Indonesia yang bermusik di jalur ini lebih dulu di Belanda. "Tapi, mungkin karena orang Indonesia sepertinya tidak menimbulkan tren pada saat itu," tuturnya.
Menurut Jimi, kebanyakan anak muda merasa inferior dengan budaya asli mereka. Ketika datang dari desa ke kota, lalu berkenalan dengan budaya luar, banyak yang terperangah dan menilai budaya luar lebih baik atau lebih keren.
Akan tetapi, anak muda kini mulai berani menunjukkan dirinya berbeda. Kelahiran grup dan attitude indie band adalah buktinya. Dengan demikian, inilah saatnya bagi mereka memegang kendali peradaban baru.
Penyiar Radio Prambors, Marwan, mengemukakan, kebebasan tidak berarti membentuk tembok pemisah antara pengaruh luar dan apa yang sering disebut-sebut indie. "Saatnya untuk membongkar tembok pemisah antara indie dan pengaruh luar. Meski ini kemudian disebut hibrid, tetap akan membentuk Jakarta yang berkarakter," katanya.
Harus aktif
Sardono W Kusumo melihat tren yang berlangsung dalam masyarakat urban Jakarta tak selalu dibentuk warisan budaya di masa lalu. Budaya urban dibangun oleh adanya interaksi, penafsiran, atau reaksi kontemporer dari publik. "Ada yang datang dari Solo, ada yang dari Ambon, membawa budayanya sedikit-sedikit ke Jakarta. Di situ muncul pribadi-pribadi yang gelisah ingin mengekspresikan dirinya tidak dalam dominasi struktur," tuturnya.
Karena itu, setiap orang harus aktif, kreatif, dan berani berbeda dari lainnya. Namun, setiap pribadi menyumbangkan peradaban dan ia juga bertanggung jawab atas sumbangannya tadi.
Segala yang ia sumbang, pada saat ini, kata Sardono, bukan tidak mungkin menjadi tren di masa mendatang. Karena itulah, anak muda disebut sebagai penyumbang besar atas terbentuknya peradaban baru. Karena itu, Sardono amat girang dan optimis dengan reaksi dan kreativitas kaum muda. "Mereka ini bukan cuma unik, tetapi juga sangat cerdas," kata Sardono.
Perkembangan peradaban itu kemudaan butuh penyegaran. Karena itu, penyegaran yang tumbuh dari mana pun, yang disumbangkan individu-individu, bisa saja dipakai. "Mereka ini menyukai kebebasan karena tidak ingin didikte dengan apa yang ada. Ini sebenarnya bisa menjadi basis penciptaan yang berguna bagi peradaban masyarakat," kata Sardono.
Dalam budaya urban, ruang pribadi itu sangat dibutuhkan. Orang tidak malu atau takut lagi untuk punya minat, selera, atau cara hidup yang berbeda dengan orang-orang yang ada di komunitasnya. "Individu yang ada dalam masyarakat pada akhirnya menafsirkan budaya dalam lingkungan dan pengaruhnya untuk jadi miliknya sendiri," katanya.
Menurut Sardono dan Ketua Panitia Urbanfest 2007 Nugroho F Yudho, kaum muda harus diberi ruang besar untuk mengekspresikan dirinya. Dengan begitu, akan muncul banyak kreativitas yang ternyata baik dan bermanfaat bagi dinamika masyarakat.
Nugroho menambahkan, Urbanfest diharapkan menjadi saluran alternatif bagi ekspresi kebebasan kaum muda. (ITA/ELN)
No comments:
Post a Comment