Thursday, January 31, 2008

Peringkat PT dan Delusi Akademik


Rabu, 23 januari 2008 | 03:13 WIB

Geger Riyanto

Tahun lalu, sebuah survei global yang dilansir Times Higher Education Supplement atau THES menunjukkan, UI merupakan perguruan tinggi terbaik di Indonesia.

Survei yang sama menunjukkan, kini peringkat UI terjerembab di bawah UGM dan ITB. UI yang sebelumnya di peringkat 250 di antara universitas-universitas di dunia, tahun ini melorot ke peringkat 395. Bagaimana mungkin hanya berselang setahun reputasi akademik institusi ini merosot?

Rupanya tidak hanya UI. Hasil survei tahun 2005, UI pada peringkat ke-420, UGM ke-341, dan ITB ke-408. Tahun 2006, semua meningkat. UI di peringkat 250, ITB ke-258, dan UGM ke-270. Dan, tahun 2007, tiga universitas itu merosot, UGM ke peringkat 360, ITB ke-369, dan UI ke-395.

Tidak netral

Rupanya, tak hanya di Indonesia. Banyak universitas lain di dunia yang seketika mencuat atau melorot puluhan hingga ratusan peringkat (http://uniranks.unifiedself.com). Hanya sejumlah universitas tersohor, seperti University of Oxford, University of Cambridge, dan Harvard University, yang peringkatnya relatif tetap. Mustahil rasanya kualitas pendidikan pasang naik dan surut semudah tertiup angin. Lalu apa yang salah? Tak lain, kacamatanya.

Dalam penelitian THES, peringkat universitas ditentukan dari empat kriteria.

Pertama, kualitas penelitian yang didapat dengan menyebarkan angket kepada para akademisi (peer review, bobot 40 persen), dan dari seberapa banyak penelitian universitas terkait dikutip (citations per faculty, bobot 20 persen).

Kedua, kesiapan kerja lulusan (graduate employability, bobot 10 persen). Ketiga, jumlah program internasional (bobot 5 persen) dan mahasiswa internasionalnya (bobot 5 persen); Keempat, rasio staf pengajar dan mahasiswanya (bobot 20 persen).

Dalam peer review, para akademisi diminta menyebutkan 30 universitas terbaik di wilayahnya. Masalahnya, peer review mendapat jatah bobot paling besar, sementara respons para akademisi amat riskan akan bias. Bukankah dimungkinkan, responden bersikap tidak netral dan menjawab berdasar sentimen dan kedekatan terhadap institusi tertentu?

Dari survei THES tahun 2007, ada 21 universitas yang mendapat nilai 100 dalam kriteria ini, tetapi tak semuanya layak. Alex Usher dari Educational Policy Institute di AS berpendapat tidak mungkin kualitas McGill University melebihi UPenn, Stanford, Berkeley, University of Tokyo, dan Ecole Normale Superieur (Educational Policy, 9/11/2007). Usher berkomentar blak-blakan karena ia alumnus McGill.

Pihak THES tidak pernah memaparkan teknik penarikan sampel, tetapi sampel dari penelitian itu jelas tidak merepresentasikan pengenyam pendidikan dari wilayah terkait. Dari 190.000 kuesioner yang dikirimkan, hanya 3.703 yang ditanggapi pada penelitian tahun 2006. Dan, jumlah tanggapan dari suatu negara lebih ditentukan dari tingkat kemampuan warganya untuk mengakses internet. Dari 101 negara yang menanggapi, jumlah penanggap paling banyak dari AS dan Inggris, AS 532 responden dan Inggris 378 responden. Namun, di China hanya 76 penanggap. Di Malaysia (112 penanggap), Singapura (92), dan di Indonesia hanya 93.

Alternatif

Para pengamat memandang, penelitian Shanghai Jiao Tong University (SJT) jauh lebih tepercaya ketimbang milik THES. Pemeringkatan SJT ditinjau dari sejumlah indikator, antara lain: Nobel dan penghargaan yang diterima alumni universitas (bobot 10 persen); Nobel dan penghargaan yang diterima staf akademik (20 persen); jumlah staf yang karyanya dikutip (20 persen); jumlah artikel yang dipublikasikan di jurnal (20 persen); jumlah kutipan terhadap karya-karya itu (20 persen); dan jumlah staf pengajar yang bekerja full-time (10 persen).

SJT menggunakan indikator-indikator yang konkret, sehingga hasil penelitiannya dapat lebih diandalkan. Selain itu, hasil pemeringkatan SJT lebih memacu untuk mengembangkan penelitian dan kultur akademik.

Notabene universitas-universitas di Australia menempati peringkat tinggi dalam survei THES—jumlahnya melebihi Jepang, Perancis, Jerman, Belanda dan negara-negara maju lainnya—bukan karena kualitas pendidikan dan penelitiannya, tetapi karena banyak membuka program internasional.

Meskipun selama ini banyak dikritik, THES tak kunjung merevisi metodologinya. Dan, agak miris rasanya, saat mencari di Google, saya menemukan banyak universitas dari berbagai negara yang berbangga diri karena termasuk universitas tersohor dalam versi THES. Publik negeri ini pun sempat dibuat terkesima karenanya.

Dilihat dari dampaknya, penelitian THES cenderung penelitian yang bermakna politis ketimbang akademis. Meskipun sebuah penelitian tidak bisa sepenuhnya akurat dengan kenyataan, tetapi sebuah pakem etika dalam melakukan penelitian mutlak dibutuhkan. Sebab etika akademik menuntut peneliti untuk selalu awas terhadap penelitiannya, terlebih saat hasilnya berpotensi memengaruhi aspirasi publik.

Bila tidak, sebuah penelitian dapat menyebabkan delusi publik. Lihat, ketika Universiti Malaya anjlok dari peringkat ke-89 pada tahun 2004 ke peringkat 169 tahun berikutnya, publik Malay- sia tersentak. Bermunculan editorial yang mensinyalir menurunnya kualitas pendidikan di negeri Jiran, bahkan sempat menjadi wacana dalam Parlemen.

Bagi kita, akan lebih arif jika kita lebih mawas, mengkaji lebih dulu survei semacam ini secara teliti. Dari sanalah kita menentukan, tolakan manakah yang paling tepat untuk memacu kita mengembangkan pendidikan tinggi di negeri ini.

Geger Riyanto Alumnus Sosiologi, Universitas Indonesia

Hanya 20 Persen SMA yang Memenuhi Standar


Kamis, 31 januari 2008 | 02:40 WIB

Sukabumi, Kompas - Hanya 20 persen dari seluruh sekolah menengah atas, baik negeri maupun swasta, yang memenuhi delapan standar otonomi pendidikan. Akibatnya, tujuan otonomi pendidikan untuk mewujudkan sekolah berbasis keunggulan lokal belum tercapai.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, delapan standar otonomi pendidikan yang harus dipenuhi sekolah adalah isi, kompetensi, pendidik, sarana, proses, pelayanan, pengelolaan, dan biaya. ”Jika delapan syarat itu terpenuhi, akan ada ruang yang cukup lebar untuk tumbuhnya kreativitas dan kemandirian,” kata Bambang Sudibyo saat menghadiri peringatan sewindu Sekolah Menengah Atas Pesantren Unggul Al Bayan, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (30/1) sore.

Menteri Pendidikan Nasional mengatakan, kewenangan menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah didelegasikan kepada pemerintah daerah sebagai bentuk desentralisasi pendidikan. ”Diharapkan, pemerintah kabupaten dan kota makin meningkatkan perannya dalam otonomi pendidikan ini sehingga seluruh standar terpenuhi,” kata Bambang Sudibyo.

Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas Departemen Pendidikan Nasional Sungkowo mengatakan, jumlah SMA negeri dan swasta di Indonesia sekitar 9.500 unit dengan jumlah siswa sekitar 4,75 juta orang. ”Hambatan 80 persen SMA yang belum memenuhi standar tersebut adalah guru dan sarana,” ujar Sungkowo.

Dari segi kuantitas, jumlah guru sudah memenuhi syarat, tetapi yang masih menjadi persoalan adalah kualitasnya.

Sungkowo mengatakan, kualitas guru ini menjadi persoalan dasar dalam otonomi pendidikan karena kurikulum tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat. Dalam otonomi pendidikan, kurikulum disusun oleh sekolah, sedangkan pemerintah hanya memberikan standar minimal isi kurikulum.

Jika kualitas guru masih menjadi persoalan, pencapaian standar minimal isi kurikulum pun akan sulit dilakukan.

Anggaran pendidikan

Bambang Sudibyo mengatakan, tahun ini Depdiknas mendapat anggaran sekitar Rp 50 triliun. Sebanyak 50 persen dari anggaran tersebut tersedot untuk penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Anggaran untuk penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun tersebut, Rp 11,7 triliun di antaranya tersedot untuk bantuan operasional sekolah. Sisa anggaran lainnya dialokasikan untuk pendidikan menengah dan tinggi. (AHA)

Wednesday, January 30, 2008

Soeharto dan Upaya Pemerataan Pendidikan


Rabu, 30 januari 2008 | 02:22 WIB

Sejak awal kekuasaannya sebagai Presiden RI, Soeharto berupaya menggarap pendidikan sebagai hal yang harus dibenahi secara serius. Tiga hal yang cukup populer di masyarakat adalah program wajib belajar, pembangunan SD inpres, dan pembentukan kelompok belajar atau kejar.

Program wajib belajar dicanangkan pada 2 Mei 1984, di akhir Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III. Dalam sambutannya saat itu, Soeharto menyatakan, kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan adil kepada seluruh anak usia 7-12 tahun di belahan bumi Indonesia mana pun dalam menikmati pendidikan dasar. Seremonial pencanangan dilakukan secara besar-besaran di Stadion Utama Senayan, Jakarta.

Program ini memang telah direncanakan saat Pelita II. Tidak murni seperti kebijakan wajib belajar di negara lain yang memiliki unsur paksaan dan ada sanksi bagi yang mengabaikan. Pemerintah hanya mengimbau orangtua agar memasukkan anaknya yang sudah cukup umur ke sekolah. Negara bertanggung jawab terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, seperti gedung sekolah, peralatan sekolah, di samping tenaga guru dan kepala sekolah. Karena tidak ada sanksi, dalam prosesnya hingga kini, masih ditemukan anak-anak pada kelompok usia pendidikan dasar yang tidak bersekolah.

Walau demikian, keberhasilan program wajib belajar 6 tahun ditandai dengan kenaikan angka partisipasi sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen. Angka partisipasi SD menjadi 89,91 persen di akhir Pelita IV. Kenaikan angka partisipasi itu menambah kuat niat pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak yang ikut program wajib belajar selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau tamat sekolah menengah pertama (SMP).

Upaya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun dimulai saat diresmikannya Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994. Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1994.

Pelaksanaan program wajib belajar yang diikuti dengan penambahan fasilitas pendidikan diwujudkan dengan peningkatan jumlah sekolah dan guru SD di seluruh Indonesia.

Sebelum program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dilaksanakan, jumlah gedung SD yang tercatat pada tahun 1968 sebanyak 60.023 unit dan gedung SMP 5.897 unit. Pada awal Pelita VI, jumlah itu telah meningkat menjadi sekitar 150.000 gedung SD dan 20.000 gedung SMP.

Jumlah guru SD yang sebelumnya pada kisaran angka ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari satu juta guru. Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga terjadi pada guru SMP.

SD inpres dan kejar

Program wajib belajar yang dimulai Soeharto di akhir Pelita III diakui telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar.

Sebelum wajib belajar dicanangkan, upaya peningkatan kualitas pendidikan dasar didahului dengan dikeluarkannya Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Tujuan penerbitan kebijakan ini adalah untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah.

Pelaksanaan tahap pertama program SD inpres adalah pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing memiliki tiga ruang kelas. Ketika itu Indonesia baru saja mendapat limpahan dana hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya. Uang itu kemudian digunakan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, salah satunya pendidikan.

Pada tahun-tahun awal pelaksanaan program SD inpres, hampir setiap tahun, ribuan hingga puluhan ribu gedung sekolah dibangun. Pembangunan paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD baru dibuat. Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD inpres telah dibangun.

Seiring dengan pembangunan gedung SD inpres tersebut, ditempatkan pula satu juta lebih guru inpres di sekolah-sekolah itu. Total dana yang dikeluarkan untuk program ini hingga akhir Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun.

Setelah perluasan kesempatan belajar, sasaran perbaikan bidang pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Kenyataan bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf ditanggapi pemerintahan Soeharto dengan pencanangan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Tekniknya adalah dengan pembentukan kelompok belajar atau ”kejar”.

Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tujuannya, mereka akan mampu membaca serta menulis huruf dan angka Latin. Tutor atau pembimbing setiap kelompok adalah siapa saja yang berpendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah peserta dan waktu pelaksanaan dalam setiap kejar bersifat fleksibel. Hingga saat ini program kejar yang sudah semakin berkembang masih tetap dijalankan.

Keberhasilan program kejar salah satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.

Menyimak ketiga program pendidikan populer yang terbit pada era Soeharto itu, bisa disimpulkan, presiden kedua Indonesia ini cukup menganggap penting bidang pendidikan. Hanya saja, penekanannya baru sebatas upaya peningkatan angka-angka indikator pendidikan. Dan ini memang menjadi fokus pembangunan pendidikan saat itu, yaitu peningkatan secara kuantitatif, belum memerhatikan kualitas atau mutu pendidikan. (Palupi Panca Astuti/ Litbang Kompas)

Saturday, January 26, 2008

Imagologi Duka Pak Harto


Senin, 21 januari 2008 | 04:36 WIB

Yasraf Amir Piliang

Hari-hari ini, perhatian, perasaan, dan pikiran bangsa Indonesia tercurah pada kondisi mantan Presiden Soeharto yang sedang terbaring sakit. Ada ekstra kesibukan di mana-mana. Para dokter rumah sakit sibuk merawat Pak Harto, para wartawan tak henti memberitakan kondisi beliau, para kerabat silih berganti membesuk ke rumah sakit, para politikus tak bosan-bosan memberikan komentar politik, para simpatisan tak putus-putus memanjatkan doa, bahkan para mistikus ambil bagian memberikan analisis gaib.

Pemberitaan intensif kondisi harian Pak Harto di aneka media mengubah sakit Pak Harto menjadi ”dramatis”. Istilah ”normal”, ”stabil”, ”kritis”, ”ventilator”, ”cairan tubuh”, ”memaafkan” kini menjadi bagian sentral drama publik.

Sakit hiper-real

Sakit itu menjadi sebuah ”wacana” (discourse), ”teks”, dan kumpulan ”tanda-tanda” (sign) untuk dimaknai setiap orang. Sakit itu kini menjadi ’imagologi kesakitan’ (imagology of sickness): keprihatinan, kedukaan, dan empati yang dibangun melalui citra-citra media.

Sakit Pak Harto dimuati pula dengan tafsir-tafsir politik, ekonomi, sosial, spiritual, bahkan mistis. Sakit itu kini dikaitkan dengan kesalahan politik, dosa sosial, peristiwa mistik, bahkan fenomena-fenomena spiritual. Sakit itu tidak saja membentuk opini publik (pro-kontra antara diadili/dibebaskan, dihukum/diampuni), tetapi juga ”histeria massa” (mass hysteria): gejolak keprihatinan, kedukaan, dan empati mendalam.

Sakit Pak Harto kini menjadi hiperteks (hypertext), yaitu kesakitan yang dinarasikan dari hari ke hari melalui media elektronik-digital. Sakit itu pun kini menjadi sakit ”hiper-real”, di mana organ-organ dalam tubuh Pak Harto (jantung, lambung, paru-paru, ginjal, saluran pencernaan) dinarasikan menit per menit dalam format citra virtual-digital di dalam aneka media elektronik, yang memperbesar ”efek” sakit dan kesakitan itu sendiri bagi publik—hyperreality of sickness.

Publisitas duka

Realitas sakit Pak Harto kini menjadi citra duka publik di dalam layar elektronik. Naik turun detak jantung Pak Harto seakan menjadi naik turun detak jantung publik; harap-cemas para dokter seakan menjadi harap-cemas publik; komat-kamit doa keluarga kini menjadi komat-kamit doa publik. Sakit Pak Harto membangun sebuah ruang ”publisitas” duka, keprihatinan dan doa.

Sebagaimana dikatakan Susan Sontag dalam Regarding the Pain of Others (2003), abad informasi mampu menghadirkan kesakitan dan duka seseorang ke hadapan mata setiap orang sehingga membentuk ”duka publik”. Akan tetapi, teknologi informasi tidak saja mampu memindahkan informasi dengan kecepatan tinggi dan secara real time, tetapi juga mampu memberi ”pembesaran efek” (amplifier effect) sehingga duka diri kini menjadi duka setiap orang.

Akan tetapi, citra visual itu tidak selalu merupakan cermin realitas. Citra-citra ”dipilih” untuk satu tujuan tertentu. Mengambil foto berarti membingkai (to frame) dan meminggirkan (exclusion), yaitu menyembunyikan realitas-realitas lain dari mata publik. Narasi visual Pak Harto yang terbaring sakit dibingkai bersama narasi-narasi visual masa kecil, kegigihan, keberanian, dan kepahlawanannya sehingga menggugah empati di hati publik.

Julia Kristeva dalam Black Sun: Depression and Melancholia (1989) mengatakan, duka tidak sekadar fenomena psikis, tetapi menuntut diekspresikan. Duka tidak mungkin hanya disimpan dalam hati, tetapi harus diungkapkan melalui tanda-tanda sehingga menjadi sebuah ”semiotika duka” (semiotics of melancholia). Membesuk, berdoa, meruwat, mengirim bunga, menyampaikan pesan duka adalah bagian dari ’semiotika duka’ itu.

Semiotika duka di abad informasi dapat memberi efek ganda. Di satu pihak, melalui tanda duka, orang mengungkapkan rasa simpati. Di pihak lain, ungkapan duka dapat menjadi media ”publisitas rasa duka”, yaitu memperlihatkan ”ungkapan duka” pada publik untuk mendapatkan efek sosial, ekonomi, politik, maupun kultural.

Meski ungkapan duka sejati bebas dari kepentingan, ungkapan rasa duka dapat pula menjadi sebuah iklan perusahaan, sarana kampanye politik, bahkan publisitas diri.

Duka sebagai pelupaan

Agama-agama mengajarkan ”etika duka”, bahwa dalam suasana duka tidak etis menyebutkan aib, kesalahan, dan keburukan seseorang, dan dianjurkan menyebutkan kebaikan, jasa, dan prestasinya. Duka memiliki dimensi pelupaan yang buruk dan pengingatan yang baik. Duka adalah mistik pelupaan (forgetfulness) dan ”pemaafan” (forgiveness). Adalah terpaan kabut duka yang menyebabkan seorang tokoh besar dapat berbalik memaafkan musuh besarnya.

Namun, seperti dikatakan Richard Rorty dalam Achieving Our Country (1998), pemaafan dan pelupaan dapat berujung pada penipuan sejarah bangsa. Karena, penciptaan sejarah kebanggaan nasional (national pride) tidak melulu melalui cerita pencapaian membanggakan dari tokoh-tokoh sejarah, tetapi juga narasi-narasi menyakitkan sebagai sarana bagi pembelajaran publik tentang ”kejujuran sejarah”. Pemaafan dapat berujung pada ”penguburan sejarah pedih”, tetapi melahirkan ”dendam sejarah”.

Kata maaf adalah ekspresi dari ”kearifan” (virtue), meski kearifan yang kontradiktif karena meniadakan bagian dari esensi kearifan itu sendiri, yaitu ”rasa keadilan”. Memaafkan segala kesalahan Pak Harto di masa lalu sama dengan mengubur rasa kepedihan orang-orang yang diperlakukan tidak adil dari lembar sejarah. Tetapi, tidak mau memaafkan sama sekali bukan pula tindakan bijaksana secara kemanusiaan dan agama. Di sini, sakit Pak Harto meninggalkan dilema historis antara rasa maaf dan rasa keadilan.

Sebagai manusia beragama, kita semestinya berdoa demi kesembuhan Pak Harto. Dan sebagai sebuah bangsa, memberi ungkapan maaf kolektif atas segala kesalahan. Tetapi, di pihak lain tidak menghapus kesalahan dan kejahatan itu dari lembar sejarah dan mata hukum, dengan menghargai pula rasa keadilan para korban kejahatan, adalah sebuah situasi dilematis paling pelik yang dihadapi bangsa ini, sebagai ”batu ujian” bagi reformasi dan demokratisasi.

Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD-Institut Teknologi Bandung

Psikologi Memaafkan


Senin, 21 januari 2008 | 04:36 WIB

Felix Lengkong

Dalam beretika pertama - tama bukanlah permaafanya, tetapi kesalahanya.Demikian Hendardi , Keyua Pengurus Setara Institut . ( "Etika Memaafkan" Kompas 17/1).Sebaliknya, saya ingin menyoroti faktor subyek. Mekanisme psikis apa yang berlangsung dalam diri orang yang memaafkan?

Mengapa memaafkan?

Agar dapat memahami makna memaafkan, kita perlu merenungkan situasi hidup tanpa permaafan. Hidup tanpa permaafan melanggengkan derita psikis yang berawal dari sikap permusuhan dan keinginan mengalahkan. Biasanya sikap dan keinginan ini (tanpa disadari) berlatar belakang amarah, suatu emosi yang menghabiskan energi mental dan melanggengkan stres.

Kita terpenjara dalam keinginan berbalas dendam. Dengan dendam sebagai motif psikis, kita menginginkan si bersalah menderita. Dendam, tulis John Monbourquette (2000) dalam How to Forgive, merupakan keadilan instinktual yang mencuat dari alam bawah sadar. Derita menghendaki derita atas nama keadilan instinktual. Akibatnya, kita terikat rantai derita, berbalut kekerasan yang tiada putus. Rantai derita mesti diputus oleh sikap memaafkan.

Permaafan menyesatkan

Madame Swetchine (penulis Rusia, 1782-1857) mengingatkan, ”Sangat jarang kita memaafkan dan sangat sering kita melupakan.” Ya, kita sering menyalahmaknakan memaafkan dengan melupakan.

Juga tak jarang kita menerapkan mekanisme pertahanan yang disebut denial alias mengingkari kesalahan yang dilakukan. Kita bertindak seakan tidak pernah ada kesalahan dan tidak menderita akibat kesalahan itu.

Ada pula orang yang menyamakan permaafan sebagai kehendak baik untuk menyelesaikan konflik, sekali dan selamanya. Memaafkan tidak berbeda dari memetieskan permasalahan.

Sering orang menganjurkan permaafan sebagai keharusan moral. Tindakan memaafkan bukan lagi merupakan bagian mekanisme psikis alamiah, tetapi ”perintah” atas nama Ilahi.

Lagi, orang menyalahartikan memaafkan dengan mengesampingkan hak-hak kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai unit sosial. Memaafkan bukan mengabaikan rasa keadilan begitu saja. Kita tergoda untuk memaafkan dengan membebaskan si bersalah dari tanggung jawabnya.

Melibatkan totalitas kedirian

Memaafkan merupakan proses panjang, menyakitkan sekaligus membebaskan. Karena itu, ia melibatkan totalitas kedirian kita sebagai manusia. Ia harus mulai dari keputusan untuk tidak berbalas dendam. Dari sudut keadilan instinktual, keputusan psikis ini sungguh menyakitkan.

Setelah berkeputusan demikian, kita berusaha menelusuk masuk relung kalbu sendiri. Kita bersadar diri dan menemukan berbagai kelemahan sendiri seperti rasa malu, kecenderungan agresif, keinginan berbalas dendam, rasa tertelantar, dan keinginan untuk melupakan begitu saja. Sungguh menyakitkan karena pemeriksaan batin menyadarkan kita bahwa ternyata kita tidak jauh berbeda dari orang yang bersalah pada kita.

Jika kita terpengaruh berbagai kelemahan itu, kita terjebak pada cara pandang picik yang menjadikan kesalahan si bersalah bagai bencana. Itulah yang disebut catastrophizing, tulis Aaron Beck (1999) dalam Prisoners of Hate: The Cognitive Basis of Anger, Hostility, and Violence.

Jadi, menyadari kelemahan sendiri, kita melangkah ke proses reframing, meletakkan kesalahan itu ke dalam konteks yang lebih luas dan memandangnya dengan kacamata lebih bening alias adaptif. Proses tidak berhenti di situ. Kita berusaha menyadari martabat orang yang bersalah. Betapapun bersalahnya orang itu, dia pun mampu berubah dan menjadi baik.

Memang proses ini mengandaikan kita siap akan risiko bahwa ia kemungkinan mengulangi kesalahannya. Tetapi, begitulah permaafan otentik dan tulus. Kata Jacques-Marie Pohier dalam John Monbourquette (2000): ”Karena itu memaafkan itu sulit karena kita takut akan risikonya.”

Langkah-langkah memaafkan

Dalam Putting Forgiveness into Practice, Doris Donneley (1982) menjabarkan langkah-langkah memaafkan sebagai berikut: mengenali luka batin kita, memutuskan untuk memaafkan, menyadari kesulitan dalam memberi maaf, dan menyadari dampak negatif dari ketiadaan permaafan.

Sementara David Norris (1984) dalam Forgiving from the Heart mengusulkan lima langkah: memperteguh niat memaafkan, secara akurat memeriksa kembali pelanggaran (kesalahan) orang yang akan dimaafkan, memaknakan kembali luka batin akibat kesalahan, membina kembali relasi yang terputus, dan mengintegrasikan kembali berbagai retak psikis yang dialami akibat luka batin.

FELIX LENGKONG Psikolog Klinik; Dosen Program Bimbingan dan Konseling, Unika Atma Jaya, Jakarta

Wednesday, January 9, 2008

Di Balik Banjir dan Longsor



Oleh :Hadi S Alikodra

Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB, Bogor


Berpuluh tahun lalu, sudah diprediksi banjir dan longsor akan menimpa Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Penyebabnya jelas: Penebangan hutan semena-mena tanpa kendali. Hutan di Pulau Jawa nyaris gundul. Juga Sumatra. Kalimantan dan Sulawesi sedang dalam proses penggundulan. Papua sudah mulai digunduli.

Tiap tahun banjir dan longsor terus terulang. Lantas, kenapa peristiwa yang tragis yang menimbulkan ratusan korban itu terus terjadi dan terjadi bahkan makin besar dan luas skalanya? Kita ini seperti sebuah bangsa yang sedang dilanda penyakit amnesia massal. Sebelum ada bencana, semua orang seperti lupa bahwa banjir dan longsor yang setiap tahun terjadi itu penyebabnya kerusakan hutan. Jika banjir dan longsor menerjang kita, baru kita ingat dan menyesal. Setelah itu lupa dan ramai-ramai merusak hutan lagi.

Karena setiap tahun terjadi, tragedi banjir bandang dan longsor sepertinya dianggap sepi-sepi saja. Beda dengan terorisme di Bali dan Jakarta yang gemanya mengguncang dunia, banjir bandang dan longsor di Jember dan Banjarnegara yang menewaskan jiwa manusia lebih banyak dari bom Bali pertama dan kedua nyaris tak ada gemanya. Para pembesar di Jakarta pun tidak segera meresponsnya. Apalagi AS dan Australia. Padahal, bila dilihat dari intensitas bencana dan jumlah korban pertahun, bencana alam banjir dan longsor tersebut korbannya lebih banyak dan daya rusaknya lebih dahsyat. Rasanya tak salah, jika Isac Asimov--penulis buku Our Anggry Earth menyatakan bencana alam akibat ulah manusia bisa disepadankan dengan aksi terorisme.

Nasib hutan lindung
Di berbagai wilayah Indonesia, kondisi hutan lindung sangat memprihatinkan. Ada hutan lindung yang tinggal namanya saja karena nyaris habis dibabat para pencuri yang kerja sama dengan oknum aparat pemerintah; ada hutan lindung yang telah berubah jadi perkebunan kopi, coklat, bahkan pisang sehingga fungsi "lindungnya" terhadap pergeseran tanah hilang; ada pula hutan lindung yang dibelah jalan raya yang memudahkan transportasi illegal logging, dan masih banyak lagi.

Bencana longsor dan banjir bandang yang kerap terjadi di Aceh dan Sumatra Utara, misalnya, adalah akibat alih fungsi hutan lindung dan pembabatan liar (illegal logging) di kawasan hutan tersebut. Masih terbayang dalam ingatan kita, tragedi banjir bandang di Sungai Bohorok yang meluluhlantakkan kawasan wisata di Bukit Lawang, Sumut, yang merenggut korban lebih dari 200 orang, November 2003. Penyebabnya tak lain, adalah penggundulan hutan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Sampai saat ini, ironisnya, proses penggundulan itu masih terus terjadi. Tragedi Bohorok yang menghancurkan ribuan rumah dan fasilitas umum itu, rupanya belum cukup untuk menjadi peringatan akan bahaya deforestasi.

Kondisi itu diperparah penebangan kayu oleh perorangan maupun korporasi, legal maupun ilegal. Menhut MS Kaban, misalnya, menyatakan bahwa pencurian kayu tiap tahun nilainya mencapai angka Rp 60 puluh triliun lebih. Uang sebesar itu amat besar nilainya jika dipakai untuk mengatasi kemiskinan. Lantas, siapa yang melakukan pencurian kayu besar-besaran itu? Kaban ternyata tak bisa berbuat banyak. Sebab pelakunya demikian banyak dan kompleks jaringannya, mulai rakyat kecil, pengusaha sampai pejabat pemda, polisi, tentara, dan lain sebagainya. Jaringan ilegal logging merupakan fenomena vicious circle yang melibatkan banyak pihak. Jika tidak ada tindakan "revolutif" yang ekstrakeras dan ekstrayudisial (tembak langsung pelaku ilegal logging seperti zaman penembakan misterius), niscaya pencurian kayu sulit dihentikan.

Realitas kehancuran
Isac Asimov dan Frederck Pohl dalam bukunya Our Angry Earth menyatakan: Sebagian besar manusia sulit menyadari realitas kehancuran lingkungan hidup yang ada di sekitarnya. Hal ini terjadi karena penghancuran-penghancuran lingkungan hidup itu terjadi bersaman dengan proses-proses yang sedang mereka kerjakan sendiri yang konon tujuannya untuk membangun masa depan. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya: Tragedi masa depan itu sedang berjalan di depan kita dan kita sendiri yang menjalankannya.

Apa yang ditulis Asimov-Poh benar. Berbagai tragedi lingkungan yang kini sedang terjadi seperti kenaikan suhu atmosfer bumi, polusi, deforestasi, dan mewabahnya penyakit berbahaya sebenarnya merupakan hasil dari perbuatan manusia sendiri. Ironisnya sebagian besar manusia tak menyadari hal tersebut. Problem lingkungan hidup masih sering dianggap sebagai persoalan kaum elite yang sulit diikuti oleh kaum alit (kecil).

Padahal dampak kerusakan lingkungan--seperti banjir bandang dan tanah longsor--paling banyak menyengsarakan kaum alit. Namun, ketika kaum elite dan kaum alit berusaha untuk mengatasi problem kehancuran lingkungan, seringkali yang terjadi adalah sebaliknya: Memunculkan problem lingkungan baru. Ironisnya yang menjadi korban adalah lingkungan itu sendiri. Dalam bahasa Asimov, itulah yang disebut vicious circle (lingkaran setan) kerusakan lingkungan.

Bencana banjir yang meluas di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi bulan Desember dan Januari ini penyebabnya yang signifkan, di samping penebangan hutan yang semena-mena adalah "pengalihfungsian" hutan untuk tanaman perkebunan (sawit, kopi, coklat, teh, dll) yang "nota bene" merupakan proyek ekonomi jangka pendek. Proyek ekonomi ini juga sering "menipu" rakyat agar ikut menggunduli hutan. Dan, masyarakat yang miskin itu biasanya mengikuti permintaan para juragan kayu dan perkebunan itu. Lalu, jika penghancuran hutan itu mengakibatkan bencana alam seperti banjir dan lonsor seperti sekarang ini, yang menjadi korban adalah rakyat miskin di desa maupun di kota. Para petinggi dan pembuat kebijakan hanya ikut bersedih dari jauh.

Hutan dan lingkungan yang asri adalah sebuah tumpuan harapan masa depan. Ketika manusia modern tengah dikepung oleh pelbagai macam bencana--seperti global warming, piolusi, badai, banjir, dan longsor--maka keberadaan hutan yang luas dan lestari merupakan sebuah keniscayaan untuk meng-counter kedatangan bencana-bencana tersebut. Dunia telah mengusung "Protokol Kyoto" dan "Bali Roadmap" untuk menghijaukan bumi demi mengurangi emisi gas karbon dioksida (gas rumah kaca). Sayangnya, kondisi tersebut tidak dibarengi kesadaran publik untuk memelihara dan melestarikan hutan.

Sudah saatnya pemerintah membentuk semacam tim atau komisi lintas departemen guna menjaga kelestarian hutan. Melihat keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi, tampaknya komisi seperti itu perlu dibentuk untuk memberantas para perusak hutan. Tanpa adanya komisi yang kuat dan bertanggungjawab langsung kepada presiden, niscaya kerusakan hutan sulit dicegah. Soalnya para perusak hutan sudan merupakan mafia yang melibatkan semua pihak, termasuk pengusaha, penguasa, politisi, TNI, dan lain-lain.

Dan yang terakhir, sebetulnya pelestarian hutan tropis Indonesia punya nilai ekonomi tinggi. Dengan mengaitkan clean development mechanism yang diusung Protokol Kyoto, pemerintah Indonesia sebenarnya bisa mendapatkan "pembayaran karbon" yang nilainya cukup besar. Ini karena hutan tropis Indonesia telah ditetapkan PBB sebagai paru-paru dunia yang dapat menyerap karbon dioksida (gas rumah) kaca yang selama ini dianggap sebagai penyebab global warming. Belum lagi sejumlah negara kreditor pernah menawarkan penghapusan utang dengan imbalan pelestarian lingkungan dan hutan. Filipina, Brasil, dan Argentina misalnya sudah mendapatkan pengurangan utang dengan mekanisme seperti itu. Kenapa Indonesia tidak?

Ikhtisar

-Masyarakat mudah melupakan bencana alam padahal dampaknya melebihi terorisme.
-Kerusakan, termasuk di hutan lindung, melibatkan semua kalangan; rakyat, pejabat, polisi, tentara.
-Perlu komisi khusus lintas departemen untuk menjaga kelestarian alam.

30 Juta Akseptor KB Dilibatkan


Diajak Mempromosikan

Program Keluarga Berencana

Jakarta, Kompas - Untuk meningkatkan jumlah peserta baru program Keluarga Berencana, ada baiknya 30 juta akseptor atau peserta KB dilibatkan untuk mempromosikan program KB. Sebab, jika hanya mengandalkan Petugas Lapangan Keluarga Berencana, jumlahnya tidak memadai.

”Akseptor KB perlu diajak dan dihargai partisipasinya,” kata mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Prof Dr Haryono Suyono (1983-1993) dalam pertemuan dengan tokoh agama, para pakar, dan praktisi KB di Jakarta, Selasa (8/1).

Pada kesempatan tersebut juga hadir Kepala BKKBN tahun 2003-2006, dr Sumarjati Arjoso.

Kepala BKKBN saat ini, dr Sugiri Syarif MPA, menyatakan, ada tiga skenario proyeksi kependudukan Indonesia pada tahun 2015. Pertama, jika peserta KB meningkat 1 persen per tahun, penduduk Indonesia hanya akan menjadi 237,8 juta jiwa. Kedua, jika peserta KB tetap konstan, penduduk Indonesia akan bertambah menjadi 255,5 juta jiwa. Ketiga, jika peserta KB menurun 0,5 persen per tahun, jumlah penduduk akan membengkak menjadi 264,4 juta jiwa.

”Yang mengkhawatirkan, dalam lima tahun terakhir kesertaan masyarakat ber-KB hanya meningkat rata-rata 0,5 persen per tahun. Untuk itu semua pihak harus bekerja keras dan turut terlibat mempromosikan program KB,” ujar Sugiri.

Menurut Haryono Suyono, peserta program Keluarga Berencana pada tahap-tahap awal, sekarang umurnya sudah sepuh, rata-rata di atas 60 tahun, dan jumlahnya sekitar 12 juta. ”Mereka ini sudah tidak bekerja, memiliki banyak waktu luang, jadi sebaiknya dilibatkan juga,” kata Haryono.

”Silver college”

Haryono menyodorkan ide pengembangan silver college untuk mempersiapkan senior/sesepuh dan aktivis sebagai pengabdi KB dan pembangunan yang bermutu melalui pelatihan nasional dan internasional.

”Silver college ini khusus untuk sesepuh yang rambutnya sudah berubah menjadi perak. Melalui mereka, kita bisa menjangkau anak cucunya agar ikut ber-KB. Mereka tidak perlu diberi honor. Diberi kartu anggota saja mereka sudah merasa dihargai,” papar Haryono.

Selain itu, Haryono juga menyarankan pembentukan Pos Pemberdayaan Keluarga (Pos Daya) di setiap dukuh, desa, kecamatan, atau lembaga seperti tempat ibadah.

Pos Daya ini dijadikan forum informasi atau dakwah pembangunan, motivasi, advokasi, pembelajaran, dan pelayanan pembangunan terpadu. Pendukung Pos Daya adalah seluruh kekuatan dalam masyarakat, seperti Badan Keswadayaan Masyarakat, koperasi, sekolah dan persatuan orangtua murid, tempat ibadah, klinik bidan desa, dan elemen lainnya.

Untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan dan komitmen Tujuan Pembangunan Milenium 2015, peserta KB harus terus ditingkatkan dan mempermudah akses KB.

”Berdayakan peserta Keluarga Berencana agar mampu berwirausaha, menjamin anak-anaknya agar bisa sekolah dan menjaga kesehatannya. Dengan demikian, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia akan meningkat,” kata Haryono.

Jadi, program Keluarga Berencana tidak hanya sebatas pembatasan angka kelahiran, namun juga terkait dengan kesejahteraan keluarga dan kualitas manusia Indonesia. (LOK)

Waspadai Hujan Lebat


Jawa Barat Bagian Selatan Rawan Longsor

Jakarta, Kompas - Hujan lebat yang mengguyur Jawa Timur dan Jawa Tengah hingga menimbulkan banjir dan tanah longsor berpeluang terjadi pula di Jawa Barat bagian selatan dalam sepekan ini. Diingatkan supaya masyarakat dan pemerintah mengantisipasi ancaman bencana yang mungkin terjadi.

"Berdasarkan prakiraan mingguan, hujan lebat berpeluang terjadi di Jawa Barat bagian selatan, Jawa Tengah bagian selatan, Sumatera bagian selatan, Sulawesi dan Kalimantan bagian selatan. Saat ini hujan memang belum merata, tetapi dalam dua hari kemudian diprakirakan mulai merata di Indonesia," kata Kepala Subbidang Informasi Meteorologi Publik Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kukuh Ribudianto, Senin (7/1) di Jakarta.

Setelah banjir menimpa berbagai wilayah penyangga stok pangan nasional di Jawa Tengah dan Jawa Timur, saat ini dikhawatirkan akan merembet ke wilayah Jawa Barat. Namun, menurut Kukuh, hujan lebat yang diprakirakan terjadi di Jawa Barat dalam sepekan ini melanda bagian wilayah selatan yang dikenal memiliki kerawanan tanah longsor yang cukup tinggi.

Berdasarkan peta kerawanan tanah longsor di Jawa Barat pada tahun 2007 (dibuat Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional/Bakosurtanal), daerah rawan longsor itu terbentang mulai dari Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, dan Tasikmalaya.

Konsentrasi penguapan

Kepala BMG Sri Woro B Harijono menjelaskan, saat ini pergerakan semu matahari sedang berada di sebelah selatan khatulistiwa. Ini mengakibatkan terjadi pusat tekanan rendah yang menimbulkan konsentrasi penguapan air.

"Pergerakan matahari nanti juga akan kembali bergerak ke utara. Pada sekitar Maret berada di dekat khatulistiwa yang juga bisa mendatangkan banjir di wilayah Kalimantan," kata Sri Woro.

Menurut dia, hingga kini secara bulanan terjadi fluktuasi curah hujan yang normal. Akan tetapi, curah hujan dalam fluktuasi harian kini sedang mengalami ekstrem. Ini diperkirakan akibat adanya gangguan lokal yang terkait dengan temperatur lokal.

"Pada 26 Desember 2007 lalu, fluktuasi curah hujan yang ekstrem tercatat di stasiun pengamatan di Pondok Betung, Tangerang, sebesar 390 milimeter per hari," kata Sri Woro.

Adanya fluktuasi curah hujan harian yang ekstrem ini juga terpicu adanya kondisi tekanan udara rendah yang berpotensi menjadi siklon tropis di Samudra Hindia. Setelah berlangsung siklon tropis Melanie (28 Desember 2007-1 Januari 2008), BMG mencatat kembali terjadi siklon tropis Helen pada 4 Januari 2008.

Kukuh Ribudianto mengatakan, siklon tropis Helen itu hanya berlangsung semalaman. Setelah siklon tropis Helen meluruh, ini memengaruhi berkurangnya konsentrasi penguapan di wilayah Indonesia bagian selatan khatulistiwa.

"Kondisi ini akan memicu hujan lebat di beberapa wilayah Indonesia," kata Kukuh lebih lanjut. (NAW)

Banjir, Longsor, dan Pengelolaan DAS


Suparmono

Kita memahami, pemanasan global tak lepas dari ulah manusia. Begitu pula bencana banjir dan tanah longsor.

Diprediksi, kota-kota di pantai utara Jawa akan mengalami banjir besar akhir Januari atau awal Februari 2008. Ini akan terjadi bila daerah pertumbuhan konveksi (inter-tropical convergent zone/ITCZ) yang kini ada di selatan Jawa beralih ke perairan utara Jawa. ITCZ adalah tempat terjadi konveksi awan yang biasanya berasal dari laut sebelah utara ekuator. Namun, karena sifatnya fluktuatif, ITCZ bergeser ke selatan dan kembali ke utara ekuator. Pakar meteorologi ITB, Armi Susandi, mengatakan, banjir besar yang disebabkan oleh curah hujan tinggi di bagian selatan Jawa kuat dipengaruhi faktor ITCZ.

Banjir, tanah longsor, dan kekeringan akan silih berganti melanda akibat daya dukung lingkungan yang tak lagi mampu menahan. Terutama di Pulau Jawa yang dihuni 60 persen penduduk Indonesia, kini tinggal memiliki hutan 19.828 km2, atau kurang dari 15 persen luas daratan.

Padahal, menurut UU Kehutanan, luas hutan kita minimal 30 persen dari luas daratan. Penggundulan hutan untuk pertanian, perkebunan, dan permukiman menimbulkan kerusakan ekologis luar biasa. Jika penggundulan dilakukan di lereng-lereng, hal itu mengakibatkan banjir bandang atau longsor, seperti di Bengawan Solo, Jember, Banjarnegara, Jombang, Malang, dan Kediri.

Menyimpan air

Pada siklus normal, air berlebih pada musim hujan akan disimpan dalam tanah, waduk, danau, rawa, sungai, bendungan, sumur resapan, dan situ. Sisanya terbuang ke laut. Pada musim kemarau, air menuju sungai. Namun, jika kondisi alam dan lingkungan rusak, daya tampung waduk, sungai, rawa, danau, dan bendungan amat terbatas. Akibatnya, bencana silih berganti.

Intensitas hujan pada musim hujan kali ini amat tinggi dengan durasi lama. Banjir bandang di Solo dan longsor di Karanganyar terjadi akibat hujan deras dua hari dua malam. Ditambah akibat penggundulan hutan di wilayah itu membuat air hujan menjadi aliran permukaan (run off) penyebab banjir dan tanah longsor.

Aliran itu membawa material hasil erosi masuk ke sungai. Jika daya tampung sungai lebih kecil dibandingkan dengan aliran permukaan, timbul bencana banjir dan tanah longsor di tepian daerah aliran sungai (DAS). Tanah longsor adalah salah satu bentuk erosi, di mana pengangkutan dan pergerakan masa tanah berlangsung amat singkat dengan volume amat besar sekaligus.

Pengelolaan DAS di negeri kita telah gagal karena pihak-pihak terkait berjalan sendiri-sendiri. Departemen Pekerjaan Umum (PU) melakukan pendekatan pembangunan dan pengelolaan DAS (River Basin Management) dengan konsep "satu wilayah sungai satu pengelolaan" (one river one management). Sebagai implementasinya dibentuk lembaga yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan hidrologi DAS yang disebut Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA).

Bekerja sinergis

Seluruh penggunaan air di wilayah DAS harus mendapat izin BPSDA. Departemen Kehutanan juga memiliki lembaga semacam itu untuk mengelola DAS yang bertugas melakukan rehabilitasi dan konservasi lahan di wilayah DAS. Bahkan, Departemen PU juga membuat rencana program konservasi lahan DAS.

Seharusnya semua lembaga itu bekerja sinergis. Artinya, semua lembaga itu bekerja sama menjaga kelestarian hutan agar ketersediaan air terjamin, di samping erosi dan daya rusak air yang menyebabkan banjir dan longsor bisa dicegah. Karena itu, pemerintah harus melakukan konservasi DAS, hal terpenting dari mitigasi bencana. Adapun pola konservasi DAS yang benar meliputi reboisasi, penghijauan, social forestry, dan agro forestry.

Reboisasi dilakukan jika lokasi lahannya di kawasan hutan lindung, suaka margasatwa, dan hutan produksi tetap. Penghijauan dilakukan jika lokasi lahan di luar kawasan hutan atau lahan kritis/tidak produktif dengan status pemilikan lahan. Social forestry dilakukan di kawasan hutan negara, yang masyarakatnya tergantung dari hutan dan lahan kritis. Sementara agro forestry dilakukan di luar kawasan hutan yang ada masyarakatnya.

Pemerintah juga perlu memberi penyuluhan kepada penduduk sekitar hutan. Pola kerja sama masyarakat dengan dinas kehutanan, baik melalui agro forestry maupun social forestry, harus ditingkatkan. Pemerataan bencana banjir bandang dan longsor seharusnya memperbaiki perilaku masyarakat sekitar DAS dan pelaku pembalakan liar.

Suparmono Mantan Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum

Bencana Bengawan Solo


Bencana Nasional

Bencana sepanjang Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo tahun ini memberi pelajaran amat dekat dan amat jelas tentang akibat rusaknya lingkungan hidup.

Bencana menimpa kota-kota sepanjang Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo, dari Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, hingga Gresik. Kerugian ditaksir ratusan miliar rupiah. Desa-desa tenggelam. Penduduk mengungsi, tanaman rusak. Lalu lintas barang antara Jawa Tengah dan Jawa Timur terputus di beberapa tempat.

Ekspedisi Kompas sepanjang Bengawan Solo bulan Juni lalu telah mengungkapkan secara gamblang latar belakang dan penyebab bencana yang meledak dalam musim hujan Desember-Januari ini. Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, yang diproyeksikan berfungsi sampai tahun 2081, sudah mendangkal karena kurang urus. Sepanjang tepian Bengawan Solo dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur ditanami pepohonan yang menggerus tebing. Penambangan pasir dengan pompa semakin banyak dan semakin mempercepat tergerusnya dasar sungai.

Apa boleh buat, ternyata kita, warga penghuni sepanjang Bengawan Solo itu, juga penyebab terjadinya bencana. Tentu tidak direncanakan dan disengaja. Lebih karena tidak tahu, tidak sadar, serta terjepitnya perikehidupan sehari-hari. Karena itu, lebih tepat jika kita tidak menuding orang atau melemparkan kesalahan kepada orang lain, tetapi lebih baik kepada kita sendiri. Kita, ya warga, ya pemerintah.

Bencana banjir, longsor, akibat meluapnya Bengawan Solo dewasa ini kita saksikan setiap hari lewat laporan dan panorama hidup di media televisi. Bencana tidak menimpa pulau-pulau di luar Jawa, bencana justru terjadi di Pulau Jawa. Apa yang kita maksudkan dengan penekanan lokasi itu? Mau tidak mau lebih kasatmata, lebih dekat bukan saja karena kedekatan psikologis, juga karena kedekatan lokasi.

Sengaja hal itu kita tekankan untuk mendekatkan pemahaman dan kedekatan kita dengan letak kejadian. Maksudnya membuat pemahaman dan kesadaran tentang lingkungan hidup lebih dekat, lebih nyata, dan lebih menggugat. Dari kedekatan pengalaman kita maksudkan dan kita manfaatkan untuk mempertebal serta memperkuat kedekatan ekologis kita dengan semua lokasi rawan di Tanah Air. Kita berpendapat, salah satu masalah yang kita hadapi perihal kesadaran ekologis adalah karena adanya jarak antara pengetahuan dan pemahaman nyata yang dramatis dan dialami.

Bencana sepanjang Bengawan Solo juga menunjukkan kompleksnya persoalan. Kemiskinan dan sulitnya sumber kehidupan sehari-hari merupakan pemicu yang kuat. Kecuali informasi dan pendidikan masyarakat, jelas diperlukan usaha keras kita bersama memperbaiki perikehidupan rakyat banyak. Dengan menegaskan hal itu, kita tidak menisbikan kerusakan lingkungan justru oleh pencari laba besar yang tak bertanggung jawab. Bencana banjir Bengawan Solo sekali lagi agar kita jadikan pengalaman dan pelajaran mengenai kerusakan ekologis di depan mata kita.

Sunday, January 6, 2008

Pemikiran tentang Banjir dan Reklamasi


AR Soehoed


Tudingan bahwa reklamasi potensial menyebabkan banjir dan merusak tata air kota, untuk ahli hidrologi dan hidrolika, semua ini merupakan tudingan yang tidak berdasar sama sekali. Ada tidak adanya reklamasi, Jakarta tetap menghadapi masalah banjir.

Salah satu sebab utamanya terdapat di muara-muara sungai. Dataran kota Jakarta yang sangat luas dan landai adalah berkat sejarah geologinya.

Oleh karena bertambah lama bertambah lebar dan landai dataran ini, pencurahan sungai ke laut kian lama kian sulit. Jawabannya adalah muara-muara ini harus dikeruk dan itu tidak di Jakarta saja. Banyak kota di dunia ini yang muara-muaranya harus dikeruk, dan di dalam tulisan-tulisan Ir H van Breen 80 tahun yang lalu pun ditetapkan persyaratan ini. Namun, sampai sekarang tidak banyak pengerukan yang dilakukan. Van Breen menambahkan agar tanah kerukan itu jangan dibuang ke mana-mana, tapi ke tempat-tempat rendah di kota Jakarta sehingga akhirnya ketinggian rata-rata dataran Jakarta ini menjadi lebih tinggi.

Dalam studinya pada tahun 1920-an, Van Breen mengidentifikasi bahwa Teluk Jakarta men- jadi curahan banjir kiriman, wujud-wujud permukaan lembah Jakarta yang amat landai, dan banyak tanggul alamiah membuat air dan hujan setempat tidak cepat mengalir ke muara-muara laut dangkal di sepanjang pantai Teluk Jakarta yang menyebabkan gelombang dan pasang dengan mudah memanjat pantai, membangkitkan wilayah-wilayah genangan. Dalam 80 tahun sesudah itu, saran ini tidak pernah ditindaklanjuti.

Van Blommestein pada tahun 1950-an menambah lagi, pantai sebaiknya diberi perlindungan tanggul.

Kedua-duanya, baik pengerukan maupun tanggul, mahal. Jarang sekali konstruksi semacam ini dibayar dari public funds, dari anggaran belanja. Karenanya, orang selalu mencoba mengaitkannya dengan proyek komersial. Dalam hal Teluk Jakarta adalah reklamasi laut dangkal.

Reklamasi

Reklamasi menghasilkan lahan. Karena kebutuhan lahan besar dan mempunyai nilai tinggi, dari partisipasi modal swasta yang tercipta, akan dapat disisihkan uang untuk kemudian merapikan muara dan mengeruknya secara berkala.

Andai kata sekarang pemerintah memiliki dana itu, yang misalnya pinjaman, pengerukan saja tidak cukup sebab laut di Teluk Jakarta sudah landai sehingga alur keruk itu pun harus diberi tanggul sehingga ada tanggul-tanggul menjorok ke arah laut untuk melindungi muara ini. Ini merupakan pengeluaran yang ekonomis, namun tidak menghasilkan apa-apa.

Singapura sudah mereklamasi 5.000 hektar, dan dalam proses ini dua sungai di Singapura sudah terkendali sehingga tidak memberi banjir lagi sebagaimana selalu terjadi sebelum tahun 1960-an. Begitu pula di Tokyo sungai-sungai sudah dicocokkan dengan reklamasi. Hasil lahan baru ini menjadi suatu sumber pendapatan yang dapat membiayai pembenahan muara.

Yang menjadi fokus kritik paling utama pada siaran-siaran media massa adalah kesangsian akan bertambah parahnya masalah banjir di kota Jakarta akibat reklamasi di wilayah pantai dan laut dangkal ini. Tampaknya ada dugaan bahwa seluruh pantai akan ditutup, termasuk muara-muara sungai yang mencurahkan airnya di Teluk Jakarta. Padahal, penelitian oleh banyak pihak menunjukkan bahwa dengan reklamasi, muara-muara ini justru akan diamankan dan dirawat sebagai bagian konsepsional dari penataan pantai utara Jakarta.

Kemudian ada kritik lain yang lebih berdasar, yakni bahwa dengan lebih panjangnya ruas muara-muara sungai, akan lebih landai lagi ruas muara-muara itu. Akibatnya ada hambatan pada pencurahan air dari sungai ke laut, peningkatan permukaan air di ruas-ruas muara dengan bertambah besarnya kemungkinan luapan air di ruas-ruas tengah dan hulu pada sungai-sungai yang melintasi wilayah kota Jakarta.

Ini sebenarnya merupakan proses alami yang telah berjalan berabad-abad berkat melebar dan bertambah landainya dataran alluvial lokasi kota Jakarta. Tanpa adanya reklamasi, dataran rendah tempat kota Jakarta berlokasi akan melebar terus rata-rata sejauh 6-9 meter per tahun.

Van Breen sewaktu menata tata air kota Jakarta, yang pada waktu itu masih disebut Batavia, tegas mengatakan perlunya ruas-ruas muara sungai dikeruk secara berkala. Begitu pula wilayah rawa-rawa sepanjang pantai hendaknya dikeringkan.

AR Soehoed Konsultan Teknik, Pernah Menjabat Menteri Perindustrian RI

Televisi


Tayangan "Infotainment" 210 Episode Per Minggu


Depok, Kompas - Aroma persaingan dalam program acara infotainment antarstasiun televisi nyaris tak terhindari. Dalam beberapa tahun terakhir ini, infotainment menjadi salah satu sajian acara yang diandalkan, bahkan dalam seminggu saat ini ditayangkan rata-rata 210 episode infotainment dengan beragam nama.

"Selama penelitian Januari-Agustus 2007 tercatat jumlah acara infotainment yang ditayangkan dalam sehari rata-rata lebih dari 15 jam atau dalam satu minggu lebih dari 210 episode," kata Agus Maladi Irianto saat memaparkan disertasinya untuk mencapai gelar doktor antropologi pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Depok, Kamis (3/1).

Agus Maladi Irianto dengan disertasinya berjudul Kontestasi Kekuasaan Sajian Acara Televisi: Studi tentang Program Tayangan Infotainment yang dipromotori oleh Prof Dr Achmad Fedyani Saifuddin akhirnya lulus dengan predikat cum laude.

Menurut promovendus, mengutip catatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tahun 2002 tercatat frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air.

Tahun 2003, jumlah itu melonjak menjadi empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu (14 episode per hari). Tahun 2004, frekuensi pun kian bertambah menjadi 151 episode per minggu (22 episode per hari), dan tahun 2005 penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu (26 episode per hari).

Bahkan, selama penelitian dilakukan Januari-Agustus 2007, Agus Maladi Irianto mencatat penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 210 episode per minggu atau sekitar 15 jam sehari. (LOK)

Sertifikasi GURU Didesentralisasikan


Pembayaran untuk Kuota 2007 Terlambat


Jakarta, Kompas - Pelaksanaan sertifikasi guru mulai tahun 2008 ini didesentralisasikan ke daerah-daerah. Kebijakan ini diambil agar proses sertifikasi sekitar 2,7 juta guru di seluruh wilayah Indonesia bisa selesai sesuai waktu yang direncanakan hingga tahun 2015.

Baedhowi, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, Kamis (3/1) di Jakarta, menjelaskan, untuk tahun ini anggaran sertifikasi dalam APBN 2008 didesentralisasikan ke daerah lewat daftar isian proyek anggaran (DIPA). Dengan demikian, anggaran sertifikasi tidak lagi terpusat di pemerintah pusat seperti dalam pelaksanaan sertifikasi guru kuota tahun 2006 dan 2007.

Kebijakan ini nantinya menuntut pemerintah provinsi berkoordinasi dengan perguruan tinggi pelaksana sertifikasi yang sudah ditunjuk Depdiknas dalam proses penyelenggaraan sertifikasi di daerah. Pembayaran tunjangan profesi yang disediakan dalam APBN juga nantinya didistribusikan dari daerah, tidak lagi dari pusat. Misalnya, untuk pembayaran tunjangan profesi guru yang lulus dalam kuota sertifikasi tahun 2006.

Guru yang sudah dinyatakan sebagai guru profesional mendapat tunjangan profesi dengan besar satu kali gaji pokok setiap bulan.

Untuk pembayaran tunjangan profesi guru kuota tahun 2006, pemerintah sudah mengirimkan dana tersebut ke rekening setiap guru yang berhak. Adapun untuk guru yang dinyatakan lulus dalam kuota sertifikasi tahun 2007 berhak mendapat tunjangan sertifikasi terhitung Januari ini.

Tetap terlambat

Besarnya tunjangan profesi yang diajukan dalam APBN 2008 adalah untuk 65 persen guru kuota 2007. Kebijakan ini diambil berdasarkan pengalaman sertifikasi sebelumnya, yakni tingkat kelulusan guru hanya sekitar 50 persen.

"Pembayaran akan tetap terlambat karena masih menunggu laporan dari perguruan tinggi pelaksana sertifikasi berapa pastinya jumlah guru yang lulus," jelas Baedhowi.

Mohamad Surya, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, mengingatkan pemerintah untuk melaksanakan proses sertifikasi dan pembayaran tunjangan profesi guru tanpa ditunda-tunda lagi.

Harol Lumapao, Sekretaris Panitia Pelaksana Uji Sertifikasi dari Universitas Negeri Manado, mengingatkan sosialisasi sertifikasi harus terus dilaksanakan di sekolah-sekolah. Pasalnya, dalam pelaksanaan sertifikasi tahun lalu masih ditemukan banyak kekurangan dalam penyusunan portofolio akibat minimnya informasi yang diperoleh guru.

Cuma 30 persen

Sementara itu di Sumatera Utara, proses sertifikasi guru hingga akhir tahun 2007 hanya memenuhi 2.293 orang dari 12.712 kuota yang disediakan, atau setara dengan 30,6 persen dari portofolio yang masuk sebanyak 9.784. Tingkat kelulusan itu dinilai sangat rendah dibanding dengan tingkat kelulusan di daerah lain.

Penanggung Jawab Sertifikasi Guru Sumut Syawal Gultom mengatakan, titik lemah selama proses sertifikasi ini yakni kurangnya karya pengembangan profesi. Karya yang dimaksud antara lain dalam bentuk penelitian, artikel yang dipublikasi ke media, modul, atau rekayasa ide lain. "Karya ilmiah seperti inilah yang kurang di kalangan para guru," tuturnya. (ELN/ND

Friday, January 4, 2008

BAHASA


Nama Departemen

JOS DANIEL PARERA

Setiap kali terjadi penggantian rezim yang berkuasa, terjadi pula penambahan atau perubahan departemen dengan nama yang menurut penguasa/pemerintah/kabinet cocok dengan misi yang diemban oleh departemen dan menterinya.

Berdasarkan catatan saya, bapak-bapak bangsa telah memberikan nama departemen atau kementerian yang cocok dan dekat kepada masyarakat dan rakyat Indonesia. Misalnya, Departemen Luar Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Penerangan, Departemen Pertambangan, Departemen Perburuhan, dan sebagainya. Nama-nama departemen tersebut memang mudah dimengerti oleh rakyat dan mudah dihafalkan oleh para siswa. Akan tetapi, dalam perjalanan waktu dan perubahan kabinet terdapat beberapa nama departemen yang berubah.

Nama Departemen Perburuhan pada zaman Orde Lama telah diganti dengan nama Departemen Tenaga Kerja, lalu Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Menurut saya, nama Departemen Tenaga Kerja merendah derajat manusia Indonesia. Tenaga kerja di sana merujuk kepada manusia. Seorang manusia Indonesia hanya dinilai dari tenaganya. Ia disamakan dengan tenaga listrik, tenaga uap, tenaga kuda, tenaga air, dan tenaga nuklir. Lahirlah tenaga kerja Indonesia (TKI) dan bukan manusia Indonesia. Pantas manusia Indonesia dihargai di luar negeri hanya karena ia menjual tenaganya. Akan tetapi, di dalam negeri terdapat organisasi buruh dan bukan tenaga kerja. Jika ada demonstrasi buruh ke Depnaker, Depnaker kurang tanggap karena Depnaker bukan mengurusi buruh, melainkan mengurusi tenaga kerja. "Masih punya tenaga atau tidak?" itulah mungkin pikiran para pejabat Depnaker. Mengapa tidak dikembalikan saja ke nama Departemen Perburuhan?

Departemen Pertambangan berubah nama dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Di sana terdapat dua kata serapan yang belum dekat dengan rakyat dan terasa asing: energi dan mineral. Kiranya energi dan mineral merupakan uraian kerja dari pertambangan. Makna atasannya adalah pertambangan. Mudah dipahami oleh rakyat dan dekat dengan rakyat.

Inilah nama departemen kecongkakan. Departemen Penerangan diganti dengan nama Departemen Komunikasi dan Informatika alias Depkominfo. Nama ini memang mentereng dan elitis, tetapi jauh dari daya tangkap masyarakat atau rakyat, sulit dihafal dan dimengerti oleh siswa. Mungkin departemen ini bukan untuk rakyat. Lalu, apa yang terjadi? Lahirlah Direktorat Jenderal Sistem Komunikasi Diseminasi Informatika. Rakyat pasti bertanya-tanya apa arti semua itu. Jika kabar bahwa presiden RI menginginkan Depkominfo menjadi juru bicara negara benar, maka sebaiknya nama departemen tersebut dikembalikan saja ke nama Departemen Penerangan.

JOS DANIEL PARERA Munsyi

Wednesday, January 2, 2008

2008: Resolusi dalam Revolusi

NINOK LEKSONO

How can you stop, the Sun from shining

What makes the World go round...

("How Can You Mend a Broken Heart", The Bee Gees)

Menarik juga lagu The Bee Gees yang legendaris itu. Bagaimana dalam lirik sebuah lagu yang berkisah tentang patah hati bisa disisipkan fakta ilmiah yang penting itu.

Ya, karena Matahari (bersinar)-lah lalu Bumi—dengan segenap kehidupan yang ada di atasnya—bisa bergerak mengelilinginya. Gerakan yang disebut sebagai revolusi inilah yang melahirkan tahun, yang pergantiannya baru saja dirayakan oleh umat manusia di berbagai penjuru dunia.

Sebelum mengupas lebih lanjut tentang revolusi Bumi, ada kata lain—dengan perbedaan hanya satu huruf—yang juga populer di seputar pergantian tahun. Itulah dia "resolusi", atau ketetapan hati (untuk melaksanakan satu atau sederet hal).

Tentang resolusi, dari tahun ke tahun, manusia demikian kreatif menyusunnya—lazimnya untuk perbaikan dalam kesehatan, karier, keuangan, hubungan kekeluargaan dan persahabatan, dan roman. Apakah resolusi tersebut dilaksanakan atau tidak, ini soal lain.

Yang juga menarik, di antara resolusi yang terkirim melalui pesan pendek SMS, ada juga yang mengambil metafora benda langit, khususnya bintang, Matahari, dan Bulan. Ada yang berharap pada tahun 2008 kenalannya bisa jadi terang seperti Matahari.

Perjalanan Bumi

Selepas 1 Januari, manusia pun kembali rutin menyusuri hari demi hari, hingga akhir nanti, yang lebih kurang seabad. Sementara Bumi masih akan setia menyusuri hari demi hari mengelilingi Matahari, dalam revolusi yang sudah berlangsung selama 4,5 miliar tahun dan masih akan berlangsung 4,5 miliar tahun lagi.

Selepas tanggal 1 Januari ini, kira-kira pada pekan pertama tahun, Bumi akan mencapai titik perihelium—titik terdekat dengan Matahari—di mana jarak Bumi dari Matahari adalah 147.072.376 kilometer.

Oleh revolusi Bumi, juga karena sumbu Bumi miring 23,5 derajat terhadap bidang orbit mengelilingi Matahari, Matahari seolah bergerak ke utara. Pertama, Matahari akan terlebih dulu mencapai ekuator pada tanggal 21 Maret. Pada titik yang disebut Ekuinoks ini, musim semi pun dimulai untuk belahan bumi utara, sementara di belahan bumi selatan dimulai musim gugur. Titik ini juga disebut dengan Ekuinoks Maret, Ekuinoks Musim Semi.

Selanjutnya, Matahari akan mencapai Garis Balik Utara (Solstitium) pada tanggal 21 Juni, saat yang juga dikenal sebagai Solstitium Musim Dingin untuk belahan bumi selatan. Setelah tiga bulan memberi musim panas di belahan bumi utara, Matahari bergerak kembali ke selatan, dan mencapai Ekuinoks Musim Gugur pada tanggal 22 September. Sekitar 2-6 Juli, Bumi akan mencapai titik terjauh dari Matahari atau Aphelium, yaitu pada jarak 152.060.540 kilometer.

Dari situ, perjalanan Sang Surya pun berlanjut ke selatan dan mencapai Solstitium Musim Panas pada tanggal 22 Desember. Pada tanggal inilah hari paling pendek bagi belahan bumi utara, dan terpanjang bagi belahan bumi selatan.

Demikianlah siklus tahunan yang terjadi bagi Bumi yang disebabkan oleh pergerakannya mengelilingi Matahari. Dalam siklus yang menghasilkan musim dan cuaca yang berganti-ganti itu terpola kegiatan manusia dan juga flora dan fauna.

Oleh sifatnya yang rutin, siklus tersebut bisa dikatakan telah diterima apa adanya dan jarang merambah alam kesadaran. Manusia lebih akrab dengan perubahan waktu dan musim sebagaimana tercetak pada kalender.

Tidak terasa memang bahwa manusia dan kehidupan lain di dunia sedang menaiki kapal angkasa bernama Bumi yang melaju sepanjang tahun mengelilingi Matahari dengan kecepatan 107.275 kilometer per jam!

Di luar revolusi Bumi mengelilingi Matahari, sebenarnya ada gerakan lain yang lebih subtil dan lebih tidak terasa. Matahari, bersama Bumi dan planet-planet lain, mengelilingi pusat galaksi Bima Sakti dengan kecepatan 250 kilometer per detik. Para astronom mengamati bahwa tata surya kini sedang bergerak menuju Konstelasi Lyra. Matahari dan planet-planetnya akan menggenapi revolusi mengelilingi pusat Galaksi dalam tempo 200 juta-250 juta tahun. Sungguh kurun yang teramat panjang untuk ukuran manusia.

Kalau kemakmuran bisa ditingkatkan melalui pengelolaan sumber daya dan pemanfaatan iptek yang cerdas, kesempatan untuk memelihara kelangsungan umat manusia di Bumi itu terbuka lebar.

Sebaliknya, kalau dalam setiap resolusi tahunan manusia tidak sedikit pun terdapat tekad untuk menyongsong masa depan, maka benih kepunahan itu telah disemaikan sejak sekarang.

Harapan yang disampaikan oleh sahabat agar 12 bulan di tahun ini berisikan kebahagiaan, 52 minggunya merupakan sukacita, 365 harinya penuh tawa ria, 8.760 jamnya merupakan keberuntungan, dan 525.600 menitnya merupakan sukses, sungguh amat sadar tentang dimensi waktu.

Harapan itu sah saja. Namun, pada sisi lain, setiap elemen waktu yang disebutkan di atas juga punya makna sendiri. Mungkin saja hitungan menit, jam, hari, bulan, dan tahun untuk revolusi Bumi yang sudah 4,5 miliar tahun tak banyak artinya (insignifikan). Tetapi tiba-tiba saja Bumi terasa makin panas, dan cuaca ekstrem sudah jadi realitas di depan mata.

Dalam perspektif itulah "resolusi dalam (konteks) revolusi" bisa dilihat sebagai satu agenda dalam penetapan prioritas untuk masa depan untuk ras manusia dan kehidupan lainnya.