Maria Hartiningsih
Harian "Kompas" bersama Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia menyelenggarakan sebuah kolokium bertema "Individuasi di Tengah Globalisasi", dengan narasumber Prof Toeti Herati Noerhadi, Rocky Gerung, dan Vincent Jolasa dari Universitas Indonesia, kemudian Franz Magnis-Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Martin Sinaga dari Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Berikut dua tulisan tentang kolokium tersebut yang dimuat di halaman ini.
Perjalanan Indonesia kontemporer ibarat melintasi jalan licin, sempit, dan terjal dengan jurang yang dalam di kanan-kiri. Itulah ikatan-ikatan primordial yang semakin menguat, yang melahirkan intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan. Bagaimana filsafat menjawab situasi ini?
Globalisasi menghasilkan kontradiksi-kontradiksi. Di satu sisi terjadi de-tradisionalisasi dan berkembangnya kosmopolitanisme. Di sisi lain menguatkan konservatisme dan memicu identitas baru yang memproduksi berbagai kemungkinan.
Situasi itu, mengutip Stuart Hall (dalam Kate Nash, 2000), mengakibatkan identitas menjadi lebih politis, terjadi penguatan identitas yang berlindung pada berbagai identitas budaya (dan agama) komunitas beserta institusi sosialnya. Hampir semua negara mengalami dampak tersebut. Akan tetapi, bagi Indonesia situasinya menjadi sangat serius.
Pertama, karena negeri ini merupakan negara kepulauan, terdiri dari sekitar 17.500 pulau besar dan kecil, sambung menyambung dari barat ke timur, dengan ratusan etnis dan kebudayaan yang sudah berkembang jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Kedua, notion persatuan dan kesatuan yang dipaksakan dengan pendekatan keamanan pada zaman Orde Baru. Pemerintahan yang otoriter dan sentralistik menguasai sumber-sumber daya lokal selama berpuluh tahun, tetapi melupakan kesejahteraan masyarakatnya.
Ketegangan dan kekerasan merebak, dipicu oleh disparitas ekonomi dan kehancuran sumber daya alam, yang tidak seluruhnya tertampung dalam instalasi demokrasi yang sedang dibangun.
Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah seperti menjadi amunisi untuk melegitimasi segala tindakan atas nama adat, budaya, tradisi, yang bercampur baur dengan keyakinan, dan agama untuk menegaskan perbedaan satu dengan yang lain. Toleransi menjadi kata kosong di tingkat realitas sosial. Transaksi kewarganegaraan terasa sangat formal. Tak ada pendalaman kesadaran akan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pergaulan masyarakat yang multibudaya.
Merenung ulang
Perlindungan dan kemerdekaan individu di dalam komunitas menjadi persoalan di dalam perubahan-perubahan besar dalam tatanan kebudayaan akibat transmisi nilai-nilai global dan pikiran-pikiran baru tentang kemanusiaan. Ini menyangkut persepsi tentang identitas dan kemampuan mengembangkan toleransi sosial serta adaptasi ketika berhadapan dengan nilai-nilai global yang bersifat multivalensi.
Bagaimana filsafat menjawab situasi yang berkembang di dunia kontemporer ini? Kekerasan berbasis keyakinan komunal, politik identitas, toleransi bersyarat, masalah tanggung jawab bersama yang melintasi sekat-sekat primordial, keberwargaan (citizenship) global, dan kosmopolitanisme adalah persoalan yang perlu direnung dalam memikirkan filsafat di tengah lokalitas.
Ada dua modus besar dalam hubungan filsafat dan lokalitas. Pertama, filsafat yang mencoba merayakan lokalitas, artinya mengangkat lokalitas nilai-nilai adiluhung yang perlu dikembangkan pada iklim modernitas.
Kedua, filsafat yang mempertanyakan lokalitas. Sekitar 2.500 tahun lalu Socrates mempertanyakan adat karena tidak memberikan ruang bagi kebebasan berpikir yang menghasilkan pemikiran-pemikiran untuk suatu perubahan.
Dalam beberapa dekade ini filsafat agak bergeser dari pemujaan terhadap singularitas kepada kemungkinan pluralitas dan fragmentaris. Dalam pergeseran ini ada dua hal yang penting dicermati. Pertama, persoalan individuasi dalam kubus-kubus kebudayaan kita. Kedua, persoalan identitas, apakah identitas dilihat sebagai sesuatu yang ketat atau longgar, memberi atau menutup kemungkinan dan menjadi esensialistik.
Komunikasi yang macet dapat didobrak kalau ditemukan embrio individualitas di dalam rahim kebudayaan kita. Artinya, lokalitas harus didefinisikan ulang. Diskusi menjadi menarik karena persis berada di dalam tarikan ketegangan itu.
Jalan licin
Polaritas dan kerumitan hubungan-hubungan di dalam masyarakat semakin menajam setelah tragedi 11 September 2001 di New York, AS. Toleransi menjadi konsep yang bersyarat. Lalu muncul konsep semacam toleransi (untuk) tidak toleran, dan pluralisme terbatas. Di Eropa terjadi di dalam urusan kaum imigran. Ini menyalahi proposal John Rawls mengenai demokrasi, yang berangkat dari sensitivitas sosial untuk melindungi mereka yang marjinal.
Sinisme karena demokrasi (baca: reformasi) di Indonesia gagal membawa perbaikan ekonomi rakyat sangat mudah tersalur ke dalam pencarian jati diri moral yang menganggap demokrasi tak mampu memberi kepastian akan kemakmuran. Muncul pandangan, hanya sistem nilai komprehensif, terutama yang berbasis agama, yang dianggap mampu menjamin keadilan dan kesejahteraan. Pada titik ini ada semacam rasa aman kultural untuk mendasarkan pencarian makna itu pada tema multikulturalisme.
Etnofilsafat terkait dengan itu. Multikulturalisme menyingsing pada masa kolonial dan berkembang sejak periode pascakolonial dengan tokohnya, antara lain, Edward Said. Lokalitas dalam konteks itu terkait dengan politics of difference yang bersifat kultural dan memperjuangkan pengakuan hak.
Evaluasi filsafat terhadap fenomena politics of difference menghasilkan apresiasi terhadap kondisi incommensurable kebudayaan, yang dalam bahasa populer disebut sebagai "keunikan", "keragaman", atau "identitas" budaya. Di situ nilai suatu kelompok harus dianggap final, esensial. Artinya, ia tidak mungkin dipertukarkan dalam wilayah publik. Istilah semacam "local wisdom" atau "kearifan lokal" yang bergaung seperti mantra mengandaikan otentisitas dan otonomi suatu komunitas moral.
Perbedaan pandangan menajam antara pandangan etnofilsafat, yang merayakan keberagaman budaya, dan yang memandang politics of difference secara kritis, karena dalam konteks Indonesia, hal itu bisa menjadi alat kekuasaan.
Salah satunya adalah konsep "harmoni Jawa" yang dikentalkan Soeharto, membuat konflik dimasukkan ke dalam karpet tebal "persatuan" dan "kesatuan". Ben Anderson menjelaskan keterkaitan bahasa dengan kekuasaan dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (1990). Dalam Development as Freedom (1999), Amartya Sen menyebut cara berpikir orang Timur tidak kenal budaya oposisi.
Proyek identitas etnis yang merayakan politics of difference itu dalam dunia yang kontemporer berlanjut dalam bentuk gerakan kebudayaan berkarakter politics of recognition. Karakter itu mudah tergelincir menjadi politik identitas yang berbahaya karena kecenderungannya mendominasi kebenaran.
Nilai kemanusiaan kita ditantang ketika keberagaman manusia dimampatkan ke dalam satu sistem kategorisasi tunggal yang sewenang-wenang. Identitas tunggal adalah ilusi, seperti ditegaskan Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence: The Illusion of Destiny (2007).
Hakikat kebenaran, termasuk kebenaran suatu identitas, meminjam istilah Derrida, adalah to come, tak pernah tercapai. Di negara seperti Indonesia, jaminan identitas adalah sesuatu yang terus dibangun, dengan mengandaikan pembagian beban dan tanggung jawab secara adil dan setara.
Hati-hati, ada jebakan
Etnofilsafat seharusnya tidak diarahkan untuk proyek romantisasi "keaslian" suatu budaya karena cara itu pasti menuju kepada jebakan etnosentrisme. Lebih dari itu, filsafat hanya akan menjadi suaka akademis dari berbagai "ketidakarifan lokal".
Etnofilsafat harus menggali apa yang bisa dijadikan semacam resep baru dalam upaya mempertahankan keberwargaan yang demokratis (democratic citizenship). Di dalam democratic citizenship, tak ada soal mayoritas-minoritas-marjinal, karena hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya warga negara dilindungi secara sama utuhnya satu dengan yang lain. Pendekatan ini adalah tawaran karena doktrin komprehensif agama ataupun etika tak mampu meredam kekerasan atas nama politik identitas yang terus-menerus terjadi.
Tuntutan terhadap pengakuan identitas seharusnya diartikulasikan sebagai perjuangan politik untuk menjamin representasi demokratik, bukan untuk menyelenggarakan suatu local truth dengan demokrasi sekadar berfungsi sebagai lapangan pertandingan tanpa batas.
No comments:
Post a Comment