Monday, August 20, 2007

Udang di Balik Kerisauan Guru

Ki Supriyoko

Beberapa waktu lalu, ribuan guru berdemo "mengepung" Istana Negara. Mereka mengajukan tuntutan agar anggaran pendidikan sebesar (minimal) 20 persen terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara seperti diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dipenuhi.

Perjuangan meningkatkan anggaran pendidikan sudah sering dilakukan, tetapi seharusnya tidak disertai pematokan angka 20 persen apalagi dimasukkan dalam UUD 1945 hasil perubahan. Mengapa? Dari dulu hingga kini, untuk memenuhi angka 20 persen, dirasa terlalu berat.

Memasang angka dalam UUD juga kurang tepat. UUD seharusnya memuat berbagai ketentuan yang konseptual filosofis, bukan angka-angka teknis. Namun, semua sudah terjadi.

Guru berdemo

Mencapai angka minimal 20 persen untuk pendidikan jelas susah. Siapa pun presidennya, menyisihkan anggaran 20 persen hanya untuk satu sektor tentu terasa berat.

Dalam pidato kenegaraan tentang RUU APBN 2007 di Gedung MPR/DPR Jakarta (16/8/2006), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, RAPBN 2007 mengalokasikan dana Rp 51,3 triliun untuk pendidikan.

Pemerintah terus berupaya meningkatkan anggaran pendidikan, baik nominal maupun rasio, terhadap belanja pemerintah pusat untuk memenuhi amanat UU Sisdiknas.

Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, anggaran pendidikan dalam RAPBN 2007 mengalami kenaikan signifikan. Konkretnya, dalam RAPBN 2004, anggaran pendidikan hanya Rp 15,2 triliun. Jika dalam RAPBN 2007 menjadi Rp 51,3 triliun, maka dalam tiga tahun mengalami kenaikan Rp 36,1 triliun (237,5 persen). Jika dirata-rata, ada kenaikan 79,2 persen per tahun.

Angka-angka tersebut tentu membesarkan hati. Namun, jika dihitung nilai relatifnya, ternyata tidak demikian. Jika diperhatikan, rancangan anggaran belanja RAPBN 2007 mencapai Rp 746,5 triliun, terdiri atas anggaran belanja pemerintah pusat Rp 496,0 triliun dan belanja pemerintah daerah Rp 250,5 triliun.

Apa arti semua itu? Jika dibandingkan dengan rancangan anggaran belanja (total), anggaran pendidikan kita baru mencapai 6,87 persen. Namun, jika dibandingkan dengan anggaran belanja pemerintah pusat, anggaran pendidikan kita mencapai 10,34 persen. Jadi, anggaran pendidikan dalam RAPBN 2007 hanya 6,87 persen.

Melihat itu semua, terlihat, betapa pemerintah telah bersungguh-sungguh meningkatkan anggaran pendidikan, tetapi hasilnya belum memenuhi amanat UUD 1945 ataupun UU Sisdiknas. Maka, benar pendapat yang mengatakan, betapa sulit memenuhi angka 20 persen hanya untuk satu sektor pembangunan.

Udang berarti kesejahteraan?

Bahwa guru melakukan demo kini bukan hal baru dan makin lama menjadi hal yang biasa. Yang menjadi pertanyaan, mengapa tuntutan guru pada anggaran pendidikan dan tidak lagi seperti "kebiasaan" yang sudah-sudah, yaitu menuntut kesejahteraan.

Ketika hal itu saya tanyakan kepada guru senior, dengan sukarela dijawab, tuntutan anggaran pendidikan itu hanya sebagai strategi. Jika yang dituntut hanya masalah kesejahteraan, tentu tidak lagi menarik perhatian publik dan terkesan hanya memperjuangkan diri sendiri.

Namun, jika yang dituntut adalah masalah anggaran pendidikan, selain menarik perhatian publik, bahkan bisa mempermalukan pemerintah, maka anggota masyarakat akan lebih banyak yang mendukung perjuangan guru.

Benarkah bisa mempermalukan pemerintah? Itu benar karena, berdasar ketentuan yang ada, pemerintah telah "melanggar" UUD 1945 hasil perubahan (dan UU Sisdiknas). Jika hal ini didengar pihak asing, tentu tidak bagus untuk momentum menjelang Pemilu 2009.

Logikanya sederhana, jika anggaran pendidikan dipenuhi minimal 20 persen dari APBN, akhirnya akan lari ke kesejahteraan guru juga.

Benarkah otak-atik ini? Benarkah para guru risau? Benarkah ada udang kesejahteraan di balik demo guru? Entahlah! Namun, yang jelas, kesejahteraan guru di Indonesia memang amat memprihatinkan. Pemerintah diharapkan memberi perhatian atas masalah ini.

Ki Supriyoko Pamong Tamansiswa, Mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN), Sekretaris Komnas Pendidikan Indonesia

No comments: