Friday, November 28, 2008

BELAJAR DARI GUJARAT


Membuat Ibu dan Bayi Panjang Umur
Jumat, 28 November 2008 | 01:18 WIB

Evy Rachmawati

Terik matahari terasa menyengat. Sejumlah warga tampak memasuki halaman Puskesmas Sanathal, Blok Sanand, Distrik Ahmedabad, Gujarat, India. Di atas bangku panjang, sejumlah perempuan yang mengenakan kain sari duduk menanti giliran diperiksa. Sebagian dari mereka tengah hamil.

Satu per satu mereka ditangani oleh dokter spesialis kandungan dan kebidanan atau ginekolog. Mereka juga mendapat suplemen zat besi dan makanan penambah gizi. Semua layanan itu dapat dinikmati masyarakat miskin secara gratis, termasuk biaya persalinan dengan komplikasi yang ditangani tenaga kesehatan terlatih. Mereka malah diberi uang 200 rupee (setara Rp 50.000) oleh pemerintah setempat, 50 rupee di antaranya untuk transpor orang yang mengantar.

Hal itu merupakan bagian dari skema Chiranjeevi Yojana (seseorang hidup panjang umur) yang diluncurkan Pemerintah Gujarat, India, tahun 2005 dengan proyek percontohan di lima distrik. Skema ini untuk melindungi ibu dan bayi dari komplikasi saat melahirkan, mencegah kematian ibu selama kehamilan dan persalinan, serta menghindari kematian bayi baru lahir sampai satu bulan pasca- persalinan.

Sulit mengakses

Di Gujarat, sekitar 25.000 ibu meninggal saat melahirkan dan mayoritas tinggal di daerah terpencil. Setiap 1.000 kelahiran, dua ibu meninggal saat bersalin. Penyebabnya, antara lain, perdarahan dan infeksi. Angka kematian bayi baru lahir juga tinggi. ”Banyak ibu sulit mengakses fasilitas kesehatan saat melahirkan karena tak punya biaya dan terbatasnya sarana transportasi,” kata Chief Minister Pemerintah Gujarat Shri Narendra Modi.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Negara Bagian Gujarat meluncurkan skema Chiranjeevi untuk menjamin ibu hamil yang miskin dapat melahirkan dengan aman di klinik bersalin atau rumah sakit rujukan pemerintah. Pelayanan itu termasuk pemeriksaan kehamilan, USG, persalinan, dan la- yanan kesehatan dasar bayi baru lahir.

Layanan ini diberikan di rumah sakit dan klinik swasta yang ikut dalam skema itu. Setiap ginekolog yang ikut dalam skema ini menandatangani perjanjian dengan Kepala Distrik Bidang Kesehatan untuk menangani persalinan minimal 100 pasien miskin. Kepada para dokter spesialis kandungan dan kebidanan itu, pemerintah membayar 1.795 rupee (setara Rp 500.000) per kelahiran. Dalam waktu kurang dari dua tahun, jumlah ginekolog meningkat drastis dari 7 orang di daerah terpencil menjadi 868 dokter spesialis.

Di lima distrik yang menjadi proyek percontohan, sampai September 2006 tercatat 26.969 perempuan yang mendapat layanan dari skema itu. ”Dengan peningkatan akses dan kualitas layanan persalinan, angka kematian ibu (AKI) dan bayi baru lahir turun drastis. Dari perkiraan AKI 101 jiwa, setelah skema itu dijalankan hanya tercatat angka kematian ibu dua orang,” kata Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Pemerintah Gujarat Rita Teaotia.

Keberhasilan itu membuat skema tersebut dikembangkan dari 5 distrik menjadi 25 distrik di Negara Bagian Gujarat pada akhir September 2008. Data terakhir menunjukkan, 235.289 persalinan di bawah skema Chiranjeevi. Dari total jumlah itu, 205.922 adalah persalinan normal, 14.535 dengan operasi cesar (6,18 persen), persalinan dengan komplikasi 14.832 (6,30 persen). Adapun keterlibatan dokter spesialis sebesar 868 per 2.000 persalinan.

Skema Chiranjeevi juga menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan perempuan lainnya di antaranya pencegahan penyakit yang ditularkan lewat hubungan seksual, pap smear untuk mencegah kanker serviks, dan pelayanan kontrasepsi. Atas terobosan itu, pada tahun 2006 Wall Street Journal menganugerahkan Penghargaan Inovasi Asia kepada Pemerintah Gujarat, India.

Adapun pemerintah pusat India memberi dukungan dana nutrisi 500 rupee dan uang transpor ke fasilitas kesehatan 200 rupee untuk setiap ibu. Dengan skema Chiranjeevi dan sejumlah program inovatif lain, angka kematian ibu melahirkan turun drastis. Dari perkiraan angka kematian 941 ibu melahirkan, ternyata angka kematian yang dilaporkan di bawah skema Chiranjeevi hanya 46 jiwa. Ini berarti 895 jiwa ibu berhasil diselamatkan.

Angka kematian bayi baru lahir juga turun drastis. Dari perkiraan angka kematian 8.941 jiwa, ternyata jumlah bayi baru lahir yang meninggal 987 bayi. ”Ini membuktikan kerja sama pemerintah dan dokter spesialis memberi peluang pasien miskin di daerah terpencil untuk mendapat pelayanan kesehatan yang bagus,” kata dr Amarjit Singh, Sekretaris Jenderal sekaligus Komisioner Kesehatan, Pelayanan Kesehatan, Pendidikan Kedokteran dan Riset Pemerintah Gujarat.

Inovasi

”Kemitraan pemerintah dan swasta di Gujarat merupakan inovasi bagus untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir dalam mencapai sasaran pembangunan milenium,” kata Direktur Kesehatan Keluarga dan Komunitas WHO Regional Asia Timur dan Selatan (SEARO) Dini Latief, pada pertemuan tingkat tinggi WHO SEARO di Ahmedabad, Gujarat, India.

Sejauh ini, 11 negara anggota WHO SEARO memberi kontribusi populasi 1,7 miliar jiwa atau seperempat dari populasi dunia yang berjumlah 6,6 miliar penduduk. Dari 536.000 kasus kematian ibu di dunia tahun 2005, hampir 32 persen atau 170.000 di antaranya ada di kawasan tersebut. Secara global ada 9,7 juta kasus kematian anak balita pada tahun 2006 dan 28 persen di antaranya di Asia Timur dan Selatan.

Prof K R Nayar dari Universitas Jawaharlal Nehru, India, memaparkan, ada perbedaan nyata angka kematian ibu, bayi baru lahir, dan anak balita di negara maju dan berkembang. Contohnya, angka kesakitan tuberkulosis di India 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Amerika Serikat.

Untuk itu, kemitraan pemerintah dan swasta sebagaimana dilakukan di Gujarat merupakan salah satu jalan mempercepat peningkatan derajat kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak balita.

Ketua Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Suryono Santoso optimistis berbagai inovasi dalam pemeliharaan kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak balita juga bisa dilakukan di Indonesia.

Kongres Guru


Guru Harus Bisa Tumbuhkan Inspirasi


KOMPAS/LASTI KURNIA / Kompas Images
Para guru dan kepala sekolah se-Indonesia berkumpul untuk mengikuti Kongres Guru Indonesia 2008 di Jakarta, Kamis (27/11). Kongres berlangsung 27-28 November, menghadirkan ahli pendidikan dari dalam dan luar negeri.
Jumat, 28 November 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Generasi muda saat ini hidup dalam dunia yang berbeda dan jauh lebih kompleks. Dengan demikian, tuntutan pada peran pendidikan pun menjadi berbeda dan tinggi.

”Guru tidak bisa lagi jadi pusat sumber data dan fakta dalam belajar. Internet, misalnya google, kerjanya jauh lebih baik dan cepat dari guru untuk menyediakan sumber belajar buat siswa. Jadi, yang guru perlu lakukan adalah membangun hubungan personal dengan siswa untuk bisa membimbing dan menginspirasi mereka agar mampu belajar dan mengembangkan potensi diri setiap anak,” ujar Ediberto C de Jesus, mantan Presiden Southeast Asian Ministers of Education Council (SEAMEO) dalam Kongres Guru Indonesia 2008 yang dilaksanakan Sampoerna Foundation Teacher Institute dan Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Kamis (27/11).

Kongres Guru Indonesia ke-3 untuk memperingati Hari Guru Nasional itu dihadiri sekitar 1.000 guru dari berbagai wilayah di Indonesia. Kongres dua hari ini menghadirkan pakar pendidikan dan guru dari dalam dan luar negeri untuk bisa saling berbagi pengalaman dan informasi untuk menjadikan guru Indonesia semakin berkualitas.

Ronald Stones, mantan Direktur United School Program Sampoerna Foundation Teacher Institute, mengatakan, dunia yang berubah saat ini menuntut guru dan sistem pendidikan yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan.

”Para pendidik harus bisa mengubah cara mengajar dan merespons perkembangan dengan mengembangkan metode pembelajaran yang lebih aktif dan kreatif,” ujar Ronald. (ELN)

Tuesday, November 25, 2008

Lirik Himne Guru Berubah


YOGYAKARTA, KOMPAS - Lirik terakhir himne guru berubah dari Pahlawan tanpa tanda jasa menjadi Pahlawan pembangun insan cendekia. Perubahan tersebut mulai disosialisasikan 2008 ini, termasuk saat memperingati Hari Guru, 25 November besok.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Sugito, di Yogyakarta, Minggu (23/11), mengatakan, perubahan itu selain sebagai upaya mendorong peningkatan kesejahteraan guru, juga menunjukkan perubahan peran guru sebagai tenaga pengabdi menjadi pekerja profesional.

Lagu berjudul Pahlawan Tanpa Tanda Jasa tersebut ditetapkan sebagai himne guru sejak tahun 1994. Perubahan syair merupakan hasil negosiasi Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, PGRI, dan penciptanya, Sartono.

Perubahan ini terkait adanya sertifikasi guru dan tunjangan profesi bagi guru yang telah lolos. Adanya tunjangan profesi menunjukkan peningkatan kesejahteraan bagi guru yang telah dianggap profesional.

”Selama ini, pahlawan tanpa tanda jasa itu terkesan guru disuruh sengsara terus. Dengan adanya sertifikasi guru, maka guru sekarang adalah tenaga profesional yang harus mendapat imbalan secara profesional juga,” ujar Sugito.

Kepala Dinas Pendidikan DI Yogyakarta Suwarsih Madya mengatakan, perubahan lagu tersebut juga merupakan pertanda bahwa kini guru telah sadar akan hak yang patut diterima sesuai dengan profesi dan kualitasnya. (IRE)

Ambil Kepahlawananku, Benahi Kesejahteraanku


R Kunjana Rahardi

Sudah banyak diberitakan kisah-kisah guru (baca pula: dosen) yang dalam ketekunan dan kesetiaan profesinya, justru mengemban ironi-ironi besar pendidikan. Bukan saja lantaran gaji bulanan yang tidak dapat dipakai hidup layak dalam keluarga. Terasa berlebihan jika dengan gaji bulanan pas-pasan, ada guru yang dua-tiga kali makan di restoran. Atau, terasa tidak logis pula jika dengan gaji mepet, seorang guru dapat berbelanja di mal dan swalayan.

Akan tetapi, sama sekali bukan itu masalah yang dimaksud dalam refleksi Hari Guru Nasional Ke-15 tahun ini. Yang dimaksud adalah, bahwa dengan penghasilan yang diterima, guru banyak yang tidak mampu mengantarkan anaknya mengecap pendidikan sampai jenjang pendidikan wajar untuk bekal mengarungi kehidupan.

Almarhum Pater Drost (2006) pernah berseloroh lewat tulisannya di Kompas, peran orangtua dalam membimbing anaknya (sendiri) adalah sebagai pendidik utama, termasuk membimbing dalam menghadapi dunia persekolahan. Oleh karena proses pembelajaran berlangsung lewat lembaga sekolah, bimbingan nyata orangtua ialah menyiapkan anak-anak agar akhirnya masuk perguruan tinggi. Akan tetapi, bagaimana mungkin guru swasta menjalankan amanat luhur ini?

Dikotomi

Bagi guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS), mungkin jeritan hati ini sekarang sudah dipicingkan dengan sebelah mata. Sepertinya, guru berpelat merah kini sudah jauh lebih sejahtera. Guru berpelat kuning alias swasta, justru semakin menderita. Artinya pula, memang harus diakui ada dikotomi guru negeri dan guru swasta.

Jeritan refleksi ini barangkali tepat bagi guru swasta, seperti penulis sendiri yang adalah guru swasta. Rasanya guru swasta cukup dipersilakan gigit jari ketika harus mendengar kabar kenaikan gaji, rapelan gaji, kenaikan pangkat, kenaikan golongan/ruang gaji, dan semacamnya dari pemerintah. Faktanya, memang kami yang guru swasta ini benar-benar harus gigit jari dan merasa iri hati dengan mereka yang menjadi anak-anak negeri.

Padahal, jika lebih jauh direfleksi, guru swasta dan negeri pada hakikatnya hanya beda dalam nasib dan lokasi. Maksudnya, yang satu beruntung lantaran menjadi anak negeri, yang satunya terpuruk lantaran menjadi anak yayasan dan/atau perkumpulan. Bagi guru yang menjadi anak-anak yayasan, kami harus jujur mengatakan, penghasilan kami sama sekali tidak cukup untuk hidup layak sebulan.

Ironi besar

Jangankan menyekolahkan dan menguliahkan anak-anak, untuk hidup keseharian kami masih cukup kerepotan. Maka sesungguhnya adalah ironi besar jika guru yang bekerja membanting tulang dalam wahana pendidikan, kadang tidak tahu waktu lantaran pekerjaan dan tanggung jawab kependidikan, tetapi tidak mampu memberikan kesempatan pendidikan yang benar-benar wajar bagi anak-anak sendiri.

Setiap hari kami memintarkan anak-anak orang, anak-anak masyarakat, anak-anak bangsa, tetapi anak-anak kami sendiri, yang lahir dari darah daging kami sendiri, terpaksa harus terpinggirkan ketika harus menikmati pendidikan. Betapa tidak terpinggirkan jika kini kian banyak lembaga pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, jatuh berkubang dalam konglomerasi pendidikan.

Dengan semakin diimaninya konglomerasi itu, pendidikan di semua jenjang menjadi mahal. Kami bahkan ingin berteriak menegaskan, bagi kami pahlawan tanpa tanda jasa ini, kesempatan menyekolahkan dan/atau menguliahkan anak-anak sendiri, kini menjadi utopia dan impian yang kelewat besar.

Maka upaya pemerintah mengangkat martabat guru lewat implementasi Undang-Undang Guru dan Dosen, yang kemudian berimplikasi pada sertifikasi guru dan dosen, bolehlah dianggap sebagai upaya baik pemerintah yang harus diterima dengan syukur dan bangga hati. Akan tetapi, patut juga didengarkan para pejabat yang berwenang mengambil kebijakan, tunjangan profesi yang rencananya diberikan sebesar gaji pokok sesuai dengan golongan dan kepangkatan, hingga kini meninggalkan banyak tanda tanya dan keterngangaan.

Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN 2009 memang tidak berimplikasi langsung pada perbaikan kesejahteraan. Akan tetapi, tetap diharapkan bahwa hasil berdampaknya (outcomes) dari alokasi anggaran itu nantinya dirasakan dari dimensi-dimensi lainnya.

Memberikan kemudahan

Saya rasa tidak berlebihan jika kepada para guru dan dosen yang memang sah memiliki anak yang harus disekolahkan atau dikuliahkan, negara benar-benar memberikan kemudahan dalam fasilitas pembiayaan. Artinya, para guru yang setiap hari harus memeras keringat dan bersusah payah menjadikan anak-anak orang lain, anak-anak masyarakat, dan anak-anak negara, semuanya menjadi cerdas dan pintar, pemerintah menjamin pendidikan bagi anak-anak hingga jenjang pendidikan yang ditentukan.

Usulan ini saya rasa merupakan upaya menjadikan guru negeri dan swasta setara, terutama dalam memberikan kesempatan pendidikan kepada anak-anak. Tempat dan status keguruan boleh tidak sama, tetapi kesempatan memberikan pendidikan harus dipersamakan.

Artinya pula, yang satu boleh menjadi anak negara karena status kepegawaiannya yang PNS, yang satu tetap menjadi anak yayasan juga lantaran status kekaryawanannya. Namun, anak- anak harus diperlakukan sama dalam mendapatkan fasilitas dan kemudahan pendidikan.

Saya rasa inilah salah satu hal mendasar yang hendak kami teriakkan lantang sekarang. Tidak perlu lagi didengung-dengungkan sosok guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Kalaupun telanjur lagu pujian itu diciptakan dan sudah dihafal banyak kalangan, biarlah mulai sekarang semuanya berjalan natural dan tidak perlu lagi ditonjol-tonjolkan.

Bahkan jika boleh berteriak, sudahlah ambil saja kepahlawananku, tetapi mohon benar-benar benahi kesejahteraanku!

R Kunjana Rahardi Guru swasta di Yogyakarta, Penulis buku Melawan dengan Elegan: Serpihan-serpihan Kegelisahan seorang Guru di Tengah Guliran Arus Zaman

Kala Guru seperti Buruh


Tabrani Yunis

Akhir-akhir ini, banyak muncul organisasi guru alternatif di Tanah Air. Diawali dengan munculnya Federasi Guru Independen Indonesia pada tanggal 17 Januari 2002 yang menghimpun sebanyak 20 organisasi dan forum guru dari seluruh Indonesia.

Ada pula Asosiasi Guru Nanggroe Aceh Darussalam (Asgu-NAD), Koalisi Guru Bersatu (Kobar-GB) Aceh, Ikatan Guru Honorer Indonesia (IGHI) Padang-Sumbar, Forum Martabat Guru Indonesia (FMGI) Lampung, Jakarta Teachers Club (JTC), Forum Aspirasi Guru Independen (FAGI) Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Subang, Purwakarta, dan Sumedang.

Di samping itu juga hadir Forum Interaksi Guru Banyumas (Figurmas) Purwokerto, Lembaga Advokasi Pendidikan (LAP) Jakarta, Forum Komunikasi Guru Tangerang (FKG), Forum Guru-Guru Garut (FOGGAR), Forum Guru Tasikmalaya (FGT), Solidaritas Guru Semarang (Sogus), Forum Komunikasi Guru Kota Malang (Fokus Guru), Perhimpunan Guru Tidak Tetap (PGTTI) Kediri, Aliansi Guru Nasional Indonesia (AGNI) Jawa Timur, Perhimpunan Guru Mahardika Indonesia (PGMI) Lombok, dan Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI) Jakarta. Begitu banyak dan menjamurnya organisasi guru alternatif yang lahir di era kebebasan berserikat ini.

Fenomena ini menarik untuk disidik karena sebenarnya para guru di Indonesia telah memiliki wadah organisasi PGRI. Lalu, mengapa kemudian banyak bermunculan organisasi guru alternatif? Akankah kehadiran organisasi-organisasi guru alternatif ini menggeser fungsi PGRI? Pertanyaan-pertanyaan di atas, kiranya perlu kita jawab.

Apalagi, Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagaimana ditulis di beberapa media cetak, mengutarakan kegalauannya terhadap fenomena itu. Detik.com tanggal 14 November 2008 memberitakan bahwa JK meminta guru-guru di seluruh Indonesia tidak terpecah belah. Para guru diharap tetap bernaung di bawah organisasi PGRI. Dikatakan, jika guru terpecah-pecah, akan seperti buruh. Saat ini, para buruh bernaung pada berbagai organisasi.

Tidak beralasan

Meminta agar guru tidak mengikuti jejak para buruh Indonesia dan semua guru harus bernaung di bawah PGRI adalah sebuah kegalauan yang tidak beralasan. Ada beberapa alasan mengapa hal ini perlu disikapi. Pertama, bahwa sekarang bukan zamannya menutup pintu demokrasi. Apalagi memilih organisasi lain sebagai wadah penyaluran aspirasi tidak dilarang oleh undang-undang. Munculnya organisasi-organisasi guru alternatif sebenarnya positif dan memang harus ada di alam demokrasi.

Kedua, munculnya kegalauan Wapres terhadap gerakan guru yang menyalurkan aspirasi di luar PGRI karena pemerintah sebenarnya tidak memahami akar masalah yang dihadapi oleh para guru di Indonesia. Padahal, Wapres sendiri pada tahun 2005 pernah berjanji menyelesaikan masalah guru di Indonesia. Harian Kompas, 8 Juni 2005, memberitakan bahwa Wapres berjanji untuk mengatasi masalah guru di Indonesia dalam waktu tiga tahun. Menurut Wapres, ada tiga masalah guru yang akan diselesaikan. Pertama, masalah guru bantu. Kedua, masalah kualitas dan profesionalitas guru yang rendah. Dan yang ke tiga, soal tingkat kesejahteraan guru yang masih jauh dari garis kesejahteraan. Nah, sekarang sudah tahun 2008, mengapa masalah guru masih saja belum bisa diatasi?

Ketiga, Wapres tidak selayaknya mengatakan bahwa semua guru harus bernaung di bawah PGRI karena apa yang melatarbelakangi munculnya organisasi guru alternatif tersebut, justru sebagai jawaban lain terhadap kelemahan dan kekurangan PGRI yang tidak pernah mau diperbaiki. Keran PGRI tidak dapat dijadikan sebagai wadah saluran aspirasi lagi. Apalagi sejak dulu, PGRI tidak dipimpin oleh guru, tetapi oleh para pejabat dinas pendidikan yang memiliki kepentingan dan menggunakan PGRI sebagai kendaraan politik. Jadi, sangatlah tidak adil bila guru dilarang mencari organisasi guru alternatif untuk memperjuangkan hak dan nasib mereka.

Kiranya, bulan ini sebagai bulan lahirnya PGRI, merupakan saat yang tepat untuk merefleksi diri. Seharusnya para petinggi dan pengurus PGRI belajar memahami masalah anggotanya. Sudah saatnya juga kepengurusan PGRI diberikan kepada guru.

Keempat, kegalauan pemerintah terhadap guru juga tidak terlepas karena kelemahan pemerintah mengurus para guru. Pemerintah cenderung mendorong para guru melakukan aksi-aksi yang biasanya digunakan para buruh dalam menuntut kenaikan upah. Di Aceh misalnya, ribuan guru di Aceh Tenggara berdemonstrasi menuntut dicairkannya tunjangan fungsional guru yang tertahan selama setahun. Hal ini bukan saja masalah di Aceh, tetapi masalah guru secara nasional.

Tunjangan profesi tersendat

Darmanintyas dalam ”Resentralisasi Kebijakan Guru” (Kompas, 29/9/2007) menyebutkan bahwa pembayaran tunjangan profesi pendidik untuk guru yang masuk kuota sertifikasi tahun 2006 dan 2007 saja amat lamban. Dana tunjangan profesi pendidik yang disediakan pemerintah senilai Rp 2,8 triliun, baru sekitar Rp 600 miliar yang disalurkan kepada guru yang sudah dinyatakan lulus uji sertifikasi. Mengulur-ulur pembayaran. Konon, dana itu sudah disalurkan ke provinsi.

Nah, kalau begini caranya pemerintah mengurus guru di negeri, wajar saja sosok guru ideal sulit didapatkan. Selama ini, profesi guru selalu dituntut untuk bisa tampil ideal sebagai seorang tenaga edukasi yang profesional, yaitu guru yang menjalankan tugas mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik dengan mengikuti kode etik seorang guru.

Ketika seorang guru terpaksa menjadi tukang ojek, lalu dikatakan itu tidak layak dijalankan para guru karena memperburuk citra guru, pertanyaannya, mengapa pemerintah atau dinas pendidikan di kota dan kabupaten menyiksa guru dengan mengabaikan kesejahteraan guru?

Karenanya, berikanlah kebebasan kepada guru untuk membangun organisasi alternatif sebagai media perjuangan. Jadi, pemerintah tidak perlu memaksa semua guru harus menjadi anggota PGRI. Kalau PGRI ingin dicintai guru, PGRI harus mengubah gaya kepemimpinannya.

Kalau pemerintah ingin proses pendidikan di Indonesia bisa berjalan baik, sudah saatnya pemerintah mengurus guru secara benar. Pemerintah harus lebih serius membangun profesionalitas dan kesejahteraan guru. Bila guru dihargai dan ditingkatkan harkat dan martabatnya, akan berdampak positif bagi dunia pendidikan di negeri ini.

Tabrani Yunis Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh

Guru Bantu



Pemerintah Diminta Cari Solusi yang Adil


Kompas/Lasti Kurnia / Kompas Images
Karyana (38), guru honorer yang telah lima tahun mengajar, menumpang di bilik sederhana di belakang ruang kelas Madrasah Ibtidaiyah Nurul Ikhlas, Kampung Tanah Merah, Muara Baru, Jakarta, Senin (24/11). Gajinya Rp 150.000 per bulan dan hanya enam bulan sekali ia dapat mengirim uang untuk anak dan istrinya di kampung. Ia berharap memperoleh status PNS agar dapat lebih sejahtera.
Selasa, 25 November 2008 | 03:00 WIB


Pemerintah diminta untuk mencari solusi yang adil dan bijaksana dalam persoalan terkatung-katungnya nasib sekitar 150.000 guru honorer. Menyerahkan tanggung jawab pengangkatan guru honorer ke pemerintah daerah bukanlah solusi yang bijaksana.

”Harus ada koordinasi dan jaminan sehingga guru honorer tersebut diangkat statusnya menjadi guru tetap atau pegawai negeri sipil,” kata Ketua Umum Forum Tenaga Honorer Sekolah Negeri Indonesia (FTHSNI) Ani Agustina di Jakarta, Senin (24/11), menyambut Hari Guru 25 November ini. Pendapat senada disampaikan Ketua Umum Forum Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman.

Suparman menilai kekacauan perekrutan guru tak bisa sekadar mengambinghitamkan sekolah. Kekacauan itu tidak terlepas dari sistem perekrutan oleh pemerintah yang tidak terencana dengan baik, yang antara lain terlihat dari kenyataan simpang siurnya data guru nonpegawai negeri sipil (PNS) di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Suparman menambahkan, jangan otonomi daerah dijadikan kambing hitam. Pemerintah pusat harus bertanggung jawab terhadap perekrutan guru yang sudah ada.

Kekurangan guru

Ani mengatakan, keberadaan guru honor atau guru kontrak atau guru tidak tetap di sekolah- sekolah negeri itu karena banyak sekolah yang kekurangan guru PNS. Guru honor yang tidak digaji dari APBN/APBD itu seharusnya diangkat menjadi guru PNS setelah pemerintah menyelesaikan pengangkatan guru honorer yang digaji pemerintah pusat dan daerah.

Ani menyebutkan, guru honorer di sekolah negeri yang seharusnya segera diangkat sekitar 50.000 orang, yang merupakan bagian dari 150.000 tenaga honorer di sekolah negeri.

Di Jakarta, Forum Guru Bantu Indonesia DKI Jakarta yang beranggotakan 6.852 guru, Senin kemarin, mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Para guru bantu yang tersebar di sekolah swasta ini sudah masuk dalam daftar calon pegawai negeri sipil (CPNS) sejak Agustus 2007 dan melengkapi semua berkas, tetapi hingga saat ini tidak ada kejelasan status kepegawaian mereka.

Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistiyo mengatakan, guru menuntut supaya Peraturan Pemerintah tentang Guru dan Dosen segera bisa dikeluarkan pemerintah. ”Guru merasa dibohongi dan tidak dihargai. Implementasi UU Guru dan Dosen yang diundangkan sejak 2005 sampai saat ini tidak diaplikasikan,” ujar Sulistiyo. (ELN)

Wednesday, November 19, 2008

Mengurai Masalah Guru (Swasta)


Rabu, 19 November 2008 | 00:57 WIB

Oleh Doni Koesoema A

Persoalan nasib guru swasta yang merasa dianaktirikan dan diperlakukan tidak adil kian mencuat ke publik. Polarisasi antara guru swasta dan negeri sebenarnya bukan persoalan utama yang kita hadapi.

Masalah utama yang menjadi pangkal perdebatan adalah tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menjaga dan melindungi martabat profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri, swasta, tetap, maupun honorer.

Dua kekuatan

Sebenarnya, nasib guru lebih banyak ditentukan dua kekuatan, yaitu kekuatan negara dan kekuatan masyarakat. Kekuatan negara terhadap guru bersifat memaksa dan mengatur. Ini terjadi karena negara berkepentingan hanya mereka yang memiliki kompetensi dan layak mengajar di kelaslah yang boleh berdiri di depan kelas. Karena itu, negara mengatur berbagai macam kompetensi yang harus dimiliki guru sebelum mereka boleh mengajar di dalam kelas. Kualifikasi akademis, sertifikasi, kemampuan sosial, dan keterampilan pedagogis adalah hal-hal yang harus dikuasai guru. Berhadapan dengan aturan negara yang koersif ini, para guru tidak dapat berbuat apa-apa selain harus menyesuaikan diri. Sebab inilah satu-satunya cara agar profesi guru tetap berfungsi efektif dalam lembaga pendidikan.

Selain itu, masyarakat juga memiliki kekuatan kultur yang menentukan gambaran sosok guru. Guru harus memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu ramah, terbuka, akrab, mau mengerti, dan pembelajar terus-menerus agar semakin menunjukkan jati diri keguruannya. Masyarakat telah menentukan pola perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan guru di dalam kelas dan di luar kelas. Bahkan, masyarakat dengan kekuatan kulturalnya mengatur bagaimana guru harus berpakaian. Guru tak bisa seenaknya memakai jenis pakaian tertentu selama mengajar. Pelanggaran atas harapan masyarakat ini membuat individu guru kehilangan integritas.

Berhadapan dengan dua kekuatan ini, guru tidak memiliki kekuatan penawaran, selain mengikuti apa yang ditetapkan instansi di luar dirinya. Tidak jarang, norma sosial yang harus dilaksanakan guru menjadi rambu-rambu yang sebenarnya menjaga martabat guru itu. Ketika ada pelanggaran kode etik yang dilakukan guru, masyarakat akan menilai pribadi itu sebagai kehilangan kualitas keguruan dan dia tidak akan dipercaya. Karena itu, sanksi sosial, baik dari masyarakat maupun negara, sebenarnya bukan bersifat punitif, tetapi juga reparatif, yang membuat status dan martabat guru tetap berharga di mata masyarakat dan negara.

Bagian hakiki

Kekuatan memaksa negara dan kekuatan kultural masyarakat sebenarnya menjadi bagian hakiki yang mewarnai status seorang guru. Karena itu, tiap orang yang ingin menjadi guru harus mempertimbangkan dua tuntutan itu. Guru tidak bisa mengklaim dirinya sebagai guru jika negara dan masyarakat tidak memaklumkan keberadaan individu itu sebagai guru.

Sayang, situasi sosial, politik, dan ekonomi kian membuat status guru terpencil dan terpinggir. Ini terjadi karena tuntutan tinggi yang dipaksakan pemerintah ternyata tidak dibarengi kesediaan pemerintah melindungi profesi guru. Bahkan, ada guru digaji di bawah upah minimum regional. Sedangkan masyarakat, terutama para pemilik yayasan pendidikan swasta, juga tidak dapat berbuat banyak karena alasan tak adanya dana untuk mengangkat guru-guru mereka menjadi guru tetap. Minimnya sumber daya yayasan sering menjadi alasan untuk tidak memerhatikan nasib guru, bahkan membebani masyarakat dengan cara menaikkan biaya pendidikan.

Entah berhadapan dengan kekuatan negara atau masyarakat, guru ada dalam posisi lemah dan selalu menjadi korban. Situasi ini tidak dapat diatasi dengan mengangkat seluruh guru honorer menjadi pegawai negeri, seperti tuntutan beberapa kelompok guru honorer maupun mengangkat guru tidak tetap menjadi guru tetap yayasan.

Masalah ini hanya bisa diatasi jika pemerintah dan masyarakat memberi prioritas untuk menjaga, melindungi, dan menghormati profesi guru. Secara khusus, pemerintah harus memberi jaminan finansial secara minimal kepada tiap guru agar mereka dapat hidup layak dan bermartabat sebagai guru. Jaminan seperti ini hanya bisa muncul jika ada perlindungan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang benar-benar memihak dan berpihak kepada guru.

Sejauh ini, pemerintah hanya mampu menuntut guru untuk ikut sertifikasi, tetapi ia gagal memberi penghargaan dan perlindungan atas profesi guru (ada ketidakseimbangan kuota guru negeri dan swasta, sedangkan swasta dibatasi kesejahterannya dengan aturan alokasi jam mengajar dan status kepegawaian). Pemerintah memiliki tugas mulia dalam menyejahterakan nasib guru. Negara mampu melakukan itu jika ada keinginan politik yang kuat. Ongkos sosial dan politik pada masa depan akan lebih ringan jika pemerintah mampu memberi perlindungan dan kemartabatan profesi guru, terutama memberi jaminan ekonomi minimal agar para guru dapat hidup bermartabat, sehingga mereka dapat memberi pelayanan bermutu bagi masyarakat dan negara.

Dukungan bagi swasta

Ketidakmampuan sekolah swasta dalam membiayai para guru yang bekerja di lingkungannya juga harus menjadi keprihatinan utama pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam mengembangkan dunia pendidikan patut didukung, tetapi pemerintah juga wajib menjamin bahwa masyarakat yang mengelola sekolah memenuhi persyaratan sesuai standar pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan. Jika banyak yayasan pendidikan tidak mampu memenuhi standar pelayanan pendidikan, yayasan seperti itu tidak layak melangsungkan pelayanan pendidikan karena akan merugikan masyarakat (menarik ongkos terlalu tinggi), tidak mampu menghargai kinerja guru, dan tidak mampu memberi layanan pendidikan yang terbaik bagi siswa karena keterbatasan sarana, fasilitas, dan mutu guru.

Di zaman persaingan ketat seperti sekarang, kinerja menjadi satu-satunya cara untuk mengukur mutu seorang guru. Karena itu, status pegawai negeri, swasta, tetap, atau honorer tidak terlalu relevan dikaitkan gagasan tentang profesionalisme kinerja seorang guru. Di banyak tempat, status pegawai tetap malah membuat lembaga pendidikan swasta tidak mampu mengembangkan gurunya secara profesional sebab mereka telah merasa mapan. Demikian juga yang menjadi pegawai negeri, banyak yang telah merasa nyaman sehingga lalai mengembangkan dirinya. Di Papua, ada fenomena, status menjadi guru pegawai negeri banyak diincar sebab tiap bulan mendapat gaji, sementara hadir di sekolah dianggap tidak wajib.

Guru yang berkualitas selalu mengembangkan profesionalismenya secara penuh. Dia tak akan merengek-rengek meminta diangkat sebagai pegawai negeri atau guru tetap sebab pekerjaannya telah membuktikan, kinerjanya layak dihargai. Mungkin ini salah satu alternatif yang bisa dilakukan guru untuk mengembangkan dan mempertahankan idealismenya pada masa sulit. Namun, idealisme ini akan kian tumbuh jika ada kebijakan politik pendidikan yang mengayomi, melindungi, dan menghargai profesi guru. Pemerintah sudah seharusnya menggagas peraturan perundang-undangan yang melindungi profesi guru, tidak peduli apakah itu guru negeri atau swasta, dengan memberi jaminan minimal yang diperlukan agar kesejahteraan dan martabat guru terjaga.

Doni Koesoema A Mahasiswa Pascasarjana Boston College Lynch School of Education, Boston

PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN


Modal Wirausaha Siswa SMK Rp 24 Miliar
Rabu, 19 November 2008 | 01:14 WIB

Jakarta, kompas - Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 24 miliar pada tahun 2009 untuk mengembangkan kemampuan wirausaha siswa sekolah menengah kejuruan di seluruh Tanah Air. Modal ini akan dibagikan kepada SMK sesuai bidang keahlian masing-masing.

Joko Sutrisno, Direktur Pembinaan SMK Depdiknas, Selasa (18/11), di Jakarta, menjelaskan, selama dua tahun terakhir SMK didorong untuk juga bisa mengembangkan kegiatan bisnis atau wirausaha sesuai program keahlian di masing-masing sekolah. Misalnya, di program keahlian bisnis dan manajemen, siswa dilatih untuk berdagang dan mengelola bisnis. Siswa SMK peternakan tidak sekadar bisa memelihara ternak sapi atau ayam, tetapi juga bisa memasarkan daging dan hasil olahannya ke masyarakat sekitar.

”Pemerintah menyediakan bantuan modal kerja untuk kegiatan bisnis atau wirausaha yang menjadi bagian pendidikan kewirausahaan di sekolah sebesar Rp 24 miliar,” tutur Joko.

Untuk peningkatan pendidikan kewirausahaan di SMK, Direktorat Pembinaan SMK menggandeng pengusaha Bob Sadino untuk bisa mendidik para guru SMK di berbagai wilayah di Tanah Air. Pendidikan kewirausahaan yang langsung dari wirausahawan andal ini diharapkan bisa membuat guru SMK mempunyai pengalaman nyata untuk mengembangkan bisnis yang melibatkan siswa di sekolah.

Bob Sadino mengatakan, mengembangkan pendidikan kejuruan yang dipadukan dengan kemampuan wirausaha bisa menjadi kekuatan ekonomi Indonesia.

”Oleh karena itu, siswa harus diberi pelajaran dan pengalaman yang nyata agar bisa mandiri dan kelak menjadi entrepreneur profesional,” ujar Bob Sadino. (ELN)

440.000 Guru Honorer Tak Jelas Nasibnya


Rabu, 19 November 2008 | 01:12 WIB

Jakarta, Kompas - Pengangkatan guru yang tidak terkendali dan terencana sesuai kebutuhan riil menyebabkan sekitar 440.000 guru honor tidak jelas nasibnya. Untuk itu, pemerintah akan menggodok pemetaan kebutuhan guru secara nasional sehingga sekolah tidak boleh lagi mengangkat guru honor atau guru tidak tetap.

Giri Suryatmana, Sekretaris Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, Selasa (18/11), di Jakarta, mengatakan, nasib ratusan ribu guru honor yang diangkat sekolah negeri dan swasta itu tergantung pada pemerintah kabupaten dan kota. Ketika pendidikan masuk dalam otonomi daerah, pengangkatan guru PNS menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.

”Selama ini rekrutmen guru baru tidak terkendali. Satuan pendidikan atau sekolah dengan leluasa mengangkat guru honor. Padahal, sebenarnya secara nasional kita tidak kekurangan guru,” kata Giri.

Selain perekrutan guru yang kacau, kata Giri, penyebaran guru juga bermasalah. Akibatnya, banyak guru yang tertumpuk di kota, sedangkan di pedesaan, terutama di daerah terpencil, sangat kekurangan guru.

Dari penelitian Bank Dunia, rasio guru dan siswa di Indonesia termasuk lebih baik dibandingkan dengan negara tetangga. Untuk SD, rasio guru dengan siswa 1 : 20, SMP 1 : 17, dan SMA/SMK 1 : 14. ”Tetapi, distribusi guru tidak merata dan tidak sesuai bidang studi. Akibatnya, mutu pendidikan kita tetap tertinggal dibandingkan negara-negara lain,” tutur Giri.

Mengenai nasib guru honor sekolah saat ini, kata Giri, pemerintah kabupaten/kota perlu memprioritaskan pengangkatan mereka sebagai guru pegawai negeri sipil (PNS) daerah. Apalagi, kebutuhan guru baru ke depannya cukup mendesak untuk menggantikan guru yang pensiun, terutama guru SD inpres.

Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mendukung penataan kembali atau redistribusi guru di setiap daerah. Dalam kasus penempatan guru di daerah terpencil, pemerintah daerah dan pusat diminta untuk memberikan tunjangan guru daerah terpencil yang layak sehingga banyak guru yang bersedia ditempatkan di daerah. (ELN)

Saturday, November 15, 2008

"Laskar Pelangi" Pecahkan Rekor


Jakarta, Kompas - Sukses film Laskar Pelangi dalam memecahkan rekor jumlah penonton memberi pembelajaran bahwa penonton film Indonesia bisa menerima inovasi.

Mira Lesmana dari Miles Films yang memproduksi film ini mengatakan, sampai Rabu (12/11), pemutaran Laskar Pelangi di 100 layar bioskop di 25 kota menyedot lebih dari 3.993.000 penonton. Padahal, Kamis kemarin, jumlah kota yang memutar film itu bertambah dengan Padang, Tasikmalaya, dan Ambon. Sebelumnya, Ayat-ayat Cinta ditonton 3,7 juta penonton (Kompas, 26/10).

Jumlah penonton itu belum termasuk penonton layar tancap untuk menjangkau penonton di daerah yang belum memiliki gedung bioskop.

Menurut Mira, layar tancap di tiga lokasi di Belitung, tempat cerita berlokasi, menyedot penonton lebih dari 60.000 penonton dan di Bangka sekitar 80.000-an orang. Pemutaran layar tancap juga dilakukan di Rantau (Sumatera Utara) dan akan dilakukan di Natuna, Aceh (enam lokasi), Lombok, serta Papua di Timika, Sorong, dan Jayapura.

Inovasi

Film Laskar Pelangi diangkat dari novel berjudul sama karya Andrea Hirata. Film ini mengangkat realitas sosial masyarakat Belitung, tentang persahabatan, kegigihan dan harapan, dalam bingkai kemiskinan dan ketimpangan kelas sosial.

”Jumlah penonton dan panjangnya masa pemutaran film sejak 25 September memperlihatkan penonton butuh sesuatu yang baru, yang inovatif, walau yang ditampilkan realitas tidak gemerlap,” papar Mira.

Selama ini, kebanyakan film Indonesia bertema drama cinta, horor, dan komedi, sementara Miles Films dalam empat film terakhirnya menggarap tema realisme sosial-politik.

Mira mengakui, inovasi itu tidak selalu berhasil secara komersial. Contohnya Gie, juga produksi Miles Films. Meskipun dari sisi kritik film dan kreativitas bagus, tetapi tidak sesukses Laskar Pelangi dalam pemasaran.

Produksi film ini menghabiskan biaya Rp 9 miliar dan 90 persen dikerjakan di dalam negeri. ”Sound mixing dengan sistem Dolby dan transfer optis untuk suara belum bisa dikerjakan di dalam negeri,” ujar Mira.

Miles Films dan para investor, antara lain Mizan Publishing, kini bersiap memproduksi lanjutan Laskar Pelangi. Sang Pemimpi adalah bagian novel tetralogi Andrea Hirata. (NMP)

Wednesday, November 12, 2008

Pendidikan untuk Cetak


Rabu, 12 November 2008 | 00:56 WIB

Jakarta, Kompas - Memperbanyak jumlah wirausahawan atau entrepreneur di Indonesia melalui pendidikan menjadi kebutuhan mendesak. Percepatan menciptakan wirausahawan ini perlu dilakukan secara serius supaya dalam 20 tahun ke depan bisa lahir sedikitnya empat juta wirausahaawan.

”Kunci keunggulan Indonesia di masa depan terletak pada semangat dan kapasitas wirausahawan yang mampu memanfaatkan kekayaan alam untuk keunggulan Indonesia di mata dunia,” kata Ciputra dalam acara pemberian penghargaan ”Pahlawan Masa Kini” di Jakarta, Senin (10/11) malam.

”Indonesia ini kurang apa? Banyak orang pintar, sedangkan sumber daya alamnya luar biasa. Tetapi, sedikit yang mampu menjadi entrepreneur untuk memaksimalkan potensi bangsa karena tidak mampu menciptakan peluang usaha yang bernilai tinggi,” kata Ciputra.

Menurut Ciputra, membangun bangsa ini tidak lagi cukup hanya menyediakan sekolah-sekolah. Akan tetapi, dalam pendidikan itu, semangat dan sikap kewirausahaan juga harus diajarkan dan dilatih sehingga muncul warga yang berani mengambil risiko untuk menciptakan peluang ekonomi baru.

Kewirausahaan, kata Ciputra, bukan cuma untuk dunia bisnis. Berbagai lapangan kerja lain yang memiliki semangat, pola pikir, dan karakter entrepreneur akan membuat perbedaan, perubahan, dan pertumbuhan positif dalam profesi dan pekerjaan mereka di luar bidang bisnis. Mereka akan memiliki daya kreatif dan inovatif, mencari peluang, dan berani mengambil risiko.

Hendarman, Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas, mengatakan, pemerintah mendukung tumbuhnya semangat kewirausahaan melalui dunia pendidikan. Anggaran pengembangan program kewirausahaan mahasiswa perguruan negeri dan swasta diajukan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang dibahas bersama Komisi X DPR. (ELN)

Indonesia Menghadapi Pertarungan Kultural


Rabu, 12 November 2008 | 00:57 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Ancaman yang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini bukanlah teologi yang buruk, tetapi pertarungan politik dan kultural. Kita sedang berebut ruang dan pengaruh untuk menentukan rambu- rambu kekuasaan negara dan merumuskan keindonesiaan. Bangsa Indonesia adalah proyek masa depan, sesuatu yang sebelumnya tak ada, tetapi harus dibangun.

Pandangan itu disampaikan Koordinator Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Jakarta, I Gusti Agung Ayu Ratih, ketika menyampaikan Pidato Kebudayaan bertajuk, ”Kita, Sejarah dan Kebinekaan: Merumuskan Kembali Keindonesiaan”, Senin (10/11) malam, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pidato Kebudayaan digelar Dewan Kesenian Jakarta, memperingati hari jadi ke-40 Taman Ismail Marzuki.

Menurut Ayu Ratih, dalam arena pertarungan ini perlu dibangun gerakan kebudayaan yang memungkinkan tumbuhnya imajinasi tentang dunia baru yang didambakan, dengan cita-cita politik yang jelas. ” Kita harus tegaskan posisi kita terhadap hal-hal fundamental yang menjadi landasan dan kerangka tegaknya republik ini,” kata Ayu Ratih.

Dari perjalanan, penelitian, dan praksis yang dilakukan Ayu Ratih selama hampir 20 tahun, dia menjelaskan, Indonesia adalah sebuah cita-cita, hasil imajinasi ”liar” perorangan yang diterjemahkan ke dalam tindakan-tindakan politik kolektif. Keindonesiaan bukanlah sesuatu yang terberi, tetapi rangkuman niat, harapan, dan kesepakatan yang dari masa ke masa berubah oleh perdebatan, pertentangan ideologi, dan pengabdian aspirasi-aspirasi tertentu.

Ayu Ratih berpendapat, pada saat proklamasi kemerdekaan, rakyat kepulauan ini tidak dipersatukan oleh agama, suku bangsa, atau bahasa. Mereka dipersatukan oleh pengalaman sejarah penindasan politik dan eksploitasi ekonomi. Mereka berbagi komitmen untuk menciptakan masyarakat baru yang demokratis, egalitarian, dan sejahtera.

Demokrasi tidak hanya dicapai di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi. Baik Soekarno dan Hatta, misalnya, memperjuangkan ”demokrasi ekonomi” dan ”sosialisme”. Pancasila sepenuhnya merupakan pakta buatan manusia yang memberikan prinsip-prinsip acuan hidup bersama sebagai suatu bangsa.

Bangsa Indonesia, lanjut Ayu Ratih, adalah proyek masa depan, sesuatu yang sebelumnya tak ada, tetapi harus dibangun, misalnya melalui kampanye pemberantasan buta huruf atau penyebarluasan penggunaan bahasa Indonesia. Inilah hal fundamental dalam nasionalisme Indonesia.

Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya dalam hantarannya mengatakan, kerja demokrasi dewasa ini belum mencerminkan kecerdasan, kebijakan, dan kekayaan kolektif bangsa Indonesia seluruhnya, yang terdiri dari berbagai orang per orang, komunitas, dan budaya.

”Sesudah reformasi, sesudah demokrasi, kita memperjuangkan kembali kebebasan masyarakat dari kekuasaan yang berlebihan, yang tidak mendengar, dan tidak mampu atau tidak mau mengelola kebinekaan yang justru merupakan dasar dari konsensus eksistensial negara-bangsa Indonesia,” katanya. (NAL/LOK)